Share

Perjodohan

Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.

Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."

Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."

Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaannya perlu diperhatikan dengan cermat sebelum keputusan akhir diambil.  

Ketiga Abang Dina memang sangat menyayangi Dina, mereka selalu menjaga Dina bahkan mereka rela bergantian untuk antar jemput Dina jika ke kampus atau pergi bersama teman-temannya agar Dina tidak kelelahan menyetir. Dina memang diperlakukan selayaknya seorang puteri oleh abang-abangnya. “Dari keluarga yang baik dan memiliki nilai-nilai agama yang tinggi," jelas kakek dengan harapannya yang tulus.

Dina meskipun terkejut dengan wasiat yang diberikan untuk dirinya, ia akan tetap mencoba mengambil sikap yang bijak. Ia menyadari bahwa keputusan ini tidak hanya melibatkan dirinya sendiri, tetapi juga melibatkan keluarga dan kehormatan nenek tercinta.

"Kakek, biarkan Dina berpikir dulu, Dina tidak bisa mengambil keputusan saat ini, Dina butuh waktu untuk menjawab ini semuanya."

Keluarga Dina saling pandang, mereka mengerti akan beratnya keputusan ini bagi Dina mereka mengakui bahwa setiap keputusan yang dibuat oleh Dina harus didasarkan pada kehendak dan kebahagiaannya sendiri. 

Kakek, dengan perasaan campur aduk, akhirnya menganggukkan kepala. "Tentu, Nak. Kakek akan memberikan waktu kamu untuk berpikir untuk mengambil semua keputusan ini ... kami akan mendukungmu dan ingin yang terbaik untukmu. Apapun keputusanmu nanti, tidak ada ampun dari kami sebagai keluargamu." 

Dina, yang menjadi topik pembicaraan sejak tadi, hanya diam saja. Pikirannya benar-benar kacau. Dina adalah perempuan yang terencana, ia sudah membuat rencana hidup lima tahun ke depan. Dina telah menetapkan target untuk menikah pada usia 27 tahun, ketika ia sudah menjadi dokter spesialis anak. Selain itu, Dina juga ingin menikah setelah ketiga kakak laki-lakinya menikah. Saat ini, hanya kakak pertamanya yang sudah menikah.

****

Pagi ini seperti biasa Feri harus menahan kekesalannya karena ulah adik perempuannya yang selalu mengganggu tidurnya. Feri baru saja tidur setelah salat subuh karena ia harus menghadiri meeting semalaman, tapi belum puas tidur adik satu-satunya itu sudah membangunkannya.

"Kak Feri bangun!" teriak seorang gadis remaja yang baru saja masuk ke dalam kamar kakaknya. Namanya Mar atul Faizah, dia adalah anak bungsu dari keluarga Bimantara. Faizah saat ini masih duduk di bangku kelas 1 SMA jadi tidak heran jika sifat dan sikapnya masih urakan seperti remaja pada umumnya.

"Eughh, berisik. Sana ih, kakak masih ngantuk," sahut Feri dengan suara serak khas bangun tidur.

"Kakak cepet bangun, oma nyuruh semua anggota keluarga untuk kumpul di bawah!" teriak Faizah lagi, ia sengaja teriak begitu karena tahu kakaknya paling tidak suka jika dirinya teriak-teriak.

"Jangan teriak-teriak Faizah, lima menit lagi kakak bangun," ucap Feri dengan posisi yang sama dan mata yang masih tertutup. Ia saat ini masih sangat mengantuk, badannya pun terasa lelah karena semalam harus menghadiri meeting yang panjang.

"Enggak bisa, kata Mama harus sekarang juga. Ayo bangun, Kak!" Feri menggoyangkan tubuh kakaknya agar cepat bangun.

"Iya-iya, berisik banget sih. Jadi perempuan enggak bisa apa yang lembut dikit." Feri sudah tidak tahan mendengar adiknya teriak-teriak akhirnya ia memilih untuk bangun meski masih terasa berat sekali.

"Loh jangan salah, kata temanku, Aku itu gadis lemah lembut dan baik hati," ujar Faizah dengan lagat percaya dirinya. 

"Lemah lembut apa, mereka enggak tau aja kelakuan kamu di rumah gimana. Kamu diem gara-gara baru masuk sekolah pasti masih malu-malu, liat aja seminggu lagi pasti banyak yang menjauh karena enggak kuat dengan kebawelan kamu. Kakak kalau jadi teman kamu mending menjauh cari teman yang lebih berkualitas," ejek Feri pada adiknya.

"Mama, Oma. Kakak sumpahin kak Feri enggak punya teman, Ma!" teriak Faizah sengaja agar mamanya mendengarnya.

Feri sudah terlebih dahulu menutup kedua telinganya kalau tidak bisa-bisa gendang telinganya pecah akibat teriakan adiknya itu. Dia sudah hapal dengan kebiasaan adiknya yang suka mengadu itu.

"Faizah ada apa teriak-teriak begitu, Nak?" ucap Dinda Mama kandung Feri dan Faizah.

"Kakak tuh yang disalahin, masak Kakak sumpahin Faizah enggak punya teman katanya nanti teman Faizah kabur gara-gara Faizah bawel. Padahal Faizah kan baik dan lemah lembut, Ma," adu Faizah kepada mamanya.

"Bohong Ma, Kak Feri dulu yang nyari masalah." Feri membela dirinya sendiri.

"Sudah-sudah, kalian ini tidak bosan apa setiap hari seperti ini terus. Ayo ke bawah, sudah ditunggu Mama di ruang keluarga," ujar Mama Dinda menengahi anak-anaknya.

