"Sialan, ini semakin tak nyaman!" keluh seorang wanita muda berjalan tunggang langgang tak tentu arah.
Di sebuah klub malam, Aleena yang berhasil kabur dari teman prianya tanpa sengaja menabrak seorang pria berpakaian formal. Tangan serta lengannya yang kokoh mencegah agar Aleena tak terjatuh ke lantai. Sentuhan tersebut membuat tubuhnya menegang, hingga dirinya memegang erat lengan pria itu. "Lepas." Satu kata menusuk terlontar dari mulut pria asing itu. Menatap Aleena tajam dan terdengar menggeram marah akibat ucapannya tak digubris. Aleena yang terjebak karena alkohol dan obat perangsang pun tak mampu menanggapinya. Pria di depannya ini mengeluarkan wangi parfum mahal khas kelas atas, ditambah tubuh kekar menggoda di balik balutan kemeja serta mantelnya yang mahal. Lalu kepala Aleena mendongak, menatap sang pria dengan sayu disertai napas berat. Wajahnya yang memerah tak Aleena sadari, hanya saja, tubuhnya semakin panas di dekat pria itu. "T—tuan... tolong...." Wajah pria yang sebelumnya terlihat kesal kini berubah menjadi penasaran. Ia menyempatkan diri untuk melihat keadaan diri Aleena sebelum dengan kasar menarik gadis itu untuk pergi dari sana. Pantulan lampu di lantai serta suasana gelap klub malam membuat Aleena tak tahu apa yang terjadi saat pria asing tersebut membawa dirinya ke toilet dan mengunci pintunya saat masuk. "Jangan berusaha keluar," ucapnya dingin. "Sangat muda, juga—segar," gumamnya main-main sambil menyeringai. Pria itu berjalan mendekat lalu menarik tubuh kecil Aleena untuk menempel ke badannya. Tubuh itu terasa gemetar saat terjepit diantara pria asing dengan dinding toilet yang dingin. Ia kemudian meraba wajah lalu merayap ke tengkuk Aleena, membuatnya hampir berbisik saat ia membawa wajahnya lebih dekat ke leher gadis itu demi mengendus aromanya. "Hmm, kau wangi, sayang." "Panas, tubuhku panas. Tuan... tolong aku," lirih Aleena frustasi, meracau di depan pria asing dengan tubuh menggeliat tak tenang. "Aku butuh sesuatu." Suara desah Aleena serta suhu tubuh yang naik membuat pria itu ternganga beberapa saat, sebelum tersenyum miring lagi dan membawa ibu jarinya ke bibir Aleena mengusapnya sensual. Tampaknya pria itu sangat tertarik dengan paras cantik Aleena sendiri. "Apa yang kamu butuhkan saat ini, sayangku?" Dia kemudian membawa ibu jari itu turun untuk membuka beberapa kancing atas pakaian milik Aleena. "Mungkin bermain di toilet tidaklah buruk, bagaimana pendapatmu?" Tangannya yang panas mengusap area terbuka di depan dada Aleena, menjamahnya dan memancing hasrat terpendam selama beberapa menit terakhir. Aleena telah kehilangan kewarasannya. "Apa pun... lakukan apa pun untukku, ku mohon, Tuan. Lepaskan gejolak panas di tubuhku ini, sungguh sangat menyiksa rasanya!" Sebelum pria itu melanjutkannya, tangannya terhenti dan menatap ke sekeliling. Dia mendesah kesal, tanpa aba-aba tangan serta lengannya mendekap tubuh Aleena sebelum digendong, menutupi bagian depan tubuh gadis yang ingin dia rasakan malam ini. Sepertinya dia butuh tempat layak untuk malam yang panjang. "Bersabarlah, sayang. Aku bisa memberikan kenikmatan yang kau dambakan, menghancurkan mu di atas ranjang adalah tujuan ku saat ini. Akan ku isi lubang jal*ng mu itu!" desis si pria, menahan gejolak gairah. Pria itu menggendong Aleena ke dalam dekapannya, mereka ke luar dari klub dan berjalan ke parkiran. Lokasi yang dituju sekarang adalah hotel bintang lima terdekat. Melihat wajah Aleena membuat kemaluannya menggembung di balik resleting celananya, dia mengumpat sesekali akibat tak sabar. Tibanya di sana, si pria memesan kamar hotel tipe suite room. Tidak menunggu lama ketika mendapatkan kamar dan masuk ke kamar mewah tersebut, dia langsung memberikan ciuman menyakitkan untuk Aleena. Suasana panas berderak di antara keduanya. "Haah, kau cantik sekali, gadis kecilku. Nikmati saja sentuhan dari ku, respon yang baik, seolah kau adalah pelac*r haus sentuhan pria," hinanya, suaranya merendahkan sambil mengecup dan menggigit kulit sensitif Aleena yang meninggalkan jejak panas. "Mari bercinta, sayang." *** Beberapa jam kemudian. Pria matang berumur 35 tahun tengah menyesap sampanye, sebuah minuman alkohol dengan anggur berkualitas tinggi. Dia menggoyangkan gelasnya sambil memandangi tubuh gadis cantik yang terbaring di atas ranjang. Tubuhnya yang gagah perkasa bertelanjang dada, hanya mengenakan celana bahan melekat di kaki jenjangnya. Bekas cakaran di kulitnya tercetak jelas, bukti fisik jejak percintaan yang panas beberapa menit lalu. "Haah, rasa perawan... benar-benar berbeda. Lebih manis dari minuman anggur ini," gumamnya terkagum. "Dia masih sangat bersih, polos tak tersentuh. Ah, nama... aku butuh namanya." Tangannya mengambil ponsel di meja kopi di sampingnya. Karena sedang malas mengobrol, dia memutuskan mengetik pesan singkat ke tangan kanannya. Di mana pesan tersebut berisikan : "Cari tahu identitas gadis yang sedang bersamaku." Kemudian pria itu menaruh ponsel kembali dan memilih mengikuti kata hatinya agar mau ikut terbaring di samping—Aleena. Perlahan dia menaiki ranjang, menghadap wajah cantik Aleena yang tampak tenang. Masih sangat menyegarkan, di mana dia melepaskan hasrat menggebu selama bertahun-tahun karena telah bercerai dari sang mantan istri. Kini malah menerima seorang wanita muda yang membiarkan nafsu binatangnya kian melambung. Sungguh, dia terkesan. Itu semua tentang pertahanannya, hancur tanpa celah. "Hmm, gadis kecilku yang manis. Ya, dia bisa... jadi milikku. Kau milikku, sayang." Tangan besarnya meraba lembut punggung Aleena dan merapatkan tubuh telanjangnya untuk dipeluk oleh pria asing itu. "Mari berkenalan setelah kau membuka mata, sayangku. Jangan harap untuk bisa berlari menjauh." Kecupan ringan mendarat di dahi Aleena. Perasaan hangat di dalam hati sang pria sangat berbeda ketimbang dulu, ketika bersama mantan istrinya. Malah sekarang dirinya jatuh karena nafsu, entah mungkin selanjutnya jatuh cinta atau ada jatuh lainnya. Tapi mata tajam itu tengah memancarkan kilatan lebih dari itu semua. Matanya ikut tertutup sambil memeluk pinggang ramping Aleena, wajahnya tenggelam di rambut wangi menenangkan milik Aleena. Dia menikmati momen intim ini bersama gadis manis itu. *** Dua jam kemudian. Aleena merasakan sakit luar biasa merambat ke seluruh tubuh. Mulutnya meringis pelan, karena ditambah beban menimpa dirinya. Hingga kepalanya mendongak, melihat pria matang yang dinilai lebih tua darinya sedang memeluk Aleena kala tubuhnya masih telanjang. "Tuan, Tuan. Singkirkan tangan anda, berat!" keluhnya, sambil susah payah mengangkat lengan besar si pria. Pria itu membuka matanya, tak perlu berlama-lama, kesadarannya pun kembali. Masih jam enam pagi. Dia bangun dan mengungkung Aleena, membuat gadis itu membelalakkan matanya terkejut. Bahkan selimut yang menutupi tubuh telanjang Aleena tersingkir begitu mudah. "Pagi masih muda, kau membangunkan ku terlalu awal, sayang," bisiknya, suara beratnya bergemuruh di dadanya. "T—tuan...," cicit Aleena, gadis itu sulit berkata-kata. Jarak keduanya semakin tipis, hingga Aleena menahan napas. Tangan besar itu mengusap kasar, nyaris lembut pada tengkuk Aleena. Kepalanya turun, berbisik di telinga gadisnya, menghantarkan gemetar antara takut dan merinding akan sesuatu. "Bernapaslah, sayangku. Jangan buat aku memakan mu lagi, dengan lahap dan rasa lapar yang tak kunjung puas." Hidungnya mengendus aroma melalui leher jenjang Aleena, kian membuat napas gadis itu tercekat dengan mata terpejam erat. "Beruntung kau bertemu aku, gadis kecil, karena aku masih menyisakan kewarasan untukmu seorang." Ia menarik diri. Matanya yang tajam menatap tubuh polos Aleena di bawahnya seperti tengah menikmati suguhan dari pesta pora. Tangannya menarik Aleena supaya duduk dengan benar. Aleena sendiri berusaha mengumpulkan keberaniannya, karena aura dominan pria di depannya kuat sekali menekannya sejak bangun tidur. "Mandilah, aku akan mengantarmu pulang nanti. Jangan membantah, atau aku akan meniduri mu lagi... dengan lebih keras." Aleena menelan ludah secara kasar yang di susul anggukan patuh. Tapi, baru kakinya menginjak lantai, area privasinya terasa sakit. Tenggorokannya terasa kering, mulutnya meringis pelan, belum apa-apa tubuhnya langsung di gendong ala pengantin oleh pria itu. Pria itu membawa Aleena ke kamar mandi dan mendudukkan dirinya di samping wastafel yang tinggi. Pria itu bergerak tanpa mengatakan apa pun, melakukan sesuatu yang Aleena tak minta, namun sangat berarti. Bak mandi terisi air hangat beberapa saat kemudian. Aleena digendong kembali dan di letakkan secara lembut di dalam bak mandi, sebelum pergi, pria itu menarik dagu Aleena agar melihatnya. "Gadis pintar, begini saja... jangan banyak bicara dan pilih patuh. Aku lebih suka ini." Pria itu mengusap bibir Aleena dengan