Home / Romansa / Jeratan Panas Tuan Pavel / Ketegangan Di Ruang Pertemuan

Share

Ketegangan Di Ruang Pertemuan

Author: Osaka ois
last update Last Updated: 2024-12-26 10:16:09

"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?"

Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya.

"Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat."

"Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan menyeramkan dalam hitungan menit, pasti.

Pavel berdecih jijik ke arah Darius Hill, dia tidak segan-segan menghabisi pria itu jikalau memang memiliki keberanian menyentuh miliknya, Aleena Morris. Kemudian dagunya terangkat sambil menatapnya. "Antar aku ke ruang pertemuan. Jangan buang waktu, Hill."

"Y—ya, Tuan Ellington," balas Darius. Dengan kikuk Darius segera mengarahkan Pavel ke arah ruang pertemuan di dalam gedung tersebut.

Mereka berjalan melewati lorong-lorong bercahaya remang di setiap titik lampu yang ada. Kemewahan tak luput dari perhatian Aleena di setiap detail di bangunan megah tersebut, walau demikian, ia tetap diam menunggu dan melihat apa yang menantinya di masa mendatang.

Kesan misterius mulai menunjukkan penampakannya, pintu kayu besar dengan ukiran rumit terbuka saat Darius membukanya seraya menundukkan kepala ke arah Pavel, seolah tidak ingin mencari masalah lagi. Sedangkan Pavel tampak acuh dan terus melangkah penuh rasa percaya diri, lalu Aleena sendiri mengekorinya dari belakang pria itu.

Semua perhatian tertuju pada Pavel. Ruangan yang tadinya riuh berubah dalam sekejap mata, hening. Tak ada orang yang berani membuka suara. Aleena juga baru sadar, ruangan itu cukup luas untuk sekedar ruangan tertutup. Namun perhatiannya teralih pada seorang pria yang berjalan angkuh ke arah Pavel.

"Wah, Ketua datang rupanya. Aku kira kau takkan datang, Pavel," cetusnya, suara serta gayanya bertingkah seperti teman lama.

"Oh, tunggu sebentar... siapa gadis cantik ini? Apa dia pengganti istrimu, atau-—mainanmu?" lanjutnya dengan lancang.

Pavel menarik Aleena mendekat dan mencengkeram erat pinggangnya di depan pria itu, sentuhannya nyaris menyakitkan. Menegaskan, "Jangan banyak bicara. Lebih baik kita memulai apa yang harus diselesaikan, untuk siapa dia... dia adalah milikku."

Ya, sudah niat awal bagi Pavel, tentunya memamerkan miliknya. Sayangnya, status kepemilikan ini tak begitu jelas, ambigu, termasuk abu-abu. Antara menjadi kekasih atau lebih parah, ialah hanya sekedar mainan yang bisa dibuang ketika dirinya sudah mulai bosan. Jelas Aleena merasa dirinya semakin rendah, seakan tidak memiliki harga diri.

Aleena mengernyit heran melihat pria itu, sama sekali tak menunjukkan ketakutan di depan Pavel sedikit pun saat semua orang tidak berani mengusik. Namun perkataannya tampak lebih berbeda, bahkan Pavel juga melayangkan tatapan tajam ke arahnya.

"Baiklah, kawan. Mari kita mulai acaranya, tapi apa kau yakin mengajak gadis ini ke dalam wilayah mu dan membahas semuanya di depan makhluk cantik ini?" tanyanya, memastikan jika Pavel tidak memasukkan seseorang yang bukan halangan. Jika ditelisik lagi, perkataannya mengandung kalimat provokasi. "Kau harus tahu, kawan, secantik apa pun makhluk yang kau genggam, bisa saja dia sangat berbahaya kehadirannya."

Mendengar perkataannya membuat Pavel terkekeh sinis. "Kau juga perlu tahu sesuatu, Arthur. Makhluk tak indah atau cantik sekali pun sama bahayanya, tidak peduli dia sekuat dan selemah apa, namun—semangat untuk menghancurkan segalanya sangat... kentara. Dan gadis kecilku tidak mempunyai celah itu."

Bibir Pavel menyunggingkan senyum miring ketika menatap Arthur yang bungkam dengan rahang terkatup rapat. "Lalu, apa kau masih ingin banyak bertanya, kawan? Jangan suka membuang waktu, itu menyebalkan."

Pria bernama Arthur Humphrey tersebut tampak tersenyum paksa. Dia tertawa sumbang penuh emosi tertahan, layaknya sedang mengunci amarah. "Tentu. Ayo, kita mulai. Bukankah mainanmu harus tahu tempatnya berpijak? Jadi, mari aku sendiri yang tunjukkan seperti apa dirimu."

Balasan seperti biasa dari rivalnya itu sungguh menguras kesabaran Pavel. Setidaknya untuk sekarang dia mesti menahannya, apa lagi dirinya merasa jika Arthur bisa saja membuat Aleena akan sulit dikendalikan, tetapi sebelum itu, dirinya bahkan menjamin Aleena tak akan mungkin menjauhinya sekeras apa pun perlawanannya.

***

Di tengah-tengah meja bundar berukuran besar di kelilingi oleh orang-orang berekspresi tegang. Meraka menatap was-was saat Pavel duduk di antara mereka, tanpa mengatakan apa-apa, sosoknya yang mengesankan menekan mental setiap orang, tak terkecuali dengan Aleena. Tatapan gadis itu ke sana dan ke mari, membaca ketegangan yang dibawa oleh Pavel sendiri.

"Aku rasa bisnis yang ku bangun berjalan lancar, tapi tempo hari aku mendapat laporan—pengiriman persenjataan saat penyelundupan hilang bagai di telan bumi."

Perkataannya menggantung di udara, menambah antisipasi di setiap orang kalau saja Pavel berkenan melepaskan amarahnya. Namun tebakan mereka salah, justru Pavel dengan santainya menyalakan cerutu di dekatnya, menghisap dengan santai.

"Coba jelaskan, Arthur. Kau adalah orang pertama sebagai pelapor, sedangkan Darius tengah bersamaku waktu itu. Katakan sesuatu pada rekan bisnis kita yang berada di sini. Dirimu pun juga bilang, jika anak buahku ikut serta dalam kasus kehilangan penyelundupan. Ayolah, jangan buat orang-orang penasaran," tutur Pavel, suaraku memerintah, namun masih terkesan acuh.

Asap mengepul di udara setelah Pavel menghembuskan napas. Dia menelengkan kepala ke Aleena sembari menunggu pria itu mengatakan sesuatu pada semua orang. "Sayang, duduklah di pangkuanku. Aku tahu kau lelah berdiri," titahnya, bukan tawaran.

Semua mata jadi beralih ke arah Aleena, membuat gadis itu gugup setengah mati. Dengan terpaksa dia duduk di pangkuan Pavel, lalu berdeham sambil berbisik, "Tuan, apa tak masalah kalau aku duduk seperti ini?"

Mata Pavel melirik ke arah Aleena, tangannya yang dua kali lipat lebih besar dari Aleena merengkuh pinggangnya erat-erat dengan cengkeraman sebagai pengingat dominasinya. "Kau ragu, tapi kau duduk di pangkuanku. Dasar bodoh."

Aleena nyaris mendelik kesal saat Pavel menghina dirinya, namun secepat kilat dia mengontrol emosi. Hingga suara Arthur terdengar. Nada bicaranya masih saja kental dengan keangkuhan dan intrik provokasi, meski semua telah terjadi, seolah itu bukan masalah besar. Tetapi Aleena, sekali lagi harus mencerna situasi sekitar. Gadis itu terus jadi pendengar yang baik.

Ini pertama kalinya Aleena masuk ke dalam kandang binatang buas, yang entah apa jenis binatang itu. Alih-alih mengabaikan, dirinya melihat ekspresi wajah Arthur. Jika ada seseorang menyadarinya, dia tampak menyembunyikan sesuatu meski terlihat rapi. Seakan-akan kalimatnya ini sudah disusun sejak awal, memang bagus, tapi tetap kejanggalan itu ada.

