02
Seorang pria berkaus biru tua memandangi beberapa pekerja yang tengah mengangkut perabotan. Setelah mereka berangkat dengan menggunakan dua mobil bak terbuka sarat barang, pria pemilik rumah berbalik dan mengitari bangunan yang menjadi saksi kisahnya bersama Junita selama tiga tahun pernikahan.Emris menelan ludah untuk mendorong sumbatan di lehernya. Pria berkulit kecokelatan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan seolah-olah tengah melihat tayangan ulang ceritanya dan Junita saat baru menikah.
Hampir semua ruangan menjadi saksi penyatuan cinta mereka. Layaknya pasangan pengantin baru, mereka melakukan itu hampir tiap malam dan berpindah-pindah tempat.
Ingatan Emris bergeser pada saat Junita hamil. Dia seakan-akan bisa melihat perempuan berambut sepundak jalan sambil memegangi perutnya yang membuncit.
Terbayang jelas dalam ingatan Emris kala dia ditelepon Junita yang melaporkan jika waktu persalinan telah tiba. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi untuk menjemput sang istri yang menunggu bersama asisten rumah tangga.
Aldi, sahabat Emris yang juga tinggal di kompleks yang sama, turut mengantarkan Junita ke rumah sakit dan menungguinya hingga usai melahirkan.
Mata Emris memanas kala terbayang saat istrinya meregang nyawa. Lututnya melemas dan hati juga mencelos. Emris nyaris pingsan seusai meraung menangisi Junita. Kemudian dia diseret Aldi dan Rafiq, Kakak ipar Emris hingga tiba di luar.
Suara panggilan seseorang dari belakang memutus lamunan Emris. Dia mengusap mata dengan tisu, kemudian menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aldi tiba dan spontan merangkul pundak pria berkulit kecokelatan sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya.
"Ikhlasin," ucap Aldi.
"Ya, aku sedang berusaha," sahut Emris. "Walaupun di sini masih nyesek," lanjutnya sembari menunjuk dada.
Aldi mengangguk paham, lalu bertutur, "Siapa pun yang kehilangan pasangan hidup pasti ngerasain hal yang sama. Kehilangan orang tua atau keluarga dekat aja rasanya udah nggak enak. Apalagi kehilangan orang yang dicintai."
"Aku hanya berpura-pura tegar di depan orang. Tapi kalau lagi sendiri, bakal sedih banget. Kadang sampai nangis."
"Kamu, kan, memang tampangnya cool, tapi hatinya lembut bak puding."
"Kamu nyebut itu, aku jadi kepengen."
"Ada di mobil. Fitri buatin yang spesial buatmu."
"Dia nggak ikut?"
"Mau arisan RT katanya."
"Anak-anak?"
"Lagi diajak jalan sama adikku."
"Ehm, oke. Kita langsung berangkat. Takut Kay nyariin aku."
"Kutunggu di depan."
Aldi menepuk pundak Emris sekali lagi sebelum membalikkan badan dan jalan menjauh. Emris memindai sekitar sambil mengucapkan perpisahan pada rumah yang telah ditempatinya dari beberapa minggu sebelum menikah.
Sekian menit berlalu, Emris jalan mundur, kemudian berbalik dan meneruskan langkah ke luar rumah. Dia mengunci pintu dan mematikan pusat listrik, sebelum menyambangi Aldi yang telah berada di mobil.
Sementara itu di tempat berbeda, Sitha tengah berada di rumah ayahnya bersama Inggrid dan Gyan. Bila akhir pekan, Asmi dan asisten rumah tangga diliburkan. Karena itu Sitha sering menitipkan kedua anaknya pada Ali dan Esih, orang tuanya, bila tengah ada keperluan.
Imran, Adik Sitha juga kebetulan tengah berkunjung bersama Narulita, istrinya yang sedang hamil lima bulan. Semua orang dewasa berbincang santai di ruang tengah selama puluhan menit. Kemudian Sitha berpamitan untuk berangkat menghadiri resepsi salah seorang koleganya.
Mobil sedan hitam milik Sitha terpaksa berhenti saat hendak keluar gerbang depan. Dua mobil bak terbuka yang parkir kurang ke pinggir menyebabkan mobil Sitha sulit melewati jalan.
Perempuan bergaun panjang krem dengan hiasan kristal itu akhirnya turun. Dia terkejut kala menyadari bila para penumpang mobil bak terbuka ternyata tengah bertamu di kediaman Purwa.
"Punten," tutur Sitha. "Mobilnya bisa digeser sedikit? Saya nggak bisa lewat," sambungnya saat seorang pria bertopi bisbol hitam keluar seusai dia mengucapkan salam.
"Oh, nya', Teh. Hapunten," ungkap pria berkaus merah sambil mendekati undakan teras.
"Sitha?" tanya seorang perempuan berjilbab cokelat yang ikut keluar dari rumah.
"Iya, Bu. Apa kabar?" Sitha maju ke dekat pintu untuk menyalami perempuan paruh baya.
"Alhamdulillah, Ibu baik. Kamu, sehat?" Rahmi memegangi lengan perempuan muda yang merupakan sahabat keponakannya.
"Alhamdulillah."
"Masuk, yuk! Ada Emris."
"Ehm, saya buru-buru. Udah ditunggu teman."
Seorang pria keluar. Emris dan Sitha sempat tertegun sesaat, sebelum sama-sama mengulaskan senyuman dan lelaki tersebut maju sambil mengulurkan tangan kanan yang dijabat Sitha dengan tegas.
"Hai," sapa Emris seusai melepaskan tangan.
"Halo, Kang," balas Sitha.
"Masuk dulu."
Sitha menggeleng. "Saya ada urusan. Lain kali saya mampir," ungkapnya.
"Ehm, oke."
"Mari, sadayana. Assalamualaikum." Sitha mengatupkan kedua tangan di depan dada seraya menyunggingkan senyuman.
Sithaa berbalik dan mengayunkan tungkai menjauh dengan diiringi tatapan kedua orang di teras. Tidak berselang lama mobil sedan hitamnya sudah meninggalkan area.
"Dia sudah cerai," bisik Rahmi pada sang putra yang seketika membeliakkan mata.
"Iyakah?" tanya Emris.
"Ibu juga baru tahu. Sempat jadi omongan orang waktu dia pindah ke rumahnya di sini dua bulan lalu."
"Oh, nggak tinggal sama orang tuanya?"
"Enggak. Dia sudah lama beli rumah itu. Mungkin buat investasi. Tahunya benar kepake."
"Sebelah mana, Bu?"
"Blok C3, nomor 8."
"Yang depan sana, ya?"
"Hu um, dekat rumahnya Mas Darmo, temannya Bapak."
Emris manggut-manggut. Dia kembali masuk ke ruang tengah karena dipanggil Aldi yang tengah mengasuh Kayden. Rahmi memerhatikan punggung putra bungsunya sambil membatin bila sepertinya dia harus segera mencarikan calon istri buat Emris.
Sudut bibir Rahmi terangkat mengukir senyuman kala membayangkan rencana perjodohan yang akan segera dilaksanakannya.
Seusai puluhan menit berkendara, Sitha tiba di tempat resepsi. Dia turun dari mobil dan refleks merapikan pakaian sebelum melenggang menuju area masuk. Shita mengulaskan senyuman pada para penyambut tamu sambil menyalami mereka satu per satu.
Ayunan tungkai dilakukan perempuan yang menggelung rambutnya di bagian tengah kepala. Shita mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mencari Hana dan teman-teman lainnya.
"Shita."
Suara seorang pria yang sangat dikenalinya menyebabkan Sitha terkesiap. Dia berusaha menenangkan diri sebelum menoleh ke kiri dan beradu pandang dengan orang yang sangat dihindarinya.
"Kamu datang nggak bawa anak-anak?" tanya pria bersetelan jas hitam sembari menyambangi perempuan berhidung mancung yang dulu pernah dicintainya.
"Mereka ada di rumah Ayah," sahut Sitha. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke kanan dan berharap menemukan rekan-rekannya.
"Aku belum sempat berkunjung."
"Enggak perlu. Mereka sudah terbiasa diabaikan."
"Bukan begitu, Tha. Aku benar-benar lagi sibuk karena belakangan ini ...."
"Permisi, teman-temanku di sana."
"Tunggu." Pria beralis tebal menarik tangan kiri mantan istrinya. "Kamu sengaja ngindarin aku, kan?" tanyanya.
Shita terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Ya, dan Mas pasti tahu alasannya apa." Dia menarik tangannya, tetapi pria bermata besar itu masih memegangi. "Mas, tolong lepasin, Kita dilihatin orang," lanjutnya.
"Biarkan saja. Mereka tahu kita pernah menikah."
"Dan semuanya sudah berakhir tiga bulan lalu. Tepat setelah Mas membacakan ikrar talak padaku." Sitha menyentakkan tangannya hingga terlepas dari pegangan Riadi. Kemudian dia menjauh dengan tergesa-gesa karena tidak ingin beramah-tamah dengan pengkhianat perkawinan.
