"Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku."
Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu." "Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan. Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis. "Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena. Bulu kuduk gadis itu berdiri, dia segera keluar dari mobil mewah milik Pavel, melepaskan cengkeraman tersebut tanpa bersusah payah. Pavel sendiri terkekeh bak iblis melihat ketakutan kentara di wajah gadisnya, pemandangan menyegarkan mata seperti ini akan sering terjadi nantinya. Apa lagi cara Aleena mengambil langkah, itu menggemaskan—tertatih, mengingat kegiatan panas yang hanya terjadi beberapa jam saja tadi malam. Setelahnya, Pavel tak langsung pergi. Matanya terpaku sejenak, Aleena Morris. Sesosok gadis yang sedang menempa jenjang pendidikan di salah satu universitas bergengsi berkat jalur beasiswa, poin pentingnya ialah, otak Aleena cukup jenius. University of California Berkeley, jurusan ilmu komputer dan informatika. Mengingat umur tertera di dalam laporan, Pavel sedikit skeptis, namun kemudian tak peduli dengan cepat. Gadis yang mempunyai semangat berapi-api di dalam dirinya, menambah keinginan Pavel untuk memiliki seluruh jiwa, tubuhnya, seutuhnya, dan seluruhnya. Aleena cocok sebagai penampung benih-benihnya yang unggul, memadukan keduanya, mampu menciptakan keturunan terbaik. Memikirkannya saja membuat miliknya kembali mengeras. Pavel terus memikirkan Aleena, seolah gadis itu adalah zat adiktif. Dia kecanduan. Tubuh, suara, dan gerakan responsif terhadap sentuhan darinya. Itu benar-benar memabukkan. Sejenak Pavel terkekeh sinis sambil mencengkeram kuat setir mobil sebelum menyalakan mesin. "Haah, dia... keterlaluan. Aku tak sabar mencicipinya lagi dan lagi sampai hancur berkeping-keping." Di sisi Aleena. Dia telah tiba di rumahnya. Tak habis pikir dengan kehidupan dia hadapi. Sekejap mata berubah menjadi jurang yang menghadapkan dirinya kepada tantangan tak kasat. "Aku harus hati-hati, dia—tampak berbahaya, meski aku akui sangat tampan. Sial!" *** Jam sebelas siang, kini Aleena sedang di kampusnya. Kelasnya baru saja selesai. Tapi dua pria di ambang pintu telah menunggunya, tetapi terhalang oleh dosen pembimbing Aleena yang tampak baik dan ramah seperti biasa. Namanya Kyne Foster. Kaki panjangnya melangkah melewati para pria yang hendak menghampiri Aleena, karena Kyne tahu, keduanya adalah pria nakal dan bisa saja membuat Aleena jatuh ke dalam masalah besar. "Nona Morris, saya ingin mengajak anda makan siang bersama, apa Nona berkenan?" tawar Kyne tiba-tiba, pria itu ramah seperti biasa. Menebar senyum, membuat para wanita tak tahan untuk tidak membalas sikap hangatnya. "Saya masih ada waktu sebelum pekerjaan paruh waktu saya tiba," balas Aleena tak kalah ramah. "Baiklah, berarti Nona Morris menerima ajakan saya." Kyne menyimpulkan dan gadis itu mengangguk. Pria berusia tiga puluh tahun itu memimpin jalan menuju kantin. Keduanya saling berbincang ringan, sesekali Aleena tertawa kecil mendengar lelucon ringan dari Kyne yang tampak mencairkan suasana. Yang tidak Aleena Morris tahu, tatapan Kyne terselip kilatan memuja pada sosok Aleena. Selang tak lama, mereka sudah memesan dua makanan dan minuman. Ketika keduanya sedang memakan makanan masing-masing, sudut bibir Aleena menyisakan remahan makanan, secara naluri tangan Kyne terangkat menyeka lembut di titik tersebut. Lantas Aleena membeku dengan jantung berdetak kencang. Pandangannya terangkat menatap Kyne bingung. "Ah, maaf—terima kasih, Tuan Foster," ucapnya canggung, terasa lumayan risih. Kyne tersenyum bagai malaikat, menghapus perasaan kurang nyaman dari Aleena begitu cepat. "Tidak apa, Nona Morris... ternyata menggemaskan, ya." "Jika sudah menyangkut makanan, anda nyaris melupakan sekitar," tambah Kyne, sangat tenang. Pipi Aleena merona, dia sedikit malu. Lalu dengan cepat merubah situasi. "Yah, saya akan fokus ke arah makanan yang menarik perhatian saya sendiri." Lagi, Kyne tersenyum sambil menggoda. Berkata berani, berucap, "Oh, ya... apa seseorang harus menjadi makanan favorit anda, baru—anda meliriknya karena tertarik? Saya bersedia jika anda yang melahap saya secara bulat-bulat." Senyum Aleena berubah canggung, dia tertawa renyah tak ada rumor di dalamnya. Kepalanya menggeleng, mulutnya sampai sulit harus bagaimana membalas Kyne. Pembicaraan pria itu lumayan ambigu. Jelas Aleena tahu jelas, dia bukan seorang anak sekolah dasar bahkan anak kecil. Kantin jadi hening karena kedatangan seseorang. Langkahnya yang tenang dan percaya diri, dengan gagahnya melangkah mendekat ke arah meja Aleena. Tatapannya tajam menghunus langsung tepat ke kepala Aleena secara tak kasat mata, membuat Aleena akhirnya menoleh. Kesialan memang tidak tercatat di kalender. Pavel, bisa-bisanya pria matang itu ada di sini. "Bangun, kita perlu berbicara, kucing nakal," tegasnya, cara bicaranya kasar dan tak menerima bantahan. Aura dominan menekan kuat di udara sekitar. Ketika Aleena ingin mengatakan sesuatu, mata Pavel kian tajam. Aleena menoleh ke arah Kyne yang tampak tenang sejak tadi, meski suasana sekitar menegang. "Tuan Foster, terima kasih atas makan siangnya, saya permisi. Selamat siang." Tanpa menunggu balasan Kyne, Aleena berlari kecil menyusul Pavel. Pria itu melangkah dengan cepat menggunakan kaki jenjangnya, sedangkan di sisi Kyne, dosennya tersebut tengah meremas alat makan penuh emosi. Dia memandang kepergian gadis manisnya mengikuti pria asing tadi. Kyne menyisir rambutnya ke belakang. Lidahnya berputar-putar di pipi bagian dalam, lalu terkekeh geli sendirian. "Haah, dia membuatku gila," gumamnya pelan. Di sisi Pavel dan Aleena. Pavel menatap lurus ketika Aleena sudah ada di dalam mobilnya. Keduanya sama-sama terdiam, Aleena menghela napas merasa telah membuat kesalahan, walau pada nyatanya dia tidak melakukan apa pun. Keheningan terpecah oleh suara deru mesin mobil yang menyala, dilanjutkan Pavel membawanya berkendara entah ke mana. Aleena menoleh ke arah pria matang itu. "Tuan, sebenarnya kenapa anda menemui saya—dan tahu dari mana jika saya ada di sini?" Pertanyaan berani Aleena akhirnya terdengar, namun Pavel hanya melirik lewat sudut matanya saja. Menyahuti, "Tunggu saja, aku menghukum mu." Kening Aleena berkerut karena tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan, tapi dia langsung ingat sesuatu. "Maaf, jika ini masalah tentang, eem... semalam, saya benar-benar bersalah—" "Sayang, apa kau bisa diam? Apa perlu mulut kecilmu itu aku sumpal sesuatu yang tak kau inginkan, huh?" sela Pavel. Dia menggeram menahan amarahnya. "Tutup mulutmu, jika tidak ingin menerima konsekuensinya, gadis nakal!" Mulut Aleena otomatis terkatup rapat. Ancaman Pavel tampak tak main-main, hingga dia memilih patuh, untuk sementara. Pavel kini mulai serius pada kemudi, matanya menatap tajam ke depan. 'Aku harus mengingatkan tentang siapa pemiliknya. Ya, itu sudah semestinya,' pikirnya berkecamuk. Janji gelap lainnya tersimpan rapi di dalam kepalanya, dia menikmati ketundukkan Aleena walau sedikit membangkang. Kali ini akan dia mencoba bersikap wajar, terlebih semua ini seperti pertama kalinya di alami gadisnya. Namun, biarlah gadis nakal itu merasakan kekuasaannya sekali pun tidak ada di sisinya. Mengingat pria tadi yang bersama Aleena, membuatnya kembali kesal. Yeah, dia akan melakukan permainan secara perlahan-lahan, sampai Aleena tak lagi berpaling dan hanya mengingat dirinya, seorang. Selang belasan menit akhirnya mereka tiba di sebuah rumah megah nan mewah. Dinding-dinding tinggi di bangunan tersebut seperti sulit sekali ditembus atau dihancurkan, jelas hawa dingin merayap sampai ke punggungnya. Meski Aleena terkagum dengan bangunan di rumah itu, mungkin bisa dibilang mansion, tak ayal sesuatu buruk tampak sedang menunggu dirinya di dalam sana bersama Pavel. Jantungnya berdetak kencang lebih cepat. Tidak, ini bukan karena sensasi untuk merasakan jatuh cinta, melainkan dirinya merasa perasaannya semakin tak beres, termasuk gelagat Pavel yang memang terlalu tenang malah menambah spekulasi buruk tentang pria itu. "Haah, selamat datang di kediaman Ellington, gadis kecil," cetusnya membuka suara. Mobil sudah berhenti, kegugupan disertai ketakutan berkumpul menjadi jadi satu di diri Aleena. "Tenang saja, sayang, kau hanya perlu tahu tempat mu berada setelah aku beritahu nanti. Aku tak peduli jika kau berniat kabur, itu takkan berhasil." Pavel keluar dari mobil terlebih dahulu, dia menunggu di luar sana agar Aleena menyusulnya. Sialnya, Aleena seperti tidak diberikan kesempatan untuk menolak. Matanya menatap sekeliling sebelum keluar dari mobil, penjaga berbadan besar berotot berkeliling berjaga dan ada pula menjaga beberapa titik sudut mansion besar miliknya. Menyeramkan. Kaki Aleena melangkah ragu ke arah Pavel di depan dasbor mobil, pria itu menyeringai melihat ketakutan di mata Aleena, akan tetapi ada sesuatu tentangnya yang ingin memberontak. Jelas, sangat jelas sampai Pavel menahan tawa sinis dari mulutnya. Dia melangkah maju, mengikis jarak antara gadisnya. Lalu dia mencondongkan tubuhnya ke arah Aleena. "Ikuti aku, kalau kau mencoba kabur... hukuman akan semakin berat. Apa kau mengerti?" Tatapan mengintimidasi tersebut sangat mengganggu Aleena. Mau tak mau kepalanya mengangguk. "Namun, Tuan, bolehkah saya tahu apa kesalahan saya?" Pavel tidak menjawab, justru dia melangkah meninggalkan Aleena. Tentunya Aleena harus mengikutinya. Banyak rencana tersusun rapi, khusus untuk Aleena, gadis kecilnya yang nakal. Sedangkan Aleena, sesungguhnya sangat kesal, tak terima diperlakukan seperti ini. Mengingat ia berada di kandang serigala tanpa belas kasih, keajaiban keluar dari situasi tersebut pastinya kecil kesempatannya, karena dominasi Pavel sangat mempengaruhinya sejauh ini. "Ya, Tuhan. Semoga aku pulang dengan utuh nantinya," gumamnya, rapalan doa mengudara sambil membawa langkahnya mengikuti Pavel kembali, menyusul pria itu dari belakang punggungnya.Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau seorang yang lebih dari itu."Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana."Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang harus ingin Tuan tambahkan?"Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat."Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri.Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia memenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap Pavel. "Ya, T
"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam.Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut."Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku.Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pavel lekas berdiri setelah menyeka mulut menggunakan serbet dan langsung melihat reaksi gadisnya yang berwajah pias, amat pucat. "Untuk
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas.Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu.Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel.
"Sialan, ini semakin tak nyaman!" keluh seorang wanita muda berjalan tunggang langgang tak tentu arah. Di sebuah klub malam, Aleena yang berhasil kabur dari teman prianya tanpa sengaja menabrak seorang pria berpakaian formal. Tangan serta lengannya yang kokoh mencegah agar Aleena tak terjatuh ke lantai. Sentuhan tersebut membuat tubuhnya menegang, hingga dirinya memegang erat lengan pria itu. "Lepas." Satu kata menusuk terlontar dari mulut pria asing itu. Menatap Aleena tajam dan terdengar menggeram marah akibat ucapannya tak digubris. Aleena yang terjebak karena alkohol dan obat perangsang pun tak mampu menanggapinya. Pria di depannya ini mengeluarkan wangi parfum mahal khas kelas atas, ditambah tubuh kekar menggoda di balik balutan kemeja serta mantelnya yang mahal. Lalu kepala Aleena mendongak, menatap sang pria dengan sayu disertai napas berat. Wajahnya yang memerah tak Aleena sadari, hanya saja, tubuhnya semakin panas di dekat pria itu. "T—tuan... tolong...." Wajah pria y
Mimpi Buruk. Itulah satu-satunya kata yang mampu Aleena ungkapkan untuk menggambarkan kehidupannya saat ini di kediaman Ellington. Selama sepuluh hari terakhir, dia terkurung di hunian megah nan mewah milik Pavel, tanpa diizinkan keluar, seperti burung dalam sangkar emas.Ironisnya, dia bahkan belum bertemu Pavel lagi sejak malam itu, ketika pria itu mengancamnya dengan 'malam panas.' Faktanya, Pavel tidak pernah pulang sejak saat itu. Di rumah ini, hanya ada para pengawal, pelayan, dan kepala pelayan bernama Kenji. Aleena sering kali ingin bertanya ke mana Pavel pergi dan apa pekerjaannya, tetapi dia selalu mengurungkan niat itu.Daripada mencari jawaban, Aleena lebih memilih menghabiskan waktunya di perpustakaan mansion tersebut. Dia tahu betul bahwa jika dia bertanya, entah bagaimana, Pavel pasti akan mengetahuinya. Dinding-dinding di sini seperti memiliki telinga, begitu juga semua penghuninya. Tidak ada hal yang lolos dari pengawasan Pavel.
Aleena menatap kosong pada makanan di piringnya. Sarapannya kali ini tak ada selera muncul dalam mulutnya, hanya menyisakan perasaan hampa dan tubuhnya yang letih. Matanya melirik ke arah pergelangan, tampak memar melingkar di sana akibat ulah Pavel, pria itu menidurinya semalam.Helaan napas panjang terdengar menggambarkan suasana hatinya sekarang, dia melihat Pavel. Pria itu sama sekali tidak peduli bagaimana dirinya harus jalan tertatih-tatih karena pergulatan panas di atas ranjang miliknya. Ingin rasanya memprotes sikap kurang ajar itu, namun dia sendiri larut dalam kenikmatan yang diciptakan Pavel tersebut."Jangan pernah meminum pil pencegah kehamilan. Kalau kau ketahuan—bersiaplah menghadapi malam berikutnya," tegas Pavel membuka suara, tanpa repot-repot menatap sebentar sosok Aleena yang membeku.Ketika roti panggang sudah habis di piringnya, Pavel lekas berdiri setelah menyeka mulut menggunakan serbet dan langsung melihat reaksi gadisnya yang berwajah pias, amat pucat. "Untuk
"Selamat malam, Tuan Ellington." Seorang pria muda menyapa Pavel dengan topeng ramahnya, ekspresinya berubah di detik berikutnya melirik saat melirik Aleena yang menarik perhatian. "Wah, wah... lihat ini, kau membawa mainan baru? Apa ini mainan pribadi atau—mungkin kau berkenan untuk berbagi?" Mata pria itu menatap tajam tubuh Aleena. Menjelajahinya tanpa menyentuh, membuat Aleena tak nyaman. Pavel sendiri menanggapinya biasa saja, namun lengannya memeluk pinggang Aleena semakin erat, menyatakan jika gadis itu adalah miliknya. "Sentuh dengan ujung jarimu, maka kehancuran akan datang secara sukarela padamu." Ucapan Pavel terdengar dingin, masih terkesan tenang, dia menekan dominasinya, mampu membuat pria tadi meneguk ludah. "Dan—jangan berbicara seolah kita dekat." "Oh, santai saja, Tuan. Aku cuma bercanda," sahutnya cepat seraya mengibaskan tangan, dia tertawa tanpa humor. Apa yang dikatakan Pavel bukanlah sekedar ancaman di udara, melainkan sesuatu yang bisa menjadi kenyataan me
Semua pelayan di kediaman itu menunduk, membungkuk hormat termasuk para penjaga yang berlalu lalang berhenti hanya memberikan salam hormat seolah-olah hal tersebut tak boleh terlewatkan. Aleena jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa status Pavel. CEO? Pejabat negara kelas tinggi? Atau seorang yang lebih dari itu."Apa pakaian dan keperluan untuk gadisku sudah disiapkan?" tanya Pavel pada salah satu asisten rumah tangga, kepala pelayan di sana."Sudah, Tuan. Segala keperluan Nona telah saya sediakan dengan lengkap," jawab seorang pria berwajah oriental, berdarah keturunan Cina dan Jepang. "Apa ada yang harus ingin Tuan tambahkan?"Kepala Pavel menoleh ke Aleena, gadis kecilnya sedang menatap ke sekeliling. "Nanti saja, Kenji," balasnya singkat."Aleena," panggil Pavel. Pria itu kembali memusatkan perhatiannya ke arah gadisnya. Sedangkan Kenji menunduk pamit undur diri.Aleena sendiri sempat sedikit tersentak, namun segera dia memenangkan diri. Sekarang dia sepenuhnya menatap Pavel. "Ya, T
"Dengar." Suara berat mendalam bergemuruh di dadanya terdengar. Tatapan matanya yang tajam tidak pernah lepas dari sosok gadis di kursi penumpang di sampingnya. "Sekarang kau milikku." Aleena memberanikan diri menatap pria itu meski gugup. Dia hendak membantah, tapi pria di sampingnya lebih dulu menyela. "Pavel, ingat nama itu. Lalu aku yang akan mencari mu. Jangan berani menolak, aku tak suka itu." "Katakan sesuatu, karena kau harus mengerti," lanjutnya, suaranya terdengar tidak ingin menerima jawaban penolakan. Dengan berat hati dan ragu, Aleena mengangguk terpaksa. Matanya bergetar. Hal itu membuat Pavel tersenyum miring merasa puas atas pengaruh dirinya pada Aleena. Tangan besarnya menepuk-nepuk kepala Aleena, jemarinya merayap ke sela rambutnya, kemudian mencengkeram erat dan menariknya, nyaris menimbulkan rasa sakit berlebihan di kulit kepala sang gadis. "Pulanglah, gadis kecil. Kita akan bertemu lagi," bisik Pavel mencondongkan tubuh, bibirnya tepat di depan telinga Aleena.
"Sialan, ini semakin tak nyaman!" keluh seorang wanita muda berjalan tunggang langgang tak tentu arah. Di sebuah klub malam, Aleena yang berhasil kabur dari teman prianya tanpa sengaja menabrak seorang pria berpakaian formal. Tangan serta lengannya yang kokoh mencegah agar Aleena tak terjatuh ke lantai. Sentuhan tersebut membuat tubuhnya menegang, hingga dirinya memegang erat lengan pria itu. "Lepas." Satu kata menusuk terlontar dari mulut pria asing itu. Menatap Aleena tajam dan terdengar menggeram marah akibat ucapannya tak digubris. Aleena yang terjebak karena alkohol dan obat perangsang pun tak mampu menanggapinya. Pria di depannya ini mengeluarkan wangi parfum mahal khas kelas atas, ditambah tubuh kekar menggoda di balik balutan kemeja serta mantelnya yang mahal. Lalu kepala Aleena mendongak, menatap sang pria dengan sayu disertai napas berat. Wajahnya yang memerah tak Aleena sadari, hanya saja, tubuhnya semakin panas di dekat pria itu. "T—tuan... tolong...." Wajah pria y