Semerbak Aroma dupa menebarkan wewangian, telingaku masih bisa mendengar hentakan kaki yang begitu mengganggu ketenangan, ditambah cahaya remang-remang seperti sebuah latar belakang yang terus terekam oleh mataku. ‘’Bangun!” kata itu bagaikan jeritan mimpi. “Asih, ayo bangun!” Seruan yang semakin intens, mendorong keras jiwaku pada jurang tak berujung. Ahh sakit sekali! dadaku seperti tertusuk tombak berkali-kali, sesak tapi terbungkam, nafasku tercekik habis.
Apakah aku akan mati? Apa aku telah gagal? Aku tak boleh cepat menyerah, Bapak membutuhkanku. Jika ragaku ada, mungkin akan terlihat jelas betapa hancur leburnya saat tercabik oleh sesuatu yang tak kasat mata. Bisa jadi daging yang ada di tubuhku juga telah tersayat habis meninggalkan tulang putih bersimbah darah. “Sang Putri telah bangun, Ia tersadar!” teriakan nyaring terdengar keras sekali, mataku masih setengah menutup, aku belum bisa melihat dengan jelas. Tubuh ini begitu lemah, bahkan aku belum bisa menggerakan ujung jarinya. "Akhirnya, bangun. Tidak banyak orang yang bisa bertahan dalam keadaan seperti ini. Sungguh Tuan Putri benar-benar beruntung. Meski masih dalam keadaan setengah sadar, tapi tuan putri telah berhasil melewati masa kritis, saya akan menyiapkan beberapa obat terlebih dahulu.” “Baik, terimakasih dokter,” Tuan Putri? Apa maksud dari panggilan itu! Apakah Jaya salah menempatkan jiwaku? Seharusnya bukan seperti itu cara mereka memanggil! Sebelum aku menyetujui ritual sesat ini, dia berjanji akan memindahkan jiwaku pada tubuh Cornelia, istri dari Mahesa. Tidak! aku harus bangun untuk memastikan. Tapi sial! Tubuh sialan! mengapa begitu sulit mengendalikannya. Lemas dan tak bertenaga, hingga aku ingin terlelap kembali, rasa kantuk sungguh membuatku tak berdaya. Sekuat apapun aku mencoba, hanya bisa menggerakan kelopak mata bodoh ini! Energiku telah banyak terkuras habis. Harusnya aku tak terlalu mempercayai anak kecil itu. "Putri Adaline, ada apa? Mengapa anda meracau? Anda baru saja sadar, saya harap anda tidak mencoba untuk bergerak. Dokter memberitahuku untuk membuat anda beristirahat total selama 7 hari, tidak boleh bergerak dan tidak boleh banyak berbicara. Bahkan dokter juga sudah meracik vitamin yang akan memulihkan stamina anda. Setelah sebulan tak sadarkan diri, pasti tubuh anda menjadi lemas, itu hal yang wajar. Saya harap anda bisa segera sehat seperti sedia kala.” Sebulan? Aku tak menyangka ternyata butuh waktu sebulan untuk jiwaku bisa sepenuhnya masuk ke dalam tubuh orang lain. Kemampuan ilmu yang dimiliki suku Tilar ternyata masih kalah cepat dengan merpati pengirim surat. Jadi tubuh Adaline telah berbaring di ranjang ini selama sebulan penuh, pantas saja rasanya begitu lemas dan sulit dikendalikan. “Putra Mahkota telah menerima kabar bahwa anda sudah sadar, tapi sepertinya Putra Mahkota sangat sibuk dengan urusan kerajaan. Apalagi 3 bulan lagi ia akan naik tahta, dan anda akan menjadi Ratu.” Senyumnya lalu memotong rapi kuku ku. Wanita yang tak ku tahu namanya itu jauh lebih cerewet dari bapak, tapi perlakuannya cukup baik. Ia membasuh lembut tanganku menggunakan kain basah, dan sangat berhati-hati, terlebih saat