Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam. Bahkan, semalam Pavel tampak kasar, mungkin karena pertemuan yang membuat waktunya terbuang dan tak mendapatkan momen menarik.
Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut. "Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku. Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pavel lekas berdiri setelah menyeka mulut menggunakan serbet dan langsung melihat reaksi gadisnya yang berwajah pias, amat pucat. "Untuk hari ini kau tidak berangkat ke universitas. Fokus pada memulihkan kondisi tubuh ringkih mu itu dan habiskan buburnya. Aku tak mau kau sakit hanya karena masalah sepele." Napas Aleena tercekat untuk sesaat, kemudian ia mengambil napas dalam-dalam dan berusaha agar tak terlihat lemah. Sungguh, perkataan Pavel sangat kejam, seakan tidak memiliki hati nurani. "Tuan, kenapa aku harus patuh padamu? Kau hanya orang asing bagiku, memanfaatkan aku sebagai alat—pemuas nafsu," cetusnya, suaranya terdengar bergetar. Emosinya sebisa mungkin tak meledak di detik itu juga. "Aku bukan jal*ngmu!" Mata Pavel berputar malas. "Haah, ikuti saja apa yang aku inginkan. Jangan banyak membantah, aku bisa menghancurkan masa depanmu semudah menjentikkan jari." "Lucu sekali, kau bukan Tuhan yang memegang kendali kehidupan manusia!" sentak Aleena sambil membanting alat makan di atas meja makan. Hal tersebut memancing amarah Pavel, sehingga pria itu melangkah mendekati Aleena. Tatapan matanya menatap tajam pada Aleena, dia mengulurkan tangan, mencengkeram rahangnya begitu kuat dan menyakitkan. Tidak peduli seberapa sakit, seberapa membekas bekas ruam merah tercipta di kulit putih lembut gadis di depannya. "Dengarkan aku, sayang... kau tidak harus tahu apa status dan posisimu di sini." Nada bicaranya mengandung ancaman tak kasat mata dan terucap, lalu mengencangkan cengkeramannya pada rahang Aleena. "Aku memang bukan Tuhan, namun aku bisa menjadi orang yang membuat hidupmu hancur, akan ku buat dirimu menjadi cangkang kosong sampai yang kau punya hanya pikiran untuk mengabdi dan patuh padaku." Tangan lainnya mengusap lembut pipi Aleena yang basah karena air mata, sentuhannya penuh sarat janji gelap. "Itu mudah, Aleena, kau cukup mengikuti apa yang aku bilang dan lakukan. Kau berada digenggaman orang tepat, menjagamu dan memberikan sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jadi... patuh saja, gadis manis. Simpan tenagamu untuk kegiatan intim kita nanti malam." Kemudian Pavel mengecup kening Aleena sedikit lebih lama dan dia pun menarik dirinya, berdiri tegak sambil merapikan tatanan rambut. Tangannya menepuk-nepuk pelan pipi Aleena. Gadis itu terlalu diam saat dia hina, menyedihkan. "Baiklah, jaga dirimu. Pakai otakmu sebelum bertindak." Setelah mengatakannya, Pavel pergi begitu saja. Sedangkan Aleena mengepalkan tangannya kuat-kuat, wajahnya terangkat menatap sinis kepergian Pavel. "Tenang saja, Tuan, aku akan buktikan—jika aku tak semudah yang kau pikirkan," gumamnya penuh tekad. Dengan enggan Aleena memakan bubur buatan pelayan di kediaman Ellington. Mau senikmat apa pun, di lidahnya tetap hambar karena pada kenyataannya, perjalanan hidupnya tidak setenang dulu. Ya, walau tidak bisa dipungkiri, lebih baik diganggu oleh para penindas di kampus ketimbang hidup bersama Pavel yang menjadikannya seorang jalang pribadi di mansion megahnya. *** Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, di setiap titik yang biasa di datangi oleh Aleena. Sayangnya, nihil. Gadis itu masih belum menunjukkan tanda-tanda kehadirannya, bahkan ketika hari sudah mulai siang. Ekspresi pria itu terus menebarkan keramahan, jelas bertolak belakang dengan suasana hatinya saat ini. Kemudian kakinya melangkah ke ruang kerjanya. Segelintir mahasiswa yang melewati dirinya, hingga di beberapa meter terus dia lirik, tapi tetap dia tak menemukan sosok Aleena. Saat dia sudah masuk ke dalam ruang kerjanya, ekspresinya berubah seratus delapan puluh derajat. Pajangan di meja dia lempar ke dinding, menciptakan suara dentuman keras memekakkan telinga. Rambutnya yang tertata rapi di usap kasar sampai berantakan. Rahangnya mengetat, mengingat kejadian kemarin sebelum keduanya berpisah. "Sialan! Beraninya dia membawa gadisku pergi, dasar bajing*n!" teriaknya keras, mengamuk sambil melempar vas bunga ke lantai. "Aleena, kau membuatku gila. Siapa pria itu?" gumam Kyne, suaranya menggeram marah. "Tidak, Aleena Morris milikku, aku tidak akan pernah mau melepaskan gadis itu!" Tak lama suara tawa menggema di ruangan tersebut, seringai mengerikan terlukis di wajah tampannya. "Sial, baru saja melenyapkan hama, aku harus menghabisi hama lainnya. Ya, aku tak mungkin kalah dengan hama satu ini, gadisku, tetap milikku." Tangannya merogoh saku celana bahan melekat di tubuhnya, dia mencari salah satu nomor salah satu orang kepercayaannya. Pesan itu berisikan; "Carikan aku informasi tentang pria yang sedang mendekati Aleena Morris. Tenggat waktu sampai nanti malam pukul sepuluh." Setelah mengirimkan pesan, Kyne masih belum bisa tenang. Pikirannya berpacu dalam melodi suram. Kehilangan Aleena saat dirinya belum mengklaim gadisnya sepenuhnya, membuat dirinya terus gelisah. "Lihat saja, cepat atau lambat... aku akan menunjukkan siapa diriku. Beraninya dia merebut gadisku!" gerutunya. Gemuruh di dadanya begitu terasa, ingin sekali meluapkan segala emosi. "Tidak, aku tak mau kehilangannya." Lagi, Kyne menggerutu, kali ini ekspresinya tampak rapuh dengan tubuh terjatuh di atas sofa. "Sungguh aku mencintai dirinya, harapanku... harapan terakhirku bertahan di dunia ini." "Aleena, aku sangat mencintaimu, merindukan dirimu, menginginkan dirimu melebihi apa pun yang ada di dunia ini," lirih Kyne. Tanpa di undang, air matanya mengalir. Lengan kokohnya menutupi sebagian wajahnya, memejamkan mata—merasakan kepahitan setelah merasa kelegaan terukir di hati, namun itu tampak nyaris menjadi angan jika nantinya Aleena saja sulit dia miliki. Matanya terbuka, memancarkan sesuatu berintensitas tinggi. Kepalan tangannya membentuk tinju siap diayunkan. Kemudian dalam waktu singkat Kyne mendapatkan ketenangannya, tertawa lagi, terdengar seperti seorang penjahat. "Setelah ini aku akan membuat Aleena jatuh cinta padaku, membenci semuanya dan hanya memujaku selamanya. Ya, seutuhnya untuk dimiliki oleh aku—selamanya." Berbeda dengan situasi seorang pria lain ketika Kyne berpusat kepada perasaannya, orang satu ini justru sedang memikirkan bagaimana cara merebut milik Pavel sekaligus menghancurkannya perlahan. Seringai nakal tersungging di bibirnya, menambah kesan menyeramkan juga ketampanan dalam satu waktu. Aleena bagaikan sosok boneka cantik yang hadir di tengah kegelapan Pavel, sehingga pria itu sedikit menunjukkan perbedaan. Kepalanya menggeleng mengingat wajah cantik Aleena. Sekuntum mawar merah kecil siap dipetik dan dihancurkan, memikirkan hal bej*t terus terlintas di benaknya, dia semakin gencar menyusun segala macam rencana. "Pavel, tunggu saja... permainan segera dimulai dan tanpa sadar kau telah memulainya sendiri demi kehancuran dirimu sendiri," gerutunya bergumam, berdialog di antara sepi.Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan si
Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel. Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Mor
Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman
Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh
"Makan... atau aku akan menyumpal mulutmu dengan sesuatu yang mungkin kau sukai," ancamnya dingin, nada tajam penuh intimidasi. Meski terdengar ambigu, maksudnya jelas tak terelakkan. Tangan Aleena mencengkeram sendok di genggamannya dengan gemetar. Tubuhnya terasa remuk redam, hasil ulah Pavel tadi malam. Kontras dengan pria itu yang tampak segar dan tak terganggu sedikit pun, dirinya justru harus menahan rasa nyeri yang menjalar di setiap inci tubuhnya. "Makanlah, gadis kecil. Tubuh ringkihmu butuh asupan," ucap Pavel dengan nada meremehkan. Aleena mendengus pelan merasa terhina, tapi tidak berani melawan. Pavel yang menangkap reaksinya hanya tersenyum miring. "Keras kepala sekali. Bahkan dalam keadaan seperti ini... aku jadi tidak sabar untuk 'mendidikmu' lagi.""Jangan!" sergah Aleena panik, napasnya tercekat. "A—aku tidak mau! Tubuhku masih sakit!"Ketakutan merayapi dirinya. Hanya mendengar ancamannya saja sudah membuat tubuhnya gemetar. P
Semakin hari, ekspresi wajahnya semakin datar, seolah kehilangan minat untuk mengajar di universitas itu. Beberapa kali dia menghela napas, merasa frustrasi dengan beberapa mahasiswa bimbingannya yang benar-benar menguji kesabarannya. Mereka membuat darahnya mendidih—mengingatkan dirinya agar tidak sampai kehilangan kendali dan menghabisi salah satu dari mereka demi memuaskan hobinya yang gelap."Hei, jangan mengobrol. Saya menyuruh kalian mengerjakan tugas, bukan berdiskusi tentang hal yang tidak perlu," tegur Kyne dingin pada salah satu mahasiswa di kelas itu.Gadis yang ditegur menelan ludah, tapi melihat raut wajah Kyne yang tetap datar, dia justru mengangkat ponselnya dengan ragu. Dia tahu betul bahwa profesor di depannya ini memiliki ketertarikan pada temannya."Maafkan kami, Profesor. Teman kami baru saja memberi kabar. Aleena izin dalam waktu cukup lama, dan dia baru saja menghubungi kami."Pria di sampingnya mengangguk membenarkan. "Benar
Dua hari pemulihan yang terasa seperti lama tanpa akhir, akhirnya berbuah sedikit kebebasan bagi Aleena. Udara segar di luar kediaman itu menyambutnya kembali, tapi bukan karena Pavel bermurah hati. Pria itu hanya mengizinkannya keluar karena kebetulan dia sendiri memiliki urusan di luar. Jadi, Aleena tak punya pilihan selain menerima keadaan ini, meski tubuhnya masih terasa lemah.Saat mobil mewah mereka melaju di jalan raya, Aleena bersandar pada jendela, matanya menerawang, pikirannya berlarian tanpa arah. Dia masih belum menerima balasan pesan dari Cate maupun Marvin. Harapannya sederhana—agar mereka memahami mengapa dia belum bisa memberi kabar. Namun, ketidakpastian itu menggerogoti pikirannya, menambahkan satu lagi beban yang harus ditanggungnya.Di sisi lain, Pavel duduk tenang, mengamati Aleena dari sudut matanya. Gadisnya terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Biasanya, dia akan melontarkan komentar atau bahkan protes kecil, tapi kali ini tidak. Hanya kesunyian yang me
Pavel menghela napas pelan, seolah kehilangan minat dengan mendadak. Dia lalu berdiri, merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan sapu tangan putih bersih. Dengan tenang, dia mengusap jemarinya, seakan ingin menghilangkan kotoran yang bahkan tidak ada di sana. Lalu membuang sembarangan kain tersebut, tampak acuh. Gerakan itu terasa sangat disengaja. Seakan ia ingin menunjukkan satu hal pada semua orang di tempat ini, dia tidak akan mengotori tangannya untuk sesuatu yang tidak layak.Tanpa menoleh, Pavel mengangkat satu jari ke udara, sebuah isyarat sederhana namun tegas.Dari sudut-sudut ruangan yang gelap, beberapa pria muncul. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, wajah mereka tanpa ekspresi, seperti bayangan yang hanya bergerak ketika diperintahkan. Salah satu dari mereka segera berjalan mendekat, membungkuk hormat di hadapan Pavel, menunggu instruksi lebih lanjut."Pastikan dia tidak membuat kesalahan lagi," kata Pavel datar, tanpa sedikit pun emosi di suaranya.Pria yang babak
Dengan kuat, hentakan keras itu membuat Aleena menjerit kencang pada pelepasan terakhir. Malam yang sunyi di tengah-tengah pepohonan rimbun itu akhirnya menjadi saksi bisu atas kebejatan Pavel dan kenikmatan penuh dosa di inti tubuhnya.Bibir pria itu mengecup bahu Aleena yang terbuka. Giginya menggigit meninggalkan bekas, sebagai tanda kepemilikan. "Haah, kau selalu saja mengujiku, sayang. Bukankah ini hukuman yang kau tunggu, hm?"Aleena terisak pelan sambil terengah, enggan mengakui jika dirinya sempat terhanyut ke dalam jeratan dosa yang berkali-kali Pavel buat. Wajahnya berpaling ke arah lain dengan mata bergetar, bukannya memancing simpati, hanya suara tawa Pavel yang terdengar sinis menghina.Tubuhnya masih gemetar akibat tekanan yang begitu kuat dari Pavel. Malam yang sunyi di tengah pepohonan rimbun seakan menelan suara napas mereka. Rasa takut, marah, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan bercampur menjadi satu di benaknya.Pavel menyentuh wajahnya, ibu jarinya menyapu le
Pavel memang gemar bermain kucing-kucingan. Baginya, ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan seni berburu. Ia menikmati setiap momen ketika buruannya merasa bebas, padahal tanpa sadar justru semakin masuk ke dalam jaringnya. Tentu saja, dia tidak pernah benar-benar khawatir Aleena akan lolos. Tidak dengan caranya mengendalikan permainan."Astaga, Aleena... kau menggemaskan sekali, ya?" Pavel terkekeh, nada suaranya terdengar sinis, penuh ejekan. Tidak ada humor di sana—hanya kepuasan seorang predator yang tahu betul bahwa mangsanya tak akan bisa benar-benar kabur.Tatapan matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika titik merah itu akhirnya semakin dekat. Keberadaan Aleena kini bukan lagi misteri.Dengan langkah santai namun penuh kepastian, Pavel bergerak. Seolah ia masih berpura-pura mencarinya, memberi gadis itu sedikit harapan palsu sebelum ia akhirnya kembali menariknya ke dalam genggamannya.Sedangkan di sisi lain, Aleena menahan n
Perutnya terasa sakit akibat seharian penuh tak terisi makanan ataupun minuman. Entah apa yang dipikirkan oleh Pavel—baru kali ini Aleena mendapatkan hukuman yang lebih buruk. Bukan berarti dia menginginkan hukuman ranjang, tetapi setidaknya itu tidak akan membuatnya kelaparan seperti ini. Lambungnya terus perih, ditambah tak ada seorang pun mendatanginya atau membuka pintu kamarnya.Sungguh, kali ini hukuman Pavel sangat menyiksa.Aleena meremas perutnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Napasnya mulai berat, kepalanya pusing. Dia bersandar ke kepala ranjang, menatap kosong ke langit-langit."Brengsek," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.Dia tahu Pavel kejam, tapi ini… ini benar-benar keterlaluan. Apakah pria itu benar-benar tidak peduli jika dia mati kelaparan di sini?Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aleena menajamkan pendengarannya. Pintu kamar terbuka, dan sosok yang selama ini dia tunggu akhirnya muncul—Pavel, dengan ekspresi dinginn
Keesokan harinya, Kyne membuka mata di tempat yang asing. Ruangan di sekelilingnya dipenuhi warna putih, begitu steril hingga membuat kepalanya berdenyut. Pandangannya sedikit buram, tetapi perlahan kesadarannya pulih.Ingatan terakhirnya?Dia hanya berniat untuk tidur—sampai seseorang dengan gerakan cepat dan terlatih menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya. "Pavel… Ini pasti ulah pria itu," gerutunya, rahangnya mengeras menahan amarah.Kyne mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi segera menyadari bahwa otot-ototnya terasa sangat lemas. Entah apa yang telah mereka suntikkan sebelumnya, efeknya lebih buruk dari sekadar membuatnya kehilangan kesadaran—bahkan tenaganya pun hilang.Lamunannya buyar ketika suara langkah berat terdengar memasuki ruangan saat pintu terbuka. Tatapan Kyne langsung terarah ke sosok pria yang berjalan mendekat, diikuti beberapa bawahan bersenjata. Tidak butuh firasat tajam untuk mengetahui bahwa ini bukan peringatan baik.Kyne, yang sadar dirinya kalah jumlah, perlahan
Di dalam kamarnya, Aleena duduk diam, menatap surat yang ia temukan di dalam loker kampusnya tadi siang. Ada sesuatu tentang surat itu yang membuatnya ragu. Hatinya gelisah, tangannya gemetar sedikit saat hendak merobek amplopnya.Ia menatapnya penuh perhitungan, seakan takut dengan apa yang akan ia temukan di dalamnya. Tapi pada akhirnya, dengan napas tertahan, ia memberanikan diri untuk membuka dan membacanya.Saat ia menarik keluar kertas di dalam amplop, selembar foto terjatuh ke lantai. Tanpa berpikir panjang, Aleena mengambilnya. Namun, begitu matanya menangkap isi foto itu, tubuhnya membeku.Di dalam gambar itu, Pavel tengah mencium seorang wanita dengan mesra. Latar belakangnya mendukung suasana romantis—mungkin di sebuah restoran mewah atau suite hotel eksklusif. Mereka tampak begitu intim, seakan dunia hanya milik mereka berdua."Pavel…." Suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdebar keras, rasa sakit menjalar tanpa peringatan. "Ini bukan editan."Tangannya mengepal di
