Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah
Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnya
Tepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya sedang duduk di ruang tengah.
"Hallo kesayangan aunty," safa Dina pada Feby keponakannya yang baru berusia 3 tahun.
"Kata abi kalau bertemu itu halus salam dahulu aunty, bukan langsung manggil nama, gak boleh,gak sopan tahu" jawab Feby dengan polosnya.
"Iya, sayang, maaf yah, assalamualaikum keponakan aunty yang sangat cantik, apa kabar? Sehat?"Setelah mengucapkan salam Dina langsung saja menghujani ciuman bertubi-tubi pada keponakannya.
"Wa'alaikumussalam, udah tahu kalau Feby sehat, mengapa aunty masih nanya soh, dan mengapa juga cium cium Feby, Feby itu sudah mandi nanti bedaknya ilang," protes Feby sedikit menjauh dari Dina.
"Ya Allah, kamu makin pinter saja sih, jadinya aunty itu tambah gemes sama kamu, pingin deh punya satu kaya begini ," celetuk Dina sambil mencium lagi pipi feby.
"Wah, serius kamu dek, berati kalau kamu ingin punya anak. Tentunya sudah siap nikah dong, ?" goda Aira, kakak ipar Dina.
"Ih kakak bukan begitu maksud Dina," sahut Dina sambil duduk di samping kakak iparnya.
"Iya juga gapapa kok dek, biar Feby punya teman main," tambah Feby sambil terkekeh pelan.
"Dina belum siap kak, nanti nikahnya kalau sudah siap," sahut Dina lagi sambil memperhatikan ponakannya yang asyik memakan buah apel.
"Kakak dahulu juga enggak siap untuk nikah, waktu abang kamu ngajak Kakak taaruf awalnya nolak tetapi melihat abang kamu keukeh dan terlihat sangat serius untuk menikah akhirnya luluh juga. Padahal Kakak masih asyik dengan dunia Kakak sendiri, malah Kakak sempat punya pikiran nikahnya nanti umur 28 tahun saja," curhat Aira.
"Dina juga punya rencana nikahnya pas umur 28 tahun saja. Dina masih takut enggak bisa menjadi istri yang baik kak, Dina masih ingin fokus sama pendidikan Dina. Seandainya Dina nikah muda nanti pasti fokus Dina akan terbagi, Dina kan takut nanti jadi istri durhaka. Terus seandainya nanti Dina punya anak, siapa yang mau ngurus seandainya Dina masih kuliah. karena Dina saat ini ingin kuliah lagi kembali ke S1 ambil jurusan akutansi kak. Karena Dina ingin profesional dalam kerjanya nanti, dan hitung hitung juga Dina mencari ilmu untuk masa depan anak Dina nanti kak,"terang Dina dengan tidak kesiapannya untuk nikah muda.
"mengapa tiba-tiba ngomongin masalah nikah?" Tanya Ulum tiba-tiba, entah sejak kapan dia berada di samping mereka berdua.
"Ih abang ikut-ikut deh, ini kan urusan perempuan."
"Kalau itu berhubungan dengan kamu Abang harus tahu dek! Abang ke sini cuma mau manggil kalian karena sarapannya sudah siap, kalau enggak sarapan sekarang kamu bisa terlambat dek," ujar Ulum.
"Oh iya hampir saja Dina lupa kalau hari ini harus berangkat lebih pagi. Ayo Febyy ikut Aunty, kita sarapan dahulu." Dina berdiri dari duduknya lalu menuntun ponakannya mengajak untuk keruang makan. Ulum dan Aira juga mengikuti keduanya dari belakang.
Setelah sarapan Dina diantar oleh ulum dan Uminya untuk kerumah sakit, sampai saat ini keluarga Dina sebisa mungkin tidak memberi kesempatan Dina untuk menyetir sendiri selain tidak ingin Dina kecapean, mereka juga masih trauma karena dahulu Dina pernah mengalami kecelakaan dan hal itu membuat keluarganya lebih waspada akan keselamatan Dina.
"Dek sudah tidak ada yang ketinggalan lagi kan?" Tanya Umi Aida pada putrinya.