"Feri mau mandi sebentar Ma, Mama sama Feri turun dulu saja."

"Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Ayo, Feri, jangan ganggu kakak kamu."

Setelah kepergian Mama dan adiknya, Feri langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah kepergian mama dan adiknya, Feri langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Tak butuh waktu lama, hanya 10 menit Feri sudah siap dan langsung turun ke bawah.

"Selamat pagi Oma, Pa," sapa Feri saat sudah sampai di ruang tengah.

"Pagi Feri," sahut Nenek dan Kakek Feri bersamaan.

"Tumben pagi-pagi Oma nyuruh kita kumpul," ujar Feri.

"Oma mau bicara hal penting, Feri. Oma harap setelah mendengar ini kamu mau menuruti permintaan Oma ya."

"Kenapa perasaan Feri jadi tidak nyaman," gumam Feri tapi masih bisa didengar oleh yang lain.

"Feri, sebelum oma tiada, oma mau meminta satu hal sama kamu," ujar Oma memulai pembicaraan. 

"Mama jangan bicara seperti itu, Ma. Mama pasti akan berumur panjang," ujar Mama Dinda . Ia sangat menyayangi mertuanya itu, jadi ia tidak suka jika ibu mertuanya berkata perihal kematian.

"Umur mama sudah tidak banyak lagi, Sara. Mama mau sebelum Mama meninggal mama ingin melihat Feri menikah."

Feri, mungkin ini adalah hal yang penting bagi Oma. Meskipun terdengar sedikit mengejutkan, mungkin kamu bisa mendengarkan dengan baik dan mempertimbangkan permintaannya. Pernikahan adalah hal yang penting dalam kehidupan keluarga.

Deg! Deg! Deg!

"Feri, kamu sudah nenek jodohkan dengan cucunya sahabat nenek," ucap nenek langsung to the points.

Jantung Feri berdegup kencang, ia merasa permintaan oma-nya ini sangat mustahil Feri wujudkan dalam waktu dekat. Pasalnya Feri masih ingin menempuh pendidikan bisnis lagi, meskipun ia sudah terkenal sebagai pengusaha sukses dengan bisnisnya yang berkembang pesat, tapi ia masih ingin menambah ilmu lagi. Feri harus memiliki pengetahuan yang lebih luas untuk mempersiapkan dirinya sebagai pengusaha yang sukses.

"Tapi, Ma. Feri mau lanjutkan pendidikannya masak iya sih, Nenek tega menikahkan Feri yang di mana dia masih ingin berjuang meraih mimpinya."

"Sudah, Mama tidak ingin ada penolakan."

"Apa? Tidakkkkkkk, aku tidak mau, Feri menolak hal ini dengan mentah-mentah!"

"Oma, apa ini tidak terlalu cepat untukku? Aku masih 25 tahun dan baru saja merasakan kesuksesan dalam bisnisku," ucap Papa Feri merasa keberatan dengan permintaan neneknya. 

"Oma kasih kamu waktu 2 bulan, Feri. Nenek paham kamu pasti butuh waktu untuk ini semua."

"Bagaimana jika dua tahun, Nenek?" tawar Feri.

"Feri, kamu mau nenek meninggal dengan tidak tenang. Nenek tidak pernah meminta apapun selama ini, apa permintaan nenek ini berat untuk kamu? Tolong turuti permintaan nenek yang terakhir ini aja, nenek ingin bahagia hanya dengan melihat kamu menikah," ujar nenek lagi dengan raut wajah sedihnya.

Feri yang mendengar itu hanya mendengus kasar, selalu saja itu yang menjadi alasannya. Feri sangat menyayangi neneknya, mana tega Feri menolak langsung saat melihat raut wajah neneknya yang sedih seperti itu. Feri memilih langsung bangkit dan berjalan ke arah tangga.

"Tahu ah."

"Feri mau ke mana?" tanya Papa Feri menghentikan langkah Feri. "Masih 2 bulan lagi kan? Aku mau lanjut tidur," ujar Feri tanpa melihat ke belakang. Ia memilih untuk menghindar dulu saat ini, permintaan Omanya ini adalah keputusan terbesar dalam hidup Feri, jadi ia tidak ingin salah dalam mengambil keputusan.

"Sarapan dulu, Feri. Kamu belum sarapan, Nak," ucap Mama Dinda.

"Feri masih kenyang, Ma. Nanti kalau Feri lapar pasti makan kok," sahut Feri. 

Setelah itu, Feri melangkahkan kakinya lagi menaiki tangga. Mama dan yang lainnya sudah tidak mencegahnya lagi. 

"Mama mau menjodohkan Feri dengan siapa?" tanya Mama Dinda. 

"Mama akan menjodohkan Feri dengan cucu almarhum Laras. Mama sudah mengatur ini sejak kami remaja dulu, awalnya kami akan menjodohkan anak kami tapi ternyata anak kami sama-sama laki-laki jadi kita merencanakan akan menjodohkan cucu kami saja."

"Ma, bukankah anak Jeng Aida masih kuliah?" tanya Mama Dinda. Mama Dinda sudah beberapa kali bertemu dengan keluarga sahabat mertuanya itu jadi ia tahu siapa saja cucunya.

"Dia sudah selesai kuliahnya. Kalian pokoknya harus setuju. Mama tidak ingin ada penolakan dalam hal ini. Perempuan yang mama pilihkan adalah gadis baik, cerdas, dan agamanya bagus. Mama jamin kalian akan

suka dengan pilihan oma kali ini," tekan Oma.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status