Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau mungkin seseorang yang lebih dari itu.
"Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana. "Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang ingin Tuan tambahkan?" Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat. "Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri. Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia menenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap Pavel. "Ya, Tuan?" Tanpa mengatakan apa-apa pria itu berjalan meninggalkan Aleena yang sedang kebingungan, lalu Pavel berhenti sebentar melirik dirinya di balik bahu lebarnya, setelahlah dia lanjut melangkah. Menandakan Aleena harus mengikutinya lagi, entah mau di bawa ke mana kakinya mengikuti langkah panjang Pavel. Hari juga semakin siang. Tak ada momen kesempatan bagi Aleena untuk mengutarakan isi hatinya tentang pekerjaan paruh waktunya, kesempatan berbicara dan lainnya tampak harus seizin Pavel, seakan-akan pria itu memegang kendali—tapi kenyataannya memang begitu. Saat keduanya tiba di depan sebuah pintu, tangan kokoh Pavel memegang kenop pintu dan mendorongnya, memperlihatkan kamar bergaya klasik dengan nuansa warna krem bercampur warna emas yang menambah kesan mewah. "Ini adalah kamarmu, tinggal di sini atau kau berhenti kuliah." Perkataannya tak memberikan ruang untuk Aleena mendebatkan pernyataan dari Pavel yang mengejutkan. Semuanya—mendadak sekali. "Jangan berani-berani kau membawa orang asing ke kediaman ku, lalu aku tak mau kau bekerja lagi. Cukup nikmati fasilitas yang aku berikan," lanjutnya, ucapannya semakin membuat Aleena sulit berpikir positif. Kemudian pria itu mencondongkan tubuhnya, hingga Aleena menahan napas dengan mata bergetar. "Dan kau... patuhlah, karena aku benci pembangkang. Mengerti?" Napas Aleena tercekat. Dia tak menjawab langsung, membuat Pavel menggeram kesal sampai mencengkeram erat lengannya yang lebih kecil, nyaris menyakitkan. "Lebih baik kau tidak membantah, gadis kecil." "Y—ya, Tuan. Namun, kenapa anda memperlakukan saya seperti ini? Apa karena saya sudah melakukan kesalahan selain malam tadi?" Akhirnya Aleena memberanikan diri bertanya, sungguh dia muak meski ketakutan hampir mendominasi. "Stt, banyak bertanya itu tak baik, Aleena Morris. Kau terlalu indah untuk aku biarkan begitu saja, bagaimana bisa penghangat ranjang ku berjarak, hmm?" ucapnya, terdengar bejat. "Aku bilang sekali lagi. Nikmati fasilitas yang aku berikan, peranmu bukan hanya penghangat ranjangku saja, tetapi ada hal lain. Jadi diam dan jangan banyak bertanya!" tegas Pavel, membuat hati Aleena mencelos mendengarnya. Ada peran lain, dia tak tahu apa itu. Peran pastinya adalah penghangat ranjang seorang pria asing yang mengetahui kehidupannya dalam waktu singkat. Menyeramkan, sangat di luar batasnya. Rasanya Aleena ingin berlari, namun kakinya seperti membeku. Setelah mengatakan itu Pavel melepaskan cengkeraman pada lengan Aleena, tangannya berpindah ke pinggul sang gadis, membuat tubuh di bawah sentuhannya menegang. "Beristirahatlah, nanti malam kau harus menemani aku, sayang." Kecupan ringan mendarat di pelipis Aleena. Matanya terpejam erat dan belum melayangkan protes kembali, kedua tangan Pavel mendorong kuat Aleena agar masuk ke dalam kamar, menguncinya dari luar. Lidah gadis itu kelu, menggeleng sambil menggedor-gedor pintu. "T—tidak, kenapa harus di kunci? Buka, buka pintunya, Tuan!" teriak Aleena dengan lantang. Dia benar-benar terkurung, menyesal karena terlalu lama mencerna semua kejadian, keadaannya sendiri. Seolah-olah prestasi sebagai pelajar cerdas tak bisa dia manfaatkan sebaik mungkin. Berulang kali dia menggedor pintu, hasilnya tetap sama, hanya ketakutan berderak di sekitarnya, menambahkan rasa cemoohan akibat tindakannya yang kurang cepat. Sedangkan Pavel sendiri melangkahkan kakinya ke ruang kerja, dia tak sabar memamerkan harta barunya, sesosok gadis cantik di tengah padang gurun bertanah penuh cairan kental berwarna merah, yang