Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau mungkin seseorang yang lebih dari itu.
"Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana. "Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang ingin Tuan tambahkan?" Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat. "Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri. Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia menenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap Pavel. "Ya, Tuan?" Tanpa mengatakan apa-apa pria itu berjalan meninggalkan Aleena yang sedang kebingungan, lalu Pavel berhenti sebentar melirik dirinya di balik bahu lebarnya, setelahlah dia lanjut melangkah. Menandakan Aleena harus mengikutinya lagi, entah mau di bawa ke mana kakinya mengikuti langkah panjang Pavel. Hari juga semakin siang. Tak ada momen kesempatan bagi Aleena untuk mengutarakan isi hatinya tentang pekerjaan paruh waktunya, kesempatan berbicara dan lainnya tampak harus seizin Pavel, seakan-akan pria itu memegang kendali—tapi kenyataannya memang begitu. Saat keduanya tiba di depan sebuah pintu, tangan kokoh Pavel memegang kenop pintu dan mendorongnya, memperlihatkan kamar bergaya klasik dengan nuansa warna krem bercampur warna emas yang menambah kesan mewah. "Ini adalah kamarmu, tinggal di sini atau kau berhenti kuliah." Perkataannya tak memberikan ruang untuk Aleena mendebatkan pernyataan dari Pavel yang mengejutkan. Semuanya—mendadak sekali. "Jangan berani-berani kau membawa orang asing ke kediaman ku, lalu aku tak mau kau bekerja lagi. Cukup nikmati fasilitas yang aku berikan," lanjutnya, ucapannya semakin membuat Aleena sulit berpikir positif. Kemudian pria itu mencondongkan tubuhnya, hingga Aleena menahan napas dengan mata bergetar. "Dan kau... patuhlah, karena aku benci pembangkang. Mengerti?" Napas Aleena tercekat. Dia tak menjawab langsung, membuat Pavel menggeram kesal sampai mencengkeram erat lengannya yang lebih kecil, nyaris menyakitkan. "Lebih baik kau tidak membantah, gadis kecil." "Y—ya, Tuan. Namun, kenapa anda memperlakukan saya seperti ini? Apa karena saya sudah melakukan kesalahan selain malam tadi?" Akhirnya Aleena memberanikan diri bertanya, sungguh dia muak meski ketakutan hampir mendominasi. "Stt, banyak bertanya itu tak baik, Aleena Morris. Kau terlalu indah untuk aku biarkan begitu saja, bagaimana bisa penghangat ranjang ku berjarak, hmm?" ucapnya, terdengar bejat. "Aku bilang sekali lagi. Nikmati fasilitas yang aku berikan, peranmu bukan hanya penghangat ranjangku saja, tetapi ada hal lain. Jadi diam dan jangan banyak bertanya!" tegas Pavel, membuat hati Aleena mencelos mendengarnya. Ada peran lain, dia tak tahu apa itu. Peran pastinya adalah penghangat ranjang seorang pria asing yang mengetahui kehidupannya dalam waktu singkat. Menyeramkan, sangat di luar batasnya. Rasanya Aleena ingin berlari, namun kakinya seperti membeku. Setelah mengatakan itu Pavel melepaskan cengkeraman pada lengan Aleena, tangannya berpindah ke pinggul sang gadis, membuat tubuh di bawah sentuhannya menegang. "Beristirahatlah, nanti malam kau harus menemani aku, sayang." Kecupan ringan mendarat di pelipis Aleena. Matanya terpejam erat dan belum melayangkan protes kembali, kedua tangan Pavel mendorong kuat Aleena agar masuk ke dalam kamar, menguncinya dari luar. Lidah gadis itu kelu, menggeleng sambil menggedor-gedor pintu. "T—tidak, kenapa harus di kunci? Buka, buka pintunya, Tuan!" teriak Aleena dengan lantang. Dia benar-benar terkurung, menyesal