Home / Romansa / Jeratan Panas Tuan Pavel / Ketegangan Di Ruang Pertemuan

Share

Ketegangan Di Ruang Pertemuan

Author: Osaka ois
last update Last Updated: 2024-12-26 10:16:09

"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?"

Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya.

"Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat."

"Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan menyeramkan dalam hitungan menit, pasti.

Pavel berdecih jijik ke arah Darius Hill, dia tidak segan-segan menghabisi pria itu jikalau memang memiliki keberanian menyentuh miliknya, Aleena Morris. Kemudian dagunya terangkat sambil menatapnya. "Antar aku ke ruang pertemuan. Jangan buang waktu, Hill."

"Y—ya, Tuan Ellington," balas Darius. Dengan kikuk Darius segera mengarahkan Pavel ke arah ruang pertemuan di dalam gedung tersebut.

Mereka berjalan melewati lorong-lorong bercahaya remang di setiap titik lampu yang ada. Kemewahan tak luput dari perhatian Aleena di setiap detail di bangunan megah tersebut, walau demikian, ia tetap diam menunggu dan melihat apa yang menantinya di masa mendatang.

Kesan misterius mulai menunjukkan penampakannya, pintu kayu besar dengan ukiran rumit terbuka saat Darius membukanya seraya menundukkan kepala ke arah Pavel, seolah tidak ingin mencari masalah lagi. Sedangkan Pavel tampak acuh dan terus melangkah penuh rasa percaya diri, lalu Aleena sendiri mengekorinya dari belakang pria itu.

Semua perhatian tertuju pada Pavel. Ruangan yang tadinya riuh berubah dalam sekejap mata, hening. Tak ada orang yang berani membuka suara. Aleena juga baru sadar, ruangan itu cukup luas untuk sekedar ruangan tertutup. Namun perhatiannya teralih pada seorang pria yang berjalan angkuh ke arah Pavel.

"Wah, Ketua datang rupanya. Aku kira kau takkan datang, Pavel," cetusnya, suara serta gayanya bertingkah seperti teman lama.

"Oh, tunggu sebentar... siapa gadis cantik ini? Apa dia pengganti istrimu, atau-—mainanmu?" lanjutnya dengan lancang.

Pavel menarik Aleena mendekat dan mencengkeram erat pinggangnya di depan pria itu, sentuhannya nyaris menyakitkan. Menegaskan, "Jangan banyak bicara. Lebih baik kita memulai apa yang harus diselesaikan, untuk siapa dia... dia adalah milikku."

Ya, sudah niat awal bagi Pavel, tentunya memamerkan miliknya. Sayangnya, status kepemilikan ini tak begitu jelas, ambigu, termasuk abu-abu. Antara menjadi kekasih atau lebih parah, ialah hanya sekedar mainan yang bisa dibuang ketika dirinya sudah mulai bosan. Jelas Aleena merasa dirinya semakin rendah, seakan tidak memiliki harga diri.

Aleena mengernyit heran melihat pria itu, sama sekali tak menunjukkan ketakutan di depan Pavel sedikit pun saat semua orang tidak berani mengusik. Namun perkataannya tampak lebih berbeda, bahkan Pavel juga melayangkan tatapan tajam ke arahnya.

"Baiklah, kawan. Mari kita mulai acaranya, tapi apa kau yakin mengajak gadis ini ke dalam wilayah mu dan membahas semuanya di depan makhluk cantik ini?" tanyanya, memastikan jika Pavel tidak memasukkan seseorang yang bukan halangan. Jika ditelisik lagi, perkataannya mengandung kalimat provokasi. "Kau harus tahu, kawan, secantik apa pun makhluk yang kau genggam, bisa saja dia sangat berbahaya kehadirannya."

Mendengar perkataannya membuat Pavel terkekeh sinis. "Kau juga perlu tahu sesuatu, Arthur. Makhluk tak indah atau cantik sekali pun sama bahayanya, tidak peduli dia sekuat dan selemah apa, namun—semangat untuk menghancurkan segalanya sangat... kentara. Dan gadis kecilku tidak mempunyai celah itu."

Bibir Pavel menyunggingkan senyum miring ketika menatap Arthur yang bungkam dengan rahang terkatup rapat. "Lalu, apa kau masih ingin banyak bertanya, kawan? Jangan suka membuang waktu, itu menyebalkan."

Pria bernama Arthur Humphrey tersebut tampak tersenyum paksa. Dia tertawa sumbang penuh emosi tertahan, layaknya sedang mengunci amarah. "Tentu. Ayo, kita mulai. Bukankah mainanmu harus tahu tempatnya berpijak? Jadi, mari aku sendiri yang tunjukkan seperti apa dirimu."