sudah dia pijak sejak lama. *** Penampilannya berubah dalam hitungan jam. Dua jam sehabis tidur siang, Aleena menghabiskan waktu dalam perawatan tubuh dan wajahnya, itu karena Pavel. Aleena jadi berpikir, seberapa banyak uang pria matang itu, sehingga apa saja tersedia di mansion ini dengan sekali perintah semuanya langsung melaksanakannya tanpa membantah. Sekarang Aleena tampak menawan, wajahnya yang biasa tidak memakai riasan kini memakainya. Balutan gaun malam pas melekat memeluk lekuk tubuhnya, walau sedikit rendah di bagian dada, tapi Aleena sekali lagi sulit menolak. Ketika sentuhan terakhir pada rambutnya selesai, dirinya baru menyadari jika dia memiliki wajah menarik seperti ini. "Aku akan menjadi boneka hidup malam ini," gumamnya bersuara lirih. Para pelayan menundukkan pandangan mereka tak berani bersuara atau menanggapi. Tidak satu pun dari mereka berniat untuk mendekat setelah mempersiapkannya, di sini dirinya diperlakukan selayaknya nyonya, meski demikian rasa merendahkan diri dan merasa tak pantas selalu ada di hatinya. Mungkin lebih baik dia hidup sederhana seperti sebelumnya. Lamunannya buyar saat langkah seseorang mendekat, tanpa dia menoleh dia tahu siapa itu. Bahkan pantulan pria itu ada di dalam cermin. Kedua tangan Pavel terangkat, meremas lembut pundak Aleena sekaligus menatap wajahnya yang cantik dan tampak lebih segar. "Lihat, siapa gadis cantik ini? Ah, dia milikku. Bukankah begitu, sayangku?" "Ya, saya... milik anda," sahut Aleena, dia merasa tercekik sendiri setelah mengatakan hal konyol tersebut. Mengalah, cukup sekali. Pavel menyunggingkan senyuman miring penuh kemenangan. "Gadis pintar, begitu saja, aku sangat senang mendengar dirimu patuh." Tangannya bergerak turun ke pinggang sang gadis, mengusapnya secara sensual dan mencengkeram seakan tengah menggali dagingnya, membuat Aleena tercekat. "Malam ini... malam ini aku akan memperlihatkan pada orang-orang harta karun di kehidupan ku yang membosankan ini, menunjukkan siapa pemilik mu. Siapkan mental mu, sayang. Karena bisa jadi nanti ada kejutan menyenangkan, demi menyambut dirimu di duniaku." Itu adalah janji gelap ke sekian kalinya Aleena dengar, menjanjikan sesuatu yang pastinya akan terjadi. Bukan tentang kejutan indah dan menyenangkan, melainkan hal menegangkan, semakin membuat dirinya waspada. Perkataan Pavel bak racun mematikan, menakutkan. Pavel membantu Aleena berdiri, membalikkan badannya dan ibu jarinya mengusap berputar di sisi pinggul Aleena. "Kau nanti boleh bicara, hanya padaku, bukan orang lain." Oh, ini ancaman tak terucap secara langsung. Tapi itu sangat jelas, Aleena sudah mulai memahaminya. "Baik, Tuan," balasnya seadanya. Ujung jari telunjuk Pavel mengangkat dagu gadisnya, supaya menatapnya. Pavel sendiri melemparkan tatapan tajam bercampur sinis. "Panggil namaku, sayang. Lalu tidak harus formal, kau kaku sekali, hmm. Padahal malam sebelumnya kau mendesah lantang tanpa sikap ini." "Sudahlah, cukup sampai di sini, kita harus segera pergi." Kaki panjangnya melangkah menjauhi Aleena, tanpa repot-repot menarik gadis, karena ia tahu Aleena akan mengikutinya. Di sisi lain. Kyne menggoyangkan gelas minuman berisi anggur mahal. Tatapan pria itu lurus, tajam, dan menerka. Rasanya ingin sekali menarik Aleena ke pelukannya, menghirup aroma gadis itu sampai dia mabuk. Bahkan anggur di tangannya tak berarti apa-apa. Sejenak dia tertawa terbahak-bahak layaknya orang gila, kemudian kepalanya menggeleng mengingat kejadian tadi siang—menyebalkan. Bibirnya mengeluarkan desahan kasar akibat tidak berselera lagi menikmati minumannya, melemparkan gelas itu ke dinding hingga pecah berantakan. Tampaknya rencana harus diubah. "Aku menginginkan dirinya, tapi aku harus memakai cara pintar, bukan?" Lalu dia menatap ke depan, di mana foto gadis yang sama terpajang. Berbagai ekspresi dan gaya tertempel di dinding dengan tulisan besar di atasnya, bertuliskan 'Milik Kyne'. "Aleena, Aleena, Aleena... kau membuatku gila, sayang." Geraman tertahan penuh emosi tersirat jelas di raut wajahnya, tangannya terkepal kuat seakan-akan bisa mendapatkan apa yang dia mau. "Permainan kucing-kucingan akan segera berakhir, tunggu saja, aku akan berhenti menjadi orang lain dan menunjukkan bagaimana rasanya dicintai oleh Kyne Foster. Sungguh penantian panjang yang menyakitkan.""Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam. Bahkan, semalam Pavel tampak kasar, mungkin karena pertemuan yang membuat waktunya terbuang dan tak mendapatkan momen menarik. Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut. "Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku. Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pav
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan si
Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel. Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Mor
Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman
Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh
"Makan... atau aku akan menyumpal mulutmu dengan sesuatu yang mungkin kau sukai," ancamnya dingin, nada tajam penuh intimidasi. Meski terdengar ambigu, maksudnya jelas tak terelakkan. Tangan Aleena mencengkeram sendok di genggamannya dengan gemetar. Tubuhnya terasa remuk redam, hasil ulah Pavel tadi malam. Kontras dengan pria itu yang tampak segar dan tak terganggu sedikit pun, dirinya justru harus menahan rasa nyeri yang menjalar di setiap inci tubuhnya. "Makanlah, gadis kecil. Tubuh ringkihmu butuh asupan," ucap Pavel dengan nada meremehkan. Aleena mendengus pelan merasa terhina, tapi tidak berani melawan. Pavel yang menangkap reaksinya hanya tersenyum miring. "Keras kepala sekali. Bahkan dalam keadaan seperti ini... aku jadi tidak sabar untuk 'mendidikmu' lagi.""Jangan!" sergah Aleena panik, napasnya tercekat. "A—aku tidak mau! Tubuhku masih sakit!"Ketakutan merayapi dirinya. Hanya mendengar ancamannya saja sudah membuat tubuhnya gemetar. P
Semakin hari, ekspresi wajahnya semakin datar, seolah kehilangan minat untuk mengajar di universitas itu. Beberapa kali dia menghela napas, merasa frustrasi dengan beberapa mahasiswa bimbingannya yang benar-benar menguji kesabarannya. Mereka membuat darahnya mendidih—mengingatkan dirinya agar tidak sampai kehilangan kendali dan menghabisi salah satu dari mereka demi memuaskan hobinya yang gelap."Hei, jangan mengobrol. Saya menyuruh kalian mengerjakan tugas, bukan berdiskusi tentang hal yang tidak perlu," tegur Kyne dingin pada salah satu mahasiswa di kelas itu.Gadis yang ditegur menelan ludah, tapi melihat raut wajah Kyne yang tetap datar, dia justru mengangkat ponselnya dengan ragu. Dia tahu betul bahwa profesor di depannya ini memiliki ketertarikan pada temannya."Maafkan kami, Profesor. Teman kami baru saja memberi kabar. Aleena izin dalam waktu cukup lama, dan dia baru saja menghubungi kami."Pria di sampingnya mengangguk membenarkan. "Benar
Firasat kuat Pavel, disertai janji gelapnya, ternyata bukan sekadar isapan jempol belaka.Siang ini, Pavel baru saja menemani Aleena pulang dari kunjungan ke dokter terbaik di salah satu rumah sakit terbesar di kota. Tubuh gadis itu masih terasa lemas, bukan hanya karena perjalanan tadi, tetapi juga akibat kenyataan yang sejak tadi berputar-putar di kepalanya. Kenyataan yang membuatnya semakin terkekang—karena Pavel memang tak pernah berniat membiarkannya pergi.Keheningan menusuk memenuhi ruang mobil, hingga akhirnya suara Pavel memecahnya."Aku akan bersikap baik, sayang, jangan khawatir." Nada suaranya terdengar lembut, hampir menenangkan, tapi Aleena tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu.Pavel meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. Senyumnya samar, tenang, namun ada beban terselubung di balik kata-katanya. "Jadi, jadilah gadis baik dan penurut. Kandunganmu memang baru seminggu, tapi kau seharusnya tahu, berlari menjauh dariku bukanlah pilihan yang tepat."Kat
