"Sialan, ini semakin tak nyaman!" keluh seorang wanita muda berjalan tunggang langgang tak tentu arah.
Di sebuah klub malam, Aleena yang berhasil kabur dari teman prianya tanpa sengaja menabrak seorang pria berpakaian formal. Tangan serta lengannya yang kokoh mencegah agar Aleena tak terjatuh ke lantai. Sentuhan tersebut membuat tubuhnya menegang, hingga dirinya memegang erat lengan pria itu. "Lepas." Satu kata menusuk terlontar dari mulut pria asing itu. Menatap Aleena tajam dan terdengar menggeram marah akibat ucapannya tak digubris. Aleena yang terjebak karena alkohol dan obat perangsang pun tak mampu menanggapinya. Pria di depannya ini mengeluarkan wangi parfum mahal khas kelas atas, ditambah tubuh kekar menggoda di balik balutan kemeja serta mantelnya yang mahal. Lalu kepala Aleena mendongak, menatap sang pria dengan sayu disertai napas berat. Wajahnya yang memerah tak Aleena sadari, hanya saja, tubuhnya semakin panas di dekat pria itu. "T—tuan... tolong...." Wajah pria yang sebelumnya terlihat kesal kini berubah menjadi penasaran. Ia menyempatkan diri untuk melihat keadaan diri Aleena sebelum dengan kasar menarik gadis itu untuk pergi dari sana. Pantulan lampu di lantai serta suasana gelap klub malam membuat Aleena tak tahu apa yang terjadi saat pria asing tersebut membawa dirinya ke toilet dan mengunci pintunya saat masuk. "Jangan berusaha keluar," ucapnya dingin. "Sangat muda, juga—segar," gumamnya main-main sambil menyeringai. Pria itu berjalan mendekat lalu menarik tubuh kecil Aleena untuk menempel ke badannya. Tubuh itu terasa gemetar saat terjepit diantara pria asing dengan dinding toilet yang dingin. Ia kemudian meraba wajah lalu merayap ke tengkuk Aleena, membuatnya hampir berbisik saat ia membawa wajahnya lebih dekat ke leher gadis itu demi mengendus aromanya. "Hmm, kau wangi, sayang." "Panas, tubuhku panas. Tuan... tolong aku," lirih Aleena frustasi, meracau di depan pria asing dengan tubuh menggeliat tak tenang. "Aku butuh sesuatu." Suara desah Aleena serta suhu tubuh yang naik membuat pria itu ternganga beberapa saat, sebelum tersenyum miring lagi dan membawa ibu jarinya ke bibir Aleena mengusapnya sensual. Tampaknya pria itu sangat tertarik dengan paras cantik Aleena sendiri. "Apa yang kamu butuhkan saat ini, sayangku?" Dia kemudian membawa ibu jari itu turun untuk membuka beberapa kancing atas pakaian milik Aleena. "Mungkin bermain di toilet tidaklah buruk, bagaimana pendapatmu?" Tangannya yang panas mengusap area terbuka di depan dada Aleena, menjamahnya dan memancing hasrat terpendam selama beberapa menit terakhir. Aleena telah kehilangan kewarasannya. "Apa pun... lakukan apa pun untukku, ku mohon, Tuan. Lepaskan gejolak panas di tubuhku ini, sungguh sangat menyiksa rasanya!" Sebelum pria itu melanjutkannya, tangannya terhenti dan menatap ke sekeliling. Dia mendesah kesal, tanpa aba-aba tangan serta lengannya mendekap tubuh Aleena sebelum digendong, menutupi bagian depan tubuh gadis yang ingin dia rasakan malam ini. Sepertinya dia butuh tempat layak untuk malam yang panjang. "Bersabarlah, sayang. Aku bisa memberikan kenikmatan yang kau dambakan, menghancurkan mu di atas ranjang adalah tujuan ku saat ini. Akan ku isi lubang jal*ng mu itu!" desis si pria, menahan gejolak gairah. Pria itu menggendong Aleena ke dalam dekapannya, mereka ke luar dari klub dan berjalan ke parkiran. Lokasi yang dituju sekarang adalah hotel bintang lima terdekat. Melihat wajah Aleena membuat kemaluannya menggembung di balik resleting celananya, dia mengumpat sesekali akibat tak sabar. Tibanya di sana, si pria memesan kamar hotel tipe suite room. Tidak menunggu lama ketika mendapatkan kamar dan masuk ke kamar mewah tersebut, dia langsung memberikan ciuman menyakitkan untuk Aleena. Suasana panas berderak di antara keduanya. "Haah, kau cantik sekali, gadis kecilku. Nikmati saja sentuhan dari ku, respon yang baik, seolah kau adalah pelac*r haus sentuhan pria," hinanya, suaranya merendahkan sambil mengecup dan menggigit kulit sensitif Aleena yang