Balasan seperti biasa dari rivalnya itu sungguh menguras kesabaran Pavel. Setidaknya untuk sekarang dia mesti menahannya, apa lagi dirinya merasa jika Arthur bisa saja membuat Aleena akan sulit dikendalikan, tetapi sebelum itu, dirinya bahkan menjamin Aleena tak akan mungkin menjauhinya sekeras apa pun perlawanannya.

***

Di tengah-tengah meja bundar berukuran besar di kelilingi oleh orang-orang berekspresi tegang. Meraka menatap was-was saat Pavel duduk di antara mereka, tanpa mengatakan apa-apa, sosoknya yang mengesankan menekan mental setiap orang, tak terkecuali dengan Aleena. Tatapan gadis itu ke sana dan ke mari, membaca ketegangan yang dibawa oleh Pavel sendiri.

"Aku rasa bisnis yang ku bangun berjalan lancar, tapi tempo hari aku mendapat laporan—pengiriman persenjataan saat penyelundupan hilang bagai di telan bumi."

Perkataannya menggantung di udara, menambah antisipasi di setiap orang kalau saja Pavel berkenan melepaskan amarahnya. Namun tebakan mereka salah, justru Pavel dengan santainya menyalakan cerutu di dekatnya, menghisap dengan santai.

"Coba jelaskan, Arthur. Kau adalah orang pertama sebagai pelapor, sedangkan Darius tengah bersamaku waktu itu. Katakan sesuatu pada rekan bisnis kita yang berada di sini. Dirimu pun juga bilang, jika anak buahku ikut serta dalam kasus kehilangan penyelundupan. Ayolah, jangan buat orang-orang penasaran," tutur Pavel, suaraku memerintah, namun masih terkesan acuh.

Asap mengepul di udara setelah Pavel menghembuskan napas. Dia menelengkan kepala ke Aleena sembari menunggu pria itu mengatakan sesuatu pada semua orang. "Sayang, duduklah di pangkuanku. Aku tahu kau lelah berdiri," titahnya, bukan tawaran.

Semua mata jadi beralih ke arah Aleena, membuat gadis itu gugup setengah mati. Dengan terpaksa dia duduk di pangkuan Pavel, lalu berdeham sambil berbisik, "Tuan, apa tak masalah kalau aku duduk seperti ini?"

Mata Pavel melirik ke arah Aleena, tangannya yang dua kali lipat lebih besar dari Aleena merengkuh pinggangnya erat-erat dengan cengkeraman sebagai pengingat dominasinya. "Kau ragu, tapi kau duduk di pangkuanku. Dasar bodoh."

Aleena nyaris mendelik kesal saat Pavel menghina dirinya, namun secepat kilat dia mengontrol emosi. Hingga suara Arthur terdengar. Nada bicaranya masih saja kental dengan keangkuhan dan intrik provokasi, meski semua telah terjadi, seolah itu bukan masalah besar. Tetapi Aleena, sekali lagi harus mencerna situasi sekitar. Gadis itu terus jadi pendengar yang baik.

Ini pertama kalinya Aleena masuk ke dalam kandang binatang buas, yang entah apa jenis binatang itu. Alih-alih mengabaikan, dirinya melihat ekspresi wajah Arthur. Jika ada seseorang menyadarinya, dia tampak menyembunyikan sesuatu meski terlihat rapi. Seakan-akan kalimatnya ini sudah disusun sejak awal, memang bagus, tapi tetap kejanggalan itu ada.

"Begini, Pavel. Anak buahmu bisa saja seorang pengkhianat, musuh dalam selimut. Mereka mungkin adalah tentara pasukan khusus yang sedang menyamar, menyelidiki kasus persenjataan yang marak baru-baru ini digembar-gemborkan di dunia bawah. Apa lagi aku mendengar, kabarnya akan ada pencarian untuk melakukan penangkapan terhadap dirimu."

Dia berhenti, menjeda sebentar penjelasannya yang kurang memuaskan di sisi Pavel. "Jelas negara ini waspada akan kekuatan yang tengah kau bangun dan terlebih lagi—kau menjualnya pada tentara bayaran orang-orang Rusia itu. Ah, aku bahkan sulit menjelaskannya, bagaimana kalau orang-orang yang kau besarkan malah menusukmu dari belakang?"