Dengan kuat, hentakan keras itu membuat Aleena menjerit kencang pada pelepasan terakhir. Malam yang sunyi di tengah-tengah pepohonan rimbun itu akhirnya menjadi saksi bisu atas kebejatan Pavel dan kenikmatan penuh dosa di inti tubuhnya.Bibir pria itu mengecup bahu Aleena yang terbuka. Giginya menggigit meninggalkan bekas, sebagai tanda kepemilikan. "Haah, kau selalu saja mengujiku, sayang. Bukankah ini hukuman yang kau tunggu, hm?"Aleena terisak pelan sambil terengah, enggan mengakui jika dirinya sempat terhanyut ke dalam jeratan dosa yang berkali-kali Pavel buat. Wajahnya berpaling ke arah lain dengan mata bergetar, bukannya memancing simpati, hanya suara tawa Pavel yang terdengar sinis menghina.Tubuhnya masih gemetar akibat tekanan yang begitu kuat dari Pavel. Malam yang sunyi di tengah pepohonan rimbun seakan menelan suara napas mereka. Rasa takut, marah, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan bercampur menjadi satu di benaknya.Pavel menyentuh wajahnya, ibu jarinya menyapu le
Pavel memang gemar bermain kucing-kucingan. Baginya, ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan seni berburu. Ia menikmati setiap momen ketika buruannya merasa bebas, padahal tanpa sadar justru semakin masuk ke dalam jaringnya. Tentu saja, dia tidak pernah benar-benar khawatir Aleena akan lolos. Tidak dengan caranya mengendalikan permainan."Astaga, Aleena... kau menggemaskan sekali, ya?" Pavel terkekeh, nada suaranya terdengar sinis, penuh ejekan. Tidak ada humor di sana—hanya kepuasan seorang predator yang tahu betul bahwa mangsanya tak akan bisa benar-benar kabur.Tatapan matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika titik merah itu akhirnya semakin dekat. Keberadaan Aleena kini bukan lagi misteri.Dengan langkah santai namun penuh kepastian, Pavel bergerak. Seolah ia masih berpura-pura mencarinya, memberi gadis itu sedikit harapan palsu sebelum ia akhirnya kembali menariknya ke dalam genggamannya.Sedangkan di sisi lain, Aleena menahan n
Perutnya terasa sakit akibat seharian penuh tak terisi makanan ataupun minuman. Entah apa yang dipikirkan oleh Pavel—baru kali ini Aleena mendapatkan hukuman yang lebih buruk. Bukan berarti dia menginginkan hukuman ranjang, tetapi setidaknya itu tidak akan membuatnya kelaparan seperti ini. Lambungnya terus perih, ditambah tak ada seorang pun mendatanginya atau membuka pintu kamarnya.Sungguh, kali ini hukuman Pavel sangat menyiksa.Aleena meremas perutnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Napasnya mulai berat, kepalanya pusing. Dia bersandar ke kepala ranjang, menatap kosong ke langit-langit."Brengsek," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.Dia tahu Pavel kejam, tapi ini… ini benar-benar keterlaluan. Apakah pria itu benar-benar tidak peduli jika dia mati kelaparan di sini?Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aleena menajamkan pendengarannya. Pintu kamar terbuka, dan sosok yang selama ini dia tunggu akhirnya muncul—Pavel, dengan ekspresi dinginn
Keesokan harinya, Kyne membuka mata di tempat yang asing. Ruangan di sekelilingnya dipenuhi warna putih, begitu steril hingga membuat kepalanya berdenyut. Pandangannya sedikit buram, tetapi perlahan kesadarannya pulih.Ingatan terakhirnya?Dia hanya berniat untuk tidur—sampai seseorang dengan gerakan cepat dan terlatih menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya. "Pavel… Ini pasti ulah pria itu," gerutunya, rahangnya mengeras menahan amarah.Kyne mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi segera menyadari bahwa otot-ototnya terasa sangat lemas. Entah apa yang telah mereka suntikkan sebelumnya, efeknya lebih buruk dari sekadar membuatnya kehilangan kesadaran—bahkan tenaganya pun hilang.Lamunannya buyar ketika suara langkah berat terdengar memasuki ruangan saat pintu terbuka. Tatapan Kyne langsung terarah ke sosok pria yang berjalan mendekat, diikuti beberapa bawahan bersenjata. Tidak butuh firasat tajam untuk mengetahui bahwa ini bukan peringatan baik.Kyne, yang sadar dirinya kalah jumlah, perlahan
