Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam.
Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut. "Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku. Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pavel lekas berdiri setelah menyeka mulut menggunakan serbet dan langsung melihat reaksi gadisnya yang berwajah pias, amat pucat. "Untuk hari ini kau tidak berangkat ke universitas. Fokus pada memulihkan kondisi tubuh ringkih mu itu dan habiskan buburnya. Aku tak mau kau sakit hanya karena masalah sepele." Napas Aleena tercekat untuk sesaat, kemudian ia mengambil napas dalam-dalam dan berusaha agar tak terlihat lemah. Sungguh, perkataan Pavel sangat kejam, seakan tidak memiliki hati nurani. "Tuan, kenapa aku harus patuh padamu? Kau hanya orang asing bagiku, memanfaatkan aku sebagai alat—pemuas nafsu," cetusnya, suaranya terdengar bergetar. Emosinya sebisa mungkin tak meledak di detik itu juga. "Aku bukan jal*ngmu!" Mata Pavel berputar malas. "Haah, ikuti saja apa yang aku inginkan. Jangan banyak membantah, aku bisa menghancurkan masa depanmu semudah menjentikkan jari." "Lucu sekali, kau bukan Tuhan yang memegang kendali kehidupan manusia!" sentak Aleena sambil membanting alat makan di atas meja makan. Hal tersebut memancing amarah Pavel, sehingga pria itu melangkah mendekati Aleena. Tatapan matanya menatap tajam pada Aleena, dia mengulurkan tangan, mencengkeram rahangnya begitu kuat dan menyakitkan. Tidak peduli seberapa sakit, seberapa membekas bekas ruam merah tercipta di kulit putih lembut gadis di depannya. "Dengarkan aku, sayang... kau tidak harus tahu apa status dan posisimu di sini." Nada bicaranya mengandung ancaman tak kasat mata dan terucap, lalu mengencangkan cengkeramannya pada rahang Aleena. "Aku memang bukan Tuhan, namun aku bisa menjadi orang yang membuat hidupmu hancur, akan ku buat dirimu menjadi cangkang kosong sampai yang kau punya hanya pikiran untuk mengabdi dan patuh padaku." Tangan lainnya mengusap lembut pipi Aleena yang basah karena air mata, sentuhannya penuh sarat janji gelap. "Itu mudah, Aleena, kau cukup mengikuti apa yang aku bilang dan lakukan. Kau berada digenggaman orang tepat, menjagamu dan memberikan sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jadi... patuh saja, gadis manis. Simpan tenagamu untuk kegiatan intim kita nanti malam." Kemudian Pavel mengecup kening Aleena sedikit lebih lama dan dia pun menarik dirinya, berdiri tegak sambil merapikan tatanan rambut. Tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Aleena. Gadis itu terlalu diam saja saat dia hina, menyedihkan. "Baiklah, jaga dirimu. Pakai otakmu sebelum bertindak." Setelah mengatakannya, Pavel pergi begitu saja. Sedangkan Aleena mengepalkan tangannya kuat-kuat, wajahnya terangkat menatap sinis kepergian Pavel. "Tenang saja, Tuan, aku akan buktikan—jika aku tak semudah yang kau pikirkan," gumamnya penuh tekad. Dengan enggan Aleena memakan bubur buatan pelayan di kediaman Ellington. Mau senikmat apa pun, di lidahnya tetap hambar karena pada kenyataannya, perjalanan hidupnya tidak setenang dulu. Ya, walau tidak bisa dipungkiri, lebih baik diganggu oleh para penindas di kampus ketimbang hidup bersama Pavel yang menjadikannya seorang jal*ng pribadi di mansion megahnya. *** Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, di setiap titik yang biasa di datangi oleh Aleena. Sayangnya, nihil. Gadis itu masih belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya, bahkan ketika hari sudah mulai siang. Ekspresi pria itu terus menebarkan keramahan, jelas bertolak belakang dengan suasana hatinya saat ini. Kemudian kakinya melangkah ke ruang kerjanya. Segelintir mahasiswa yang melewati dirinya, hingga di beberapa meter terus dia lirik, tapi tetap dia tak menemukan sosok Aleena. Saat dia sudah masuk ke dalam ruang kerjanya, ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat. Pajangan di meja dia lempar ke dinding, menciptakan suara dentuman keras memekakkan telinga. Rambutnya yang tertata rapi di usap kasar sampai berantakan. Rahangnya mengetat, mengingat kejadian kemarin sebelum keduanya berpisah. "Sialan! Beraninya dia membawa gadisku pergi, dasar bajing*n!" teriaknya keras, mengamuk sambil melempar vas bunga ke lantai. "Aleena, kau membuatku gila. Siapa pria itu?" gumam Kyne, suaranya menggeram marah. "Tidak, Aleena Morris milikku, aku tidak akan pernah mau melepaskan gadis itu!" Tak lama suara tawa menggema di ruangan tersebut, seringai mengerikan terlukis di wajah tampannya. "Sial, baru saja melenyapkan hama, aku harus menghabisi hama lainnya. Ya, aku tak mungkin kalah dengan hama satu ini, gadisku, tetap milikku." Tangannya merogoh saku celana bahan melekat di tubuhnya, dia mencari salah satu nomor salah satu orang kepercayaannya. Pesan itu berisikan; "Carikan aku informasi tentang pria yang sedang mendekati Aleena Morris. Tenggat waktu sampai nanti malam pukul sepuluh." Setelah mengirimkan pesan, Kyne masih belum bisa tenang. Pikirannya berpacu dalam melodi suram. Kehilangan Aleena saat dirinya belum mengklaim gadisnya sepenuhnya, membuat dirinya terus gelisah. "Lihat saja, cepat atau lambat... aku akan menunjukkan siapa diriku. Beraninya dia merebut gadisku!" gerutunya. Gemuruh di dadanya begitu terasa, ingin sekali meluapkan segala emosi. "Tidak, aku tak mau kehilangannya." Lagi, Kyne menggerutu, kali ini ekspresinya tampak rapuh dengan tubuh terjatuh di atas sofa. "Sungguh aku mencintai dirinya, harapanku... harapan terakhirku bertahan di dunia ini." "Aleena, aku sangat mencintaimu, merindukan dirimu, menginginkan dirimu melebihi apa pun yang ada di dunia ini," lirih