“Nggak. Boris, bagaimana mungkin aku menyalahkanmu? Masalah itu memang salahku. Aku nggak seharusnya membiarkan manajerku memintamu menjemputku. Aku tahu kamu orang yang profesional. Aku nggak seharusnya seperti itu ….”“Sudah. Masalah ini sudah berlalu dan jangan diungkit lagi, oke?” potong Boris tanpa ekspresi.Tyara mengangguk dan dia tersenyum lembut sambil berkata, “Boris, kamu jangan marah. Aku janji nggak akan ada lain kali lagi.”Lelaki itu berdeham dan bertanya, “Kemarin malam teringat apa?”Tyara menatapnya dan berkata, “Aku ingat tangan lelaki itu ada tato. Seekor naga yang melilit hingga ke seluruh lengannya.”“Kenapa tiba-tiba bisa mengingat detail seperti itu?”“Mungkin karena aku melihat video tentang tato. Jadi tiba-tiba aku mengingatnya.”Keduanya saling berpandangan sejenak. Boris menatapnya dengan dingin dan tidak berkata apa pun. Tatapannya yang tajam dan lekat membuat Tyara merasa tidak nyaman. Dia bertanya, “Boris, kenapa kamu melihatku seperti itu? Kamu nggak per
Tyara tidak berpikir begitu banyak. Namun, dia mengangguk dengan patuh dan berkata, “Boris, aku mengerti. Kamu tenang saja. Aku merasa dia pasti akan setuju.”Tyara duduk di sana sesaat hingga Jesse masuk dan mengingatkan Boris untuk rapat. Setelah itu barulah Tyara pergi. Sepanjang hari itu perasaannya sangat baik. Perempuan itu berkata dalam hati,“Setelah Jeffry setuju mau membuat lirik dan membuat lagu untukku, maka Zola nggak akan bisa menandingiku lagi! Cih!”Waktu berlalu dengan cepat dan tiba-tiba sudah berlalu setengah hari. Pagi-pagi sekali Zola sudah mengirimkan pesan pada Boris,“Nanti nggak perlu jemput aku pulang. Aku bisa naik taksi sendiri untuk pulang.”Lelaki itu tidak membalas. Zola merasa mungkin Boris terlalu sibuk sehingga dia bergegas membereskan barangnya dan meninggalkan kantor. Dia berdiri di tepi jalan sambil memainkan ponselnya. Mendadak sebuah mobil hitam berhenti di hadapannya.Jendela bagian samping kemudi bergerak turun. Zola menyampingkan kepalanya dan
Bagian belakang kepalanya ditahan. Zola ingin memberontak, tetapi pinggulnya dipeluk erat oleh lelaki itu. dia tidak berani banyak bergerak karena khawatir mengenai perutnya.Aroma lelaki itu terasa begitu dominan. Kecupan Boris semakin dalam dan tidak mengizinkan Zola menghindar atau mundur. Lelaki itu terus menghidap lidahnya dengan paksa. Setelah kecupan panjang itu berakhir, dia merasa sedikit pusing dan lemas hingga terjatuh ke dalam pelukan Boris. Wajahnya memerah hingga ke telinganya.Zola menarik napas dalam-dalam lalu setelah merasa tenang, dia mendongak dan menatap Boris sambil bertanya, “Apa yang kamu lakukan?”Suaranya terdengar manja dan tidak seperti marah. Justru terdengar seperti tengah merajuk. Boris menyipitkan matanya dan kembali menunduk untuk mengecup bibir perempuan itu.“Menurutmu?” tanya Boris dengan suara serak. Zola menggigit bibirnya dan tidak menyadari dia sangat menggoda saat ini.“Bagaimana kalau nggak pergi?” tanya lelaki itu.“Nggak.”Perempuan itu langs
Zola tidak berbicara lagi dan hanya tersenyum tipis. Lelaki itu juga tidak melanjutkan ucapannya. Setelah selesai makan, dia mengantar lelaki itu kembali ke hotelnya.“Malam ini aku banyak berbicara. Kalau kamu nggak senang, kamu bisa bilang sama aku. Tapi aku nggak jamin nggak akan mengulanginya lagi,” ujar lelaki itu ketika turun dari mobil.Zola tersenyum masam dan berkata, “Kenapa kebawelanmu nggak bisa mengobati ketakutanmu bersosialisasi?”Lelaki itu membuat gerakan meritsleting mulut dan berbalik masuk ke hotel. Di waktu yang sama, ponsel Boris yang ada di Bansan Mansion berdering.Dari seberang telepon terdengar suara seorang lelaki yang sedang melaporkan, “Pak Boris, Ibu langsung mengantarkan temannya kembali ke hotel setelah selesai makan. Ibu nggak turun dari mobil dan keduanya berpisah di depan hotel.”Lelaki itu berdeham kemudian memutuskan sambungan telepon. Sedangkan Zola tidak tahu hal itu sama sekali. Setengah jam kemudian, perempuan itu kembali dan langsung masuk ke k
“Tentu saja nggak. Hanya saja dia kelelahan kemarin malam. Kamu menghubunginya pagi-pagi sekali dan kemungkinan akan mengganggunya. Makanya aku bantu dia menerima telepon.”Kalimat lelaki itu membuat wajah Mahendra pucat pasi.Boris menambahkan lagi, “Mahendra, Zola sudah menikah. Kamu tahu apa namanya sikapmu sekarang? Kalau tersebar, kamu pasti akan malu. Kalau nggak mau malu, sebaiknya simpan niatmu dan jaga jarak dengan dia. Kalau nggak, pertemanan kalian juga nggak akan bisa menolongmu.”Tanpa menunggu Mahendra menjawab, Boris langsung memutuskan sambungan telepon. Lelaki itu mencengkeram ponsel dengan raut datar, tetapi matanya memancarkan sorot emosi dan dingin.Mahendra benar-benar mengganggu sekali.Dia mematikan suara ponsel dan meletakkan kembali ke tempat asal. Setelah itu, Boris keluar dari kamar.Zola terbangun ketika jarum jam menunjukkan pukul sembilan. Dia meregangkan otot dan mengambil ponselnya. Sedetik kemudian, perempuan itu langsung terduduk di kasur. Ada beberapa
Caca langsung menegakkan badannya dan menyimpan rasa ingin tahunya sambil berkata, “Bu Zola, dokumen ini sudah aku rapikan. Setelah Bu Zola lihat, akan segera saya antar ke lokasi konstruksi dan diberikan pada Pak Wanto.”“Saya lihat dulu. Kalau ada masalah baru cari kamu lagi.”“Baik, aku keluar dulu.”Caca mengatupkan mulutnya bahkan dia tidak berani bernapas. Dia keluar dari ruangan dan tidak lupa menutup pintu. Gerekan perempuan itu tidak luput dari pandangan Zola hingga seulas senyum tipis terbentuk di bibirnya. Dia tidak marah, hanya saja pembahasan ini tidak perlu dilanjutkan.Setelah Zola merapikan data sketsa, jarum jam sudah menunjukkan waktunya makan siang. Mahendra memesan sup ayam dan keduanya makan di ruangan. Lelaki itu tidak membahas perihal apa yang terjadi tadi pagi.Namun dia bisa melihat jejak merah di leher putih Zola yang begitu jelas. Sudah jelas sekali untuk apa jejak tersebut ditinggalkan. Tatapan lelaki itu mendadak menggelap. Dengan suara pelan dia bertanya,
Zola juga tidak mengerti kenapa belakangan lelaki itu selalu suka ribut dengan Mahendra seperti anak kecil. Namun, pertanyaan tersebut tidak dijawab olehnya dan hanya berkata,“Sudah siang, kamu pergi makan saja. Nanti aku masih ada urusan, aku matikan dulu, ya?”Boris langsung mematikan teleponnya terlebih dahulu. Tidak tahu apakah lelaki itu marah atau tidak. Zola duduk kembali di sofa dan melihat Mahendra yang sudah meletakkan peralatan makannya untuk menunggu perempuan itu.Setelah Zola duduk, dia mengambil ayam dan bertanya, “Kenapa kamu nggak makan?”“Tunggu kamu.”Zola refleks terdiam. Setelah itu, Mahendra tidak berbicara lagi. Lelaki itu menatap Zola dengan lembut. Sampai kapan pun, dia ingin menunggu perempuan itu. Meski tahu tidak akan ada hasilnya, dia tetap enggan menyerah untuk menunggu.Setelah selesai makan, Zola melihat data sketsa sekali lagi dan meminta Caca menyerahkannya pada Pak Wanto.Hari ini dia tidak perlu ke lokasi konstruksi. Oleh karena itu, dia tetap berad
Mahendra mengangguk dan sambil bercanda berkata, “Zola, Jeffry menyukaimu? Beberapa tahun terakhir aku nggak pernah melihat dia ada kekasih atau gosip. Karena kamu, ya?”Ekspresi Zola berubah seketika. Dia berkata, “Mahendra, jangan pernah bicara seperti itu lagi. Kalau nggak, Jeffry akan direpotkan. Selain itu, dia menjagaku selayaknya seorang adik.” “Kamu begitu yakin?”“Bukan yakin, tetapi pasti. Aku sangat mengagumi orang berbakat seperti Jeffry. Aku juga suka sifatnya yang jujur dan nggak ada yang ditutupi. Kalau kami memang cocok, mungkin aku nggak akan berdiri di sini dan berbincang denganmu tentang ini.”Sifatnya sangat serius dan kalimatnya cukup tegas. Mahendra dengan cepat berkata, “Maaf, aku yang terlalu banyak berpikir.”“Nggak apa-apa,” ujar Zola dengan datar.Pintu lift juga terbuka di waktu yang sama. Keduanya keluar dan masuk dalam mobil masing-masing. Zola mengendarai mobilnya dan berhenti di samping Jeffry. Kemudian dia menurunkan jendela dan berkata, “Naiklah.”Le