Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel.
Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Morris. Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu?" Perlahan Aleena mulai menenangkan dirinya supaya terlihat alami. Kemudian bertanya, "Kata Tuan Pavel kau memegang kunci cadangan kamarnya. Aku menyampaikan padanya, jika aku membutuhkan sesuatu untuk tugas kuliah dan dia memberikan izin padaku mengambil buku yang katanya akan sangat membantuku." Lalu Aleena melanjutkan, "Apa kau bisa memberikan kuncinya?" Mata Kenji semakin sipit karena memicingkan matanya secara tajam, seakan-akan menilai, ada kemungkinan Aleena mencoba membohongi dirinya. Namun, dirasa tak menemukan apa-apa, Kenji menghela napas dan mengeluarkan kunci dari saku celana. Dia hendak memberikannya, tapi langsung ditarik kembali. "Tapi Tuan tidak mengatakan apa-apa pada saya," ungkap Kenji. Dia terus menatap sosok Aleena, gadis itu bahkan tampak tenang sebagai seorang pembohong. "Justru itu, dia sedang sibuk. Barusan kami baru saja saling melakukan panggilan telepon," balas Aleena sembari mengangkat ponsel yang diberikan Owen. Lalu dia membuka kunci layar dan memperlihatkan riwayat panggilan, tertera di sana nama Tuan Ellington dengan waktu terlampir, jika panggilan itu baru beberapa menit lalu. Kenji sempat menghela napas, kemudian dia memutuskan, "Baiklah. Saya akan menemani anda, mari." Wajah Aleena bertambah cerah karena Kenji percaya, meski ada rasa skeptis di dalam hati pria itu. Dengan tenang Aleena mengikuti Kenji menuju kamar Pavel. Di saat keduanya telah tiba di depan kamar Tuan Ellington tersebut, Kenji tidak langsung membuka pintu. Tatapannya serius, lalu tak lama suaranya terdengar tegas mengudara sebelum membuka pintu di depan mereka. "Ingat Nona, jangan lama dan saya akan menunggu anda di depan pintu. Waktu terbatas," tegas Kenji, tangannya membuka pintu melalui kunci yang ada di tangannya. "Yah, aku dengar dan ingat, tolong tunggu aku." Tanpa menunggu balasan dari Kenji, Aleena bergegas masuk ke dalam kamar tidur Pavel. Bukan saatnya untuk terpesona dengan gaya kamarnya, melainkan matanya menatap sekitar ketika kakinya masuk semakin dalam ke kamar tersebut. Memang seperti kamar pada umumnya, yang membedakan hanya kamar Pavel tampak lebih besar dan lebih mengarah ke fungsional. Dikarenakan ada meja yang seperti meja kerja, mungkin Pavel tidak memiliki ruang kerja dan memanfaatkan sisi kosong kamarnya untuk lebih bermanfaat bagi pria itu. Aleena berdiri diam di tengah kamar Pavel, menatap dokumen-dokumen dan foto-foto di atas meja kerja. Semua ini terasa seperti puzzle yang belum lengkap. Nama-nama di dokumen itu terdengar asing baginya, tapi beberapa lokasi pelabuhan membuatnya berpikir. Senjata ilegal, itu sudah jelas. Pavel bahkan tidak berusaha menyembunyikan bahwa dia memiliki bisnis gelap. Tapi... apakah mungkin dia lebih dari sekadar pedagang senjata? Aleena menggigit bibirnya. 'Tidak,' pikirnya. Pavel adalah pria yang arogan, sombong, dan penuh rahasia, tapi itu tidak berarti dia seorang mafia. "Dia mungkin hanya pengusaha sukses yang bermain di area abu-abu," gumamnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. "Bisnis gelap, ya, tapi itu saja. Dia tidak mungkin... lebih buruk dari itu." Tapi pandangannya kembali tertuju pada foto di meja. Foto itu menunjukkan Pavel dengan beberapa pria yang wajahnya tidak bersahabat. Salah satu dari mereka memegang senjata otomatis, dan senyuman mereka tidak ramah—senyuman seperti orang yang sudah terbiasa dengan kekerasan. Aleena merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Pria-pria ini bukan sekadar rekan bisnis biasa. Bahkan Pavel di foto itu terlihat... berbeda. Bukan Pavel yang sering dia lihat bercanda sinis di rumah, tapi seseorang dengan tatapan dingin dan penuh kuasa. Dia mencoba mengabaikan rasa takut yang merayap di dalam dirinya. "Mungkin mereka hanya kliennya. Atau... mitra dagang?" pikirnya. "Ya, Pavel