02
Seorang pria berkaus biru tua memandangi beberapa pekerja yang tengah mengangkut perabotan. Setelah mereka berangkat dengan menggunakan dua mobil bak terbuka sarat barang, pria pemilik rumah berbalik dan mengitari bangunan yang menjadi saksi kisahnya bersama Junita selama tiga tahun pernikahan.Emris menelan ludah untuk mendorong sumbatan di lehernya. Pria berkulit kecokelatan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan seolah-olah tengah melihat tayangan ulang ceritanya dan Junita saat baru menikah.
Hampir semua ruangan menjadi saksi penyatuan cinta mereka. Layaknya pasangan pengantin baru, mereka melakukan itu hampir tiap malam dan berpindah-pindah tempat.
Ingatan Emris bergeser pada saat Junita hamil. Dia seakan-akan bisa melihat perempuan berambut sepundak jalan sambil memegangi perutnya yang membuncit.
Terbayang jelas dalam ingatan Emris kala dia ditelepon Junita yang melaporkan jika waktu persalinan telah tiba. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi untuk menjemput sang istri yang menunggu bersama asisten rumah tangga.
Aldi, sahabat Emris yang juga tinggal di kompleks yang sama, turut mengantarkan Junita ke rumah sakit dan menungguinya hingga usai melahirkan.
Mata Emris memanas kala terbayang saat istrinya meregang nyawa. Lututnya melemas dan hati juga mencelos. Emris nyaris pingsan seusai meraung menangisi Junita. Kemudian dia diseret Aldi dan Rafiq, Kakak ipar Emris hingga tiba di luar.
Suara panggilan seseorang dari belakang memutus lamunan Emris. Dia mengusap mata dengan tisu, kemudian menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Aldi tiba dan spontan merangkul pundak pria berkulit kecokelatan sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya.
"Ikhlasin," ucap Aldi.
"Ya, aku sedang berusaha," sahut Emris. "Walaupun di sini masih nyesek," lanjutnya sembari menunjuk dada.
Aldi mengangguk paham, lalu bertutur, "Siapa pun yang kehilangan pasangan hidup pasti ngerasain hal yang sama. Kehilangan orang tua atau keluarga dekat aja rasanya udah nggak enak. Apalagi kehilangan orang yang dicintai."
"Aku hanya berpura-pura tegar di depan orang. Tapi kalau lagi sendiri, bakal sedih banget. Kadang sampai nangis."
"Kamu, kan, memang tampangnya cool, tapi hatinya lembut bak puding."
"Kamu nyebut itu, aku jadi kepengen."
"Ada di mobil. Fitri buatin yang spesial buatmu."
"Dia nggak ikut?"
"Mau arisan RT katanya."
"Anak-anak?"
"Lagi diajak jalan sama adikku."
"Ehm, oke. Kita langsung berangkat. Takut Kay nyariin aku."
"Kutunggu di depan."
Aldi menepuk pundak Emris sekali lagi sebelum membalikkan badan dan jalan menjauh. Emris memindai sekitar sambil mengucapkan perpisahan pada rumah yang telah ditempatinya dari beberapa minggu sebelum menikah.
Sekian menit berlalu, Emris jalan mundur, kemudian berbalik dan meneruskan langkah ke luar rumah. Dia mengunci pintu dan mematikan pusat listrik, sebelum menyambangi Aldi yang telah berada di mobil.
Sementara itu di tempat berbeda, Sitha tengah berada di rumah ayahnya bersama Inggrid dan Gyan. Bila akhir pekan, Asmi dan asisten rumah tangga diliburkan. Karena itu Sitha sering menitipkan kedua anaknya pada Ali dan Esih, orang tuanya, bila tengah ada keperluan.
Imran, Adik Sitha juga kebetulan tengah berkunjung bersama Narulita, istrinya yang sedang hamil lima bulan. Semua orang dewasa berbincang santai di ruang tengah selama puluhan menit. Kemudian Sitha berpamitan untuk berangkat menghadiri resepsi salah seorang koleganya.
Mobil sedan hitam milik Sitha terpaksa berhenti saat hendak keluar gerbang depan. Dua mobil bak terbuka yang parkir kurang ke pinggir menyebabkan mobil Sitha sulit melewati jalan.