"Begini, Pavel. Anak buahmu bisa saja seorang pengkhianat, musuh dalam selimut. Mereka mungkin adalah tentara pasukan khusus yang sedang menyamar, menyelidiki kasus persenjataan yang marak baru-baru ini digembar-gemborkan di dunia bawah. Apa lagi aku mendengar, kabarnya akan ada pencarian untuk melakukan penangkapan terhadap dirimu."

Dia berhenti, menjeda sebentar penjelasannya yang kurang memuaskan di sisi Pavel. "Jelas negara ini waspada akan kekuatan yang tengah kau bangun dan terlebih lagi—kau menjualnya pada tentara bayaran orang-orang Rusia itu. Ah, aku bahkan sulit menjelaskannya, bagaimana kalau orang-orang yang kau besarkan malah menusukmu dari belakang?"

Pavel muak, dia mematikan cerutu di asbak rokok. Kemudian menghembuskan asap terakhir keluar dari mulutnya. Tatapannya beralih pada semua orang di sana. "Haah, petinggi di dalam kelompok ku, aku percayakan untuk bersikap pintar. Kalian pasti paham, sekarang aku tak mau mendengar penjelasan berisi sampah tidak berarti, sebab aku tidak pernah takut pada pemerintahan atau militer."

Pavel berdiri dengan Aleena yang dia dekap di pelukannya, menggendongnya menggunakan satu lengan saja. Hingga dirinya melanjutkan ucapannya. "Lalu—Arthur. Seharusnya kau menjelaskan dengan cepat dan tepat, bukan hanya membuang-buang waktuku."

Setelah mengatakan hal tersebut, Pavel melenggang pergi meninggalkan ruangan itu. Kepergiannya menanamkan ketidaksukaan terhadap pemikiran Arthur. Bertindak seolah-olah dia seorang pemimpinnya di sini, sangatlah berani, menyebalkan.

Related chapters

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Sebuah Sangkar

    Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam. Bahkan, semalam Pavel tampak kasar, mungkin karena pertemuan yang membuat waktunya terbuang dan tak mendapatkan momen menarik. Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut. "Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku. Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pav

    Last Updated : 2025-01-01
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Ini Bukan Tentang Rindu

    Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan si

    Last Updated : 2025-01-24
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Mencari Informasi

    Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel. Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Mor

    Last Updated : 2025-01-25
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Status Abu-abu

    Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman

    Last Updated : 2025-01-26
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Hukuman Untuk Gadis Kecil

    Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh

    Last Updated : 2025-01-27
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Luka Itu Nyata

    "Makan... atau aku akan menyumpal mulutmu dengan sesuatu yang mungkin kau sukai," ancamnya dingin, nada tajam penuh intimidasi. Meski terdengar ambigu, maksudnya jelas tak terelakkan. Tangan Aleena mencengkeram sendok di genggamannya dengan gemetar. Tubuhnya terasa remuk redam, hasil ulah Pavel tadi malam. Kontras dengan pria itu yang tampak segar dan tak terganggu sedikit pun, dirinya justru harus menahan rasa nyeri yang menjalar di setiap inci tubuhnya. "Makanlah, gadis kecil. Tubuh ringkihmu butuh asupan," ucap Pavel dengan nada meremehkan. Aleena mendengus pelan merasa terhina, tapi tidak berani melawan. Pavel yang menangkap reaksinya hanya tersenyum miring. "Keras kepala sekali. Bahkan dalam keadaan seperti ini... aku jadi tidak sabar untuk 'mendidikmu' lagi.""Jangan!" sergah Aleena panik, napasnya tercekat. "A—aku tidak mau! Tubuhku masih sakit!"Ketakutan merayapi dirinya. Hanya mendengar ancamannya saja sudah membuat tubuhnya gemetar. P

    Last Updated : 2025-01-28
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Suasana Tegang