Pavel muak, dia mematikan cerutu di asbak rokok. Kemudian menghembuskan asap terakhir keluar dari mulutnya. Tatapannya beralih pada semua orang di sana. "Haah, petinggi di dalam kelompok ku, aku percayakan untuk bersikap pintar. Kalian pasti paham, sekarang aku tak mau mendengar penjelasan berisi sampah tidak berarti, sebab aku tidak pernah takut pada pemerintahan atau militer."

Pavel berdiri dengan Aleena yang dia dekap di pelukannya, menggendongnya menggunakan satu lengan saja. Hingga dirinya melanjutkan ucapannya. "Lalu—Arthur. Seharusnya kau menjelaskan dengan cepat dan tepat, bukan hanya membuang-buang waktuku."

Setelah mengatakan hal tersebut, Pavel melenggang pergi meninggalkan ruangan itu. Kepergiannya menanamkan ketidaksukaan terhadap pemikiran Arthur. Bertindak seolah-olah dia seorang pemimpinnya di sini, sangatlah berani, menyebalkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Sebuah Sangkar

    Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam. Bahkan, semalam Pavel tampak kasar, mungkin karena pertemuan yang membuat waktunya terbuang dan tak mendapatkan momen menarik. Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut. "Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku. Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pav

    Last Updated : 2025-01-01
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Ini Bukan Tentang Rindu

    Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan si

    Last Updated : 2025-01-24
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Mencari Informasi

    Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel. Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Mor

    Last Updated : 2025-01-25
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Status Abu-abu

    Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman

    Last Updated : 2025-01-26
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Hukuman Untuk Gadis Kecil

    Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh

    Last Updated : 2025-01-27
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Luka Itu Nyata

    "Makan... atau aku akan menyumpal mulutmu dengan sesuatu yang mungkin kau sukai," ancamnya dingin, nada tajam penuh intimidasi. Meski terdengar ambigu, maksudnya jelas tak terelakkan. Tangan Aleena mencengkeram sendok di genggamannya dengan gemetar. Tubuhnya terasa remuk redam, hasil ulah Pavel tadi malam. Kontras dengan pria itu yang tampak segar dan tak terganggu sedikit pun, dirinya justru harus menahan rasa nyeri yang menjalar di setiap inci tubuhnya. "Makanlah, gadis kecil. Tubuh ringkihmu butuh asupan," ucap Pavel dengan nada meremehkan. Aleena mendengus pelan merasa terhina, tapi tidak berani melawan. Pavel yang menangkap reaksinya hanya tersenyum miring. "Keras kepala sekali. Bahkan dalam keadaan seperti ini... aku jadi tidak sabar untuk 'mendidikmu' lagi.""Jangan!" sergah Aleena panik, napasnya tercekat. "A—aku tidak mau! Tubuhku masih sakit!"Ketakutan merayapi dirinya. Hanya mendengar ancamannya saja sudah membuat tubuhnya gemetar. P

    Last Updated : 2025-01-28
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Suasana Tegang

    Semakin hari, ekspresi wajahnya semakin datar, seolah kehilangan minat untuk mengajar di universitas itu. Beberapa kali dia menghela napas, merasa frustrasi dengan beberapa mahasiswa bimbingannya yang benar-benar menguji kesabarannya. Mereka membuat darahnya mendidih—mengingatkan dirinya agar tidak sampai kehilangan kendali dan menghabisi salah satu dari mereka demi memuaskan hobinya yang gelap."Hei, jangan mengobrol. Saya menyuruh kalian mengerjakan tugas, bukan berdiskusi tentang hal yang tidak perlu," tegur Kyne dingin pada salah satu mahasiswa di kelas itu.Gadis yang ditegur menelan ludah, tapi melihat raut wajah Kyne yang tetap datar, dia justru mengangkat ponselnya dengan ragu. Dia tahu betul bahwa profesor di depannya ini memiliki ketertarikan pada temannya."Maafkan kami, Profesor. Teman kami baru saja memberi kabar. Aleena izin dalam waktu cukup lama, dan dia baru saja menghubungi kami."Pria di sampingnya mengangguk membenarkan. "Benar

    Last Updated : 2025-01-29
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tontonan Gratis