Kyne. Tanpa di undang, air matanya mengalir. Lengan kokohnya menutupi sebagian wajahnya, memejamkan mata—merasakan kepahitan setelah merasa kelegaan terukir di hati, namun itu tampak nyaris menjadi angan jika nantinya Aleena saja sulit dia miliki. Matanya terbuka, memancarkan sesuatu berintensitas tinggi. Kepalan tangannya membentuk tinju siap diayunkan. Kemudian dalam waktu singkat Kyne mendapatkan ketenangannya, tertawa lagi, terdengar seperti seorang penjahat. "Setelah ini aku akan membuat Aleena jatuh cinta padaku, membenci semuanya dan hanya memujaku selamanya. Ya, seutuhnya untuk dimiliki oleh aku—selamanya." Berbeda dengan situasi seorang pria lain ketika Kyne berpusat kepada perasaannya, orang satu ini justru sedang memikirkan bagaimana cara merebut milik Pavel sekaligus menghancurkannya perlahan. Seringai nakal tersungging di bibirnya, menambah kesan menyeramkan juga ketampanan dalam satu waktu. Aleena bagaikan sosok boneka cantik yang hadir di tengah kegelapan Pavel, sehingga pria itu sedikit menunjukkan perbedaan. Kepalanya menggeleng mengingat wajah cantik Aleena. Sekuntum mawar merah kecil siap dipetik dan dihancurkan, memikirkan hal bej*t terus terlintas di benaknya, dia semakin gencar menyusun segala macam rencana. "Pavel, tunggu saja... permainan segera dimulai dan tanpa sadar kau telah memulainya sendiri demi kehancuran dirimu sendiri," gerutunya bergumam, berdialog di antara sepi.Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas.Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu.Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel.
"Sialan, ini semakin tak nyaman!" keluh seorang wanita muda berjalan tunggang langgang tak tentu arah. Di sebuah klub malam, Aleena yang berhasil kabur dari teman prianya tanpa sengaja menabrak seorang pria berpakaian formal. Tangan serta lengannya yang kokoh mencegah agar Aleena tak terjatuh ke lantai. Sentuhan tersebut membuat tubuhnya menegang, hingga dirinya memegang erat lengan pria itu. "Lepas." Satu kata menusuk terlontar dari mulut pria asing itu. Menatap Aleena tajam dan terdengar menggeram marah akibat ucapannya tak digubris. Aleena yang terjebak karena alkohol dan obat perangsang pun tak mampu menanggapinya. Pria di depannya ini mengeluarkan wangi parfum mahal khas kelas atas, ditambah tubuh kekar menggoda di balik balutan kemeja serta mantelnya yang mahal. Lalu kepala Aleena mendongak, menatap sang pria dengan sayu disertai napas berat. Wajahnya yang memerah tak Aleena sadari, hanya saja, tubuhnya semakin panas di dekat pria itu. "T—tuan... tolong...." Wajah pria y
"Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku." Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu." "Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan. Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis. "Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena.
Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau seorang yang lebih dari itu."Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana."Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang harus ingin Tuan tambahkan?"Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat."Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri.Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia memenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap Pavel. "Ya, T
"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas.Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu.Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel.
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam.Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut."Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku.Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pavel lekas berdiri setelah menyeka mulut menggunakan serbet dan langsung melihat reaksi gadisnya yang berwajah pias, amat pucat. "Untuk
"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau seorang yang lebih dari itu."Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana."Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang harus ingin Tuan tambahkan?"Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat."Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri.Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia memenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap Pavel. "Ya, T
"Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku." Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu." "Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan. Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis. "Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena.
"Sialan, ini semakin tak nyaman!" keluh seorang wanita muda berjalan tunggang langgang tak tentu arah. Di sebuah klub malam, Aleena yang berhasil kabur dari teman prianya tanpa sengaja menabrak seorang pria berpakaian formal. Tangan serta lengannya yang kokoh mencegah agar Aleena tak terjatuh ke lantai. Sentuhan tersebut membuat tubuhnya menegang, hingga dirinya memegang erat lengan pria itu. "Lepas." Satu kata menusuk terlontar dari mulut pria asing itu. Menatap Aleena tajam dan terdengar menggeram marah akibat ucapannya tak digubris. Aleena yang terjebak karena alkohol dan obat perangsang pun tak mampu menanggapinya. Pria di depannya ini mengeluarkan wangi parfum mahal khas kelas atas, ditambah tubuh kekar menggoda di balik balutan kemeja serta mantelnya yang mahal. Lalu kepala Aleena mendongak, menatap sang pria dengan sayu disertai napas berat. Wajahnya yang memerah tak Aleena sadari, hanya saja, tubuhnya semakin panas di dekat pria itu. "T—tuan... tolong...." Wajah pria y