karena terlalu lama mencerna semua kejadian, keadaannya sendiri. Seolah-olah prestasi sebagai pelajar cerdas tak bisa dia manfaatkan sebaik mungkin. Berulang kali dia menggedor pintu, hasilnya tetap sama, hanya ketakutan berderak di sekitarnya, menambahkan rasa cemoohan akibat tindakannya yang kurang cepat. Sedangkan Pavel sendiri melangkahkan kakinya ke ruang kerja, dia tak sabar memamerkan harta barunya, sesosok gadis cantik di tengah padang gurun bertanah penuh cairan kental berwarna merah, yang sudah dia pijak sejak lama. *** Penampilannya berubah dalam hitungan jam. Dua jam sehabis tidur siang, Aleena menghabiskan waktu dalam perawatan tubuh dan wajahnya, itu karena Pavel. Aleena jadi berpikir, seberapa banyak uang pria matang itu, sehingga apa saja tersedia di mansion ini dengan sekali perintah semuanya langsung melaksanakannya tanpa membantah. Sekarang Aleena tampak menawan, wajahnya yang biasa tidak memakai riasan kini memakainya. Balutan gaun malam pas melekat memeluk lekuk tubuhnya, walau sedikit rendah di bagian dada, tapi Aleena sekali lagi sulit menolak. Ketika sentuhan terakhir pada rambutnya selesai, dirinya baru menyadari jika dia memiliki wajah menarik seperti ini. "Aku akan menjadi boneka hidup malam ini," gumamnya bersuara lirih. Para pelayan menundukkan pandangan mereka tak berani bersuara atau menanggapi. Tidak satu pun dari mereka berniat untuk mendekat setelah mempersiapkannya, di sini dirinya diperlakukan selayaknya nyonya, meski demikian rasa merendahkan diri dan merasa tak pantas selalu ada di hatinya. Mungkin lebih baik dia hidup sederhana seperti sebelumnya. Lamunannya buyar saat langkah seseorang mendekat, tanpa dia menoleh dia tahu siapa itu. Bahkan pantulan pria itu ada di dalam cermin. Kedua tangan Pavel terangkat, meremas lembut pundak Aleena sekaligus menatap wajahnya yang cantik dan tampak lebih segar. "Lihat, siapa gadis cantik ini? Ah, dia milikku. Bukankah begitu, sayangku?" "Ya, saya... milik anda," sahut Aleena, dia merasa tercekik sendiri setelah mengatakan hal konyol tersebut. Mengalah, cukup sekali. Pavel menyunggingkan senyuman miring penuh kemenangan. "Gadis pintar, begitu saja, aku sangat senang mendengar dirimu patuh." Tangannya bergerak turun ke pinggang sang gadis, mengusapnya secara sensual dan mencengkeram seakan tengah menggali dagingnya, membuat Aleena tercekat. "Malam ini... malam ini aku akan memperlihatkan pada orang-orang harta karun di kehidupan ku yang membosankan ini, menunjukkan siapa pemilik mu. Siapkan mental mu, sayang. Karena bisa jadi nanti ada kejutan menyenangkan, demi menyambut dirimu di duniaku." Itu adalah janji gelap ke sekian kalinya Aleena dengar, menjanjikan sesuatu yang pastinya akan terjadi. Bukan tentang kejutan indah dan menyenangkan, melainkan hal menegangkan, semakin membuat dirinya waspada. Perkataan Pavel bak racun mematikan, menakutkan. Pavel membantu Aleena berdiri, membalikkan badannya dan ibu jarinya mengusap berputar di sisi pinggul Aleena. "Kau nanti boleh bicara, hanya padaku, bukan orang lain." Oh, ini ancaman tak terucap secara langsung. Tapi itu sangat jelas, Aleena sudah mulai memahaminya. "Baik, Tuan," balasnya seadanya. Ujung jari telunjuk Pavel mengangkat dagu gadisnya, supaya menatapnya. Pavel sendiri melemparkan tatapan tajam bercampur sinis. "Panggil namaku, sayang. Lalu tidak harus formal, kau kaku sekali, hmm. Padahal malam sebelumnya kau mendesah lantang tanpa sikap ini." "Sudahlah, cukup sampai di sini, kita harus segera