    Semakin hari, ekspresi wajahnya semakin datar, seolah kehilangan minat untuk mengajar di universitas itu. Beberapa kali dia menghela napas, merasa frustrasi dengan beberapa mahasiswa bimbingannya yang benar-benar menguji kesabarannya. Mereka membuat darahnya mendidih—mengingatkan dirinya agar tidak sampai kehilangan kendali dan menghabisi salah satu dari mereka demi memuaskan hobinya yang gelap."Hei, jangan mengobrol. Saya menyuruh kalian mengerjakan tugas, bukan berdiskusi tentang hal yang tidak perlu," tegur Kyne dingin pada salah satu mahasiswa di kelas itu.Gadis yang ditegur menelan ludah, tapi melihat raut wajah Kyne yang tetap datar, dia justru mengangkat ponselnya dengan ragu. Dia tahu betul bahwa profesor di depannya ini memiliki ketertarikan pada temannya."Maafkan kami, Profesor. Teman kami baru saja memberi kabar. Aleena izin dalam waktu cukup lama, dan dia baru saja menghubungi kami."Pria di sampingnya mengangguk membenarkan. "Benar

    Last Updated : 2025-01-29
  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tontonan Gratis

    Dua hari pemulihan yang terasa seperti lama tanpa akhir, akhirnya berbuah sedikit kebebasan bagi Aleena. Udara segar di luar kediaman itu menyambutnya kembali, tapi bukan karena Pavel bermurah hati. Pria itu hanya mengizinkannya keluar karena kebetulan dia sendiri memiliki urusan di luar. Jadi, Aleena tak punya pilihan selain menerima keadaan ini, meski tubuhnya masih terasa lemah.Saat mobil mewah mereka melaju di jalan raya, Aleena bersandar pada jendela, matanya menerawang, pikirannya berlarian tanpa arah. Dia masih belum menerima balasan pesan dari Cate maupun Marvin. Harapannya sederhana—agar mereka memahami mengapa dia belum bisa memberi kabar. Namun, ketidakpastian itu menggerogoti pikirannya, menambahkan satu lagi beban yang harus ditanggungnya.Di sisi lain, Pavel duduk tenang, mengamati Aleena dari sudut matanya. Gadisnya terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Biasanya, dia akan melontarkan komentar atau bahkan protes kecil, tapi kali ini tidak. Hanya kesunyian yang me

    Last Updated : 2025-01-30

Latest chapter

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Bagian Dari Takdir

    Dengan kuat, hentakan keras itu membuat Aleena menjerit kencang pada pelepasan terakhir. Malam yang sunyi di tengah-tengah pepohonan rimbun itu akhirnya menjadi saksi bisu atas kebejatan Pavel dan kenikmatan penuh dosa di inti tubuhnya.Bibir pria itu mengecup bahu Aleena yang terbuka. Giginya menggigit meninggalkan bekas, sebagai tanda kepemilikan. "Haah, kau selalu saja mengujiku, sayang. Bukankah ini hukuman yang kau tunggu, hm?"Aleena terisak pelan sambil terengah, enggan mengakui jika dirinya sempat terhanyut ke dalam jeratan dosa yang berkali-kali Pavel buat. Wajahnya berpaling ke arah lain dengan mata bergetar, bukannya memancing simpati, hanya suara tawa Pavel yang terdengar sinis menghina.Tubuhnya masih gemetar akibat tekanan yang begitu kuat dari Pavel. Malam yang sunyi di tengah pepohonan rimbun seakan menelan suara napas mereka. Rasa takut, marah, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan bercampur menjadi satu di benaknya.Pavel menyentuh wajahnya, ibu jarinya menyapu le

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    'Milikku, Selamanya.'

    Pavel memang gemar bermain kucing-kucingan. Baginya, ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan seni berburu. Ia menikmati setiap momen ketika buruannya merasa bebas, padahal tanpa sadar justru semakin masuk ke dalam jaringnya. Tentu saja, dia tidak pernah benar-benar khawatir Aleena akan lolos. Tidak dengan caranya mengendalikan permainan."Astaga, Aleena... kau menggemaskan sekali, ya?" Pavel terkekeh, nada suaranya terdengar sinis, penuh ejekan. Tidak ada humor di sana—hanya kepuasan seorang predator yang tahu betul bahwa mangsanya tak akan bisa benar-benar kabur.Tatapan matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika titik merah itu akhirnya semakin dekat. Keberadaan Aleena kini bukan lagi misteri.Dengan langkah santai namun penuh kepastian, Pavel bergerak. Seolah ia masih berpura-pura mencarinya, memberi gadis itu sedikit harapan palsu sebelum ia akhirnya kembali menariknya ke dalam genggamannya.Sedangkan di sisi lain, Aleena menahan n