03Malam beetabur bintang dan ditemani sang bulan yang bersinar dengan separuh kekuatan. Angin berembus lembut membelai dedaunan yang berada di halaman rumah dua lantai bercat krem. Suasana sekitar tampak sepi. Penghuni yang hanya berjumlah empat orang tengah berkumpul di ruang keluarga.Tatapan Sitha terarah pada televisi yang sedang menayangkan film kartun. Namun, pikirannya mengembara ke masa lampau di mana dirinya tergila-gila dengan seorang lelaki berparas manis. Rasa cinta yang mendalam menyebabkan Sitha menentang orang tua demi memenuhi permintaan Riadi untuk menikah. Padahal saat itu usia mereka masih terbilang muda. Sitha berusia 23 tahun dan Riadi berumur 26 tahun. Pria perlente yang berasal dari keluarga berada, sempat melambungkan impian Sitha untuk hidup bahagia bak putri dalam dongeng. Namun, keinginan itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Sebab, dari semenjak menikah, kedua orang tua Riadi turut mengatur rumah tangga pasangan muda tersebut. Pada awal-awal pernik
04Pertemuannya dengan Sitha kemarin sore, ternyata membekas dalam hati Emris. Minggu pagi dia kembali mengajak putranya jalan-jalan dan mengarahkan kereta ke blok tempat Sitha tinggal. Seunit mobil MPV hitam yang terparkir di depan rumah perempuan tersebut, menyebabkan Emris bertanya-tanya dalam hati tentang siapa tamu itu.Emris hendak berbelok kala seorang pria keluar dari pintu depan rumah dua lantai bercat krem. Mereka sempat saling menatap dan Emris merasa pernah melihat pria berkacamata yang mengenakan t-shirt hijau. Namun, dia tidak dapat mengingat nama orang yang tengah melenggang memasuki mobil. "Om!" pekik Inggrid yang telah berada di teras. Dia lari mendatangi Emris dan langsung merunduk untuk menyapa bayi lucu berkaus oren. "Ehm, Kak. Itu siapa?" tanya Emris sambil mengarahkan dagu ke kendaraan yang tengah memutar, sebelum kemudian menjauh."Papa." "Oh, ya." Emris manggut-manggut. Akhirnya dia bisa mengingat laki-laki tadi. "Mamanya lagi apa?" tanyanya. "Masak." "Om
05Teriakan Inggrid dan Gyan mengiringi kedatangan Emris pagi itu. Mereka bergantian menyalami pria berperawakan sedang yang telah mencukur kumis dan janggutnya. Seperti saat-saat sebelumnya, Emris tidak berani memasuki ruang tamu dan hanya duduk di kursi teras, sembari memandangi Inggrid yang sedang mendorong kereta bayi bolak-balik di depan rumah bersama Gyan. Senyuman terukir di wajah Emris kala menyaksikan perempuan bertunik putih campur ungu muda yang keluar dengan membawa nampan. Aroma kudapan kesukaan Ayah satu anak itu menyebabkan Emris ingin segera menyantapnya. Namun, dia harus sedikit bersabar karena makanan di meja masih mengepulkan uap panas. Asmi hadir dan menyajikan dua cangkir kopi susu. Kemudian dia meletakkan nampan ke dekat pot bunga dan menyambangi kedua majikan kecil. Asmi mengambil alih kereta bayi dan mendorongnya dengan jarak yang lebih jauh.Sitha menuangkan teci ke piring dan mengulurkannya pada Emris. "Kang," panggilnya pada pria yang tengah fokus menata
06Hari berganti hari. Putaran waktu beralih masa dengan cepat dan tanpa bisa dihalau oleh siapa pun. Seorang pria yang mengenakan t-shirt biru tua, turun dari mobil SUV hitam. Dia berpindah ke bagian belakang dan membuka pintu kendaraan untuk mengambil barang-barang bawaan, beserta ketiga rekannya. Setelah semua tas tersusun rapi di troli, keempatnya bersalaman dengan sopir mobil rental, kemudian mereka jalan menuju ruang tunggu untuk bergabung dengan rekan-rekan dari berbagai perusahaan. Puluhan menit berlalu, keempat lelaki berbeda tampilan sudah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Kota Bandung. Selain mereka, belasan pengawal PBK juga ikut dalam rombongan tersebut. Emris duduk di kursi dekat jendela, berderet dengan Hendri dan Zafran. Mereka berbincang mengenai berbagai hal hingga tibalah waktunya pesawat untuk lepas landas. Emris mengunyah dua permen mint sekaligus untuk mencegah telinganya berdengung akibat tekanan dalam kabin. Hal serupa juga dilakukan kedua
01 Tangisan bayi mengejutkan seorang pria yang baru terlelap beberapa puluh menit silam. Lelaki bernama Emris Rafardhan membuka mata dan mengubah posisi badan ke kiri. Dia memaksakan diri bangkit untuk mengecek kondisi putranya, Kayden Rakhasandriya, yang baru beumur tiga minggu. Emris menyalakan lampu di meja samping tempat tidur. Dia spontan mengajak sang putra berbincang satu arah sambil mengecek bagian bawah. "Anak Ayah pup, rupanya. Bentar, ya," ucap Emris sembari menarik laci meja kecil dan mengambil tisu basah serta popok baru. Pria berkaus hitam membuka popok sekali pakai putranya yang masih merengek. Dengan hati-hati dia membersihkan area bawah dengan tisu basah. Emris mengambil tisu biasa dari meja untuk mengeringkan putranya, kemudian memakaikan popok baru sambil terus mengajak Kayden berbincang. "Mau susu?" tanya Emris sembari mengangkat dan menggendong anaknya. "Ayah buatin dulu," lanjutnya sembari berdiri dan jalan ke meja rias di mana ada perlengkapan khusus bayi s