hanyalah pria yang menjual senjata ilegal untuk orang-orang seperti mereka. Itu tidak berarti dia bagian dari organisasi besar atau semacamnya." Namun, semakin dia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, semakin sulit untuk mengabaikan rasa tidak nyaman di dadanya. Ketukan pelan di pintu membuyarkan pikirannya. "Nona Morris, waktu Anda sudah habis," suara Kenji terdengar tegas dari balik pintu. "Sebentar lagi," jawab Aleena buru-buru, menyelipkan foto itu ke balik bajunya tanpa berpikir panjang. Aleena melangkah keluar dari kamar, dan seperti perkataan kepala pelayan itu, dia berdiri di sana dengan ekspresi dinginnya. "Ada yang Anda butuhkan lagi, Nona?" tanyanya. Aleena menggeleng. "Tidak, terima kasih. Itu saja." Kenji tidak mengatakan apa-apa, tetapi tatapannya seolah mengawasi setiap gerak-gerik Aleena. Dia merasa semakin terjebak di rumah ini—bukan hanya oleh dinding-dinding besar dan pengawal yang mengintai setiap sudut, tapi juga oleh rahasia-rahasia yang terus menghantuinya. Saat kembali ke kamarnya, Aleena menarik napas panjang dan mengeluarkan foto itu. Matanya menelusuri setiap detail, mencari sesuatu yang bisa menjelaskan siapa Pavel sebenarnya. Tapi yang ia temukan hanyalah lebih banyak pertanyaan. Dia memandang keluar jendela, ke arah taman yang luas namun terasa seperti penjara. "Tuan Pavel... siapa dia sebenarnya?" gumamnya pelan. Mungkin Pavel hanyalah seorang pria kaya yang menyembunyikan bisnis gelapnya dengan cermat. Tapi untuk pertama kalinya, Aleena mulai merasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar—dan lebih berbahaya—dibalik semua itu.Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman
Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh
"Makan... atau aku akan menyumpal mulutmu dengan sesuatu yang mungkin kau sukai," ancamnya dingin, nada tajam penuh intimidasi. Meski terdengar ambigu, maksudnya jelas tak terelakkan. Tangan Aleena mencengkeram sendok di genggamannya dengan gemetar. Tubuhnya terasa remuk redam, hasil ulah Pavel tadi malam. Kontras dengan pria itu yang tampak segar dan tak terganggu sedikit pun, dirinya justru harus menahan rasa nyeri yang menjalar di setiap inci tubuhnya. "Makanlah, gadis kecil. Tubuh ringkihmu butuh asupan," ucap Pavel dengan nada meremehkan. Aleena mendengus pelan merasa terhina, tapi tidak berani melawan. Pavel yang menangkap reaksinya hanya tersenyum miring. "Keras kepala sekali. Bahkan dalam keadaan seperti ini... aku jadi tidak sabar untuk 'mendidikmu' lagi.""Jangan!" sergah Aleena panik, napasnya tercekat. "A—aku tidak mau! Tubuhku masih sakit!"Ketakutan merayapi dirinya. Hanya mendengar ancamannya saja sudah membuat tubuhnya gemetar. P
Semakin hari, ekspresi wajahnya semakin datar, seolah kehilangan minat untuk mengajar di universitas itu. Beberapa kali dia menghela napas, merasa frustrasi dengan beberapa mahasiswa bimbingannya yang benar-benar menguji kesabarannya. Mereka membuat darahnya mendidih—mengingatkan dirinya agar tidak sampai kehilangan kendali dan menghabisi salah satu dari mereka demi memuaskan hobinya yang gelap."Hei, jangan mengobrol. Saya menyuruh kalian mengerjakan tugas, bukan berdiskusi tentang hal yang tidak perlu," tegur Kyne dingin pada salah satu mahasiswa di kelas itu.Gadis yang ditegur menelan ludah, tapi melihat raut wajah Kyne yang tetap datar, dia justru mengangkat ponselnya dengan ragu. Dia tahu betul bahwa profesor di depannya ini memiliki ketertarikan pada temannya."Maafkan kami, Profesor. Teman kami baru saja memberi kabar. Aleena izin dalam waktu cukup lama, dan dia baru saja menghubungi kami."Pria di sampingnya mengangguk membenarkan. "Benar