Perempuan bergaun panjang krem dengan hiasan kristal itu akhirnya turun. Dia terkejut kala menyadari bila para penumpang mobil bak terbuka ternyata tengah bertamu di kediaman Purwa.
"Punten," tutur Sitha. "Mobilnya bisa digeser sedikit? Saya nggak bisa lewat," sambungnya saat seorang pria bertopi bisbol hitam keluar seusai dia mengucapkan salam.
"Oh, nya', Teh. Hapunten," ungkap pria berkaus merah sambil mendekati undakan teras.
"Sitha?" tanya seorang perempuan berjilbab cokelat yang ikut keluar dari rumah.
"Iya, Bu. Apa kabar?" Sitha maju ke dekat pintu untuk menyalami perempuan paruh baya.
"Alhamdulillah, Ibu baik. Kamu, sehat?" Rahmi memegangi lengan perempuan muda yang merupakan sahabat keponakannya.
"Alhamdulillah."
"Masuk, yuk! Ada Emris."
"Ehm, saya buru-buru. Udah ditunggu teman."
Seorang pria keluar. Emris dan Sitha sempat tertegun sesaat, sebelum sama-sama mengulaskan senyuman dan lelaki tersebut maju sambil mengulurkan tangan kanan yang dijabat Sitha dengan tegas.
"Hai," sapa Emris seusai melepaskan tangan.
"Halo, Kang," balas Sitha.
"Masuk dulu."
Sitha menggeleng. "Saya ada urusan. Lain kali saya mampir," ungkapnya.
"Ehm, oke."
"Mari, sadayana. Assalamualaikum." Sitha mengatupkan kedua tangan di depan dada seraya menyunggingkan senyuman.
Sithaa berbalik dan mengayunkan tungkai menjauh dengan diiringi tatapan kedua orang di teras. Tidak berselang lama mobil sedan hitamnya sudah meninggalkan area.
"Dia sudah cerai," bisik Rahmi pada sang putra yang seketika membeliakkan mata.
"Iyakah?" tanya Emris.
"Ibu juga baru tahu. Sempat jadi omongan orang waktu dia pindah ke rumahnya di sini dua bulan lalu."
"Oh, nggak tinggal sama orang tuanya?"
"Enggak. Dia sudah lama beli rumah itu. Mungkin buat investasi. Tahunya benar kepake."
"Sebelah mana, Bu?"
"Blok C3, nomor 8."
"Yang depan sana, ya?"
"Hu um, dekat rumahnya Mas Darmo, temannya Bapak."
Emris manggut-manggut. Dia kembali masuk ke ruang tengah karena dipanggil Aldi yang tengah mengasuh Kayden. Rahmi memerhatikan punggung putra bungsunya sambil membatin bila sepertinya dia harus segera mencarikan calon istri buat Emris.
Sudut bibir Rahmi terangkat mengukir senyuman kala membayangkan rencana perjodohan yang akan segera dilaksanakannya.
Seusai puluhan menit berkendara, Sitha tiba di tempat resepsi. Dia turun dari mobil dan refleks merapikan pakaian sebelum melenggang menuju area masuk. Shita mengulaskan senyuman pada para penyambut tamu sambil menyalami mereka satu per satu.
Ayunan tungkai dilakukan perempuan yang menggelung rambutnya di bagian tengah kepala. Shita mengedarkan pandangan ke sekitar untuk mencari Hana dan teman-teman lainnya.
"Shita."
Suara seorang pria yang sangat dikenalinya menyebabkan Sitha terkesiap. Dia berusaha menenangkan diri sebelum menoleh ke kiri dan beradu pandang dengan orang yang sangat dihindarinya.
"Kamu datang nggak bawa anak-anak?" tanya pria bersetelan jas hitam sembari menyambangi perempuan berhidung mancung yang dulu pernah dicintainya.
"Mereka ada di rumah Ayah," sahut Sitha. Kemudian dia mengalihkan pandangan ke kanan dan berharap menemukan rekan-rekannya.
"Aku belum sempat berkunjung."
"Enggak perlu. Mereka sudah terbiasa diabaikan."
"Bukan begitu, Tha. Aku benar-benar lagi sibuk karena belakangan ini ...."
"Permisi, teman-temanku di sana."
"Tunggu." Pria beralis tebal menarik tangan kiri mantan istrinya. "Kamu sengaja ngindarin aku, kan?" tanyanya.