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Kabur

    Perutnya terasa sakit akibat seharian penuh tak terisi makanan ataupun minuman. Entah apa yang dipikirkan oleh Pavel—baru kali ini Aleena mendapatkan hukuman yang lebih buruk. Bukan berarti dia menginginkan hukuman ranjang, tetapi setidaknya itu tidak akan membuatnya kelaparan seperti ini. Lambungnya terus perih, ditambah tak ada seorang pun mendatanginya atau membuka pintu kamarnya.Sungguh, kali ini hukuman Pavel sangat menyiksa.Aleena meremas perutnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Napasnya mulai berat, kepalanya pusing. Dia bersandar ke kepala ranjang, menatap kosong ke langit-langit."Brengsek," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.Dia tahu Pavel kejam, tapi ini… ini benar-benar keterlaluan. Apakah pria itu benar-benar tidak peduli jika dia mati kelaparan di sini?Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aleena menajamkan pendengarannya. Pintu kamar terbuka, dan sosok yang selama ini dia tunggu akhirnya muncul—Pavel, dengan ekspresi dinginn

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Kelinci Percobaan

    Keesokan harinya, Kyne membuka mata di tempat yang asing. Ruangan di sekelilingnya dipenuhi warna putih, begitu steril hingga membuat kepalanya berdenyut. Pandangannya sedikit buram, tetapi perlahan kesadarannya pulih.Ingatan terakhirnya?Dia hanya berniat untuk tidur—sampai seseorang dengan gerakan cepat dan terlatih menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya. "Pavel… Ini pasti ulah pria itu," gerutunya, rahangnya mengeras menahan amarah.Kyne mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi segera menyadari bahwa otot-ototnya terasa sangat lemas. Entah apa yang telah mereka suntikkan sebelumnya, efeknya lebih buruk dari sekadar membuatnya kehilangan kesadaran—bahkan tenaganya pun hilang.Lamunannya buyar ketika suara langkah berat terdengar memasuki ruangan saat pintu terbuka. Tatapan Kyne langsung terarah ke sosok pria yang berjalan mendekat, diikuti beberapa bawahan bersenjata. Tidak butuh firasat tajam untuk mengetahui bahwa ini bukan peringatan baik.Kyne, yang sadar dirinya kalah jumlah, perlahan

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Kepastian

    Di dalam kamarnya, Aleena duduk diam, menatap surat yang ia temukan di dalam loker kampusnya tadi siang. Ada sesuatu tentang surat itu yang membuatnya ragu. Hatinya gelisah, tangannya gemetar sedikit saat hendak merobek amplopnya.Ia menatapnya penuh perhitungan, seakan takut dengan apa yang akan ia temukan di dalamnya. Tapi pada akhirnya, dengan napas tertahan, ia memberanikan diri untuk membuka dan membacanya.Saat ia menarik keluar kertas di dalam amplop, selembar foto terjatuh ke lantai. Tanpa berpikir panjang, Aleena mengambilnya. Namun, begitu matanya menangkap isi foto itu, tubuhnya membeku.Di dalam gambar itu, Pavel tengah mencium seorang wanita dengan mesra. Latar belakangnya mendukung suasana romantis—mungkin di sebuah restoran mewah atau suite hotel eksklusif. Mereka tampak begitu intim, seakan dunia hanya milik mereka berdua."Pavel…." Suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdebar keras, rasa sakit menjalar tanpa peringatan. "Ini bukan editan."Tangannya mengepal di