jempolnya, kemudian dia melumat bibir Aleena cukup kasar, tapi itu langsung terputus setelahnya. "Kalau aku menuruti kemauan binatang buas dalam diriku, mungkin, mungkin saja kau akan sulit berjalan berhari-hari nanti." Setelahnya dia menghempaskan dagu Aleena sedikit kasar, lalu ia melenggang pergi meninggalkan sosok Aleena yang menitikkan air mata pada akhirnya. Kepala gadis itu tertunduk lemas. Merasa terhina, direndahkan, dan tak berdaya di depan pria itu. Tangisannya dia redam dengan membekap mulutnya sendiri sambil menggelengkan kepala. Kerentanan terhadap situasi membuatnya tak bisa berkutik, ketika pria dominan tersebut tidak memberinya ruang bernapas lega. 'Ya, Tuhan. Kali ini cobaan apa lagi?' pikir Aleena sendu. Dengan demikian, Aleena sendiri berusaha kuat walau sisi terang tampak tak berpihak pada dirinya."Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku." Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu." "Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan. Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis. "Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena.
Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau seorang yang lebih dari itu."Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana."Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang harus ingin Tuan tambahkan?"Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat."Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri.Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia memenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap Pavel. "Ya, T
"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam.Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut."Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku.Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pavel lekas berdiri setelah menyeka mulut menggunakan serbet dan langsung melihat reaksi gadisnya yang berwajah pias, amat pucat. "Untuk
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas.Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu.Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel.
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas.Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu.Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel.
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam.Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut."Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku.Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pavel lekas berdiri setelah menyeka mulut menggunakan serbet dan langsung melihat reaksi gadisnya yang berwajah pias, amat pucat. "Untuk
"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau seorang yang lebih dari itu."Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana."Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang harus ingin Tuan tambahkan?"Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat."Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri.Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia memenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap Pavel. "Ya, T
"Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku." Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu." "Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan. Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis. "Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena.
"Sialan, ini semakin tak nyaman!" keluh seorang wanita muda berjalan tunggang langgang tak tentu arah. Di sebuah klub malam, Aleena yang berhasil kabur dari teman prianya tanpa sengaja menabrak seorang pria berpakaian formal. Tangan serta lengannya yang kokoh mencegah agar Aleena tak terjatuh ke lantai. Sentuhan tersebut membuat tubuhnya menegang, hingga dirinya memegang erat lengan pria itu. "Lepas." Satu kata menusuk terlontar dari mulut pria asing itu. Menatap Aleena tajam dan terdengar menggeram marah akibat ucapannya tak digubris. Aleena yang terjebak karena alkohol dan obat perangsang pun tak mampu menanggapinya. Pria di depannya ini mengeluarkan wangi parfum mahal khas kelas atas, ditambah tubuh kekar menggoda di balik balutan kemeja serta mantelnya yang mahal. Lalu kepala Aleena mendongak, menatap sang pria dengan sayu disertai napas berat. Wajahnya yang memerah tak Aleena sadari, hanya saja, tubuhnya semakin panas di dekat pria itu. "T—tuan... tolong...." Wajah pria y