Shita terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Ya, dan Mas pasti tahu alasannya apa." Dia menarik tangannya, tetapi pria bermata besar itu masih memegangi. "Mas, tolong lepasin, Kita dilihatin orang," lanjutnya.
"Biarkan saja. Mereka tahu kita pernah menikah."
"Dan semuanya sudah berakhir tiga bulan lalu. Tepat setelah Mas membacakan ikrar talak padaku." Sitha menyentakkan tangannya hingga terlepas dari pegangan Riadi. Kemudian dia menjauh dengan tergesa-gesa karena tidak ingin beramah-tamah dengan pengkhianat perkawinan.
03Malam beetabur bintang dan ditemani sang bulan yang bersinar dengan separuh kekuatan. Angin berembus lembut membelai dedaunan yang berada di halaman rumah dua lantai bercat krem. Suasana sekitar tampak sepi. Penghuni yang hanya berjumlah empat orang tengah berkumpul di ruang keluarga.Tatapan Sitha terarah pada televisi yang sedang menayangkan film kartun. Namun, pikirannya mengembara ke masa lampau di mana dirinya tergila-gila dengan seorang lelaki berparas manis. Rasa cinta yang mendalam menyebabkan Sitha menentang orang tua demi memenuhi permintaan Riadi untuk menikah. Padahal saat itu usia mereka masih terbilang muda. Sitha berusia 23 tahun dan Riadi berumur 26 tahun. Pria perlente yang berasal dari keluarga berada, sempat melambungkan impian Sitha untuk hidup bahagia bak putri dalam dongeng. Namun, keinginan itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Sebab, dari semenjak menikah, kedua orang tua Riadi turut mengatur rumah tangga pasangan muda tersebut. Pada awal-awal pernik
04Pertemuannya dengan Sitha kemarin sore, ternyata membekas dalam hati Emris. Minggu pagi dia kembali mengajak putranya jalan-jalan dan mengarahkan kereta ke blok tempat Sitha tinggal. Seunit mobil MPV hitam yang terparkir di depan rumah perempuan tersebut, menyebabkan Emris bertanya-tanya dalam hati tentang siapa tamu itu.Emris hendak berbelok kala seorang pria keluar dari pintu depan rumah dua lantai bercat krem. Mereka sempat saling menatap dan Emris merasa pernah melihat pria berkacamata yang mengenakan t-shirt hijau. Namun, dia tidak dapat mengingat nama orang yang tengah melenggang memasuki mobil. "Om!" pekik Inggrid yang telah berada di teras. Dia lari mendatangi Emris dan langsung merunduk untuk menyapa bayi lucu berkaus oren. "Ehm, Kak. Itu siapa?" tanya Emris sambil mengarahkan dagu ke kendaraan yang tengah memutar, sebelum kemudian menjauh."Papa." "Oh, ya." Emris manggut-manggut. Akhirnya dia bisa mengingat laki-laki tadi. "Mamanya lagi apa?" tanyanya. "Masak." "Om
05Teriakan Inggrid dan Gyan mengiringi kedatangan Emris pagi itu. Mereka bergantian menyalami pria berperawakan sedang yang telah mencukur kumis dan janggutnya. Seperti saat-saat sebelumnya, Emris tidak berani memasuki ruang tamu dan hanya duduk di kursi teras, sembari memandangi Inggrid yang sedang mendorong kereta bayi bolak-balik di depan rumah bersama Gyan. Senyuman terukir di wajah Emris kala menyaksikan perempuan bertunik putih campur ungu muda yang keluar dengan membawa nampan. Aroma kudapan kesukaan Ayah satu anak itu menyebabkan Emris ingin segera menyantapnya. Namun, dia harus sedikit bersabar karena makanan di meja masih mengepulkan uap panas. Asmi hadir dan menyajikan dua cangkir kopi susu. Kemudian dia meletakkan nampan ke dekat pot bunga dan menyambangi kedua majikan kecil. Asmi mengambil alih kereta bayi dan mendorongnya dengan jarak yang lebih jauh.Sitha menuangkan teci ke piring dan mengulurkannya pada Emris. "Kang," panggilnya pada pria yang tengah fokus menata