membantuku untuk minum. “Ah maaf, saya terlalu senang dan banyak bicara, sehingga kurang peka sampai berani membicarakan Putra Mahkota, an-anda pasti ingin kembali tidur kan, Yang mulia?” kulihat wajahnya menjadi pucat pasi, tangan cekatannya tergesa menarik selimut, menutupi dada. Iya! tak salah lagi, aku benar-benar masuk ke tubuh Adaline, bocah tengik itu! Awas saja ku habisi dia! Dia telah berani mempermainkanku. Secepatnya aku harus menguasai Tubuh Adaline lalu bertemu dengan Mahesa, aku akan memberitahunya tentang apa yang terjadi sebenarnya, hanya dia yang bisa membantuku. Brakk! Seseorang membuka pintu dengan kasar, bahkan sepatunya terdengar sengaja membentur lantai agar suaranya bergema di seluruh ruang kamar. “Yang-yang Mulia!” wanita yang merawat ku itu terdengar gagap dalam memberi salam. “Ku kira kau sudah Mati! Sia-sia usahaku!” Aku meliriknya sekilas, sepertinya dia Pangeran Louise, Putra Mahkota Naverre. Ah betul aku ingat potret yang ditunjukan Jaya padaku. Louise suami dari Adaline. "Maaf Yang Mulia, Tuan Putri masih dalam masa pemulihan. Saya harap,...” "Mengapa kau hidup lagi, Adaline! Berikan aku alasan seperti saat kau memberitahuku alasanmu ingin mengakhiri hidup!” Aku hanya memutar mata malas, tanpa mencerna ucapannya. Dan saat pandanganku berpaling, anehnya dia malah mendekatkan bibirnya pada tengkuk ku, memberiku satu kali tarikan nafas panjang sambil berbisik kasar. "Kau akan kalah!" Entah apa yang orang ini maksud, yang jelas aku tak ingin mengetahuinya. Namun melihat ekspresi serius di wajahnya, mungkin ia hanya ingin mendapatkan respon yang sepadan. Tapi mau bagaimanapun dia tidak akan mendapatkan keinginannya, sebab aku bukan orang yang dia cari. "Tatapan itu! Acuh? kau mengacuhkan ku, Adaline?Hah!” “Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia. Putri Adaline masih belum bisa anda ajak untuk berdebat. Mohon kemurahan hati, Anda. Dia baru saja siuman setelah tak sadarkan diri selama sebulan. Bahkan kata dokter tanda-tanda vitalnya masih belum membaik.” Dengan ekspresi tidak senang, Louise memelototi orang yang merawat ku, sepertinya marah saat ada yang menyela perkataannya. Bersamaan dengan itu, ia juga mengibaskan jubah tepat di depan wajahku. Kemudian pergi dengan cara yang sama saat ia datang, bergelut dengan pintu agar terdengar gebrakan yang jauh lebih keras. Sungguh kekanakan! Sudah ku pastikan hubungan kedua suami-istri ini buruk. Setahuku sebelum aku dan Jaya melakukan ritual pemindahan Jiwa, kita banyak berbincang. Tapi aku sulit untuk mengingatnya, apa karena aku masih beradaptasi dengan tubuh Adaline? Yang kuingat hanyalah potret Louis dan Adaline, aku lupa wajah Cornelia, Raja Albert dan yang lainnya. "Asih, kau sudah sadar!” Vas bunga di samping ranjangku mengeluarkan sebuah api kecil yang berbicara, teknik sihir apalagi ini? Ah sudahlah itu tidak penting, aku hanya perlu mendengarkan penjelasannya saat ini. Aku reflek menoleh ke arah wanita di sampingku. Untunglah dia tertidur dengan posisi duduk. "Kau bisa melihatku, kan? Jika bisa goyangkan kepalamu sedikit!” Segera ku goyangkan kepalaku tanpa berpikir panjang. Sepertinya Jaya juga tahu kalau aku belum bisa berbicara. "Dengar! kau tak perlu panik jika kau kehilangan sebagian ingatan atau kau lupa misi yang akan kamu jalankan. Itu sangat wajar, saat melakukan perpindahan jiwa, kita kekurangan energi, sebab kau tahu kan hanya kau sendirian yang bisa melakukan sihir ini." "Simak baik-baik, aku hanya bisa berbicara sekali, jangan percaya siapapun. Bahkan pada Mahesa, jangan beritahu identitas aslimu, atau kau akan mati sia-sia!’ Api kecil itu padam, menyisakan kepulan asap kecil, pertanda bahwa pesan itu telah berakhir. Dan setelahnya aku merasakan sesuatu yang aneh antara tubuh ini. Yah seperti bunyi desiran dari aliran darah ataupun degupan jantung yang cepat dan terdengar jelas. Lalu Ada sesuatu yang menggerayangiku dari mata kaki hingga ke ubun-ubun, lambat laun sesuatu itu berhenti di bagian belakang tubuhku. Cukup lama hingga aku merasakan sesuatu itu mendorongku dan memukul punggungku dengan keras. “Ahhhhhhhhhh!” aku menjerit sakit tapi itu juga membuat ku bisa bernafas leluasa. Tanpa sadar aku menggerakan tangan Adaline, aku bisa bergerak! Aku mampu menggerakan tubuh Adaline. Mataku berputar, sisa asap api kecil itu belum hilang, ia malah mengepul semakin hitam lalu menabrak kepalaku begitu saja dan lenyap. “Jika kau berani membuka identitasmu di depan Mahesa ataupun yang lainnya maka akan ku buat tubuhmu kaku lagi!” Anak kecil itu, dia mengancamku? Aku tahu sejak awal dia punya niat buruk. Itu berarti sedari tadi aku tak bisa bergerak karena masih dalam pengaruh sihirnya. Tunggu sebentar! Sebenarnya sihir leluhur macam apa ini? Ini sungguh sihir sesat yang pantas di lenyapkan. Betul kata Mahesa, aku harus berhati-hati dengan orang-orang Tilar seperti mereka, meski aku sendiri adalah salah seorang keturunan Tilar. Namun aku tak mau disamakan! Aku berbeda, pikiranku telah terbuka. Aku pandai dan berwawasan luas sebab sejak kecil aku telah tumbuh bersama Mahesa dan dia telah mengajariku segalanya. Ah, Masa bodoh dengan ucapan Jaya, aku tak peduli! aku akan tetap pergi menemui Mahesa. Ancamannya tak berarti bagiku. Aku rindu, aku ingin memeluknya dan membisikan bahasa cinta kita. Setelah itu aku yakin Mahesa akan mengenaliku dan membantuku dengan mudah. Dia akan meninggalkan istri bohongannya lalu lari ke pelukanku! Dan seterusnya kita akan hidup bahagia bersama. Tubuh yang mudah dikendalikan ini, dia akan membantuku. Perlahan ku gerakan kaki milik Adaline yang sementara ku pinjam, ya hanya sementara saja kita bertukar jiwa. Ku harap Jiwa Adaline dalam keadaan baik.Aku berjalan pelan, berusaha agar tak membangunkan wanita yang menjagaku. Mengendap-endap keluar kamar sambil menyincing bagian bawah gaun putih yang kupakai. Seketika mataku terbelalak, lorong penghubung kamar ini sangat panjang dan luas. Setiap dindingnya terdapat ukiran dan lukisan, hiasan dinding seperti bunga bunga timbul. Ada sedikit batu mengkilap berwarna putih, ia bercahaya. Aku tak pernah melihat tempat seindah dan semodern ini! Sepertinya di kamar Adaline juga tak kalah mewah. Hanya saja aku tak terpikirkan untuk menjelajah di ruang kamarnya. Tapi dimana aku bisa menemukan Mahesa? Mungkin aku hanya perlu berjalan lurus terus. Sudah lama aku berkeliling namun tak juga menemukan Mahesa, apa aku tersesat? Sebab aku mulai lupa arah, dan malah sibuk menghitung jumlah anak tangga yang sudah ku turuni. Aku sedikit terbius oleh keindahan bangunan. Bagaimana cara mereka menyusun bebatuan cantik ini hingga dapat menjulang ke atas? Bahkan seiring kaki melangkah, kepalaku refl
