Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur.
"Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga.
"Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina.
"Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain.
"Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga menumpuk." Dina menolak halus saran Uminya.
"Ya sudah adek hati-hati ya, tiga hari lalu di perempatan gang komplek sebelah ada kasus pelecehan. Umi jadi ngeri, kalau ada orang yang mencurigakan langsung lari ya," pesan Umi Aida.
"Siap Umi sayang, Aida pamit ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab Umi Aida.
Setelah itu Dina langsung keluar dari rumahnya, dijalan seperti biasa banyak ibu-ibu yang menyapanya. Dina dan keluarganya terkenal baik dan ramah didaerah kompleknya meskipun mereka dari keluarga kaya, jadi tidak heran jika banyak yang menghormati keluarga Dina.
"Pagi Neng Dina, tumben nih olaraga, sudah seminggu yang lalu yah Neng Dina tidak olaraga!" sapa salah satu tukang sayur yang biasa lewat di daerah kompleknya. Meskipun keluarga Dina kaya raya tapi mereka lebih memilih tinggal di komplek yang sederhana bukan komplek yang elit seperti orang kaya pada umumnya.
"Pagi Pak, iya kemarin ada aktivitas lain yang tidak bisa saya tinggalkan," sahut Dina ramah.
"Oh seperti itu, tapi neng Salwa tidak sakitkan?" tanya tukang sayur tersebut.
"Alhamdulillah saya sehat, Pak."
"Oh iya Bapak lupa mau bilang turut berduka yang neng atas meninggalnya Bu Laras."
"Iya Pak terimakasih ya."
"Iya Neng sama-sama."
"Ya sudah kalau begitu Dina duluan ya Pak, semoga lancar dan laris manis dagangan hari ini. Assalamu'alaikum."
"Aamiin, Wa' alaikumussalam."
Setelah pamit Dina melanjutkan larinya, karena waktunya tinggal 3 menit jadi Dina memilih untuk pulang saja.
"Assalamu'alaikum." Dina mengucapkan salam saat memasuki rumahnya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab Umi, Abi dan Abangnya. Kebetulan mereka sedang duduk di ruang keluarga. Keluarga Dina memang memiliki kebiasaan berkumpul pagi-pagi sebelum sibuk dengan aktivitas masing-masing, meski hanya sekedar meminum teh bersama
"Kenapa kamu lari enggak ajak-ajak abang?" tanya Yazid
"Hallah, kalau lari sama Abang mah ujung ujungnya jadi ribet, malah nanti yang ada aku gak lari jadinya pembulian," sahut Dina sambil duduk dekat dengan Abi dan Uminya.
"Ha? Kamu ini gak sadar diri , siapa yang kalau olaraga gak serius. Katanya olaraga eh taunya di sana malah beli jajan?" Sindir Yazid.
"Untung gak aku, mungkin anak tetangga kali. Dina mah kalau olahraga ya olahraga," elak Dina. Dina memang suka sekali berdebat dengan abang ketiganya itu, mungkin jarak mereka yang hanya 2 tahun membuat mereka seperti teman sendiri.
"Dasar bocil manja," cibir Yazid.
"Sorry yah, aku bukan bocil?" sungut Dina, ia paling tidak suka jika dibilang manja dan masih bocil.
"Sudah-Sudah kalian itu yah, kalau kumpul pasti aja debat," ujar Umi Aida menengahi mereka. " Adek mandi dan siap-siap dulu baru setelah itu kita sarapan sama-sama," tambah Umi Aida.
"Iya Umi, hampir saja Dina lupa. Ya sudah Dina keatas dulu Umi, Abi, Abang Ulum tersayang," ucap Dina sambil beranjak dari duduknya.
"Dasar bocah, kenapa kamu enggak pamit ke Abang yang paling tampan ini," protes Dina tidak terima namanya tidak disebut oleh adiknya.
Dina dengan sengaja tidak merespon perkataan abang ketiganya itu, ia memilih untuk melanjutkan jalannya menuju kamar dan buru-buru untuk mandi.
"Sudah Bang, kamu seperti tidak mengenal adek kamu saja," tegur Abi.
"Abang cuma bercanda kok Abi. Oh iya kenapa adek terlihat biasa saja saat ini, apa dia setuju dengan permintaan almarhum nenek?" tanya Yazid.
"Adek kamu itu paling pintar menutupi perasaannya Bang, sejak dulu jika ada masalah pasti dia akan terlihat happy di depan orang lain seakan tidak memiliki beban sama sekali," jawab Umi Aida.
"Itulah yang tidak abang sukai dari Dina, dia terlalu pintar menutupi yang ia rasakan. Pasti alasannya tidak mau merepotkan orang lain, padahal kita keluarganya sendiri," sambung Ulum.
"Sudahlah Bang, adek kamu itu sudah dewasa. Pasti Dina tau yang terbaik untuk dirinya, jika ada masalah berarti kita yang harus peka dan menanyakan terlebih dahulu. Abi yakin akan ada saatnya Dina akan mengadu kepada kita jika ada masalah. Bisa jadi adek kamu saat ini lagi melatih dirinya menjadi orang yang lebih dewasa, juga mau belajar mengatasi masalahnya sendiri," sanggah Abi.Abi memberikan dukungan kepada abang abang Dina untuk meyakinkannya bahwa adik mereka, Dina sudah dewasa dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Abi percaya bahwa jika ada masalah, Dina akan mengungkapkannya kepada mereka. Saat ini Dina mungkin sedang belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa dan belajar mengatasi masalah sendiri.
"Iya Nak, kita harus memberi kepercayaan pada adik kamu. Cukup melihat dari jauh saja, jangan terlalu mengekangnya," sambung Umi Aida lagi.
"Iya Bi, Mi," jawab Ulum dan Yazid bersamaan.
"Semoga, apapun keputusan Dina nanti, itulah keputusan yang terbaik ya Bi," sahut Yazid dengan nada yang lembut.
"Hallah, kamu gak ingin nikah, udah tua sono nikah, nanti takutnya gak laku kamu itu," ejek Ulum kepada Yazid. Di mana abangnya belum ada keinginan sama sekali untuk menikah, bahkan dia sendiri tidak ada wanita yang dekat dengannya.
"Kamu duluan aja deh, gue mah santai, karena calon istriku lahi menuntut ilmu, jadi yah bisa di bilang aku akan menunggu dia, jika dia siap menikah, aku akan cussss melamarnya," ucap Yazid dengan pura pura padahal ia sama sekali tidak dekat dengan siapapun.
Semua orang di meja makan terkejut mendengar ucapan Yazid yang tiba-tiba. Mereka tidak bisa menahan tawa karena mereka tahu betul bahwa Yazid adalah orang yang sangat santai dan tidak terlalu dekat dengan siapapun, terutama wanita. Meskipun ucapan Yazid terdengar seperti lelucon, mereka tahu bahwa itu hanya tingkah polah Yazid yang tidak bisa diambil serius.
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu