Makin Zola memikirkannya, haitnya mulai timbul berbagai pikiran yang tidak terduga. Namun, dia segera menepisnya Ketika pemikiran tersebut terbit.Tidak mungkin, tidak mungkin akan seperti itu. Mahendra tidak akan mengajukan diri menjadi arsitek untuk menggantikannya hanya demi membuat Morrison Group mengakui insiden ini. Pasti dia yang terlalu banyak berpikir.Zola menggelengkan kepalanya dengan wajah yang semakin keruh. Jeni mengulurkan tangannya dan mengayunkannya di depan wajah Zola sambal bertanya, “Apa yang kamu pikirkan?”Zola tersadan dan matanya langsung bertemu dengan mata Jeni. Dia menggeleng dan tidak berbicara. Hanya saja, dalam hatinya terlintas sebuah kalimat yang pernah dia dengar.“Kalau seseorang sudah mulai curiga dengan orang lain, maka rasa lagu itu akan terus berlanjut tanpa henti.”Perasaan Zola menjadi makin muram dan wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran. Jeni melihat hal itu dan memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun lagi agar tidak menambah beban pikir
Suara di ruang tengah masih belum menunjukkan tanda-tanda berhenti. Melihat Rosita yang tetap diam tanpa tanggapan, Linda mencoba bertanya dengan hati-hati, "Bu Rosita, kenapa Anda nggak berbicara? Apakah yang kami bicarakan ini sama dengan apa yang Anda pikirkan?"Rosita menatap Linda sekilas dengan raut datar dan berkata, “Bu Linda, pertunangan Wina dan Tedy sudah berlangsung cukup lama, ‘kan? Keluarganya Tedy nggak ada mengajukan permintaan menikah, ya?”“Aku rasa, sepertinya kamu harus urus urusan keluargamu dulu. Mengenai Boris dan Zola, aku rasa nggak perlu ikut campur orang lain. Morrison Group juga nggak perlu seorang perempuan yang menanggung apakah perkembangannya kelak akan baik atau buruk.”Rosita memang selalu bersikap lembut pada semua orang. Dia jarang sekali berbicara dengan nada setajam ini. Ini kedua kalinya Zola melihatnya bersikap begini. Yang pertama kali adalah pada ibunya dan kali ini pada ibunya Wina.Ucapan Rosita juga berhasil membuat Linda bungkam. Di sana ju
Kedua wanita itu segera menyadari situasinya. Meski merasa tidak terima, tetapi saat ini mereka hanya ingin pergi dari tempat ini. Jika tidak, jantung mereka sudah nyaris melompat keluar. Oleh karena itu, mereka bergegas berkata,“Maaf, Zola. Kami yang salah paham, benar-benar maaf. Semoga kamu nggak mempermasalahkannya dan bisa memaafkan kami.”“Maaf.”Namun, Zola hanya menatap keduanya dengan pandangan dingin tanpa memberikan respons apa pun. Menerima permintaan maaf? Tentu saja dia tidak akan menerimanya. Menilai sesuatu tanpa dasar hanya karena tanggapan orang lain sama saja dengan orang yang buta huruf. Karenanya, Zola tidak mengatakan apa-apa, seolah tidak mendengar permintaan mereka.Rosita pun tahu betul sifat Zola. Dia memahami apa yang menjadi Batasan Zola dan hal-hal yang penting bagi perempuan itu. Sehingga, Rosita juga tidak akan memaksa Zola. Meski demikian, Linda dan Dwi adalah teman lama keluarga mereka. Jika terlalu keras pun rasanya kurang baik.Maka, Rosita mencoba m
Zola menjawab dengan jujur, “Baik.”Kakek berkata, “Apakah pandanganmu pada dia sedikit berubah?”Sebenarnya Kakek ingin tahu apakah perempuan itu masih ada rencana untuk cerai. Zola juga bisa menangkap maksud lelaki paruh baya itu. Dia menundukkan kepala dan terdiam sejenak sambal berkata,“Kakek, sebenarnya aku juga nggak tahu. Aku sendiri nggak tahu apa yang aku pikrikan sekarang.”Begitu banyak hal terjadi akhir-akhir ini, dia bahkan tidak punya waktu untuk memikirkan apakah ingin bercerai dengan Boris atau tidak. Namun, jika tidak bercerai, apakah ini akan berlangsung seumur hidup? Zola tidak terima jika di hati Boris ada orang lain. Itu bagaikan duri yang tertancap dalam hatinya. Dia memilih diam dan tidak bersuara. Kakek juga ikut tercenung dan akhirnya tersenyum sambal berkata,“Kalau kamu masih ragu, sepertinya Boris belum berbuat cukup baik. Kalau dia sudah cukup baik dan cukup mencintaimu, kamu nggak akan berpikir untuk meninggalkannya.” Ekspresi di wajah Zola tetap tenan
Terdengar suara seorang lelaki yang tertawa ringan. Zola dan Hartono secara refleks menoleh ke belakang. Lelaki bertubuh jangkung itu berjalan perlahan ke arah mereka. Wajah tampannya membuat jantung Zola berdegup cepat tanpa sadar.Meskipun telah banyak hal terjadi, dia masih saja gugup di dekatnya. Zola tahu dengan jelas bahwa dirinya masih mencintainya. Namun, apakah cinta satu pihak bisa bertahan lama?Sebelum Zola sempat memikirkan jawabannya, suara Kakek pun terdengar, “Apa? Aku nggak boleh bicara lebih lama dengan Zola?”"Kurasa nggak boleh, sudah cukup larut. Kami harus segera pulang," jawab Boris, sambil melirik jam di tangannya dan berjalan mendekat ke arah Zola. Dengan santai, dia meletakkan tangannya di pinggangnya. Gerakannya tampak begitu alami seolah-olah dia sudah sering melakukannya. Zola terkejut sejenak, tetapi dia tetap berusaha menjaga ketenangannya.Kakek melihat pemandangan itu dengan senyum tidak terbendung di matanya, dia berkata pada Boris dengan nada yang ter
Meski Kakek dan kedua orang tua Boris sangat yakin tidak ada pemikiran seperti itu, tetapi Zola ingin tahu apa yang ada dalam benak Boris.Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Boris, aku mengerti maksudmu. Aku hanya ingin tahu, apa kamu benar-benar nggak pernah merasakan meski hanya sedetik saja kalau semua ini nggak akan terjadi kalau nggak ada aku?”Boris mengerutkan alisnya dan wajah tampannya menunjukkan sedikit ketidakpedulian. Dia kemudian melirik ke arah kendaraan di kaca spion dan langsung menepi. Dia berbalik menghadapnya dan berkata dengan suara rendah, “Kalau ini nggak terjadi, apakah kamu bisa memastikan nggak akan ada hal lain yang terjadi?”Zola menatapnya tidak mengerti.“Setiap hal yang terjadi pasti ada alasannya. Kalau nggak, hidup akan terlalu datar, bukan? Karena hal ini sudah terjadi, apakah menyalahkan seseorang bisa menyelesaikan semua masalah? Nggak, ‘kan? Jadi daripada menyalahkan orang lain, lebih baik kita cari solusi untuk segera menyelesaikannya.”“Zola, kat
Zola terdiam sejenak dan baru kemudian dia menyadari keterkaitan antara Wina dan Jeni. Raut wajahnya sedikit khawatir sambil bertanya, "Kamu ... baik-baik saja?"“Aku nggak apa-apa. Kamu jawab pertanyaanku dulu.”Jeni melepas sarung tangan sekali pakainya, lalu berbalik menghadap Zola. Matanya menunjukkan sedikit ketegasan yang dingin.Zola berkata, “Mungkin hanya ingin menyenangkan Ibunya Boris saja. Bagaimana pun, mereka adalah teman lama. Kalau memang ada keterkaitan, mungkin peringatan dariku kepada Wina sebelumnya membuat keluarga Jardi merasa nggak nyaman.”“Bohong kalau mau menyenangkan. Seharusnya diam mau menggunakan kesempatan ini untuk menjelekkan kamu. Wina nggak begitu menyukaimu karena aku, jadi ibunya pun mencari cara untuk mempersulit kamu.”“Kalau tujuannya hanya untuk mempersulit, mereka nggak perlu repot-repot datang ke sana karena semua orang tahu sikap keluarga Morrison padaku. Nggak akan mudah dipengaruhi hanya dengan beberapa provokasi, jadi kamu nggak perlu mera
Boris duduk di depan meja kerjanya, Jesse menyerahkan jadwal kerja hari ini dan berkata, “Pak Boris, juri dan mitra dari kompetisi arsitek menelepon, ingin tahu apakah putaran kedua akan berlangsung sesuai jadwal?” “Kenapa nggak?” balas Boris dengan kening berkerut.Jesse menjelaskan, “Mereka mungkin khawatir bahwa kejadian belakangan ini akan memengaruhi kompetisi.” Boris mendengus dingin dan menjawab, “Apakah karena jarinya terluka, dia nggak bisa makan atau minum, dan nggak bisa melakukan apa-apa?” Asistennya itu hanya bisa menundukkan kepala dan tidak berani bersuara. Dia hanyalah seorang penyampai pesan, dan risiko dipecat cukup besar. Suasana hening selama setengah menit. Setelah Boris meninjau semua jadwal kerja di depannya, dia baru mengangkat wajahnya dan berkata,“Kosongkan waktu makan siangku, aku sudah membuat janji untuk makan dengan Tedy. Selain itu, kerja sama antara Jardi Group dan Morrison Group nggak perlu diperpanjang. Kalau mereka bertanya alasannya, biarkan mere