Dua hari pemulihan yang terasa seperti lama tanpa akhir, akhirnya berbuah sedikit kebebasan bagi Aleena. Udara segar di luar kediaman itu menyambutnya kembali, tapi bukan karena Pavel bermurah hati. Pria itu hanya mengizinkannya keluar karena kebetulan dia sendiri memiliki urusan di luar. Jadi, Aleena tak punya pilihan selain menerima keadaan ini, meski tubuhnya masih terasa lemah.Saat mobil mewah mereka melaju di jalan raya, Aleena bersandar pada jendela, matanya menerawang, pikirannya berlarian tanpa arah. Dia masih belum menerima balasan pesan dari Cate maupun Marvin. Harapannya sederhana—agar mereka memahami mengapa dia belum bisa memberi kabar. Namun, ketidakpastian itu menggerogoti pikirannya, menambahkan satu lagi beban yang harus ditanggungnya.Di sisi lain, Pavel duduk tenang, mengamati Aleena dari sudut matanya. Gadisnya terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Biasanya, dia akan melontarkan komentar atau bahkan protes kecil, tapi kali ini tidak. Hanya kesunyian yang me
Pavel menghela napas pelan, seolah kehilangan minat dengan mendadak. Dia lalu berdiri, merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sapu tangan putih bersih. Dengan tenang, dia mengusap jemarinya, seakan ingin menghilangkan kotoran yang bahkan tidak ada di sana. Lalu membuang sembarangan kain tersebut, tampak acuh. Gerakan itu terasa sangat disengaja. Seakan ia ingin menunjukkan satu hal pada semua orang di tempat ini, dia tidak akan mengotori tangannya untuk sesuatu yang tidak layak.Tanpa menoleh, Pavel mengangkat satu jari ke udara, sebuah isyarat sederhana namun tegas.Dari sudut-sudut ruangan yang gelap, beberapa pria muncul. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, wajah mereka tanpa ekspresi, seperti bayangan yang hanya bergerak ketika diperintahkan. Salah satu dari mereka segera berjalan mendekat, membungkuk hormat di hadapan Pavel, menunggu instruksi lebih lanjut."Pastikan dia tidak membuat kesalahan lagi," kata Pavel datar, tanpa sedikit pun emosi di suaranya.Pria yang babak
"Pavel, aku mohon... jangan sekarang," lirih Aleena di atas tempat tidur yang berderit. Tangannya yang lebih besar dari tangan Aleena berhasil menangkup salah satu payud*ra sang gadis. Meremasnya lumayan cukup kencang. "Stt, serahkan padaku, sayang. Kau aman bersamaku. Percayalah."Aleena mengerang ketika gerakan tangan Pavel kian menjadi. Tak hanya satu tangan, tangan lainnya menangkup kemaluannya melalui luar celana dalam. Ya, roknya sudah tersingkap entah sejak kapan. "Ngh, baiklah. Tapi aku mohon, perlahan saja. Jangan kasar," cicit Aleena gemetar. Wajahnya memelas memerah bercampur dengan rasa terhina dan terangsang. "Apa boleh?"Pavel berhenti sejenak dan menggeram mendengar permohonan Aleena, tapi tak lama dia menyunggingkan senyum miring. "Akan aku kabulkan... namun aku tidak janji."Setelah mengatakan itu Pavel tanpa aba-aba memasukkan tangannya ke dalam celana dalam Aleena. Jari-jarinya yang tebal menusuk masuk, sekitar dua jari membelahnya, membuat gadis itu membusungkan
Keesokan harinya.Begitu membuka ponselnya, Aleena mendapati sebuah pesan dari Pavel. Matanya mengerjap membaca isi pesan itu, dan dalam hitungan detik, dia langsung melompat dari tempat tidur. Tanpa membuang waktu, Aleena segera bersiap untuk pergi ke universitas.Akhirnya, Pavel benar-benar mengizinkannya keluar dari kediaman.Meski begitu, kebebasannya tetap memiliki batasan. Beberapa pengawal akan mengawalnya—atau lebih tepatnya, mengawasinya. Setidaknya, kali ini tidak ada daftar pelayan yang ikut. Itu sudah cukup baginya.Setelah beberapa saat, Aleena sudah siap. Tidak ada lagi pakaian atau barang murah melekat di tubuhnya seperti dulu. Kini, seorang mahasiswi beasiswa itu akan kembali ke kampus dengan penampilan yang jauh lebih elegan—sebuah perubahan drastis yang mencerminkan status sosialnya yang naik secara tiba-tiba.Pavel jelas tidak takut bangkrut, asalkan Aleena selalu tampil menarik. Apapun untuk sang gadis. Kini Aleena menatap bayangannya di cermin dan tersenyum penuh
Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima
Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me
Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har
Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.
"Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje
Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas
Aleena menerima pesan singkat di ponselnya. Nomor asing tertera di layar, diikuti dengan pesan berikutnya yang langsung menyebutkan identitas sang pengirim—Louise.Wanita itu benar-benar tidak tahu malu. Sepertinya dia sangat takut kehilangan Pavel, atau lebih tepatnya, takut Pavel menikahi gadis yang jauh lebih muda darinya. Aleena mendengus, menyadari bahwa dirinya memang tidak lebih unggul dalam banyak hal, kecuali satu: usianya yang lebih muda.Tapi meski begitu, rasa percaya dirinya tetap tidak kokoh. Ada bagian dari dirinya yang masih ragu, yang masih merasa cemas meskipun ia mencoba menyangkalnya.Dengan helaan napas kasar, Aleena membuka pesan itu. Dan saat itu juga, dunianya seakan runtuh.Matanya membesar, napasnya tercekat. Foto yang dikirimkan Louise menampilkan sosok pria bertelanjang punggung membelakangi kamera, memperlihatkan tato yang menutupi bekas luka. Tato yang sangat familiar, sangat dikenalnya. Itu tubuh Pavel.Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel, dadanya
Tamparan keras kembali mendarat di wajah Louise, kali ini dari pria yang seharusnya menjadi sekutunya. Mereka memiliki tujuan yang sama—menghancurkan Pavel, menghancurkan bisnis dan kehidupannya, memastikan pria itu jatuh tanpa bisa bangkit kembali."Kau bodoh! Sangat bodoh!" Pria itu menggeram, suaranya tajam dan penuh amarah. "Seharusnya kau lebih cerdas, lebih taktis! Bukan bertindak gegabah dengan mendatangi kediamannya tanpa persiapan matang!"Matanya membara, rahangnya mengeras menahan emosi. Kemarahan itu semakin membuncah saat dia melangkah mendekat, menatap Louise dengan penuh penghinaan."Jalang sialan! Gunakan cara lain! Atau...." Dia menunduk sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan beracun, "Gunakan tubuhmu!"Louise memejamkan mata sejenak, menahan panas yang membakar pipinya. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga menghujam harga dirinya. Dalam satu hari, dia telah ditampar dua kali—oleh Pavel dan sekarang oleh Humphrey, pria yang seharusnya berada di pihaknya.M
Situasi sulit jelas terasa di sisi Marvin dan Alexander. Berbeda dengan Pavel, yang kini sudah mengetahui segalanya. Namun, alih-alih cemas atau marah jika ekspektasinya tak terwujud, pria itu tampak santai, duduk di sofa di depan televisi, menemani Aleena yang asyik menonton drama Korea. Hari ini, Aleena tampak lebih tenang dan dalam suasana hati yang baik, membuat Pavel tak perlu repot-repot menjinakkan kucing liar yang biasanya sulit diatur. Gadis itu bersandar santai di sisinya, tanpa perlawanan, sesuatu yang jarang terjadi. Namun, ketenangan itu terusik ketika seorang pelayan datang menghampiri mereka. Wajahnya tampak ragu, seolah ada sesuatu yang berat untuk disampaikan. "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nona," ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Tapi... wanita itu datang lagi, Tuan." Aleena mengerutkan kening, kepalanya miring ke samping. "Siapa?" "Louise Carter, Nona Morris," jawab sang pelayan hati-hati. Pavel masih tampak santai, jemarinya sibuk memainkan rambut