"Sialan, ini semakin tak nyaman!" keluh seorang wanita muda berjalan tunggang langgang tak tentu arah.
Di sebuah klub malam, Aleena yang berhasil kabur dari teman prianya tanpa sengaja menabrak seorang pria berpakaian formal. Tangan serta lengannya yang kokoh mencegah agar Aleena tak terjatuh ke lantai. Sentuhan tersebut membuat tubuhnya menegang, hingga dirinya memegang erat lengan pria itu. "Lepas." Satu kata menusuk terlontar dari mulut pria asing itu. Menatap Aleena tajam dan terdengar menggeram marah akibat ucapannya tak digubris. Aleena yang terjebak karena alkohol dan obat perangsang pun tak mampu menanggapinya. Pria di depannya ini mengeluarkan wangi parfum mahal khas kelas atas, ditambah tubuh kekar menggoda di balik balutan kemeja serta mantelnya yang mahal. Lalu kepala Aleena mendongak, menatap sang pria dengan sayu disertai napas berat. Wajahnya yang memerah tak Aleena sadari, hanya saja, tubuhnya semakin panas di dekat pria itu. "T—tuan... tolong...." Wajah pria yang sebelumnya terlihat kesal kini berubah menjadi penasaran. Ia menyempatkan diri untuk melihat keadaan diri Aleena sebelum dengan kasar menarik gadis itu untuk pergi dari sana. Pantulan lampu di lantai serta suasana gelap klub malam membuat Aleena tak tahu apa yang terjadi saat pria asing tersebut membawa dirinya ke toilet dan mengunci pintunya saat masuk. "Jangan berusaha keluar," ucapnya dingin. "Sangat muda, juga—segar," gumamnya main-main sambil menyeringai. Pria itu berjalan mendekat lalu menarik tubuh kecil Aleena untuk menempel ke badannya. Tubuh itu terasa gemetar saat terjepit diantara pria asing dengan dinding toilet yang dingin. Ia kemudian meraba wajah lalu merayap ke tengkuk Aleena, membuatnya hampir berbisik saat ia membawa wajahnya lebih dekat ke leher gadis itu demi mengendus aromanya. "Hmm, kau wangi, sayang." "Panas, tubuhku panas. Tuan... tolong aku," lirih Aleena frustasi, meracau di depan pria asing dengan tubuh menggeliat tak tenang. "Aku butuh sesuatu." Suara desah Aleena serta suhu tubuh yang naik membuat pria itu ternganga beberapa saat, sebelum tersenyum miring lagi dan membawa ibu jarinya ke bibir Aleena mengusapnya sensual. Tampaknya pria itu sangat tertarik dengan paras cantik Aleena sendiri. "Apa yang kamu butuhkan saat ini, sayangku?" Dia kemudian membawa ibu jari itu turun untuk membuka beberapa kancing atas pakaian milik Aleena. "Mungkin bermain di toilet tidaklah buruk, bagaimana pendapatmu?" Tangannya yang panas mengusap area terbuka di depan dada Aleena, menjamahnya dan memancing hasrat terpendam selama beberapa menit terakhir. Aleena telah kehilangan kewarasannya. "Apa pun... lakukan apa pun untukku, ku mohon, Tuan. Lepaskan gejolak panas di tubuhku ini, sungguh sangat menyiksa rasanya!" Sebelum pria itu melanjutkannya, tangannya terhenti dan menatap ke sekeliling. Dia mendesah kesal, tanpa aba-aba tangan serta lengannya mendekap tubuh Aleena sebelum digendong, menutupi bagian depan tubuh gadis yang ingin dia rasakan malam ini. Sepertinya dia butuh tempat layak untuk malam yang panjang. "Bersabarlah, sayang. Aku bisa memberikan kenikmatan yang kau dambakan, menghancurkan mu di atas ranjang adalah tujuan ku saat ini. Akan ku isi lubang jal*ng mu itu!" desis si pria, menahan gejolak gairah. Pria itu menggendong Aleena ke dalam dekapannya, mereka ke luar dari klub dan berjalan ke parkiran. Lokasi yang dituju sekarang adalah hotel bintang lima terdekat. Melihat wajah Aleena membuat kemaluannya menggembung di balik resleting celananya, dia mengumpat sesekali akibat tak sabar. Tibanya di sana, si pria memesan kamar hotel tipe suite room. Tidak menunggu lama ketika mendapatkan kamar dan masuk ke kamar mewah tersebut, dia langsung memberikan ciuman menyakitkan untuk Aleena. Suasana panas berderak di antara keduanya. "Haah, kau cantik sekali, gadis kecilku. Nikmati saja sentuhan dari ku, respon yang baik, seolah kau adalah pelac*r haus sentuhan pria," hinanya, suaranya merendahkan sambil mengecup dan menggigit kulit sensitif Aleena yang meninggalkan jejak panas. "Mari bercinta, sayang." *** Beberapa jam kemudian. Pria matang berumur 35 tahun tengah menyesap sampanye, sebuah minuman alkohol dengan anggur berkualitas tinggi. Dia menggoyangkan gelasnya sambil memandangi tubuh gadis cantik yang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya yang gagah perkasa bertelanjang dada, hanya mengenakan celana bahan melekat di kaki jenjangnya. Bekas cakaran di kulitnya tercetak jelas, bukti fisik jejak percintaan yang panas beberapa menit lalu. "Haah, rasa perawan... benar-benar berbeda. Lebih manis dari minuman anggur ini," gumamnya terkagum. "Dia masih sangat bersih, polos tak tersentuh. Ah, nama... aku butuh namanya." Tangannya mengambil ponsel di meja kopi di sampingnya. Karena sedang malas mengobrol, dia memutuskan mengetik pesan singkat ke tangan kanannya. Di mana pesan tersebut berisikan : "Cari tahu identitas gadis yang sedang bersamaku." Kemudian pria itu menaruh ponsel kembali dan memilih mengikuti kata hatinya agar mau ikut terbaring di samping—Aleena. Perlahan dia menaiki ranjang, menghadap wajah cantik Aleena yang tampak tenang. Masih sangat menyegarkan, di mana dia melepaskan hasrat menggebu selama bertahun-tahun karena telah bercerai dari sang mantan istri. Kini malah menerima seorang wanita muda yang membiarkan nafsu binatangnya kian melambung. Sungguh, dia terkesan. Itu semua tentang pertahanannya, hancur tanpa celah. "Hmm, gadis kecilku yang manis. Ya, dia bisa... jadi milikku. Kau milikku, sayang." Tangan besarnya meraba lembut punggung Aleena dan merapatkan tubuh telanjangnya untuk dipeluk oleh pria asing itu. "Mari berkenalan setelah kau membuka mata, sayangku. Jangan harap untuk bisa berlari menjauh." Kecupan ringan mendarat di dahi Aleena. Perasaan hangat di dalam hati sang pria sangat berbeda ketimbang dulu, ketika bersama mantan istrinya. Malah sekarang dirinya jatuh karena nafsu, entah mungkin selanjutnya jatuh cinta atau ada jatuh lainnya. Tapi mata tajam itu tengah memancarkan kilatan lebih dari itu semua. Matanya ikut tertutup sambil memeluk pinggang ramping Aleena, wajahnya tenggelam di rambut wangi menenangkan milik Aleena. Dia menikmati momen intim ini bersama gadis manis itu. *** Dua jam kemudian. Aleena merasakan sakit luar biasa merambat ke seluruh tubuh. Mulutnya meringis pelan, karena ditambah beban menimpa dirinya. Hingga kepalanya mendongak, melihat pria matang yang dinilai lebih tua darinya sedang memeluk Aleena kala tubuhnya masih telanjang. "Tuan, Tuan. Singkirkan tangan anda, berat!" keluhnya, sambil susah payah mengangkat lengan besar si pria. Pria itu membuka matanya, tak perlu berlama-lama, kesadarannya pun kembali. Masih jam enam pagi. Dia bangun dan mengungkung Aleena, membuat gadis itu membelalakkan matanya terkejut. Bahkan selimut yang menutupi tubuh telanjang Aleena tersingkir begitu mudah. "Pagi masih muda, kau membangunkan ku terlalu awal, sayang," bisiknya, suara beratnya bergemuruh di dadanya. "T—tuan...," cicit Aleena, gadis itu sulit berkata-kata. Jarak keduanya semakin tipis, hingga Aleena menahan napas. Tangan besar itu mengusap kasar, nyaris lembut pada tengkuk Aleena. Kepalanya turun, berbisik di telinga gadisnya, menghantarkan gemetar antara takut dan merinding akan sesuatu. "Bernapaslah, sayangku. Jangan buat aku memakan mu lagi, dengan lahap dan rasa lapar yang tak kunjung puas." Hidungnya mengendus aroma melalui leher jenjang Aleena, kian membuat napas gadis itu tercekat dengan mata terpejam erat. "Beruntung kau bertemu aku, gadis kecil, karena aku masih menyisakan kewarasan untukmu seorang." Ia menarik diri. Matanya yang tajam menatap tubuh polos Aleena di bawahnya seperti tengah menikmati suguhan dari pesta pora. Tangannya menarik Aleena supaya duduk dengan benar. Aleena sendiri berusaha mengumpulkan keberaniannya, karena aura dominan pria di depannya kuat sekali menekannya sejak bangun tidur. "Mandilah, aku akan mengantarmu pulang nanti. Jangan membantah, atau aku akan meniduri mu lagi... dengan lebih keras." Aleena menelan ludah secara kasar yang di susul anggukan patuh. Tapi, baru kakinya menginjak lantai, area privasinya terasa sakit. Tenggorokannya terasa kering, mulutnya meringis pelan, belum apa-apa tubuhnya langsung di gendong ala pengantin oleh pria itu. Pria itu membawa Aleena ke kamar mandi dan mendudukkan dirinya di samping wastafel yang tinggi. Pria itu bergerak tanpa mengatakan apa pun, melakukan sesuatu yang Aleena tak minta, namun sangat berarti. Bak mandi terisi air hangat beberapa saat kemudian. Aleena digendong kembali dan di letakkan secara lembut di dalam bak mandi, sebelum pergi, pria itu menarik dagu Aleena agar melihatnya. "Gadis pintar, begini saja... jangan banyak bicara dan pilih patuh. Aku lebih suka ini." Pria itu mengusap bibir Aleena dengan jempolnya, kemudian dia melumat bibir Aleena cukup kasar, tapi itu langsung terputus setelahnya. "Kalau aku menuruti kemauan binatang buas dalam diriku, mungkin, mungkin saja kau akan sulit berjalan berhari-hari nanti." Setelahnya dia menghempaskan dagu Aleena sedikit kasar, lalu ia melenggang pergi meninggalkan sosok Aleena yang menitikkan air mata pada akhirnya. Kepala gadis itu tertunduk lemas. Merasa terhina, direndahkan, dan tak berdaya di depan pria itu. Tangisannya dia redam dengan membekap mulutnya sendiri sambil menggelengkan kepala. Kerentanan terhadap situasi membuatnya tak bisa berkutik, ketika pria dominan tersebut tidak memberinya ruang bernapas lega. 'Ya, Tuhan. Kali ini cobaan apa lagi?' pikir Aleena sendu. Dengan demikian, Aleena sendiri berusaha kuat walau sisi terang tampak tak berpihak pada dirinya."Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku." Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu." "Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan. Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis. "Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena.
Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau mungkin seseorang yang lebih dari itu. "Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana. "Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang ingin Tuan tambahkan?" Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat. "Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri. Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia menenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap
"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam. Bahkan, semalam Pavel tampak kasar, mungkin karena pertemuan yang membuat waktunya terbuang dan tak mendapatkan momen menarik. Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut. "Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku. Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pav
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan si
Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel. Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Mor
Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman
Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh
Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima
Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me
Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har
Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.
"Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje
Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas
Aleena menerima pesan singkat di ponselnya. Nomor asing tertera di layar, diikuti dengan pesan berikutnya yang langsung menyebutkan identitas sang pengirim—Louise.Wanita itu benar-benar tidak tahu malu. Sepertinya dia sangat takut kehilangan Pavel, atau lebih tepatnya, takut Pavel menikahi gadis yang jauh lebih muda darinya. Aleena mendengus, menyadari bahwa dirinya memang tidak lebih unggul dalam banyak hal, kecuali satu: usianya yang lebih muda.Tapi meski begitu, rasa percaya dirinya tetap tidak kokoh. Ada bagian dari dirinya yang masih ragu, yang masih merasa cemas meskipun ia mencoba menyangkalnya.Dengan helaan napas kasar, Aleena membuka pesan itu. Dan saat itu juga, dunianya seakan runtuh.Matanya membesar, napasnya tercekat. Foto yang dikirimkan Louise menampilkan sosok pria bertelanjang punggung membelakangi kamera, memperlihatkan tato yang menutupi bekas luka. Tato yang sangat familiar, sangat dikenalnya. Itu tubuh Pavel.Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel, dadanya
Tamparan keras kembali mendarat di wajah Louise, kali ini dari pria yang seharusnya menjadi sekutunya. Mereka memiliki tujuan yang sama—menghancurkan Pavel, menghancurkan bisnis dan kehidupannya, memastikan pria itu jatuh tanpa bisa bangkit kembali."Kau bodoh! Sangat bodoh!" Pria itu menggeram, suaranya tajam dan penuh amarah. "Seharusnya kau lebih cerdas, lebih taktis! Bukan bertindak gegabah dengan mendatangi kediamannya tanpa persiapan matang!"Matanya membara, rahangnya mengeras menahan emosi. Kemarahan itu semakin membuncah saat dia melangkah mendekat, menatap Louise dengan penuh penghinaan."Jalang sialan! Gunakan cara lain! Atau...." Dia menunduk sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan beracun, "Gunakan tubuhmu!"Louise memejamkan mata sejenak, menahan panas yang membakar pipinya. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga menghujam harga dirinya. Dalam satu hari, dia telah ditampar dua kali—oleh Pavel dan sekarang oleh Humphrey, pria yang seharusnya berada di pihaknya.M
Situasi sulit jelas terasa di sisi Marvin dan Alexander. Berbeda dengan Pavel, yang kini sudah mengetahui segalanya. Namun, alih-alih cemas atau marah jika ekspektasinya tak terwujud, pria itu tampak santai, duduk di sofa di depan televisi, menemani Aleena yang asyik menonton drama Korea. Hari ini, Aleena tampak lebih tenang dan dalam suasana hati yang baik, membuat Pavel tak perlu repot-repot menjinakkan kucing liar yang biasanya sulit diatur. Gadis itu bersandar santai di sisinya, tanpa perlawanan, sesuatu yang jarang terjadi. Namun, ketenangan itu terusik ketika seorang pelayan datang menghampiri mereka. Wajahnya tampak ragu, seolah ada sesuatu yang berat untuk disampaikan. "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nona," ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Tapi... wanita itu datang lagi, Tuan." Aleena mengerutkan kening, kepalanya miring ke samping. "Siapa?" "Louise Carter, Nona Morris," jawab sang pelayan hati-hati. Pavel masih tampak santai, jemarinya sibuk memainkan rambut