Di dalam kamarnya, Aleena duduk diam, menatap surat yang ia temukan di dalam loker kampusnya tadi siang. Ada sesuatu tentang surat itu yang membuatnya ragu. Hatinya gelisah, tangannya gemetar sedikit saat hendak merobek amplopnya.Ia menatapnya penuh perhitungan, seakan takut dengan apa yang akan ia temukan di dalamnya. Tapi pada akhirnya, dengan napas tertahan, ia memberanikan diri untuk membuka dan membacanya.Saat ia menarik keluar kertas di dalam amplop, selembar foto terjatuh ke lantai. Tanpa berpikir panjang, Aleena mengambilnya. Namun, begitu matanya menangkap isi foto itu, tubuhnya membeku.Di dalam gambar itu, Pavel tengah mencium seorang wanita dengan mesra. Latar belakangnya mendukung suasana romantis—mungkin di sebuah restoran mewah atau suite hotel eksklusif. Mereka tampak begitu intim, seakan dunia hanya milik mereka berdua."Pavel…." Suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdebar keras, rasa sakit menjalar tanpa peringatan. "Ini bukan editan."Tangannya mengepal di
Beberapa hari berlalu, dan sejauh ini kehidupan kampus Aleena terasa lebih tenang dalam pantauan Pavel. Tidak ada tindakan mencurigakan dari Kyne yang membuatnya harus terus waspada—meskipun di dalam hatinya, ia tahu Kyne tidak akan tinggal diam selamanya.Kini Pavel duduk dengan tenang di ruang pertemuan. Mata abu-abunya yang dingin memancarkan kepuasan, seolah segalanya berjalan sesuai dengan rencananya. Jika Kyne berniat membalas dendam, Pavel sudah menyiapkan langkah-langkah berikutnya. Bagi Pavel, Kyne hanyalah gangguan kecil—seekor hama yang tak sebanding dengan dirinya.Di dalam ruangan itu, Pavel dikelilingi oleh para petinggi dalam organisasi yang ia bangun dari nol—sebuah kerajaan bisnis yang telah menjalar ke banyak sektor. Saat ini, mereka tengah membahas pergerakan barang yang keluar dan masuk, memastikan segalanya berjalan lancar tanpa ada hambatan."Barang kita berkurang lagi." Pavel berbicara dengan nada datar namun tajam, matanya menyapu satu-persatu orang di sekelili
"Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya nyaris bergetar. Kepalanya menggeleng pelan, menolak menerima kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya.Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hancur—bukan hanya kehilangan sesuatu, tapi kehilangan segalanya. Tempat di mana ia tumbuh, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan tanpa tersentuh oleh siapa pun, kini hanya menyisakan puing-puing dan abu yang beterbangan, seakan keberadaannya tak pernah berarti.Ia sudah kehilangan keluarganya sejak kecil, dan sekarang... rumah yang bisu ini, satu-satunya tempat yang masih menghubungkannya dengan masa lalu, telah musnah. Hatinya mencengkeram perasaan sakit yang begitu dalam saat membayangkan semua foto, barang-barang penuh kenangan, semuanya lenyap tanpa bisa lagi ia lihat, ia sentuh, tanpa bisa ia peluk untuk terakhir kalinya."Kami turut prihatin atas kondisi yang Anda alami, Tuan Foster. Sepertinya saya tidak akan berlama-lama. Selamat sore," ujar Owen, suaranya datar, tan
Pagi tadi, Aleena akhirnya menemui Kyne untuk menyampaikan tujuannya. Ia tidak datang sendirian—Cate dan Marvin setia menemani, memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah.Sekarang, di sinilah Aleena berada—dalam ruang kerja pribadi Kyne yang ternyata cukup nyaman untuk sesi pembelajaran. Namun, satu hal yang membuat suasana sedikit canggung adalah keberadaan Owen, yang duduk tak jauh, memantau setiap gerak-gerik mereka.Kyne nyaris frustrasi. Ia tidak menyangka bahwa kekasih Aleena bisa seposesif ini. Sulit baginya untuk berbicara leluasa dengan gadis itu, apalagi ketika pria yang dikirim untuk mengawasi mereka menatapnya dengan tatapan dingin yang seolah mengingatkan: "Jaga jarak."Aleena berusaha mengabaikan suasana tegang yang tak terhindarkan. Ia hanya ingin menyelesaikan urusannya dengan cepat. Dengan suara tenang, ia membuka buku catatannya dan menatap Kyne."Tuan Foster, saya ingin membahas materi yang tertinggal dan mencari cara untuk memperbaiki nilai saya