Beberapa hari berlalu, dan sejauh ini kehidupan kampus Aleena terasa lebih tenang dalam pantauan Pavel. Tidak ada tindakan mencurigakan dari Kyne yang membuatnya harus terus waspada—meskipun di dalam hatinya, ia tahu Kyne tidak akan tinggal diam selamanya.Kini Pavel duduk dengan tenang di ruang pertemuan. Mata abu-abunya yang dingin memancarkan kepuasan, seolah segalanya berjalan sesuai dengan rencananya. Jika Kyne berniat membalas dendam, Pavel sudah menyiapkan langkah-langkah berikutnya. Bagi Pavel, Kyne hanyalah gangguan kecil—seekor hama yang tak sebanding dengan dirinya.Di dalam ruangan itu, Pavel dikelilingi oleh para petinggi dalam organisasi yang ia bangun dari nol—sebuah kerajaan bisnis yang telah menjalar ke banyak sektor. Saat ini, mereka tengah membahas pergerakan barang yang keluar dan masuk, memastikan segalanya berjalan lancar tanpa ada hambatan."Barang kita berkurang lagi." Pavel berbicara dengan nada datar namun tajam, matanya menyapu satu-persatu orang di sekelili
"Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya nyaris bergetar. Kepalanya menggeleng pelan, menolak menerima kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya.Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hancur—bukan hanya kehilangan sesuatu, tapi kehilangan segalanya. Tempat di mana ia tumbuh, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan tanpa tersentuh oleh siapa pun, kini hanya menyisakan puing-puing dan abu yang beterbangan, seakan keberadaannya tak pernah berarti.Ia sudah kehilangan keluarganya sejak kecil, dan sekarang... rumah yang bisu ini, satu-satunya tempat yang masih menghubungkannya dengan masa lalu, telah musnah. Hatinya mencengkeram perasaan sakit yang begitu dalam saat membayangkan semua foto, barang-barang penuh kenangan, semuanya lenyap tanpa bisa lagi ia lihat, ia sentuh, tanpa bisa ia peluk untuk terakhir kalinya."Kami turut prihatin atas kondisi yang Anda alami, Tuan Foster. Sepertinya saya tidak akan berlama-lama. Selamat sore," ujar Owen, suaranya datar, tan
Pagi tadi, Aleena akhirnya menemui Kyne untuk menyampaikan tujuannya. Ia tidak datang sendirian—Cate dan Marvin setia menemani, memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah.Sekarang, di sinilah Aleena berada—dalam ruang kerja pribadi Kyne yang ternyata cukup nyaman untuk sesi pembelajaran. Namun, satu hal yang membuat suasana sedikit canggung adalah keberadaan Owen, yang duduk tak jauh, memantau setiap gerak-gerik mereka.Kyne nyaris frustrasi. Ia tidak menyangka bahwa kekasih Aleena bisa seposesif ini. Sulit baginya untuk berbicara leluasa dengan gadis itu, apalagi ketika pria yang dikirim untuk mengawasi mereka menatapnya dengan tatapan dingin yang seolah mengingatkan: "Jaga jarak."Aleena berusaha mengabaikan suasana tegang yang tak terhindarkan. Ia hanya ingin menyelesaikan urusannya dengan cepat. Dengan suara tenang, ia membuka buku catatannya dan menatap Kyne."Tuan Foster, saya ingin membahas materi yang tertinggal dan mencari cara untuk memperbaiki nilai saya
Malam itu, Aleena menghela napas panjang saat menyadari Pavel tidak hadir di jam makan malam. Suasana meja makan yang sunyi membuatnya merasa serba salah. Dia bingung bagaimana harus menanggapi sikap Pavel yang begitu keras menolak dirinya didekati pria lain.Tanpa banyak berpikir, Aleena menyelesaikan makan malamnya dengan cepat. Setelah meletakkan peralatan makan, dia segera beranjak menuju ruang kerja Pavel. Dia tahu pria itu pasti ada di sana.Di depan pintu, Aleena mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, keraguan menahannya sejenak. Napasnya terasa berat, pikirannya berkecamuk.Tapi akhirnya, dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia mengetuk pintu pelan. Dirinya harus berbicara dengan Pavel. Harus memastikan pria itu memaafkannya—dan yang terpenting, mengizinkannya mengikuti kelas tambahan.Dari dalam, terdengar suara Pavel yang rendah namun jelas. "Masuk."Aleena menelan ludah, lalu memutar gagang pintu dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pa