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Pavel dan Bisnisnya

    Beberapa hari berlalu, dan sejauh ini kehidupan kampus Aleena terasa lebih tenang dalam pantauan Pavel. Tidak ada tindakan mencurigakan dari Kyne yang membuatnya harus terus waspada—meskipun di dalam hatinya, ia tahu Kyne tidak akan tinggal diam selamanya.Kini Pavel duduk dengan tenang di ruang pertemuan. Mata abu-abunya yang dingin memancarkan kepuasan, seolah segalanya berjalan sesuai dengan rencananya. Jika Kyne berniat membalas dendam, Pavel sudah menyiapkan langkah-langkah berikutnya. Bagi Pavel, Kyne hanyalah gangguan kecil—seekor hama yang tak sebanding dengan dirinya.Di dalam ruangan itu, Pavel dikelilingi oleh para petinggi dalam organisasi yang ia bangun dari nol—sebuah kerajaan bisnis yang telah menjalar ke banyak sektor. Saat ini, mereka tengah membahas pergerakan barang yang keluar dan masuk, memastikan segalanya berjalan lancar tanpa ada hambatan."Barang kita berkurang lagi." Pavel berbicara dengan nada datar namun tajam, matanya menyapu satu-persatu orang di sekelili

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Tekad

    "Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya nyaris bergetar. Kepalanya menggeleng pelan, menolak menerima kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya.Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hancur—bukan hanya kehilangan sesuatu, tapi kehilangan segalanya. Tempat di mana ia tumbuh, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan tanpa tersentuh oleh siapa pun, kini hanya menyisakan puing-puing dan abu yang beterbangan, seakan keberadaannya tak pernah berarti.Ia sudah kehilangan keluarganya sejak kecil, dan sekarang... rumah yang bisu ini, satu-satunya tempat yang masih menghubungkannya dengan masa lalu, telah musnah. Hatinya mencengkeram perasaan sakit yang begitu dalam saat membayangkan semua foto, barang-barang penuh kenangan, semuanya lenyap tanpa bisa lagi ia lihat, ia sentuh, tanpa bisa ia peluk untuk terakhir kalinya."Kami turut prihatin atas kondisi yang Anda alami, Tuan Foster. Sepertinya saya tidak akan berlama-lama. Selamat sore," ujar Owen, suaranya datar, tan

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Pria Posesif

    Pagi tadi, Aleena akhirnya menemui Kyne untuk menyampaikan tujuannya. Ia tidak datang sendirian—Cate dan Marvin setia menemani, memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah.Sekarang, di sinilah Aleena berada—dalam ruang kerja pribadi Kyne yang ternyata cukup nyaman untuk sesi pembelajaran. Namun, satu hal yang membuat suasana sedikit canggung adalah keberadaan Owen, yang duduk tak jauh, memantau setiap gerak-gerik mereka.Kyne nyaris frustrasi. Ia tidak menyangka bahwa kekasih Aleena bisa seposesif ini. Sulit baginya untuk berbicara leluasa dengan gadis itu, apalagi ketika pria yang dikirim untuk mengawasi mereka menatapnya dengan tatapan dingin yang seolah mengingatkan: "Jaga jarak."Aleena berusaha mengabaikan suasana tegang yang tak terhindarkan. Ia hanya ingin menyelesaikan urusannya dengan cepat. Dengan suara tenang, ia membuka buku catatannya dan menatap Kyne."Tuan Foster, saya ingin membahas materi yang tertinggal dan mencari cara untuk memperbaiki nilai saya

  • Jeratan Panas Tuan Pavel    Persyaratan Yang Membebani

    Malam itu, Aleena menghela napas panjang saat menyadari Pavel tidak hadir di jam makan malam. Suasana meja makan yang sunyi membuatnya merasa serba salah. Dia bingung bagaimana harus menanggapi sikap Pavel yang begitu keras menolak dirinya didekati pria lain.Tanpa banyak berpikir, Aleena menyelesaikan makan malamnya dengan cepat. Setelah meletakkan peralatan makan, dia segera beranjak menuju ruang kerja Pavel. Dia tahu pria itu pasti ada di sana.Di depan pintu, Aleena mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, keraguan menahannya sejenak. Napasnya terasa berat, pikirannya berkecamuk.Tapi akhirnya, dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia mengetuk pintu pelan. Dirinya harus berbicara dengan Pavel. Harus memastikan pria itu memaafkannya—dan yang terpenting, mengizinkannya mengikuti kelas tambahan.Dari dalam, terdengar suara Pavel yang rendah namun jelas. "Masuk."Aleena menelan ludah, lalu memutar gagang pintu dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pa

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status