Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama.
"Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian. "Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan abang sudah sibuk bekerja sejak pagi, pasti lelah," tolak Dina dengan penolakan lembut, memberikan perhatian balik kepada kakaknya. "Kalau kamu belum ingin tidur, lebih baik bantuin abang dengan pekerjaannya, dek," celetuk Ulum, sambil fokus pada laptopnya menyelesaikan beberapa tugas yang masih tertunda, mencoba mengalihkan perhatian Dina untuk bergabung dalam membantunya. "Tidak, saya tidak mau," tolak Dina dengan tegas sambil sibuk dengan ponselnya, menunjukkan bahwa dirinya lebih memilih bersantai daripada terlibat dalam pekerjaan di waktu tersebut."Kamu ini, awas saja yah begini ni nasibnya punya adik yang bandel, ya. Hati-hati kalau suatu saat kamu butuh bantuan abang. Abang tidak akan mau membantumu," gerutu Ulum.
Dina mendengar komentar Ulum dengan senyum di wajahnya, "Jika bang tidak mau membantu, tidak masalah. Dina bisa meminta bantuan dari Bang Yazid, Bang Hamka, Abi, Umi, Kakek, Ayah, Bunda, Bang Zain, Bang Harno, aba, dan Umi Aida," tambahnya riang. "Karena kamu cucu perempuan satu-satunya, nanti kamu akan kalah pamor dengan Zahwa," sindir Ulum. Dina memang satu-satunya cucu perempuan di antara keluarga Abi dan Umi, sedangkan semua sepupunya adalah laki-laki, menjadikannya menjadi prioritas bagi seluruh keluarganya. "Dina tidak masalah kalah pamor dengan ponakan sendiri. Meskipun ada Zahwa, Dina tetap menjadi cucu perempuan satu-satunya. Jadi, pasti mereka akan lebih memilih Dina daripada Zahwa," ujar Dina dengan bangga kepada Ulum. Mereka berdua selalu teguh dalam pendirian saat berdebat, tanpa ada yang mau mengalah hingga ada yang memisahkan mereka. "Sudahlah, tidak perlu berdebat. Abang ingin ke Cafe sebelah untuk membeli kopi," kata Yazid sambil bangkit dari tempat duduknya. "Aku ikut," sahut Dina cepat. "Kamu mau meninggalkan Abang sendirian? Lebih baik kamu tetap di sini saja!" celetuk Ulum. "Bang, sudah 24 tahun, masih takut sendirian?" Dina dengan nada tak tertahankan meledek kakaknya. "Kalau begitu ayo pergi, jangan lupa bawakan juga untuk Bang," balas Kakak. "Oke, Bos. Ayo, Bang," ajak Dina sambil menggandeng lengan kakak mereka. Dina dan Yazid melangkah ke sebuah kafe melewati lorong menuju rumah sakit yang mulai sunyi karena hari makin larut. Mereka mengikuti jalan kaki karena jarak antara rumah sakit dan kafe tidak terlalu jauh. Ketika sampai di kafe, Dina memutuskan untuk ke toilet terlebih dahulu, sementara Yazid melanjutkan langkahnya masuk ke kafe. Saat Dina keluar dari toilet, tiba-tiba ada yang memanggilnya dari arah depan. "Hey, Mbak," teriak Feri dari kejauhan, baru saja selesai dari pertemuan. Ketika hendak pulang, dia melihat Dina keluar dari kamar mandi. Dina mengabaikan panggilan tersebut, yakin bahwa itu bukan untuknya, dan melanjutkan langkahnya ke kantin, membuat Feri merasa kesal karena diabaikan. dia melangkah cepat mendekati Dina, tidak ingin kesempatan berinteraksi terlewatkan. "Hey, ke mana, Mbak?" ujar Feri sambil menggenggam lengan Dina. "Apa yang kamu lakukan? mengapa harus pegang-pegang saya?" sanggah Dina, menepis dengan kasar genggaman Feri. Dina langsung terkejut karena jarang bersentuhan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. "Mohon maaf, saya hanya ingin memanggil kamu tetapi kamu tidak menjawab," jelas Feri. "maaf, saya tidak mengenali Anda, mungkin Anda salah orang," ucap Dina, lupa bahwa orang yang di depannya adalah pria yang dia tabrak tadi siang. "APA, LUPA?" pekik Feri. "Kamu masih muda, kita bertemu tadi siang dan sekarang kamu sudah lupa?" tambahnya dengan nada kecewa. Dina menatap wajah Feri sejenak, mencoba untuk mengingat kejadian siang tadi. Setelah beberapa saat, Dina baru saja ingat bahwa laki-laki di depannya adalah pria yang dia tabrak di kampus. "Bagaimana, sudah ingat? Aku beri kamu lima menit untuk memori kejadian tadi siang," ujar Feri memberikan kesempatan pada Dina untuk mengingat kembali insiden tersebut. "Sudah ingat?" tanya Feri setelah menunggu Dina selama lima menit. "maaf, saya lupa. Apakah Anda CEO yang saya tabrak tadi?" ucap Dina Feri menghela napas. "Masih muda, sudah lupa begitu cepat. Sekarang, di mana barang-barang saya?" Dina tiba-tiba teringat bahwa barang-barangnya masih berada di dalam mobil Rosa, yang seharusnya dia pulangkan setelah pergi dari mall. Namun, karena keadaan kakeknya yang mendesak, Dina lupa membawa berkas-berkas yang sudah dia selesaikan. "di mana berkas berkas saya? Apakah sudah selesai? Saya tidak banyak waktu, Mbak. Karena kamu, saya terlambat meeting dan atasan saya marah karena barang-barangnya hilang," keluh Feri. "maaf tuan, barang-barang itu ada di mobil teman saya." "Terus?" tanya Feri dengan ekspresi kesal. "Tadi saya terburu-buru karena keadaan kakek saya masuk rumah sakit, jadi saya lupakan berkas-berkas yang ada di mobil teman saya," jelas Dina. "Kamu ini bagaimana sih, gak tanggung jawab, Gara-gara kamu, saya harus mengajukan proposal lagi. Untung saja saya masih punya filenya, kalau tidak, saya bisa dipecat," kesal Feri. "Saya minta maaf, saya akan ganti dengan uang," tawar Dina. "memang kamu pikir bisa semudah itu? Kamu harus tahu kamu Tidak perlu mengantikan proposal yang sudah saya tulis itu dengan uang, yang saya butuhkan adalah tanggung jawab kamu, makanya kalau mau melakukan apa pun itu fokus, kalau tidak bisa tanggung jawab, oh iya Lain kali, jangan terlalu sibuk pacaran sampai membuat kamu terlena seperti ini," kata Feri sambil meninggalkan Dina, tidak punya waktu karena harus segera pulang. "Apa pacaran?aku kan tidak punya pacar! Enak saja laki laki itu bilang aku pacaran," gumam Dina terkejut. Sedangkan di sisi Feri ka masih menggerutu dengan kejadian tadi siang, apalagi tadi dia melihat Dina bersama dengan Yazid hal itu membuat Feri makin kesal dengan Dina. "memang yah wanita itu, begini ni, kalau wanita yang terlena dengan cinta hingga lupa akan tanggung jawabnya di tempat umum," ujarnya sambil melangkah cepat, masih mengira bahwa pria yang bersama Dina adalah pacarnya. .Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu