Mimpi Buruk.
Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan siang sudah siap. Apakah Anda ingin makan di sini atau di ruang makan?" tanya seorang pelayan yang mendekat dengan sopan. Aleena tidak segera mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah ia baca. Dengan suara santai namun sedikit malas, dia menjawab, "Aku akan makan di sini saja. Berjalan ke ruang makan sangat melelahkan—jaraknya benar-benar menguras tenaga." Pelayan wanita itu hanya menggelengkan kepala kecil, mencoba bersabar. "Baiklah, Nona Morris. Mohon tunggu sebentar, makan siang akan segera diantarkan. Oh, dan jangan ke mana-mana, pengawal sudah berjaga di luar." Pelayan itu pun beranjak pergi, meninggalkan Aleena yang kembali terlarut dalam pikirannya. Dia tahu bahwa di mana pun dia berada di mansion ini, para pengawal selalu mengawasinya. Seolah Pavel tidak ingin memberikan celah sedikit pun bagi Aleena untuk kabur. Atau mungkin, memang begitulah ketatnya penjagaan di kediaman Ellington. Namun, pikirannya buyar saat mendengar suara langkah kaki berat mendekat. Mau tak mau, Aleena menoleh ke belakang. Di sana berdiri seorang pria dengan penampilan rapi, mengenakan setelan kantor. Tanpa aba-aba, pria itu membungkuk sedikit di depan Aleena, menunjukkan kesopanan yang berlebihan. "Selamat siang, Nona Morris. Perkenalkan, saya Owen Fletcher, orang kepercayaan Tuan Ellington," ucapnya dengan nada hormat yang membuat Aleena bertanya-tanya. Kemudian Owen melanjutkan, "Saya di sini untuk menyampaikan mandat dari Tuan Ellington. Anda diperkenankan melakukan aktivitas di luar kediaman, dengan syarat: Anda harus menggunakan pengawalan dan ditemani dua pelayan dari rumah ini. Jika ada pertanyaan atau protes, maaf, saya tidak diperintahkan untuk mendengarkan itu." Aleena mengerjap pelan, lalu berdiri dengan wajah terkejut. "Apa maksudnya? Kenapa dia tiba-tiba memberiku 'kebebasan bersyarat' seperti ini?" tanyanya, berusaha menahan emosi. Namun, Owen hanya menatapnya datar. "Saya sudah bilang, Nona. Saya tidak diinstruksikan untuk mendengarkan protes Anda. Jadi, saya rasa itu cukup. Selamat siang, Nona Morris. Semoga hari Anda menyenangkan." "Tunggu!" sergah Aleena, menghalangi jalan Owen. "Kalau begitu, di mana Tuan Pavel? Kenapa dia tidak pulang? Ini rumahnya, kan? Apa dia marah padaku?" Di balik sikap dingin Pavel, Aleena tetap merasa penasaran sekaligus khawatir. Entah kenapa, meskipun dia tahu seharusnya tidak peduli, dia justru bertanya-tanya tentang keberadaan pria itu. Tanpa banyak bicara, Owen merogoh saku jasnya dan mengeluarkan sebuah ponsel, lalu menyodorkannya kepada Aleena. "Maaf, Nona Morris. Hampir lupa, ini untuk Anda. Jika Anda penasaran di mana Tuan Pavel, silakan tanyakan langsung kepadanya melalui ponsel ini. Tapi ingat, hanya ponsel ini yang boleh Anda gunakan." Aleena memandangi ponsel itu dengan ragu. Jelas ada sesuatu yang aneh dengan Pavel, tetapi dia tidak tahu apa. Perlahan, dia meraih ponsel tersebut, merasa seolah-olah sedang menyerahkan dirinya pada permainan yang tidak ia mengerti. "Apa ini cara dia mengawasiku lagi?" gumam Aleena pelan. Owen, yang masih berdiri di hadapannya, tampak tak terganggu oleh pertanyaan retoris itu. Dengan anggukan singkat, dia kembali berbicara, "Jika Anda membutuhkan sesuatu, saya ada di ruang kerja di ujung lorong sebelah perpustakaan ini. Namun, mohon ingat, semua keperluan harus disampaikan melalui jalur resmi." Tanpa menunggu jawaban, Owen berbalik pergi, meninggalkan Aleena yang masih berdiri diam, menatap ponsel di tangannya. Ketika sunyi kembali melingkupi ruangan, Aleena mendesah pelan. Jarinya dengan hati-hati menyentuh layar ponsel itu. Hanya ada satu kontak di dalamnya, tertera nama Tuan Ellington. Sejenak, dia merasa ragu. Apakah dia benar-benar ingin berbicara dengan pria itu? 'Kalau dia tidak ingin aku tahu di mana dia, kenapa dia memberikan ini padaku?' pikir Aleena. Namun rasa ingin tahunya mengalahkan segalanya. Dengan perlahan, dia menekan tombol panggil. Bunyi dering terdengar, lama, hingga akhirnya sebuah suara berat dan dalam menjawab di seberang sana. "Akhirnya kau menelepon," ujar Pavel, tanpa basa-basi. Aleena terdiam sesaat. Nada suaranya tidak berubah—tenang, dingin, namun ada sesuatu yang membuatnya merinding. "Kau... di mana?" tanyanya langsung, suaranya bergetar tipis meski ia berusaha terdengar tegar. "Di tempat yang tidak bisa kau bayangkan, Aleena," jawab Pavel samar. "Apa aku merindukan rumah? Tidak. Apa aku merindukanmu? Mungkin. Tapi aku masih punya urusan yang harus kuselesaikan." Kening Aleena berkerut. Bukan karena tebakan Pavel, melainkan hal lainnya. Dia bisa mendengar suara samar di belakang Pavel—seperti deru kendaraan dan orang-orang yang berbicara dalam bahasa asing yang tidak ia kenali. "Apa yang sebenarnya kau lakukan, Tuan? Apa urusan yang begitu penting sampai kau harus meninggalkan rumah ini? Meninggalkan aku di sini dan membiarkan semua persyaratan demi merasakan kebebasan, seakan aku adalah tawananmu?" Nada suaranya berubah, ada kemarahan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu. Namun Pavel hanya tertawa kecil, membuat darah Aleena mendidih. "Kau mulai peduli, ya?" godanya. "Aku tidak peduli!" balas Aleena tajam, meskipun dia tahu itu kebohongan. "Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi dan hanya peduli pada diriku sendiri. Apa kau sengaja meninggalkanku di sini untuk membuatku gila?" Pavel terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, suaranya berubah lebih serius. "Aleena, ada alasan kenapa aku meninggalkanmu di sana. Alasan kenapa kau harus tetap di rumah itu. Dunia di luar terlalu berbahaya untukmu sekarang. Dan aku... sedang memastikan kau tetap aman." Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Aleena merasa lebih bingung daripada sebelumnya. Apa yang Pavel maksud dengan 'bahaya'? Dan kenapa dia begitu yakin bisa menjaganya tetap aman dari kejauhan? Sebelum Aleena sempat bertanya lebih jauh, Pavel melanjutkan, "Aku harus pergi. Jangan coba-coba melanggar aturan, Aleena. Kau tidak akan suka konsekuensinya." Telepon terputus. Aleena menatap ponsel di tangannya, perasaannya berkecamuk antara marah, bingung, dan entah kenapa... sedikit khawatir. Apa yang Pavel sembunyikan darinya? Dan seberapa besar 'bahaya' yang sebenarnya sedang menanti di luar? Satu hal yang pasti—ini bukan akhir. Pavel mungkin telah memutuskan telepon, tapi Aleena tidak akan berhenti mencari jawabannya. Dirinya terkurung dan kini bebas merasakan udara di luar sana saja diharuskan oleh pria itu dengan membawa pengawal dan pelayan, persyaratan yang merepotkan baginya. Jadi, Aleena akan berniat mencari siapa Pavel sebenarnya, walau dirinya mungkin... mendapatkan hukumannya.Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel. Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Mor
Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman
Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh
"Makan... atau aku akan menyumpal mulutmu dengan sesuatu yang mungkin kau sukai," ancamnya dingin, nada tajam penuh intimidasi. Meski terdengar ambigu, maksudnya jelas tak terelakkan. Tangan Aleena mencengkeram sendok di genggamannya dengan gemetar. Tubuhnya terasa remuk redam, hasil ulah Pavel tadi malam. Kontras dengan pria itu yang tampak segar dan tak terganggu sedikit pun, dirinya justru harus menahan rasa nyeri yang menjalar di setiap inci tubuhnya. "Makanlah, gadis kecil. Tubuh ringkihmu butuh asupan," ucap Pavel dengan nada meremehkan. Aleena mendengus pelan merasa terhina, tapi tidak berani melawan. Pavel yang menangkap reaksinya hanya tersenyum miring. "Keras kepala sekali. Bahkan dalam keadaan seperti ini... aku jadi tidak sabar untuk 'mendidikmu' lagi.""Jangan!" sergah Aleena panik, napasnya tercekat. "A—aku tidak mau! Tubuhku masih sakit!"Ketakutan merayapi dirinya. Hanya mendengar ancamannya saja sudah membuat tubuhnya gemetar. P
Semakin hari, ekspresi wajahnya semakin datar, seolah kehilangan minat untuk mengajar di universitas itu. Beberapa kali dia menghela napas, merasa frustrasi dengan beberapa mahasiswa bimbingannya yang benar-benar menguji kesabarannya. Mereka membuat darahnya mendidih—mengingatkan dirinya agar tidak sampai kehilangan kendali dan menghabisi salah satu dari mereka demi memuaskan hobinya yang gelap."Hei, jangan mengobrol. Saya menyuruh kalian mengerjakan tugas, bukan berdiskusi tentang hal yang tidak perlu," tegur Kyne dingin pada salah satu mahasiswa di kelas itu.Gadis yang ditegur menelan ludah, tapi melihat raut wajah Kyne yang tetap datar, dia justru mengangkat ponselnya dengan ragu. Dia tahu betul bahwa profesor di depannya ini memiliki ketertarikan pada temannya."Maafkan kami, Profesor. Teman kami baru saja memberi kabar. Aleena izin dalam waktu cukup lama, dan dia baru saja menghubungi kami."Pria di sampingnya mengangguk membenarkan. "Benar
Dua hari pemulihan yang terasa seperti lama tanpa akhir, akhirnya berbuah sedikit kebebasan bagi Aleena. Udara segar di luar kediaman itu menyambutnya kembali, tapi bukan karena Pavel bermurah hati. Pria itu hanya mengizinkannya keluar karena kebetulan dia sendiri memiliki urusan di luar. Jadi, Aleena tak punya pilihan selain menerima keadaan ini, meski tubuhnya masih terasa lemah.Saat mobil mewah mereka melaju di jalan raya, Aleena bersandar pada jendela, matanya menerawang, pikirannya berlarian tanpa arah. Dia masih belum menerima balasan pesan dari Cate maupun Marvin. Harapannya sederhana—agar mereka memahami mengapa dia belum bisa memberi kabar. Namun, ketidakpastian itu menggerogoti pikirannya, menambahkan satu lagi beban yang harus ditanggungnya.Di sisi lain, Pavel duduk tenang, mengamati Aleena dari sudut matanya. Gadisnya terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Biasanya, dia akan melontarkan komentar atau bahkan protes kecil, tapi kali ini tidak. Hanya kesunyian yang me
Pavel menghela napas pelan, seolah kehilangan minat dengan mendadak. Dia lalu berdiri, merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sapu tangan putih bersih. Dengan tenang, dia mengusap jemarinya, seakan ingin menghilangkan kotoran yang bahkan tidak ada di sana. Lalu membuang sembarangan kain tersebut, tampak acuh. Gerakan itu terasa sangat disengaja. Seakan ia ingin menunjukkan satu hal pada semua orang di tempat ini, dia tidak akan mengotori tangannya untuk sesuatu yang tidak layak.Tanpa menoleh, Pavel mengangkat satu jari ke udara, sebuah isyarat sederhana namun tegas.Dari sudut-sudut ruangan yang gelap, beberapa pria muncul. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, wajah mereka tanpa ekspresi, seperti bayangan yang hanya bergerak ketika diperintahkan. Salah satu dari mereka segera berjalan mendekat, membungkuk hormat di hadapan Pavel, menunggu instruksi lebih lanjut."Pastikan dia tidak membuat kesalahan lagi," kata Pavel datar, tanpa sedikit pun emosi di suaranya.Pria yang babak
"Pavel, aku mohon... jangan sekarang," lirih Aleena di atas tempat tidur yang berderit. Tangannya yang lebih besar dari tangan Aleena berhasil menangkup salah satu payud*ra sang gadis. Meremasnya lumayan cukup kencang. "Stt, serahkan padaku, sayang. Kau aman bersamaku. Percayalah."Aleena mengerang ketika gerakan tangan Pavel kian menjadi. Tak hanya satu tangan, tangan lainnya menangkup kemaluannya melalui luar celana dalam. Ya, roknya sudah tersingkap entah sejak kapan. "Ngh, baiklah. Tapi aku mohon, perlahan saja. Jangan kasar," cicit Aleena gemetar. Wajahnya memelas memerah bercampur dengan rasa terhina dan terangsang. "Apa boleh?"Pavel berhenti sejenak dan menggeram mendengar permohonan Aleena, tapi tak lama dia menyunggingkan senyum miring. "Akan aku kabulkan... namun aku tidak janji."Setelah mengatakan itu Pavel tanpa aba-aba memasukkan tangannya ke dalam celana dalam Aleena. Jari-jarinya yang tebal menusuk masuk, sekitar dua jari membelahnya, membuat gadis itu membusungkan
Dengan kuat, hentakan keras itu membuat Aleena menjerit kencang pada pelepasan terakhir. Malam yang sunyi di tengah-tengah pepohonan rimbun itu akhirnya menjadi saksi bisu atas kebejatan Pavel dan kenikmatan penuh dosa di inti tubuhnya.Bibir pria itu mengecup bahu Aleena yang terbuka. Giginya menggigit meninggalkan bekas, sebagai tanda kepemilikan. "Haah, kau selalu saja mengujiku, sayang. Bukankah ini hukuman yang kau tunggu, hm?"Aleena terisak pelan sambil terengah, enggan mengakui jika dirinya sempat terhanyut ke dalam jeratan dosa yang berkali-kali Pavel buat. Wajahnya berpaling ke arah lain dengan mata bergetar, bukannya memancing simpati, hanya suara tawa Pavel yang terdengar sinis menghina.Tubuhnya masih gemetar akibat tekanan yang begitu kuat dari Pavel. Malam yang sunyi di tengah pepohonan rimbun seakan menelan suara napas mereka. Rasa takut, marah, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan bercampur menjadi satu di benaknya.Pavel menyentuh wajahnya, ibu jarinya menyapu le
Pavel memang gemar bermain kucing-kucingan. Baginya, ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan seni berburu. Ia menikmati setiap momen ketika buruannya merasa bebas, padahal tanpa sadar justru semakin masuk ke dalam jaringnya. Tentu saja, dia tidak pernah benar-benar khawatir Aleena akan lolos. Tidak dengan caranya mengendalikan permainan."Astaga, Aleena... kau menggemaskan sekali, ya?" Pavel terkekeh, nada suaranya terdengar sinis, penuh ejekan. Tidak ada humor di sana—hanya kepuasan seorang predator yang tahu betul bahwa mangsanya tak akan bisa benar-benar kabur.Tatapan matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika titik merah itu akhirnya semakin dekat. Keberadaan Aleena kini bukan lagi misteri.Dengan langkah santai namun penuh kepastian, Pavel bergerak. Seolah ia masih berpura-pura mencarinya, memberi gadis itu sedikit harapan palsu sebelum ia akhirnya kembali menariknya ke dalam genggamannya.Sedangkan di sisi lain, Aleena menahan n