06Hari berganti hari. Putaran waktu beralih masa dengan cepat dan tanpa bisa dihalau oleh siapa pun. Seorang pria yang mengenakan t-shirt biru tua, turun dari mobil SUV hitam. Dia berpindah ke bagian belakang dan membuka pintu kendaraan untuk mengambil barang-barang bawaan, beserta ketiga rekannya. Setelah semua tas tersusun rapi di troli, keempatnya bersalaman dengan sopir mobil rental, kemudian mereka jalan menuju ruang tunggu untuk bergabung dengan rekan-rekan dari berbagai perusahaan. Puluhan menit berlalu, keempat lelaki berbeda tampilan sudah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Kota Bandung. Selain mereka, belasan pengawal PBK juga ikut dalam rombongan tersebut. Emris duduk di kursi dekat jendela, berderet dengan Hendri dan Zafran. Mereka berbincang mengenai berbagai hal hingga tibalah waktunya pesawat untuk lepas landas. Emris mengunyah dua permen mint sekaligus untuk mencegah telinganya berdengung akibat tekanan dalam kabin. Hal serupa juga dilakukan kedua
07Ucapan Emris beberapa hari lalu masih terngiang di telinga Sitha. Perempuan beralis tebal, belum menjawab permintaan pria tersebut dan meminta waktu untuk memikirkannya. Semenjak sore itu Sitha juga tidak lagi mengunjungi Kayden di rumah Emris. Sebab dia enggan bertemu dengan pria berparas manis, yang dulu sempat dekat dengannya semasa remaja. Sore itu, Sitha masih bertahan di kantornya untuk menyelesaikan pekerjaan. Sabtu nanti dia berencana untuk mengajak anak-anaknya berlibur bersama keluarganya ke Garut. Sebab itulah Sitha bertekad menuntaskan tugas-tugas agar tidak ada beban. Langit sudah gelap saat pekerjaannya selesai. Sitha mengangkat kedua tangan dan merentangkannya. Dia memutar badan ke kanan dan kiri hingga pinggangnya terasa lebih nyaman. Perempuan bersetelan blazer putih tulang mengemasi meja kerja, sebelum berdiri dan jalan menuju pintu. Sepasang mata beriris hitam milik Sitha membulat kala menyaksikan kedua rekannya masih berada di ruangan depan. "Kalian mau ng
08Sitha berhenti melangkah ketika menyaksikan mobil milik mantan suaminya masih terparkir di depan rumahnya. Perempuan berambut panjang mendengkus, kemudian membuka pintu pagar dan tidak lupa untuk menutupnya kembali. Setibanya di ruang tengah, Riadi telah tertidur di kasur lipat dengan televisi yang menonton dirinya. Sitha kesal karena pria itu nekat menginap padahal sudah diminta pergi. Dia berjongkok untuk membangunkan Riadi, tetapi dia terkejut saat menyadari lengan lelaki tersebut terasa panas. Sitha memindahkan tangan kanannya ke dahi Riadi, kemudian menggeleng pelan saat menyadari bila lelaki yang telah berganti pakaian dengan kaus hitam itu tengah demam. Meskipun Sitha masih marah, tetapi dia tidak tega untuk mengusir pria yang telah memberikannya dua orang anak. Sitha menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia memutuskan untuk membiarkan Riadi menginap malam itu karena kasihan. Sitha berdiri dan jalan menuju kamarnya untuk mengambil bantal dan selimut cadanga
09Permintaan yang hampir sama dari dua pria berbeda membuat Sitha bingung. Dia tidak menduga bila Riadi masih berharap bisa rujuk. Hal itu menyebabkannya dilema. Pada satu sisi, masih ada sebongkah kecil rasa sayang untuk mantan suaminya. Meskipun pria berparas manis itu telah menorehkan luka yang masih belum kering, tetapi Sitha tidak bisa menyangkal jika masih terbayang-bayang sosok lelaki yang telah memberikan dua orang anak untuknya. Akan tetapi, pada sisi lain sikap manis dan perhatian Emris juga berhasil menerobos pintu hati Sitha yang awalnya tertutup rapat. Kehadiran pria berlesung pipi dan Kayden, memberikan kontribusi bernama keceriaan untuk Shita serta kedua anaknya. Mengingat bayi tampan itu seketika menghangatkan hati perempuan bermata cukup besar. Sitha memejam sesaat untuk membayangkan Kayden, yang sudah tiga hari tidak dijenguknya karena sibuk bekerja. Sejumput rasa rindu dalam hati Sitha. Dia ingin bertemu Kayden dan mendekap bayi tersebut. Sudut bibir Sitha meng