meninggalkan jejak panas. "Mari bercinta, sayang." *** Beberapa jam kemudian. Pria matang berumur 35 tahun tengah menyesap sampanye, sebuah minuman alkohol dengan anggur berkualitas tinggi. Dia menggoyangkan gelasnya sambil memandangi tubuh gadis cantik yang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya yang gagah perkasa bertelanjang dada, hanya mengenakan celana bahan melekat di kaki jenjangnya. Bekas cakaran di kulitnya tercetak jelas, bukti fisik jejak percintaan yang panas beberapa menit lalu. "Haah, rasa perawan... benar-benar berbeda. Lebih manis dari minuman anggur ini," gumamnya terkagum. "Dia masih sangat bersih, polos tak tersentuh. Ah, nama... aku butuh namanya." Tangannya mengambil ponsel di meja kopi di sampingnya. Karena sedang malas mengobrol, dia memutuskan mengetik pesan singkat ke tangan kanannya. Di mana pesan tersebut berisikan : "Cari tahu identitas gadis yang sedang bersamaku." Kemudian pria itu menaruh ponsel kembali dan memilih mengikuti kata hatinya agar mau ikut terbaring di samping—Aleena. Perlahan dia menaiki ranjang, menghadap wajah cantik Aleena yang tampak tenang. Masih sangat menyegarkan, di mana dia melepaskan hasrat menggebu selama bertahun-tahun karena telah bercerai dari sang mantan istri. Kini malah menerima seorang wanita muda yang membiarkan nafsu binatangnya kian melambung. Sungguh, dia terkesan. Itu semua tentang pertahanannya, hancur tanpa celah. "Hmm, gadis kecilku yang manis. Ya, dia bisa... jadi milikku. Kau milikku, sayang." Tangan besarnya meraba lembut punggung Aleena dan merapatkan tubuh telanjangnya untuk dipeluk oleh pria asing itu. "Mari berkenalan setelah kau membuka mata, sayangku. Jangan harap untuk bisa berlari menjauh." Kecupan ringan mendarat di dahi Aleena. Perasaan hangat di dalam hati sang pria sangat berbeda ketimbang dulu, ketika bersama mantan istrinya. Malah sekarang dirinya jatuh karena nafsu, entah mungkin selanjutnya jatuh cinta atau ada jatuh lainnya. Tapi mata tajam itu tengah memancarkan kilatan lebih dari itu semua. Matanya ikut tertutup sambil memeluk pinggang ramping Aleena, wajahnya tenggelam di rambut wangi menenangkan milik Aleena. Dia menikmati momen intim ini bersama gadis manis itu. *** Dua jam kemudian. Aleena merasakan sakit luar biasa merambat ke seluruh tubuh. Mulutnya meringis pelan, karena ditambah beban menimpa dirinya. Hingga kepalanya mendongak, melihat pria matang yang dinilai lebih tua darinya sedang memeluk Aleena kala tubuhnya masih telanjang. "Tuan, Tuan. Singkirkan tangan anda, berat!" keluhnya, sambil susah payah mengangkat lengan besar si pria. Pria itu membuka matanya, tak perlu berlama-lama, kesadarannya pun kembali. Masih jam enam pagi. Dia bangun dan mengungkung Aleena, membuat gadis itu membelalakkan matanya terkejut. Bahkan selimut yang menutupi tubuh telanjang Aleena tersingkir begitu mudah. "Pagi masih muda, kau membangunkan ku terlalu awal, sayang," bisiknya, suara beratnya bergemuruh di dadanya. "T—tuan...," cicit Aleena, gadis itu sulit berkata-kata. Jarak keduanya semakin tipis, hingga Aleena menahan napas. Tangan besar itu mengusap kasar, nyaris lembut pada tengkuk Aleena. Kepalanya turun, berbisik di telinga gadisnya, menghantarkan gemetar antara takut dan merinding akan sesuatu. "Bernapaslah, sayangku. Jangan buat aku memakan mu lagi, dengan lahap dan rasa lapar yang tak kunjung puas." Hidungnya mengendus aroma melalui leher jenjang Aleena, kian membuat napas gadis itu tercekat dengan mata terpejam erat. "Beruntung kau bertemu aku, gadis kecil, karena aku masih menyisakan kewarasan untukmu seorang." Ia menarik diri. Matanya yang tajam menatap tubuh polos Aleena di bawahnya seperti tengah menikmati suguhan dari pesta pora. Tangannya menarik Aleena supaya duduk dengan benar. Aleena sendiri berusaha mengumpulkan keberaniannya, karena aura dominan pria di depannya kuat sekali menekannya sejak bangun tidur. "Mandilah, aku akan mengantarmu pulang nanti. Jangan membantah, atau aku akan meniduri mu lagi... dengan lebih keras." Aleena menelan ludah secara kasar yang di susul anggukan patuh. Tapi, baru kakinya menginjak lantai, area privasinya terasa sakit. Tenggorokannya terasa kering, mulutnya meringis pelan, belum apa-apa tubuhnya langsung di gendong ala pengantin oleh pria itu. Pria itu membawa Aleena ke kamar mandi dan mendudukkan dirinya di samping wastafel yang tinggi. Pria itu bergerak tanpa mengatakan apa pun, melakukan sesuatu yang Aleena tak minta, namun sangat berarti. Bak mandi terisi air hangat beberapa saat kemudian. Aleena digendong kembali dan di letakkan secara lembut di dalam bak mandi, sebelum pergi, pria itu menarik dagu Aleena agar melihatnya. "Gadis pintar, begini saja... jangan banyak bicara dan pilih patuh. Aku lebih suka ini." Pria itu mengusap bibir Aleena dengan jempolnya, kemudian dia melumat bibir Aleena cukup kasar, tapi itu langsung terputus setelahnya. "Kalau aku menuruti kemauan binatang buas dalam diriku, mungkin, mungkin saja kau akan sulit berjalan berhari-hari nanti." Setelahnya dia menghempaskan dagu Aleena sedikit kasar, lalu ia melenggang pergi meninggalkan sosok Aleena yang menitikkan air mata pada akhirnya. Kepala gadis itu tertunduk lemas. Merasa terhina, direndahkan, dan tak berdaya di depan pria itu. Tangisannya dia redam dengan membekap mulutnya sendiri sambil menggelengkan kepala. Kerentanan terhadap situasi membuatnya tak bisa berkutik, ketika pria dominan tersebut tidak memberinya ruang bernapas lega. 'Ya, Tuhan. Kali ini cobaan apa lagi?' pikir Aleena sendu. Dengan demikian, Aleena sendiri berusaha kuat walau sisi terang tampak tak berpihak pada dirinya."Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku." Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu." "Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan. Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis. "Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena.
Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau mungkin seseorang yang lebih dari itu. "Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana. "Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang ingin Tuan tambahkan?" Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat. "Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri. Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia menenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap
"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam. Bahkan, semalam Pavel tampak kasar, mungkin karena pertemuan yang membuat waktunya terbuang dan tak mendapatkan momen menarik. Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut. "Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku. Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pav
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan si
Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel. Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Mor
Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman
Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh
Dengan kuat, hentakan keras itu membuat Aleena menjerit kencang pada pelepasan terakhir. Malam yang sunyi di tengah-tengah pepohonan rimbun itu akhirnya menjadi saksi bisu atas kebejatan Pavel dan kenikmatan penuh dosa di inti tubuhnya.Bibir pria itu mengecup bahu Aleena yang terbuka. Giginya menggigit meninggalkan bekas, sebagai tanda kepemilikan. "Haah, kau selalu saja mengujiku, sayang. Bukankah ini hukuman yang kau tunggu, hm?"Aleena terisak pelan sambil terengah, enggan mengakui jika dirinya sempat terhanyut ke dalam jeratan dosa yang berkali-kali Pavel buat. Wajahnya berpaling ke arah lain dengan mata bergetar, bukannya memancing simpati, hanya suara tawa Pavel yang terdengar sinis menghina.Tubuhnya masih gemetar akibat tekanan yang begitu kuat dari Pavel. Malam yang sunyi di tengah pepohonan rimbun seakan menelan suara napas mereka. Rasa takut, marah, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan bercampur menjadi satu di benaknya.Pavel menyentuh wajahnya, ibu jarinya menyapu le
Pavel memang gemar bermain kucing-kucingan. Baginya, ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan seni berburu. Ia menikmati setiap momen ketika buruannya merasa bebas, padahal tanpa sadar justru semakin masuk ke dalam jaringnya. Tentu saja, dia tidak pernah benar-benar khawatir Aleena akan lolos. Tidak dengan caranya mengendalikan permainan."Astaga, Aleena... kau menggemaskan sekali, ya?" Pavel terkekeh, nada suaranya terdengar sinis, penuh ejekan. Tidak ada humor di sana—hanya kepuasan seorang predator yang tahu betul bahwa mangsanya tak akan bisa benar-benar kabur.Tatapan matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika titik merah itu akhirnya semakin dekat. Keberadaan Aleena kini bukan lagi misteri.Dengan langkah santai namun penuh kepastian, Pavel bergerak. Seolah ia masih berpura-pura mencarinya, memberi gadis itu sedikit harapan palsu sebelum ia akhirnya kembali menariknya ke dalam genggamannya.Sedangkan di sisi lain, Aleena menahan n
Perutnya terasa sakit akibat seharian penuh tak terisi makanan ataupun minuman. Entah apa yang dipikirkan oleh Pavel—baru kali ini Aleena mendapatkan hukuman yang lebih buruk. Bukan berarti dia menginginkan hukuman ranjang, tetapi setidaknya itu tidak akan membuatnya kelaparan seperti ini. Lambungnya terus perih, ditambah tak ada seorang pun mendatanginya atau membuka pintu kamarnya.Sungguh, kali ini hukuman Pavel sangat menyiksa.Aleena meremas perutnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Napasnya mulai berat, kepalanya pusing. Dia bersandar ke kepala ranjang, menatap kosong ke langit-langit."Brengsek," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.Dia tahu Pavel kejam, tapi ini… ini benar-benar keterlaluan. Apakah pria itu benar-benar tidak peduli jika dia mati kelaparan di sini?Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aleena menajamkan pendengarannya. Pintu kamar terbuka, dan sosok yang selama ini dia tunggu akhirnya muncul—Pavel, dengan ekspresi dinginn
Keesokan harinya, Kyne membuka mata di tempat yang asing. Ruangan di sekelilingnya dipenuhi warna putih, begitu steril hingga membuat kepalanya berdenyut. Pandangannya sedikit buram, tetapi perlahan kesadarannya pulih.Ingatan terakhirnya?Dia hanya berniat untuk tidur—sampai seseorang dengan gerakan cepat dan terlatih menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya. "Pavel… Ini pasti ulah pria itu," gerutunya, rahangnya mengeras menahan amarah.Kyne mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi segera menyadari bahwa otot-ototnya terasa sangat lemas. Entah apa yang telah mereka suntikkan sebelumnya, efeknya lebih buruk dari sekadar membuatnya kehilangan kesadaran—bahkan tenaganya pun hilang.Lamunannya buyar ketika suara langkah berat terdengar memasuki ruangan saat pintu terbuka. Tatapan Kyne langsung terarah ke sosok pria yang berjalan mendekat, diikuti beberapa bawahan bersenjata. Tidak butuh firasat tajam untuk mengetahui bahwa ini bukan peringatan baik.Kyne, yang sadar dirinya kalah jumlah, perlahan
Di dalam kamarnya, Aleena duduk diam, menatap surat yang ia temukan di dalam loker kampusnya tadi siang. Ada sesuatu tentang surat itu yang membuatnya ragu. Hatinya gelisah, tangannya gemetar sedikit saat hendak merobek amplopnya.Ia menatapnya penuh perhitungan, seakan takut dengan apa yang akan ia temukan di dalamnya. Tapi pada akhirnya, dengan napas tertahan, ia memberanikan diri untuk membuka dan membacanya.Saat ia menarik keluar kertas di dalam amplop, selembar foto terjatuh ke lantai. Tanpa berpikir panjang, Aleena mengambilnya. Namun, begitu matanya menangkap isi foto itu, tubuhnya membeku.Di dalam gambar itu, Pavel tengah mencium seorang wanita dengan mesra. Latar belakangnya mendukung suasana romantis—mungkin di sebuah restoran mewah atau suite hotel eksklusif. Mereka tampak begitu intim, seakan dunia hanya milik mereka berdua."Pavel…." Suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdebar keras, rasa sakit menjalar tanpa peringatan. "Ini bukan editan."Tangannya mengepal di
Beberapa hari berlalu, dan sejauh ini kehidupan kampus Aleena terasa lebih tenang dalam pantauan Pavel. Tidak ada tindakan mencurigakan dari Kyne yang membuatnya harus terus waspada—meskipun di dalam hatinya, ia tahu Kyne tidak akan tinggal diam selamanya.Kini Pavel duduk dengan tenang di ruang pertemuan. Mata abu-abunya yang dingin memancarkan kepuasan, seolah segalanya berjalan sesuai dengan rencananya. Jika Kyne berniat membalas dendam, Pavel sudah menyiapkan langkah-langkah berikutnya. Bagi Pavel, Kyne hanyalah gangguan kecil—seekor hama yang tak sebanding dengan dirinya.Di dalam ruangan itu, Pavel dikelilingi oleh para petinggi dalam organisasi yang ia bangun dari nol—sebuah kerajaan bisnis yang telah menjalar ke banyak sektor. Saat ini, mereka tengah membahas pergerakan barang yang keluar dan masuk, memastikan segalanya berjalan lancar tanpa ada hambatan."Barang kita berkurang lagi." Pavel berbicara dengan nada datar namun tajam, matanya menyapu satu-persatu orang di sekelili
"Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya nyaris bergetar. Kepalanya menggeleng pelan, menolak menerima kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya.Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hancur—bukan hanya kehilangan sesuatu, tapi kehilangan segalanya. Tempat di mana ia tumbuh, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan tanpa tersentuh oleh siapa pun, kini hanya menyisakan puing-puing dan abu yang beterbangan, seakan keberadaannya tak pernah berarti.Ia sudah kehilangan keluarganya sejak kecil, dan sekarang... rumah yang bisu ini, satu-satunya tempat yang masih menghubungkannya dengan masa lalu, telah musnah. Hatinya mencengkeram perasaan sakit yang begitu dalam saat membayangkan semua foto, barang-barang penuh kenangan, semuanya lenyap tanpa bisa lagi ia lihat, ia sentuh, tanpa bisa ia peluk untuk terakhir kalinya."Kami turut prihatin atas kondisi yang Anda alami, Tuan Foster. Sepertinya saya tidak akan berlama-lama. Selamat sore," ujar Owen, suaranya datar, tan
Pagi tadi, Aleena akhirnya menemui Kyne untuk menyampaikan tujuannya. Ia tidak datang sendirian—Cate dan Marvin setia menemani, memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah.Sekarang, di sinilah Aleena berada—dalam ruang kerja pribadi Kyne yang ternyata cukup nyaman untuk sesi pembelajaran. Namun, satu hal yang membuat suasana sedikit canggung adalah keberadaan Owen, yang duduk tak jauh, memantau setiap gerak-gerik mereka.Kyne nyaris frustrasi. Ia tidak menyangka bahwa kekasih Aleena bisa seposesif ini. Sulit baginya untuk berbicara leluasa dengan gadis itu, apalagi ketika pria yang dikirim untuk mengawasi mereka menatapnya dengan tatapan dingin yang seolah mengingatkan: "Jaga jarak."Aleena berusaha mengabaikan suasana tegang yang tak terhindarkan. Ia hanya ingin menyelesaikan urusannya dengan cepat. Dengan suara tenang, ia membuka buku catatannya dan menatap Kyne."Tuan Foster, saya ingin membahas materi yang tertinggal dan mencari cara untuk memperbaiki nilai saya
Malam itu, Aleena menghela napas panjang saat menyadari Pavel tidak hadir di jam makan malam. Suasana meja makan yang sunyi membuatnya merasa serba salah. Dia bingung bagaimana harus menanggapi sikap Pavel yang begitu keras menolak dirinya didekati pria lain.Tanpa banyak berpikir, Aleena menyelesaikan makan malamnya dengan cepat. Setelah meletakkan peralatan makan, dia segera beranjak menuju ruang kerja Pavel. Dia tahu pria itu pasti ada di sana.Di depan pintu, Aleena mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, keraguan menahannya sejenak. Napasnya terasa berat, pikirannya berkecamuk.Tapi akhirnya, dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia mengetuk pintu pelan. Dirinya harus berbicara dengan Pavel. Harus memastikan pria itu memaafkannya—dan yang terpenting, mengizinkannya mengikuti kelas tambahan.Dari dalam, terdengar suara Pavel yang rendah namun jelas. "Masuk."Aleena menelan ludah, lalu memutar gagang pintu dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pa