Perutnya terasa sakit akibat seharian penuh tak terisi makanan ataupun minuman. Entah apa yang dipikirkan oleh Pavel—baru kali ini Aleena mendapatkan hukuman yang lebih buruk. Bukan berarti dia menginginkan hukuman ranjang, tetapi setidaknya itu tidak akan membuatnya kelaparan seperti ini. Lambungnya terus perih, ditambah tak ada seorang pun mendatanginya atau membuka pintu kamarnya.Sungguh, kali ini hukuman Pavel sangat menyiksa.Aleena meremas perutnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Napasnya mulai berat, kepalanya pusing. Dia bersandar ke kepala ranjang, menatap kosong ke langit-langit."Brengsek," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.Dia tahu Pavel kejam, tapi ini… ini benar-benar keterlaluan. Apakah pria itu benar-benar tidak peduli jika dia mati kelaparan di sini?Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aleena menajamkan pendengarannya. Pintu kamar terbuka, dan sosok yang selama ini dia tunggu akhirnya muncul—Pavel, dengan ekspresi dinginn
Keesokan harinya, Kyne membuka mata di tempat yang asing. Ruangan di sekelilingnya dipenuhi warna putih, begitu steril hingga membuat kepalanya berdenyut. Pandangannya sedikit buram, tetapi perlahan kesadarannya pulih.Ingatan terakhirnya?Dia hanya berniat untuk tidur—sampai seseorang dengan gerakan cepat dan terlatih menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya. "Pavel… Ini pasti ulah pria itu," gerutunya, rahangnya mengeras menahan amarah.Kyne mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi segera menyadari bahwa otot-ototnya terasa sangat lemas. Entah apa yang telah mereka suntikkan sebelumnya, efeknya lebih buruk dari sekadar membuatnya kehilangan kesadaran—bahkan tenaganya pun hilang.Lamunannya buyar ketika suara langkah berat terdengar memasuki ruangan saat pintu terbuka. Tatapan Kyne langsung terarah ke sosok pria yang berjalan mendekat, diikuti beberapa bawahan bersenjata. Tidak butuh firasat tajam untuk mengetahui bahwa ini bukan peringatan baik.Kyne, yang sadar dirinya kalah jumlah, perlahan
Di dalam kamarnya, Aleena duduk diam, menatap surat yang ia temukan di dalam loker kampusnya tadi siang. Ada sesuatu tentang surat itu yang membuatnya ragu. Hatinya gelisah, tangannya gemetar sedikit saat hendak merobek amplopnya.Ia menatapnya penuh perhitungan, seakan takut dengan apa yang akan ia temukan di dalamnya. Tapi pada akhirnya, dengan napas tertahan, ia memberanikan diri untuk membuka dan membacanya.Saat ia menarik keluar kertas di dalam amplop, selembar foto terjatuh ke lantai. Tanpa berpikir panjang, Aleena mengambilnya. Namun, begitu matanya menangkap isi foto itu, tubuhnya membeku.Di dalam gambar itu, Pavel tengah mencium seorang wanita dengan mesra. Latar belakangnya mendukung suasana romantis—mungkin di sebuah restoran mewah atau suite hotel eksklusif. Mereka tampak begitu intim, seakan dunia hanya milik mereka berdua."Pavel…." Suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdebar keras, rasa sakit menjalar tanpa peringatan. "Ini bukan editan."Tangannya mengepal di
Beberapa hari berlalu, dan sejauh ini kehidupan kampus Aleena terasa lebih tenang dalam pantauan Pavel. Tidak ada tindakan mencurigakan dari Kyne yang membuatnya harus terus waspada—meskipun di dalam hatinya, ia tahu Kyne tidak akan tinggal diam selamanya.Kini Pavel duduk dengan tenang di ruang pertemuan. Mata abu-abunya yang dingin memancarkan kepuasan, seolah segalanya berjalan sesuai dengan rencananya. Jika Kyne berniat membalas dendam, Pavel sudah menyiapkan langkah-langkah berikutnya. Bagi Pavel, Kyne hanyalah gangguan kecil—seekor hama yang tak sebanding dengan dirinya.Di dalam ruangan itu, Pavel dikelilingi oleh para petinggi dalam organisasi yang ia bangun dari nol—sebuah kerajaan bisnis yang telah menjalar ke banyak sektor. Saat ini, mereka tengah membahas pergerakan barang yang keluar dan masuk, memastikan segalanya berjalan lancar tanpa ada hambatan."Barang kita berkurang lagi." Pavel berbicara dengan nada datar namun tajam, matanya menyapu satu-persatu orang di sekelili
"Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya nyaris bergetar. Kepalanya menggeleng pelan, menolak menerima kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya.Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hancur—bukan hanya kehilangan sesuatu, tapi kehilangan segalanya. Tempat di mana ia tumbuh, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan tanpa tersentuh oleh siapa pun, kini hanya menyisakan puing-puing dan abu yang beterbangan, seakan keberadaannya tak pernah berarti.Ia sudah kehilangan keluarganya sejak kecil, dan sekarang... rumah yang bisu ini, satu-satunya tempat yang masih menghubungkannya dengan masa lalu, telah musnah. Hatinya mencengkeram perasaan sakit yang begitu dalam saat membayangkan semua foto, barang-barang penuh kenangan, semuanya lenyap tanpa bisa lagi ia lihat, ia sentuh, tanpa bisa ia peluk untuk terakhir kalinya."Kami turut prihatin atas kondisi yang Anda alami, Tuan Foster. Sepertinya saya tidak akan berlama-lama. Selamat sore," ujar Owen, suaranya datar, tan
Pagi tadi, Aleena akhirnya menemui Kyne untuk menyampaikan tujuannya. Ia tidak datang sendirian—Cate dan Marvin setia menemani, memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah.Sekarang, di sinilah Aleena berada—dalam ruang kerja pribadi Kyne yang ternyata cukup nyaman untuk sesi pembelajaran. Namun, satu hal yang membuat suasana sedikit canggung adalah keberadaan Owen, yang duduk tak jauh, memantau setiap gerak-gerik mereka.Kyne nyaris frustrasi. Ia tidak menyangka bahwa kekasih Aleena bisa seposesif ini. Sulit baginya untuk berbicara leluasa dengan gadis itu, apalagi ketika pria yang dikirim untuk mengawasi mereka menatapnya dengan tatapan dingin yang seolah mengingatkan: "Jaga jarak."Aleena berusaha mengabaikan suasana tegang yang tak terhindarkan. Ia hanya ingin menyelesaikan urusannya dengan cepat. Dengan suara tenang, ia membuka buku catatannya dan menatap Kyne."Tuan Foster, saya ingin membahas materi yang tertinggal dan mencari cara untuk memperbaiki nilai saya
Malam itu, Aleena menghela napas panjang saat menyadari Pavel tidak hadir di jam makan malam. Suasana meja makan yang sunyi membuatnya merasa serba salah. Dia bingung bagaimana harus menanggapi sikap Pavel yang begitu keras menolak dirinya didekati pria lain.Tanpa banyak berpikir, Aleena menyelesaikan makan malamnya dengan cepat. Setelah meletakkan peralatan makan, dia segera beranjak menuju ruang kerja Pavel. Dia tahu pria itu pasti ada di sana.Di depan pintu, Aleena mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, keraguan menahannya sejenak. Napasnya terasa berat, pikirannya berkecamuk.Tapi akhirnya, dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia mengetuk pintu pelan. Dirinya harus berbicara dengan Pavel. Harus memastikan pria itu memaafkannya—dan yang terpenting, mengizinkannya mengikuti kelas tambahan.Dari dalam, terdengar suara Pavel yang rendah namun jelas. "Masuk."Aleena menelan ludah, lalu memutar gagang pintu dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pa