10Tawa bercampur jeritan mengiringi acara jalan-jalan mengitari mini zoo di resor BPAGK di Lembang, Sabtu pagi menjelang siang. Kedua anak kecil begitu antusias melihat hewan-hewan berbagai jenis. Emris dan Sitha dengan sabar menjelaskan berbagai hal yang tercantum pada bagian informasi, yang didengarkan dengan serius oleh Inggrid serta Gyan. Sekali-sekali mereka berhenti untuk mengambil swa foto yang kebanyakan dipotret Asmi. Kayden yang berulang kali diangkat dari kereta bayi, merengek tidak mau dimasukkan kembali. Bayi berkaus biru bergambar dinosaurus akhirnya digendong Sitha, bergantian dengan sang pengasuh.Emris mengamati interaksi Sitha dan Kayden. Dia begitu senang melihat perempuan berambut panjang tampak begitu menyayangi putranya. Bahkan, Sitha tidak sungkan mengganti popok sekali pakai ketika Kayden buang hajat.Setelah letih berjalan-jalan, mereka akhirnya berhenti untuk duduk-duduk di taman luas dekat pepohonan teduh.. Mereka menikmati makanan yang dibeli saat perja
40Jalinan waktu terus bergulir. Minggu berganti menjadi bulan dengan kecepatan maksimal. Sabtu pagi, kediaman Emris yang sudah disatukan dengan rumah Sitha, dipenuhi banyak orang. Tenda putih campur hijau memenuhi pekarangan kedua bangunan yang menjadi luas, setelah tembok pembatasnya diruntuhkan. Sitha tidak jadi mengontrakkan rumahnya dan menuruti permintaan Emris untuk membongkar sekat antara 2 bangunan. Dengan begitu, ruang tamu dan ruang tengah menjadi lebih luas, dan mampu menampung puluhan orang dalam satu kesempatan. Persatuan istri anggota PC bergotong-royong menjadi panitia khusus bagian prasmanan. Sementara di area jalanan yang juga ditutupi tenda, hampir seratus pria duduk bersila untuk mendengarkan tausiah yang diberikan seorang Ustaz yang cukup terkenal di kota kembang. Emris dan Sitha duduk berdampingan di ruang tamu. Inggrid dan Gyan berada di ruang tengah bersama kedua Nenek dan Kakek. Sedangkan Kayden diungsikan ke lantai atas, karena sejak awal acara pengajian d
39Malam itu, Emris tiba di rumah dengan raut wajah tegang. Dia baru mendapat kabar dari Inggrid, jika Sitha tengah sakit. Pria berlesung pipi akhirnya mempercepat kepulangannya dari Yogyakarta yang harusnya 2 hari lagi, menjadi saat itu. Emris memasuki rumah sembari mengucapkan salam. Dia disambut pekikan Kayden yang langsung mengangkat tangan hendak minta digendong. Seusai menciumi pipi putranya, Emris menyalami Inggrid, Gyan dan kedua pengasuh Sang ayah menanyakan kondisi Sitha yang dijelaskan Asmi dengan separuh kebenaran. Asmi yang sudah mengetahui kondisi Sitha, sengaja merahasiakan hal itu, sesuai dengan permintaan bosnya. Demikian pula dengan Nisa. Dia juga tutup mulut dan hanya tersenyum-senyum ketika Emris meletakkan Kayden ke sofa, lalu bergegas menaiki tangga untuk menuju kamar tidur utama. "Ma," panggil Emris, sesaat setelah menutup pintu kamar. Sitha yang tengah duduk menyandar ke tumpukan bantal, sontak membulatkan mata menyaksikan suaminya telah tiba. "Loh, kok, A