pergi." Kaki panjangnya melangkah menjauhi Aleena, tanpa repot-repot menarik gadis, karena ia tahu Aleena akan mengikutinya. Di sisi lain. Kyne menggoyangkan gelas minuman berisi anggur mahal. Tatapan pria itu lurus, tajam, dan menerka. Rasanya ingin sekali menarik Aleena ke pelukannya, menghirup aroma gadis itu sampai dia mabuk. Bahkan anggur di tangannya tak berarti apa-apa. Sejenak dia tertawa terbahak-bahak layaknya orang gila, kemudian kepalanya menggeleng mengingat kejadian tadi siang—menyebalkan. Bibirnya mengeluarkan desahan kasar akibat tidak berselera lagi menikmati minumannya, melemparkan gelas itu ke dinding hingga pecah berantakan. Tampaknya rencana harus diubah. "Aku menginginkan dirinya, tapi aku harus memakai cara pintar, bukan?" Lalu dia menatap ke depan, di mana foto gadis yang sama terpajang. Berbagai ekspresi dan gaya tertempel di dinding dengan tulisan besar di atasnya, bertuliskan 'Milik Kyne'. "Aleena, Aleena, Aleena... kau membuatku gila, sayang." Geraman tertahan penuh emosi tersirat jelas di raut wajahnya, tangannya terkepal kuat seakan-akan bisa mendapatkan apa yang dia mau. "Permainan kucing-kucingan akan segera berakhir, tunggu saja, aku akan berhenti menjadi orang lain dan menunjukkan bagaimana rasanya dicintai oleh Kyne Foster. Sungguh penantian panjang yang menyakitkan.""Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam. Bahkan, semalam Pavel tampak kasar, mungkin karena pertemuan yang membuat waktunya terbuang dan tak mendapatkan momen menarik. Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut. "Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku. Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pav
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas. Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu. Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel. "Permisi, Nona Morris. Makan si
Lama berpikir hingga melamun, Aleena pun tersadar. Sebisa mungkin dirinya harus mengetahui siapa sebenarnya Pavel. Pavel tahu segalanya tentang dirinya dalam kurun waktu singkat, sedangkan dirinya saja sama sekali tidak tahu-menahu siapa identitas Pavel karena pria itu sangat ahli dalam menyembunyikan rahasia. Ditambah, dirinya tak tahu hidup di dunia seperti apa yang dihuni Pavel. Hingga Aleena memutuskan menemui Kenji. Suatu ide muncul dibenaknya. Dia melangkah keluar dari perpustakaan, melupakan makan siangnya dan mengutamakan rasa penasarannya yang kian bergemuruh riuh agar dituntaskan. Sulit bagi Aleena memendam semuanya, dia akan menerima segala konsekuensinya. Entah itu berupa hukuman atau... lainnya. Bertepatan dengan itu, Aleena bertemu Kenji di lorong, di dekat pintu ruang santai. "Kenji, Tunggu!" Langkah kaki pria berwajah oriental itu berhenti dan membalikkan badan sepenuhnya karena mendengar suara Aleena. Dengan sopan, dia sedikit membungkuk. "Selamat siang Nona Mor
Di malam harinya, tak disangka, Pavel pulang lebih awal dan berjalan langsung menuju kamar Aleena. Pria itu bukanlah orang bodoh. Setiap sudut kediamannya dilengkapi dengan kamera pengawas, baik yang terlihat maupun tersembunyi. Sebagai langkah berjaga-jaga, Pavel memang memasang kamera di kamarnya sendiri untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan. Namun, kali ini kamera tersebut menangkap sesuatu yang berbeda. Kucing nakalnya—begitu dia menyebut Aleena dalam hatinya—berani-beraninya masuk ke ruang pribadinya tanpa izin. Bukannya marah besar, Pavel justru tersenyum kecil. Dia tahu dia tak ingin membuat gadis itu ketakutan. “Hukuman kecil untuk anak nakal sepertimu akan segera datang,” gumam Pavel pelan, nyaris seperti bisikan. Senyumnya mengembang, tetapi ada bayang-bayang gelap yang membayangi di balik nada santainya. Ketika tiba di depan pintu kamar Aleena, Pavel melirik para pengawal yang berjaga. Dengan nada tegas namun tenang, dia berkata, “Jaga tempat lain. Dia aman
Aleena tersentak saat pintu perpustakaan tertutup dengan keras, membuatnya berdiri dan mengintip dari balik rak buku untuk melihat siapa yang menutupnya. Namun, ia tak menemukan siapapun. Kakinya melangkah keluar dari persembunyian dan mendekat ke arah pintu. Saat mencoba membukanya, ternyata pintu itu terkunci."Astaga, kenapa bisa terkunci?" gerutunya kesal. "Halo! Apa di luar sana ada—akh!"Teriakan Aleena cukup keras, terkejut karena tiba-tiba sepasang tangan menyentuh tubuhnya, membuatnya merinding."Stt, jangan berteriak, sayang. Nanti suaramu habis, simpan untuk hal... yang lebih berguna," bisik Pavel tepat di telinga Aleena.Pria itu memeluknya tiba-tiba dari belakang dengan pelukan kuat, seakan-akan tak memberi celah bagi Aleena untuk memberontak. Bahkan, Pavel dengan berani mengusap pinggul Aleena. Aleena menegang, rasanya ingin melawan, namun perkataan pria itu terdengar lagi."Ini hukumanmu... jangan coba-coba kabur atau mengh
"Makan... atau aku akan menyumpal mulutmu dengan sesuatu yang mungkin kau sukai," ancamnya dingin, nada tajam penuh intimidasi. Meski terdengar ambigu, maksudnya jelas tak terelakkan. Tangan Aleena mencengkeram sendok di genggamannya dengan gemetar. Tubuhnya terasa remuk redam, hasil ulah Pavel tadi malam. Kontras dengan pria itu yang tampak segar dan tak terganggu sedikit pun, dirinya justru harus menahan rasa nyeri yang menjalar di setiap inci tubuhnya. "Makanlah, gadis kecil. Tubuh ringkihmu butuh asupan," ucap Pavel dengan nada meremehkan. Aleena mendengus pelan merasa terhina, tapi tidak berani melawan. Pavel yang menangkap reaksinya hanya tersenyum miring. "Keras kepala sekali. Bahkan dalam keadaan seperti ini... aku jadi tidak sabar untuk 'mendidikmu' lagi.""Jangan!" sergah Aleena panik, napasnya tercekat. "A—aku tidak mau! Tubuhku masih sakit!"Ketakutan merayapi dirinya. Hanya mendengar ancamannya saja sudah membuat tubuhnya gemetar. P
Semakin hari, ekspresi wajahnya semakin datar, seolah kehilangan minat untuk mengajar di universitas itu. Beberapa kali dia menghela napas, merasa frustrasi dengan beberapa mahasiswa bimbingannya yang benar-benar menguji kesabarannya. Mereka membuat darahnya mendidih—mengingatkan dirinya agar tidak sampai kehilangan kendali dan menghabisi salah satu dari mereka demi memuaskan hobinya yang gelap."Hei, jangan mengobrol. Saya menyuruh kalian mengerjakan tugas, bukan berdiskusi tentang hal yang tidak perlu," tegur Kyne dingin pada salah satu mahasiswa di kelas itu.Gadis yang ditegur menelan ludah, tapi melihat raut wajah Kyne yang tetap datar, dia justru mengangkat ponselnya dengan ragu. Dia tahu betul bahwa profesor di depannya ini memiliki ketertarikan pada temannya."Maafkan kami, Profesor. Teman kami baru saja memberi kabar. Aleena izin dalam waktu cukup lama, dan dia baru saja menghubungi kami."Pria di sampingnya mengangguk membenarkan. "Benar
Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima
Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me
Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har
Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.
"Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje
Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas
Aleena menerima pesan singkat di ponselnya. Nomor asing tertera di layar, diikuti dengan pesan berikutnya yang langsung menyebutkan identitas sang pengirim—Louise.Wanita itu benar-benar tidak tahu malu. Sepertinya dia sangat takut kehilangan Pavel, atau lebih tepatnya, takut Pavel menikahi gadis yang jauh lebih muda darinya. Aleena mendengus, menyadari bahwa dirinya memang tidak lebih unggul dalam banyak hal, kecuali satu: usianya yang lebih muda.Tapi meski begitu, rasa percaya dirinya tetap tidak kokoh. Ada bagian dari dirinya yang masih ragu, yang masih merasa cemas meskipun ia mencoba menyangkalnya.Dengan helaan napas kasar, Aleena membuka pesan itu. Dan saat itu juga, dunianya seakan runtuh.Matanya membesar, napasnya tercekat. Foto yang dikirimkan Louise menampilkan sosok pria bertelanjang punggung membelakangi kamera, memperlihatkan tato yang menutupi bekas luka. Tato yang sangat familiar, sangat dikenalnya. Itu tubuh Pavel.Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel, dadanya
Tamparan keras kembali mendarat di wajah Louise, kali ini dari pria yang seharusnya menjadi sekutunya. Mereka memiliki tujuan yang sama—menghancurkan Pavel, menghancurkan bisnis dan kehidupannya, memastikan pria itu jatuh tanpa bisa bangkit kembali."Kau bodoh! Sangat bodoh!" Pria itu menggeram, suaranya tajam dan penuh amarah. "Seharusnya kau lebih cerdas, lebih taktis! Bukan bertindak gegabah dengan mendatangi kediamannya tanpa persiapan matang!"Matanya membara, rahangnya mengeras menahan emosi. Kemarahan itu semakin membuncah saat dia melangkah mendekat, menatap Louise dengan penuh penghinaan."Jalang sialan! Gunakan cara lain! Atau...." Dia menunduk sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan beracun, "Gunakan tubuhmu!"Louise memejamkan mata sejenak, menahan panas yang membakar pipinya. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga menghujam harga dirinya. Dalam satu hari, dia telah ditampar dua kali—oleh Pavel dan sekarang oleh Humphrey, pria yang seharusnya berada di pihaknya.M
Situasi sulit jelas terasa di sisi Marvin dan Alexander. Berbeda dengan Pavel, yang kini sudah mengetahui segalanya. Namun, alih-alih cemas atau marah jika ekspektasinya tak terwujud, pria itu tampak santai, duduk di sofa di depan televisi, menemani Aleena yang asyik menonton drama Korea. Hari ini, Aleena tampak lebih tenang dan dalam suasana hati yang baik, membuat Pavel tak perlu repot-repot menjinakkan kucing liar yang biasanya sulit diatur. Gadis itu bersandar santai di sisinya, tanpa perlawanan, sesuatu yang jarang terjadi. Namun, ketenangan itu terusik ketika seorang pelayan datang menghampiri mereka. Wajahnya tampak ragu, seolah ada sesuatu yang berat untuk disampaikan. "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nona," ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Tapi... wanita itu datang lagi, Tuan." Aleena mengerutkan kening, kepalanya miring ke samping. "Siapa?" "Louise Carter, Nona Morris," jawab sang pelayan hati-hati. Pavel masih tampak santai, jemarinya sibuk memainkan rambut