    Dua hari pemulihan yang terasa seperti lama tanpa akhir, akhirnya berbuah sedikit kebebasan bagi Aleena. Udara segar di luar kediaman itu menyambutnya kembali, tapi bukan karena Pavel bermurah hati. Pria itu hanya mengizinkannya keluar karena kebetulan dia sendiri memiliki urusan di luar. Jadi, Aleena tak punya pilihan selain menerima keadaan ini, meski tubuhnya masih terasa lemah.Saat mobil mewah mereka melaju di jalan raya, Aleena bersandar pada jendela, matanya menerawang, pikirannya berlarian tanpa arah. Dia masih belum menerima balasan pesan dari Cate maupun Marvin. Harapannya sederhana—agar mereka memahami mengapa dia belum bisa memberi kabar. Namun, ketidakpastian itu menggerogoti pikirannya, menambahkan satu lagi beban yang harus ditanggungnya.Di sisi lain, Pavel duduk tenang, mengamati Aleena dari sudut matanya. Gadisnya terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Biasanya, dia akan melontarkan komentar atau bahkan protes kecil, tapi kali ini tidak. Hanya kesunyian yang me

    Last Updated : 2025-01-30

Latest chapter

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tenang Dalam Penderitaan

    Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Jebakan

    Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Ternyata Punya Keluarga Kecil

    Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Hukuman Dari Tuan Ellington

    Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Harus Tenang

    "Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Yang Hilang Belum Tentu Kembali

    Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Ragu

    Aleena menerima pesan singkat di ponselnya. Nomor asing tertera di layar, diikuti dengan pesan berikutnya yang langsung menyebutkan identitas sang pengirim—Louise.Wanita itu benar-benar tidak tahu malu. Sepertinya dia sangat takut kehilangan Pavel, atau lebih tepatnya, takut Pavel menikahi gadis yang jauh lebih muda darinya. Aleena mendengus, menyadari bahwa dirinya memang tidak lebih unggul dalam banyak hal, kecuali satu: usianya yang lebih muda.Tapi meski begitu, rasa percaya dirinya tetap tidak kokoh. Ada bagian dari dirinya yang masih ragu, yang masih merasa cemas meskipun ia mencoba menyangkalnya.Dengan helaan napas kasar, Aleena membuka pesan itu. Dan saat itu juga, dunianya seakan runtuh.Matanya membesar, napasnya tercekat. Foto yang dikirimkan Louise menampilkan sosok pria bertelanjang punggung membelakangi kamera, memperlihatkan tato yang menutupi bekas luka. Tato yang sangat familiar, sangat dikenalnya. Itu tubuh Pavel.Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel, dadanya

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Rencana Lain

    Tamparan keras kembali mendarat di wajah Louise, kali ini dari pria yang seharusnya menjadi sekutunya. Mereka memiliki tujuan yang sama—menghancurkan Pavel, menghancurkan bisnis dan kehidupannya, memastikan pria itu jatuh tanpa bisa bangkit kembali."Kau bodoh! Sangat bodoh!" Pria itu menggeram, suaranya tajam dan penuh amarah. "Seharusnya kau lebih cerdas, lebih taktis! Bukan bertindak gegabah dengan mendatangi kediamannya tanpa persiapan matang!"Matanya membara, rahangnya mengeras menahan emosi. Kemarahan itu semakin membuncah saat dia melangkah mendekat, menatap Louise dengan penuh penghinaan."Jalang sialan! Gunakan cara lain! Atau...." Dia menunduk sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan beracun, "Gunakan tubuhmu!"Louise memejamkan mata sejenak, menahan panas yang membakar pipinya. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga menghujam harga dirinya. Dalam satu hari, dia telah ditampar dua kali—oleh Pavel dan sekarang oleh Humphrey, pria yang seharusnya berada di pihaknya.M

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tamu Tak Diundang

    Situasi sulit jelas terasa di sisi Marvin dan Alexander. Berbeda dengan Pavel, yang kini sudah mengetahui segalanya. Namun, alih-alih cemas atau marah jika ekspektasinya tak terwujud, pria itu tampak santai, duduk di sofa di depan televisi, menemani Aleena yang asyik menonton drama Korea. Hari ini, Aleena tampak lebih tenang dan dalam suasana hati yang baik, membuat Pavel tak perlu repot-repot menjinakkan kucing liar yang biasanya sulit diatur. Gadis itu bersandar santai di sisinya, tanpa perlawanan, sesuatu yang jarang terjadi. Namun, ketenangan itu terusik ketika seorang pelayan datang menghampiri mereka. Wajahnya tampak ragu, seolah ada sesuatu yang berat untuk disampaikan. "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nona," ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Tapi... wanita itu datang lagi, Tuan." Aleena mengerutkan kening, kepalanya miring ke samping. "Siapa?" "Louise Carter, Nona Morris," jawab sang pelayan hati-hati. Pavel masih tampak santai, jemarinya sibuk memainkan rambut

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status