Tiga Bulan lalu,... Dari keheningan malam banyak tercipta mahakarya indah, dari kesunyian alam banyak pula tercipta sajak-sajak mesra pengantar kerinduan. Bak hujan yang tak akan berhenti sampai awan kembali memutih, rasaku pun sama, tak akan memadam walau kepalaku berganti putih. Mereka kira aku sakit, jiwaku terganggu. Omong kosong! Mereka tidak tahu sebenarnya aku hanya sedang dilanda kerinduan yang maha dahsyat, Yang bumi pun tak mampu menopang perasaan itu. Sayup-sayup ku bisikan sedikit demi sedikit pesan rinduku pada angin, Ia yang akan membawanya terbang, jauh mengitari seluruh kota, lalu beranjak lagi, berputar-putar memasuki dimensi yang berbeda. Siaran gejolak itu telah terdengar oleh seluruh penduduk langit dan bumi, jadi apa lagi yang kau ragukan? Kau tahu, kan? Setiap partikel udara adalah pesan cintaku, setiap hembusan kasarnya adalah rindu ku yang membara. Aku ingin hilang menyatu dengan dirimu, dengan tubuhmu hingga kita berdua menjadi gila karena cinta y
“Asih, bangun nak!” Sekti memeluk Asih, mengusap pelan pipi anaknya. Namun darah terus keluar dari pergelangan tangan Asih, luka sayatan pisau menganga layaknya sebuah sumber air berwarna merah. Asih sudah sering melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ia terlihat seperti mayat hidup akhir-akhir ini. Lebih mengerikan daripada saat ia menggila merindukan kekasih.Sekti kemudian menyobek kain hitam yang melekat pada baju bawahannya, secepat kilat membalut luka Asih dengan kain tersebut, mulut berkomat kamit, mata terpejam, sebuah kalimat kuno terlempar dari bibir lelaki tua, lalu wusss,... Keajaiban terjadi, darah itu seolah meliuk-liuk seperti cacing hidup, bergerak masuk secara teratur menuju kain hitam, bak tersedot ke dalam sayatan luka.“Tuk! Tuk!”Ketukan kecil mengganggu suasana, irama yang bisa membuat seorang Kepala Suku Tilar memiliki perasaan was-was. Tapi Sekti mencoba tetap terfokus pada kondisi Asih, ia memiringkan wajah, memastikan keadaan anaknya yang telah pulas tertid
Setelah berpikir semalaman, Sekti akhirnya membuat keputusan untuk mencoba meminta tolong pada Viscount Erick. Ia adalah pegawai pemerintahan yang sudah 3 tahunan ini menggantikan tugas Mahesa. Meski Sekti tahu ini akan cukup sulit, sebab Viscount Erick tidaklah seperti Mahesa yang sering berbaur dengan penduduk asli. Ia cukup sombong dan suka mengintimidasi para petani dan nelayan. “ Aku ingin bertemu dengan perwakilan kerajaan!” tukas Sekti pada penjaga. Ia mendatangi rumah peristirahatan yang dikhususkan untuk para pengabdi kerajaan. Berada di utara pesisir pantai, dengan berjarak hanya 10 meter dari bibir pantai. Satu-satunya bangunan termegah di pulau itu dan desain modern. “Tidak bisa! dia sedang sibuk!” tanpa ada rasa sopan santun, penjaga menolak kehadiran Sekti bahkan ironisnya sampai mengangkat senjata api di depannya.“Baiklah, tolong sampaikan padanya bahwa aku mencarinya.” Sekti mengalah, ia memilih pergi daripada harus berdebat dengan mereka. Orang-orang berkulit pucat
“Tunggu! kau salah paham, aku tidak ingin berseteru, aku hanya ingin meminta tolong!” “Tapi aku tidak ingin menolongmu, bagaimana jika kau saja yang menolongku agar bisa naik jabatan?” balas Viscount Erick, ia hanya perlu menyingkirkan Sekti dan melaporkan bukti bahwa Sekti memiliki Ilmu sesat, maka otomatis Raja akan menaikan statusnya, bisa jadi lebih tinggi dari Mahesa. “Tembak!” Viscount Erick melepeh batang rokok yang tersisa di mulutnya, menaikan satu kakinya di atas kursi agar bisa memfokuskan diri jika ada gagak putih yang datang. Ia telah mempelajari saat prajurit masa lampau menembak burung-burung itu untuk melumpuhkan musuh. Satu buah peluru mendarat tepat di dada kiri Sekti, dia tersungkur namun ia masih punya kekuatan untuk menahan. Sekti sudah cukup bersabar selama ini, dia tak pernah memberi perlawanan ataupun memberontak, ia telah membiarkan harga dirinya terinjak-injak demi putrinya yang begitu mencintai semua tentang Kerajaan Naverre dan Mahesa. Ia tidak ingin
Asih berjalan memasuki ruang kematian yang lantainya dibanjiri cairan berwarna merah segar, mayat tanpa kepala tergeletak tak beraturan. Semuanya berlumuran darah kental, anyir sekaligus busuk, udara panas di dalam ruangan menyumbat hidung. Ia sontak menutup rapat alat pernapasannya, linglung juga ketakutan, tanpa pikir panjang Asih mencoba keluar kembali. Sayangnya pintu mendadak terkunci “Tolong! tolong!” Asih memukul-mukul pintu, menahan diri dari rasa mual. “Buka pintunya, tolong aku!” Sekali lagi, Asih mengerang sambil terisak. Gaun putih miliknya nyaris tak terlihat bersih, sebab setiap kali ia bergerak, percikan darah akan mengenai dirinya. Asih kemudian mengangkat kedua tangan, memperhatikan telapak tangannya dengan seksama, ada noda darah, merambat melalui jari-jari, melabur seluruh tubuh sampai ke wajahnya. “Aaaaaaaaaaaaa” teriakan histeris, ia meringkuk di balik pintu berharap ada seseorang yang akan menolong. Tanpa sengaja tangan kanannya menyentuh sesuatu, seperti b
“Jaya! bagaimana caraku terhubung dengannya!” Asih memekik sendirian, menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sebuah vas bunga, tempat dimana suara Jaya muncul bersamaan dengan api kecil seperti kemarin. Pikirannya campur aduk, mimpi buruk yang menyeramkan membuat batin nya tak tenang. “Apa yang terjadi pada bapak! Apa dia dalam bahaya! Tidak! Ini salah, tak seharusnya kubiarkan bapak sendirian.” Begitu bunyi otaknya, selalu memberi pertanyaan yang sama. Tidak ada! Vas itu menghilang. Asih kelabakan untuk sesaat, sebelum Marry kembali datang membawa beberapa orang termasuk dokter dan perawatnya. “Putri Adaline, dokter telah datang” Marry kembali menutup pintu, mempersilahkan orang-orang yang mereka panggil ahli medis untuk memeriksa tubuh Adaline. “Apa yang anda rasakan, Yang mulia?” tanya dokter itu saat menempelkan dua jari tangannya untuk mengecek detak nadi. “Anda berdebar, dan berkeringat dingin. Mungkinkah ada bagian lain yang terasa sakit?” Tambah dokter itu lagi.
Adaline membalikan badan, bulu kuduknya berdiri. "Ada apa, Tuan Putri?" Marry bertanya, mengintip ke arah yang sama. "Tidak ada! Hanya Pangeran Louise," jawab Adaline dengan nada kesal. Marry mendekat. "Maksud Tuan Putri, anda terganggu karena Pangeran Louis sedang memperhatikan Anda?" Adaline mengedipkan mata. "Ya, dan aku sangat tidak suka itu!" Pria yang saat ini banyak diperbincangkan oleh kaum hawa. Potretnya selalu menduduki berita utama di surat kabar. Bukan hanya karena kelebihan fisiknya, tapi juga karena kepiawaiannya dalam menggantikan peran ayahnya dalam hal mengambil banyak keputusan. Dia mampu menstabilkan ekonomi kerajaan yang akhir-akhir ini sedang berada pada kondisi kurang menguntungkan. Para gadis menjadikan dia sebagai idola, dan para wanita bersuami sering kali menjadikan dia sebagai fantasi liar. Marry kembali kebingungan dengan tingkah laku aneh dari Adaline. “Yang Mulia, bukankah anda sangat mencintai Pangeran Louise? Kenapa berkata seolah anda membencin
Cermin memantulkan keindahan paras Adaline, Rambut indahnya ditata sedemikian rupa oleh Marry, bibirnya mengatup, pewarna merah yang dioleskan oleh Marry memberikan kesan sensual. “Apa biasanya aku berdandan seperti ini?”“Iya, Yang Mulia,” Jawab Marry mengangguk. “Baiklah, lanjutkan!” Riasan tebal dengan pilihan warna yang terlalu mencolok, wajah Adaline menjadi sedikit lebih dewasa dibandingkan usianya. “Kau bilang, aku sangat mencintai Louise? Bisa kau beritahu aku bagaimana hubunganku dengan Louise?”Asih mendongak pada Marry yang masih sibuk menata rambutnya. “Hubungan anda sebenarnya tidak cukup baik, Pangeran Louise,...”Marry berhenti sejenak, ia mulai ragu meneruskan ucapan. Sebab ia sadar bahwa semua ingatan Adaline tentang Louise adalah hal yang menyakitkan. “Ceritakan saja,”“Yang Mulia,”“Kenapa?”“Saya tidak tega, semua ingatan yang anda miliki tentang pangeran sangatlah menyakitkan.”“Tak apa, aku siap menerimanya.” Asih memutar tubuh, menunjukan senyuman manis untuk
Marry dengan lembut mengambil lotion dan parfume, lalu mengoleskannya pada kulit Adaline. “ Ini adalah aroma kesukaan anda, Yang Mulia. Di ekstrak dari bunga Freesia yang langka. Saya harap aroma ini akan membangkitkan ingatan anda,”“Sepertinya kau tak perlu melakukan ini, aku bisa sendiri.” Asih merasa tak nyaman, ia berusaha terus menghindar saat Marry menyentuh kulit Adaline. “Tidak, Yang Mulia. Saya sudah lama melayani anda, dan ini adalah hal biasa. Lagipula seorang Putri Mahkota tidak diperbolehkan melakukan segala sesuatu sendirian. Mandi maupun berganti baju harus dibantu oleh pelayan.”“Tapi…”“Saya sudah seperti bayangan anda, jadi percayalah…”Asih menyunggingkan bibirnya lalu membiarkan Marry melakukan tugasnya, walaupun terasa sedikit geli saat mengoleskan lotion itu.Bulan terbenam dalam kegelapan, setengah cahayanya di lahab kabut tebal. Disusul dengan angin dari arah barat yang kemudian datang menyapa, kedua tangannya menabur serbuk sari yang ia curi dari ribuan bung
"Yang Mulia," sapa Lucas,memberi hormat dengan membungkuk. Lucas langsung menghentikan obrolannya dengan seorang prajurit begitu melihat Louise datang. "Apa yang membawa Anda ke sini?" Louise tak menghiraukan, malah memfokuskan pandangannya pada Adaline yang berada balkon kastil, bahkan setelah gadis itu berpaling dia masih memandangi punggungnya. "Tidak ada," jawabnya singkat. Banyak hal rupanya yang membuat Louise penasaran, dibalik penampilan Adaline yang berantakan menyimpan sebuah teka-teki. Ada gejolak yang membara ketika melihat Adaline tersenyum pada Lucas.”Sekali penggoda tetaplah penggoda!” Gumam Louise lirih lalu berjalan pergi dengan kudanya. Louise selalu beranggapan bahwa Adaline hanyalah seorang mata-mata yang dikirim oleh keluarga Duke. Dia tak lebih dari seolah wanita penggoda yang mengobarkan diri untuk mendapat informasi. “Ssttttt” Tarikan tali kuda yang cepat cukup membahayakan. Kuda itu langsung bereaksi, mengangkat kepala dan telinga dan berhenti secara m
Adaline membalikan badan, bulu kuduknya berdiri. "Ada apa, Tuan Putri?" Marry bertanya, mengintip ke arah yang sama. "Tidak ada! Hanya Pangeran Louise," jawab Adaline dengan nada kesal. Marry mendekat. "Maksud Tuan Putri, anda terganggu karena Pangeran Louis sedang memperhatikan Anda?" Adaline mengedipkan mata. "Ya, dan aku sangat tidak suka itu!" Pria yang saat ini banyak diperbincangkan oleh kaum hawa. Potretnya selalu menduduki berita utama di surat kabar. Bukan hanya karena kelebihan fisiknya, tapi juga karena kepiawaiannya dalam menggantikan peran ayahnya dalam hal mengambil banyak keputusan. Dia mampu menstabilkan ekonomi kerajaan yang akhir-akhir ini sedang berada pada kondisi kurang menguntungkan. Para gadis menjadikan dia sebagai idola, dan para wanita bersuami sering kali menjadikan dia sebagai fantasi liar. Marry kembali kebingungan dengan tingkah laku aneh dari Adaline. “Yang Mulia, bukankah anda sangat mencintai Pangeran Louise? Kenapa berkata seolah anda membencin
“Jaya! bagaimana caraku terhubung dengannya!” Asih memekik sendirian, menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sebuah vas bunga, tempat dimana suara Jaya muncul bersamaan dengan api kecil seperti kemarin. Pikirannya campur aduk, mimpi buruk yang menyeramkan membuat batin nya tak tenang. “Apa yang terjadi pada bapak! Apa dia dalam bahaya! Tidak! Ini salah, tak seharusnya kubiarkan bapak sendirian.” Begitu bunyi otaknya, selalu memberi pertanyaan yang sama. Tidak ada! Vas itu menghilang. Asih kelabakan untuk sesaat, sebelum Marry kembali datang membawa beberapa orang termasuk dokter dan perawatnya. “Putri Adaline, dokter telah datang” Marry kembali menutup pintu, mempersilahkan orang-orang yang mereka panggil ahli medis untuk memeriksa tubuh Adaline. “Apa yang anda rasakan, Yang mulia?” tanya dokter itu saat menempelkan dua jari tangannya untuk mengecek detak nadi. “Anda berdebar, dan berkeringat dingin. Mungkinkah ada bagian lain yang terasa sakit?” Tambah dokter itu lagi.
Asih berjalan memasuki ruang kematian yang lantainya dibanjiri cairan berwarna merah segar, mayat tanpa kepala tergeletak tak beraturan. Semuanya berlumuran darah kental, anyir sekaligus busuk, udara panas di dalam ruangan menyumbat hidung. Ia sontak menutup rapat alat pernapasannya, linglung juga ketakutan, tanpa pikir panjang Asih mencoba keluar kembali. Sayangnya pintu mendadak terkunci “Tolong! tolong!” Asih memukul-mukul pintu, menahan diri dari rasa mual. “Buka pintunya, tolong aku!” Sekali lagi, Asih mengerang sambil terisak. Gaun putih miliknya nyaris tak terlihat bersih, sebab setiap kali ia bergerak, percikan darah akan mengenai dirinya. Asih kemudian mengangkat kedua tangan, memperhatikan telapak tangannya dengan seksama, ada noda darah, merambat melalui jari-jari, melabur seluruh tubuh sampai ke wajahnya. “Aaaaaaaaaaaaa” teriakan histeris, ia meringkuk di balik pintu berharap ada seseorang yang akan menolong. Tanpa sengaja tangan kanannya menyentuh sesuatu, seperti b
“Tunggu! kau salah paham, aku tidak ingin berseteru, aku hanya ingin meminta tolong!” “Tapi aku tidak ingin menolongmu, bagaimana jika kau saja yang menolongku agar bisa naik jabatan?” balas Viscount Erick, ia hanya perlu menyingkirkan Sekti dan melaporkan bukti bahwa Sekti memiliki Ilmu sesat, maka otomatis Raja akan menaikan statusnya, bisa jadi lebih tinggi dari Mahesa. “Tembak!” Viscount Erick melepeh batang rokok yang tersisa di mulutnya, menaikan satu kakinya di atas kursi agar bisa memfokuskan diri jika ada gagak putih yang datang. Ia telah mempelajari saat prajurit masa lampau menembak burung-burung itu untuk melumpuhkan musuh. Satu buah peluru mendarat tepat di dada kiri Sekti, dia tersungkur namun ia masih punya kekuatan untuk menahan. Sekti sudah cukup bersabar selama ini, dia tak pernah memberi perlawanan ataupun memberontak, ia telah membiarkan harga dirinya terinjak-injak demi putrinya yang begitu mencintai semua tentang Kerajaan Naverre dan Mahesa. Ia tidak ingin
Setelah berpikir semalaman, Sekti akhirnya membuat keputusan untuk mencoba meminta tolong pada Viscount Erick. Ia adalah pegawai pemerintahan yang sudah 3 tahunan ini menggantikan tugas Mahesa. Meski Sekti tahu ini akan cukup sulit, sebab Viscount Erick tidaklah seperti Mahesa yang sering berbaur dengan penduduk asli. Ia cukup sombong dan suka mengintimidasi para petani dan nelayan. “ Aku ingin bertemu dengan perwakilan kerajaan!” tukas Sekti pada penjaga. Ia mendatangi rumah peristirahatan yang dikhususkan untuk para pengabdi kerajaan. Berada di utara pesisir pantai, dengan berjarak hanya 10 meter dari bibir pantai. Satu-satunya bangunan termegah di pulau itu dan desain modern. “Tidak bisa! dia sedang sibuk!” tanpa ada rasa sopan santun, penjaga menolak kehadiran Sekti bahkan ironisnya sampai mengangkat senjata api di depannya.“Baiklah, tolong sampaikan padanya bahwa aku mencarinya.” Sekti mengalah, ia memilih pergi daripada harus berdebat dengan mereka. Orang-orang berkulit pucat
“Asih, bangun nak!” Sekti memeluk Asih, mengusap pelan pipi anaknya. Namun darah terus keluar dari pergelangan tangan Asih, luka sayatan pisau menganga layaknya sebuah sumber air berwarna merah. Asih sudah sering melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ia terlihat seperti mayat hidup akhir-akhir ini. Lebih mengerikan daripada saat ia menggila merindukan kekasih.Sekti kemudian menyobek kain hitam yang melekat pada baju bawahannya, secepat kilat membalut luka Asih dengan kain tersebut, mulut berkomat kamit, mata terpejam, sebuah kalimat kuno terlempar dari bibir lelaki tua, lalu wusss,... Keajaiban terjadi, darah itu seolah meliuk-liuk seperti cacing hidup, bergerak masuk secara teratur menuju kain hitam, bak tersedot ke dalam sayatan luka.“Tuk! Tuk!”Ketukan kecil mengganggu suasana, irama yang bisa membuat seorang Kepala Suku Tilar memiliki perasaan was-was. Tapi Sekti mencoba tetap terfokus pada kondisi Asih, ia memiringkan wajah, memastikan keadaan anaknya yang telah pulas tertid