"Aman Umi, Dina sudah menyiapkan semuanya dari tadi malam. Insya Allah tidak ada yang ketinggalan lagi," jawab Dina
"Syukurlah, nanti kamu jangan lupa untuk salat dan makan ya Nak;," nasihat Umi Aida.
"Siap Umi, doakan Dina dapat Supervisor yang baik hati ya."
"amin, semoga dilancarkan. Kalau mau memulai sesuatu jangan lupa baca bismillah dahulu ya."
"Iya Umi."
Sesampainya di depan perusahaan, Dina berpamitan pada kedua orang tuanya lalu dia turun dan menuju ruangan Hrd.
"maaf sus, saya mau bertanya di mana ruangan tuan Zayyin ya?" Tanya Dina karena belum tahu ruangan HRD
"Ini anak magang yah?" Tanya tersebut.
"Iya tuan benar, hari ini hari pertama saya magang di perusahaan ini, mohon bantuannya ya Nona."
"Ayo Nona saya tunjukkan ruangan tuan ," ajak Suster tersebut.
Sesampainya di depan ruangan tuan Zayyin staf tersebut langsung meninggalkan Dina sendirian, lalu Dina mengetuk pintu ruangan Hrd itu.
"Masuk!" ucap Zayyin dari dalam ruangannya.
Ceklek.
Dina pun masuk dan menutup kembali pintunya dari dalam.
"Selamat pagi tuan," safa Dina sambil membungkukkan badannya sedikit.
"Pagi, kamu seseorang mahasiswa yang akan magang di sini kan ?" Tanya Zayyin. Zayyin adalah seorang supervisor muda, usianya masih 35 tahun dan dia belum menikah. Zayyin merupakan seseorang yang memiliki wajah yang tampan karena keturunan turki serta dia memiliki kepribadian yang humble sehingga dia mudah berbaur dengan orang lain, dan tentunya orang lain banyak yang menyukainya. Meski usianya sudah memasuki kepala 3 namun dia masih terlihat muda, tidak heran selain karyawan yang di sana yang menggemari dirinya.
"Benar tuan. Perkenalkan saya Nur Madina tul Al Munawaroh. Mahasiswa yang akan magang di sini."ini," ujar Dina mengenalkan dirinya.
"silakan duduk!"
Dina pun menurut dan duduk di kursi yang ada di depan Zayyin, First impression Dina pada sosok supervisor sangat baik, menurut Dina supervisor ini adalah orang yang ramah tidak seperti supervisor yang senior-seniornya ceritakan.
"Kamu sudah membaca peraturan untuk anak magang di sini ?" Tanya Zayyin dengan suara khasnya.
"Sudah tuan."
"Bagus, saya harap kamu bisa menjalani tugas kamu dengan baik. Saya tidak memiliki banyak peraturan, cuma saya minta kamu harus bisa profesional dan bisa menghargai waktu. Saya tidak suka dengan orang yang datang terlambat ataupun menyangkut pautkan masalah pribadinya dalam pekerjaan," papar Zayyin
"Baik tuan,saya akan berusaha untuk menjadi seorang sekretaris yang baik dan tidak melanggar peraturan yang ada."
"Sekarang kamu boleh kembali ke ruangan kamu, kamu juga boleh bertemu kelompok kamu, nanti jam 7.45 temui saya lagi, kita akan meeting" papar Zayyin
"Baik tuan, terima kasih atas Waktunya, kalau begitu saya permisi dahulu."
Setelahnya Dina keluar dari ruangan Zazyyin dia langsung menuju ruangannya untuk menemui anggota kelompoknya.
Satu kelompok Dina terdiri dari 5 orang, 3 perempuan dan 2 laki-laki. Beruntung Dina termasuk mahasiswa yang aktif jadi dia sudah mengenal keempat temannya itu. Saat sampai di ruangannya Dina mengobrol terlebih dahulu bersama teman-temannya, mereka saling berdiskusi perihal tugas-tugas mereka selama dia menjalani magang untuk beberapa bulan ke depan.
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu