Setelah berpikir semalaman, Sekti akhirnya membuat keputusan untuk mencoba meminta tolong pada Viscount Erick. Ia adalah pegawai pemerintahan yang sudah 3 tahunan ini menggantikan tugas Mahesa. Meski Sekti tahu ini akan cukup sulit, sebab Viscount Erick tidaklah seperti Mahesa yang sering berbaur dengan penduduk asli. Ia cukup sombong dan suka mengintimidasi para petani dan nelayan.
“ Aku ingin bertemu dengan perwakilan kerajaan!” tukas Sekti pada penjaga. Ia mendatangi rumah peristirahatan yang dikhususkan untuk para pengabdi kerajaan. Berada di utara pesisir pantai, dengan berjarak hanya 10 meter dari bibir pantai. Satu-satunya bangunan termegah di pulau itu dan desain modern. “Tidak bisa! dia sedang sibuk!” tanpa ada rasa sopan santun, penjaga menolak kehadiran Sekti bahkan ironisnya sampai mengangkat senjata api di depannya. “Baiklah, tolong sampaikan padanya bahwa aku mencarinya.” Sekti mengalah, ia memilih pergi daripada harus berdebat dengan mereka. Orang-orang berkulit pucat memang seperti itu, sangat arogan terhadap suku asli. Tidak ada jawaban atas permintaan sekti, kedua penjaga pintu itu hanya tersenyum merendahkan lalu dengan sengaja tertawa nyaring saat Sekti mulai berjalan menjauh. Penghinaan itu bukan sekali, dua kali ia alami, untunglah Sekti menganggapnya tidak terlalu serius. Jika mengikuti ego bisa jadi orang-orang berkulit pucat itu akan berubah menjadi abu. Memang setelah wilayahnya dikuasai orang asing, Suku Tilar tidak lagi mempunyai hak penuh atas daerah dan hasil panen. Setidaknya 40% harus mereka relakan untuk disetorkan kepada kerajaaan sebagai pajak. “Bapak Sekti, saya mau bicara!” Seorang pemuda bernama Jaya menghalangi langkah Sekti, ia tertatih sambil membawa ikan hasil tangkapannya. Postur tubuhnya cukup kecil, seperti tak cukup asupan nutrisi. “Ada, apa?” Pelan-pelan Jaya mengatur nafas, badannya gemetar jika ia ingat apa yang ia lihat semalam. “Anu, bisa tidak kita bicaranya di rumah saya atau nggak di rumah bapak. Nggak enak kalau ada yang dengar!” “Baik, mari di rumah saya saja!” Sesampainya di rumah sekti, Jaya masih terlihat ketakutan bahkan lebih parah, ia terus clingak-clinguk tidak jelas. “Pak, ini tentang gagak putih!” bisiknya lirih. Deg! Sekti tersentak tapi ia tetap berusaha keras untuk terlihat tenang. “Gagak putih?” “Iya, sebenarnya semalam aku melihatnya dia terbang di atap rumah Bapak!” “Jangan ngaco, bisa jadi kamu salah lihat. Hewan itu cuma mitos!” “Tidak-tidak! Sungguh saya tidak berbohong pak, sudah tiga kali ini saya melihatnya. Dan masih pada tempat yang sama, di atap rumah ini.” pandangan waspada terpampang jelas, Jaya sesekali mengecek keadaan luar rumah. “Mungkin itu merpati, kamu kan tahu sendiri anakku, Asih suka mengirimkan surat pada temannya!” “Tapi bentuknya kecil dan paruhnya,...” “Kecil sebab kamu lihatnya dari bawah, sudah–sudah jangan terlalu dibesar-besarkan juga tolong jangan lagi menyebut soal gagak putih. Takutnya malah membuat warga yang lain panik!” “Aku tidak berniat untuk memberitahukan ini pada orang lain dan, sungguh! Niatku sebenarnya ingin mempelajari ilmu leluhur.” Perlahan-lahan Jaya beranjak dari tempat duduknya, berlutut di depan Sekti. “Aku sungguh yakin, aku bisa merasakannya!” “Kamu ini kenapa? bangun! Ilmu-ilmu yang kau percayai itu hanyalah cerita belaka, kau tak perlu menganggapnya serius!” “Tapi aku yakin, bahkan rasa takut dan gemetar masih terasa sepanjang aku mengingatnya. Tatapan burung itu seperti mengundang separuh jiwaku untuk datang kepadanya.” “Huss jika kamu terus bicara aneh, orang-orang dari kerajaan akan menangkapmu. Bisa jadi kau akan dituduh sesat!” “Biarlah, aku sudah tidak tahan. Aku ingin mengusir mereka, sudah waktunya suku tilar bangkit. Kita tidak bisa terus-terusan dijadikan budak di daerah kita sendiri!” “Jangan bicara lagi, aku ingatkan kau! darah muda memang mudah mendidih. Kau harus mencari cara agar membuatnya cepat dingin. Kalau tidak, bukan hanya kau sendiri yang sengsara! Tapi seluruh keluargamu juga akan merasakan.” “Aku akan pura-pura lupa tentang pertemuan kita, jangan lagi mengungkit tentang gagak putih di hadapanku atau aku sendiri yang akan melaporkan kejahatanmu ini!” “Tapi bukankah kau pemimpin kami, bukankah kau harusnya memikirkan cara membebaskan kita semua dari belenggu orang-orang Asing!” “Sayangnya kepala suku hanyalah sebuah sebutan, aku tidak punya kuasa bahkan pendahulu-pendahulu ku juga sama!” Raut wajah Jaya menjadi semakin kecewa, dengan berat hati pemuda itu mengangguk. Dengan punggung membungkuk layaknya menanggung beban berat ia pergi mencari jalan pulang. Sulit bagi sekti untuk mengetahui niat asli Jaya yang sebenarnya, Ia harus tetap berhati-hati dalam berucap. Sebab bisa jadi Jaya hanya suruhan orang kerajaan yang sengaja mengacaukan pikiran agar bisa mengetahui rahasianya. Saat ini suku tilar sendiri sudah terpecah menjadi dua kubu, antara kubu pro dengan kerajaan dan kontra dengan kerajaan. Dan mereka sangat sulit dibedakan karena sama-sama mengaku mendukung penuh kemenangan suku. Aroma masakan tercium khas dari arah dapur, meja-meja dipenuhi oleh vas bunga dengan sirkulasi cahaya yang bagus, juga tidak ada lagi laba-laba yang menghinggapi dinding rumah. “Nampaknya sangat enak!” celetuk sekti pada putrinya. “Asih sedang belajar masak lagi bapak, sebab Mahesa akan kembali. Iya kan?” “Iya, betul.” “Jadi kapan katanya?” Asih membalikan badan setelah mematikan kompor. “Bapak belum yakin, Asih! Mahesa bilang banyak hal yang harus ia kerjakan. Lagipula perjalanan dari kerajaan ke rumah kita juga membutuhkan waktu lama.” “Apa Mahesa bilang sendiri? Dia mengirim surat? Mana Asih ingin lihat suratnya!” wajah Asih terlihat berseri-seri. “Tepatnya pesan yang terselip di surat resmi, perwakilan dari kerajaan yang memberitahu bapak. Jadi tidak sembarang orang bisa membacanya.” "Ah Bapak, memangnya siapa perwakilan kerajaan saat ini? Asih ingin menemuinya!” “Jangan, itu melanggar peraturan! sudah kamu di rumah saja. Bapak akan mengatur semuanya.” “Terima kasih bapak, Asih sayang Bapak!” Pelukan hangat dari sang putri membuat sekti semakin merasa bersalah. Hari-hari menjadi sebuah penantian dan Sekti masih belum dapat bertemu dengan perwakilan kerajaan. Seakan dipersulit dengan perlakuan tidak mengenakan, sindiran terang-terangan juga sering ia dengar dari para penjaga. Kali ini sekti sudah membulatkan tekad, ia akan menunggu di depan rumah sampai perwakilan penjaga itu keluar. Tak apa, lagi pula ia sudah kehilangan kehormatannya sejak rakyatnya sendiri diperbudak. Jadi apalagi yang harus dipertahankan? “Berlutut, mungkin Viscount Erick akan keluar untuk menemui mu!” “Ayo berlutut!” Dengan menggigit sebatang rokok, 2 orang penjaga saling melempar tawa bergantian, seperti sedang melatih hewan peliharaannya untuk patuh. "Siapa yang kau suruh berlutut! Kalian tak berguna!” Celetuk dari arah dalam, postur tinggi semampai dengan perut yang sedikit menonjol. Viscount Erick tersenyum menyeringai. “Dia adalah kepala suku, jangan hancurkan wibawanya. Kalian bodoh!” Sarkasnya kemudian menepuk kasar pundak Sekti. “Maafkan aku Kepala Suku, aku telah lalai mendidik anak buahku!” “Tak apa, Tuan! Sebenarnya mereka cukup ramah!” Balas Sekti, ia mengangkat ujung bibirnya, menunjukan wajah sinis. Bahak tawa memasuki telinga, layaknya mengabaikan arti dibalik ucapan Sekti, Erick segera menggiring Sekti untuk segera memasuki kediaman. Jajaran prajurit dengan wajah serius berbaris memutari ruangan, tak sedikit pula yang telah siap siaga dengan senjata apinya. “Apa maksudnya ini?” Tanya Sekti dengan pandangan penuh curiga, pasalnya mata para prajurit itu tak lepas darinya. “Haha, abaikan saja mereka. Mereka hanya pemburu burung yang sedang senggang. Sengaja kusuruh berjaga disini, kau tahu kan! Ah, anggaplah pajangan.” Ucapan Erick terdengar basa-basi, tapi Sekti tentu mengerti bahwa itu merupakan sindiran keras, “Kau mencurigaiku?” “Ohhh, kau mengerti rupanya. Begitu pintarnya kepala suku kita! Jadi sekarang, apa bisa kita mulai?”“Tunggu! kau salah paham, aku tidak ingin berseteru, aku hanya ingin meminta tolong!” “Tapi aku tidak ingin menolongmu, bagaimana jika kau saja yang menolongku agar bisa naik jabatan?” balas Viscount Erick, ia hanya perlu menyingkirkan Sekti dan melaporkan bukti bahwa Sekti memiliki Ilmu sesat, maka otomatis Raja akan menaikan statusnya, bisa jadi lebih tinggi dari Mahesa. “Tembak!” Viscount Erick melepeh batang rokok yang tersisa di mulutnya, menaikan satu kakinya di atas kursi agar bisa memfokuskan diri jika ada gagak putih yang datang. Ia telah mempelajari saat prajurit masa lampau menembak burung-burung itu untuk melumpuhkan musuh. Satu buah peluru mendarat tepat di dada kiri Sekti, dia tersungkur namun ia masih punya kekuatan untuk menahan. Sekti sudah cukup bersabar selama ini, dia tak pernah memberi perlawanan ataupun memberontak, ia telah membiarkan harga dirinya terinjak-injak demi putrinya yang begitu mencintai semua tentang Kerajaan Naverre dan Mahesa. Ia tidak ingin
Asih berjalan memasuki ruang kematian yang lantainya dibanjiri cairan berwarna merah segar, mayat tanpa kepala tergeletak tak beraturan. Semuanya berlumuran darah kental, anyir sekaligus busuk, udara panas di dalam ruangan menyumbat hidung. Ia sontak menutup rapat alat pernapasannya, linglung juga ketakutan, tanpa pikir panjang Asih mencoba keluar kembali. Sayangnya pintu mendadak terkunci “Tolong! tolong!” Asih memukul-mukul pintu, menahan diri dari rasa mual. “Buka pintunya, tolong aku!” Sekali lagi, Asih mengerang sambil terisak. Gaun putih miliknya nyaris tak terlihat bersih, sebab setiap kali ia bergerak, percikan darah akan mengenai dirinya. Asih kemudian mengangkat kedua tangan, memperhatikan telapak tangannya dengan seksama, ada noda darah, merambat melalui jari-jari, melabur seluruh tubuh sampai ke wajahnya. “Aaaaaaaaaaaaa” teriakan histeris, ia meringkuk di balik pintu berharap ada seseorang yang akan menolong. Tanpa sengaja tangan kanannya menyentuh sesuatu, seperti b
“Jaya! bagaimana caraku terhubung dengannya!” Asih memekik sendirian, menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sebuah vas bunga, tempat dimana suara Jaya muncul bersamaan dengan api kecil seperti kemarin. Pikirannya campur aduk, mimpi buruk yang menyeramkan membuat batin nya tak tenang. “Apa yang terjadi pada bapak! Apa dia dalam bahaya! Tidak! Ini salah, tak seharusnya kubiarkan bapak sendirian.” Begitu bunyi otaknya, selalu memberi pertanyaan yang sama. Tidak ada! Vas itu menghilang. Asih kelabakan untuk sesaat, sebelum Marry kembali datang membawa beberapa orang termasuk dokter dan perawatnya. “Putri Adaline, dokter telah datang” Marry kembali menutup pintu, mempersilahkan orang-orang yang mereka panggil ahli medis untuk memeriksa tubuh Adaline. “Apa yang anda rasakan, Yang mulia?” tanya dokter itu saat menempelkan dua jari tangannya untuk mengecek detak nadi. “Anda berdebar, dan berkeringat dingin. Mungkinkah ada bagian lain yang terasa sakit?” Tambah dokter itu lagi.
Adaline membalikan badan, bulu kuduknya berdiri. "Ada apa, Tuan Putri?" Marry bertanya, mengintip ke arah yang sama. "Tidak ada! Hanya Pangeran Louise," jawab Adaline dengan nada kesal. Marry mendekat. "Maksud Tuan Putri, anda terganggu karena Pangeran Louis sedang memperhatikan Anda?" Adaline mengedipkan mata. "Ya, dan aku sangat tidak suka itu!" Pria yang saat ini banyak diperbincangkan oleh kaum hawa. Potretnya selalu menduduki berita utama di surat kabar. Bukan hanya karena kelebihan fisiknya, tapi juga karena kepiawaiannya dalam menggantikan peran ayahnya dalam hal mengambil banyak keputusan. Dia mampu menstabilkan ekonomi kerajaan yang akhir-akhir ini sedang berada pada kondisi kurang menguntungkan. Para gadis menjadikan dia sebagai idola, dan para wanita bersuami sering kali menjadikan dia sebagai fantasi liar. Marry kembali kebingungan dengan tingkah laku aneh dari Adaline. “Yang Mulia, bukankah anda sangat mencintai Pangeran Louise? Kenapa berkata seolah anda membencin
"Yang Mulia," sapa Lucas,memberi hormat dengan membungkuk. Lucas langsung menghentikan obrolannya dengan seorang prajurit begitu melihat Louise datang. "Apa yang membawa Anda ke sini?" Louise tak menghiraukan, malah memfokuskan pandangannya pada Adaline yang berada balkon kastil, bahkan setelah gadis itu berpaling dia masih memandangi punggungnya. "Tidak ada," jawabnya singkat. Banyak hal rupanya yang membuat Louise penasaran, dibalik penampilan Adaline yang berantakan menyimpan sebuah teka-teki. Ada gejolak yang membara ketika melihat Adaline tersenyum pada Lucas.”Sekali penggoda tetaplah penggoda!” Gumam Louise lirih lalu berjalan pergi dengan kudanya. Louise selalu beranggapan bahwa Adaline hanyalah seorang mata-mata yang dikirim oleh keluarga Duke. Dia tak lebih dari seolah wanita penggoda yang mengobarkan diri untuk mendapat informasi. “Ssttttt” Tarikan tali kuda yang cepat cukup membahayakan. Kuda itu langsung bereaksi, mengangkat kepala dan telinga dan berhenti secara m
Marry dengan lembut mengambil lotion dan parfume, lalu mengoleskannya pada kulit Adaline. “ Ini adalah aroma kesukaan anda, Yang Mulia. Di ekstrak dari bunga Freesia yang langka. Saya harap aroma ini akan membangkitkan ingatan anda,”“Sepertinya kau tak perlu melakukan ini, aku bisa sendiri.” Asih merasa tak nyaman, ia berusaha terus menghindar saat Marry menyentuh kulit Adaline. “Tidak, Yang Mulia. Saya sudah lama melayani anda, dan ini adalah hal biasa. Lagipula seorang Putri Mahkota tidak diperbolehkan melakukan segala sesuatu sendirian. Mandi maupun berganti baju harus dibantu oleh pelayan.”“Tapi…”“Saya sudah seperti bayangan anda, jadi percayalah…”Asih menyunggingkan bibirnya lalu membiarkan Marry melakukan tugasnya, walaupun terasa sedikit geli saat mengoleskan lotion itu.Bulan terbenam dalam kegelapan, setengah cahayanya di lahab kabut tebal. Disusul dengan angin dari arah barat yang kemudian datang menyapa, kedua tangannya menabur serbuk sari yang ia curi dari ribuan bung
Cermin memantulkan keindahan paras Adaline, Rambut indahnya ditata sedemikian rupa oleh Marry, bibirnya mengatup, pewarna merah yang dioleskan oleh Marry memberikan kesan sensual. “Apa biasanya aku berdandan seperti ini?”“Iya, Yang Mulia,” Jawab Marry mengangguk. “Baiklah, lanjutkan!” Riasan tebal dengan pilihan warna yang terlalu mencolok, wajah Adaline menjadi sedikit lebih dewasa dibandingkan usianya. “Kau bilang, aku sangat mencintai Louise? Bisa kau beritahu aku bagaimana hubunganku dengan Louise?”Asih mendongak pada Marry yang masih sibuk menata rambutnya. “Hubungan anda sebenarnya tidak cukup baik, Pangeran Louise,...”Marry berhenti sejenak, ia mulai ragu meneruskan ucapan. Sebab ia sadar bahwa semua ingatan Adaline tentang Louise adalah hal yang menyakitkan. “Ceritakan saja,”“Yang Mulia,”“Kenapa?”“Saya tidak tega, semua ingatan yang anda miliki tentang pangeran sangatlah menyakitkan.”“Tak apa, aku siap menerimanya.” Asih memutar tubuh, menunjukan senyuman manis untuk
Semerbak Aroma dupa menebarkan wewangian, telingaku masih bisa mendengar hentakan kaki yang begitu mengganggu ketenangan, ditambah cahaya remang-remang seperti sebuah latar belakang yang terus terekam oleh mataku. ‘’Bangun!” kata itu bagaikan jeritan mimpi. “Asih, ayo bangun!” Seruan yang semakin intens, mendorong keras jiwaku pada jurang tak berujung. Ahh sakit sekali! dadaku seperti tertusuk tombak berkali-kali, sesak tapi terbungkam, nafasku tercekik habis. Apakah aku akan mati? Apa aku telah gagal? Aku tak boleh cepat menyerah, Bapak membutuhkanku. Jika ragaku ada, mungkin akan terlihat jelas betapa hancur leburnya saat tercabik oleh sesuatu yang tak kasat mata. Bisa jadi daging yang ada di tubuhku juga telah tersayat habis meninggalkan tulang putih bersimbah darah. “Sang Putri telah bangun, Ia tersadar!” teriakan nyaring terdengar keras sekali, mataku masih setengah menutup, aku belum bisa melihat dengan jelas. Tubuh ini begitu lemah, bahkan aku belum bisa menggerakan ujung ja
Cermin memantulkan keindahan paras Adaline, Rambut indahnya ditata sedemikian rupa oleh Marry, bibirnya mengatup, pewarna merah yang dioleskan oleh Marry memberikan kesan sensual. “Apa biasanya aku berdandan seperti ini?”“Iya, Yang Mulia,” Jawab Marry mengangguk. “Baiklah, lanjutkan!” Riasan tebal dengan pilihan warna yang terlalu mencolok, wajah Adaline menjadi sedikit lebih dewasa dibandingkan usianya. “Kau bilang, aku sangat mencintai Louise? Bisa kau beritahu aku bagaimana hubunganku dengan Louise?”Asih mendongak pada Marry yang masih sibuk menata rambutnya. “Hubungan anda sebenarnya tidak cukup baik, Pangeran Louise,...”Marry berhenti sejenak, ia mulai ragu meneruskan ucapan. Sebab ia sadar bahwa semua ingatan Adaline tentang Louise adalah hal yang menyakitkan. “Ceritakan saja,”“Yang Mulia,”“Kenapa?”“Saya tidak tega, semua ingatan yang anda miliki tentang pangeran sangatlah menyakitkan.”“Tak apa, aku siap menerimanya.” Asih memutar tubuh, menunjukan senyuman manis untuk
Marry dengan lembut mengambil lotion dan parfume, lalu mengoleskannya pada kulit Adaline. “ Ini adalah aroma kesukaan anda, Yang Mulia. Di ekstrak dari bunga Freesia yang langka. Saya harap aroma ini akan membangkitkan ingatan anda,”“Sepertinya kau tak perlu melakukan ini, aku bisa sendiri.” Asih merasa tak nyaman, ia berusaha terus menghindar saat Marry menyentuh kulit Adaline. “Tidak, Yang Mulia. Saya sudah lama melayani anda, dan ini adalah hal biasa. Lagipula seorang Putri Mahkota tidak diperbolehkan melakukan segala sesuatu sendirian. Mandi maupun berganti baju harus dibantu oleh pelayan.”“Tapi…”“Saya sudah seperti bayangan anda, jadi percayalah…”Asih menyunggingkan bibirnya lalu membiarkan Marry melakukan tugasnya, walaupun terasa sedikit geli saat mengoleskan lotion itu.Bulan terbenam dalam kegelapan, setengah cahayanya di lahab kabut tebal. Disusul dengan angin dari arah barat yang kemudian datang menyapa, kedua tangannya menabur serbuk sari yang ia curi dari ribuan bung
"Yang Mulia," sapa Lucas,memberi hormat dengan membungkuk. Lucas langsung menghentikan obrolannya dengan seorang prajurit begitu melihat Louise datang. "Apa yang membawa Anda ke sini?" Louise tak menghiraukan, malah memfokuskan pandangannya pada Adaline yang berada balkon kastil, bahkan setelah gadis itu berpaling dia masih memandangi punggungnya. "Tidak ada," jawabnya singkat. Banyak hal rupanya yang membuat Louise penasaran, dibalik penampilan Adaline yang berantakan menyimpan sebuah teka-teki. Ada gejolak yang membara ketika melihat Adaline tersenyum pada Lucas.”Sekali penggoda tetaplah penggoda!” Gumam Louise lirih lalu berjalan pergi dengan kudanya. Louise selalu beranggapan bahwa Adaline hanyalah seorang mata-mata yang dikirim oleh keluarga Duke. Dia tak lebih dari seolah wanita penggoda yang mengobarkan diri untuk mendapat informasi. “Ssttttt” Tarikan tali kuda yang cepat cukup membahayakan. Kuda itu langsung bereaksi, mengangkat kepala dan telinga dan berhenti secara m
Adaline membalikan badan, bulu kuduknya berdiri. "Ada apa, Tuan Putri?" Marry bertanya, mengintip ke arah yang sama. "Tidak ada! Hanya Pangeran Louise," jawab Adaline dengan nada kesal. Marry mendekat. "Maksud Tuan Putri, anda terganggu karena Pangeran Louis sedang memperhatikan Anda?" Adaline mengedipkan mata. "Ya, dan aku sangat tidak suka itu!" Pria yang saat ini banyak diperbincangkan oleh kaum hawa. Potretnya selalu menduduki berita utama di surat kabar. Bukan hanya karena kelebihan fisiknya, tapi juga karena kepiawaiannya dalam menggantikan peran ayahnya dalam hal mengambil banyak keputusan. Dia mampu menstabilkan ekonomi kerajaan yang akhir-akhir ini sedang berada pada kondisi kurang menguntungkan. Para gadis menjadikan dia sebagai idola, dan para wanita bersuami sering kali menjadikan dia sebagai fantasi liar. Marry kembali kebingungan dengan tingkah laku aneh dari Adaline. “Yang Mulia, bukankah anda sangat mencintai Pangeran Louise? Kenapa berkata seolah anda membencin
“Jaya! bagaimana caraku terhubung dengannya!” Asih memekik sendirian, menoleh ke kiri dan ke kanan. Mencari sebuah vas bunga, tempat dimana suara Jaya muncul bersamaan dengan api kecil seperti kemarin. Pikirannya campur aduk, mimpi buruk yang menyeramkan membuat batin nya tak tenang. “Apa yang terjadi pada bapak! Apa dia dalam bahaya! Tidak! Ini salah, tak seharusnya kubiarkan bapak sendirian.” Begitu bunyi otaknya, selalu memberi pertanyaan yang sama. Tidak ada! Vas itu menghilang. Asih kelabakan untuk sesaat, sebelum Marry kembali datang membawa beberapa orang termasuk dokter dan perawatnya. “Putri Adaline, dokter telah datang” Marry kembali menutup pintu, mempersilahkan orang-orang yang mereka panggil ahli medis untuk memeriksa tubuh Adaline. “Apa yang anda rasakan, Yang mulia?” tanya dokter itu saat menempelkan dua jari tangannya untuk mengecek detak nadi. “Anda berdebar, dan berkeringat dingin. Mungkinkah ada bagian lain yang terasa sakit?” Tambah dokter itu lagi.
Asih berjalan memasuki ruang kematian yang lantainya dibanjiri cairan berwarna merah segar, mayat tanpa kepala tergeletak tak beraturan. Semuanya berlumuran darah kental, anyir sekaligus busuk, udara panas di dalam ruangan menyumbat hidung. Ia sontak menutup rapat alat pernapasannya, linglung juga ketakutan, tanpa pikir panjang Asih mencoba keluar kembali. Sayangnya pintu mendadak terkunci “Tolong! tolong!” Asih memukul-mukul pintu, menahan diri dari rasa mual. “Buka pintunya, tolong aku!” Sekali lagi, Asih mengerang sambil terisak. Gaun putih miliknya nyaris tak terlihat bersih, sebab setiap kali ia bergerak, percikan darah akan mengenai dirinya. Asih kemudian mengangkat kedua tangan, memperhatikan telapak tangannya dengan seksama, ada noda darah, merambat melalui jari-jari, melabur seluruh tubuh sampai ke wajahnya. “Aaaaaaaaaaaaa” teriakan histeris, ia meringkuk di balik pintu berharap ada seseorang yang akan menolong. Tanpa sengaja tangan kanannya menyentuh sesuatu, seperti b
“Tunggu! kau salah paham, aku tidak ingin berseteru, aku hanya ingin meminta tolong!” “Tapi aku tidak ingin menolongmu, bagaimana jika kau saja yang menolongku agar bisa naik jabatan?” balas Viscount Erick, ia hanya perlu menyingkirkan Sekti dan melaporkan bukti bahwa Sekti memiliki Ilmu sesat, maka otomatis Raja akan menaikan statusnya, bisa jadi lebih tinggi dari Mahesa. “Tembak!” Viscount Erick melepeh batang rokok yang tersisa di mulutnya, menaikan satu kakinya di atas kursi agar bisa memfokuskan diri jika ada gagak putih yang datang. Ia telah mempelajari saat prajurit masa lampau menembak burung-burung itu untuk melumpuhkan musuh. Satu buah peluru mendarat tepat di dada kiri Sekti, dia tersungkur namun ia masih punya kekuatan untuk menahan. Sekti sudah cukup bersabar selama ini, dia tak pernah memberi perlawanan ataupun memberontak, ia telah membiarkan harga dirinya terinjak-injak demi putrinya yang begitu mencintai semua tentang Kerajaan Naverre dan Mahesa. Ia tidak ingin
Setelah berpikir semalaman, Sekti akhirnya membuat keputusan untuk mencoba meminta tolong pada Viscount Erick. Ia adalah pegawai pemerintahan yang sudah 3 tahunan ini menggantikan tugas Mahesa. Meski Sekti tahu ini akan cukup sulit, sebab Viscount Erick tidaklah seperti Mahesa yang sering berbaur dengan penduduk asli. Ia cukup sombong dan suka mengintimidasi para petani dan nelayan. “ Aku ingin bertemu dengan perwakilan kerajaan!” tukas Sekti pada penjaga. Ia mendatangi rumah peristirahatan yang dikhususkan untuk para pengabdi kerajaan. Berada di utara pesisir pantai, dengan berjarak hanya 10 meter dari bibir pantai. Satu-satunya bangunan termegah di pulau itu dan desain modern. “Tidak bisa! dia sedang sibuk!” tanpa ada rasa sopan santun, penjaga menolak kehadiran Sekti bahkan ironisnya sampai mengangkat senjata api di depannya.“Baiklah, tolong sampaikan padanya bahwa aku mencarinya.” Sekti mengalah, ia memilih pergi daripada harus berdebat dengan mereka. Orang-orang berkulit pucat
“Asih, bangun nak!” Sekti memeluk Asih, mengusap pelan pipi anaknya. Namun darah terus keluar dari pergelangan tangan Asih, luka sayatan pisau menganga layaknya sebuah sumber air berwarna merah. Asih sudah sering melakukan percobaan bunuh diri, bahkan ia terlihat seperti mayat hidup akhir-akhir ini. Lebih mengerikan daripada saat ia menggila merindukan kekasih.Sekti kemudian menyobek kain hitam yang melekat pada baju bawahannya, secepat kilat membalut luka Asih dengan kain tersebut, mulut berkomat kamit, mata terpejam, sebuah kalimat kuno terlempar dari bibir lelaki tua, lalu wusss,... Keajaiban terjadi, darah itu seolah meliuk-liuk seperti cacing hidup, bergerak masuk secara teratur menuju kain hitam, bak tersedot ke dalam sayatan luka.“Tuk! Tuk!”Ketukan kecil mengganggu suasana, irama yang bisa membuat seorang Kepala Suku Tilar memiliki perasaan was-was. Tapi Sekti mencoba tetap terfokus pada kondisi Asih, ia memiringkan wajah, memastikan keadaan anaknya yang telah pulas tertid