38"Aku merinding," tutur Emris, sesaat setelah menonton video dari laptop milik Izra, yang menayangkan video kejadian kemarin malam di rumah Linda."Aku juga. Nyaris ngompol," keluh Riaz yang langsung diteriaki rekan-rekannya. "Bang, jadi ada berapa jin yang dipanggil?" tanya Fazwan. "Tiga. Ludwig, Haghen dan Rima," jelas Zein. "Mereka dari satu lokasi?" "Enggak. Dua tentara Belanda itu dari Sukabumi. Mess tempat aku kerja, dulu. Kalau Rima, dari Bandung sini. Tempat kos pertama, setelah aku mulai kerja." "Bentuk Rima, kayak gimana?" "Perempuan pakai gaun pengantin. Dia ditusuk laki-laki yang marah karena dia nikah sama tunangannya.""Maksudnya, Rima mendua?" Zein menggeleng. "Dia sudah tunangan sama Irwan selama setahun, lalu dia kenal Eric yang ternyata jadi suka sama dia. Rima sebetulnya sudah bilang ke Eric kalau dia mau nikah, tapi cowok itu ngotot mepet." "Pernikahan Rima sama Irwan akhirnya dimajukan dan dilakukan di tempat tersembunyi. Tapi, nggak tahu gimana caranya
37Suasana gelap menyambut kedatangan Linda di rumahnya. Perempuan bersweter biru memasuki bangunan dari pintu depan, lalu dia menyalakan lampu teras dan carport, sebelum jalan ke toilet. Perutnya masih terasa tidak nyaman, meskipun sudah diobati sang guru. Linda menuntaskan hajat, kemudian membuka pakaiannya dan mandi sebersih mungkin. Jerawat yang muncul di wajah dan leher sudah berkurang. Namun, nyerinya masih terasa, terutama di jerawat terbesar yang berada di bawah rahang kiri. Sekian menit berlalu, Linda telah berada di kamarnya. Tidak ada lampu lain yang dinyalakan, kecuali yang di depan dan di toilet. Linda menjalankan arahan gurunya, supaya perlindungan magis bisa dimaksimalkan.Malam kian larut. Linda tidur sambil mengenakan pakaian lengkap. Hal itu dilakukannya supaya bisa langsung melaksanakan aksi lanjutannya beberapa jam lagi. Suasana hening di sekitar kediaman Linda, nyaris tidak terganggu dengan kehadiran lima orang pria berpakaian serba hitam. Mereka memakai topi
36Izra tiba di kediaman Emris, saat matahari sudah hampir mencapai puncak kepala. Dia langsung ditanyai sang pemilik rumah dan keempat pengawal. "Rumah dukunnya sudah kufoto dan dikirim ke Bang Zein yang lagi di tempat guru," jelas Izra. "Semoga bisa segera dihancurkan semua teluh mereka. Pusing aku. Kerja juga jadi nggak tenang," cakap Emris. "Ya, Pak. Kami paham. Terutama, ngeri jika serangan itu kena ke anak-anak." "Ehm, Iz, aku penasaran. Apa reaksinya saat lihat teluh kirimannya dikembalikan ke mobil, ya?" "Ah, ya! Aku lupa ngambil kamera yang kuselipin di dekat pot bunga." Izra berdiri, kemudian dia mengalihkan pandangan ke Fazwan. "Antar aku ke sana pakai motor, Wan. Kalau pakai mobil, susah mutarnya. Jalan di sana kecil," bebernya. Tanpa menyahut, Fazwan langsung berdiri dan jalan keluar. Tidak berselang lama terdengar bunyi motor menjauh. Riaz mengambil ponselnya dari meja dan menghubungi Abang angkatnya untuk melaporkan situasi. Wirya memberikan instruksi lanjutan, y
35Waktu terus merambat naik. Beberapa menit sebelum hari berganti, seunit mobil melintas di jalan blok kediaman Emris. Pengemudi tidak menyalakan lampu dan hanya mengandalkan penerangan dari lampu jalan, serta cahaya dari teras ataupun carport setiap rumah. Mobil sedan itu tidak berhenti di depan rumah Emris. Pengemudinya berbelok ke kanan, lalu terus melajukan kendaraan ke blok D. Dia sedang mengintai situasi untuk memastikan informasi dari orang yang dibayarnya tadi sore. Tidak berselang lama mobil itu kembali melewati blok C. Beberapa meter sebelum rumah Emris, sopir menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. Dia mengecek penampilan di cermin, kemudian dia keluar sambil membawa bungkus plastik hitam, dan jalan cepat menuju kediaman Emris. Tiba di sudut kiri pagar rumah, orang yang mengenakan tutup kepala itu melemparkan bungkusan ke halaman. Saat benda itu pecah, bau busuk seketika menguar. Orang itu berbalik dan lari hingga tiba di dekat mobil. Dia memasuki kendaraan dan men
34Jalinan waktu terus bergulir. Emris dan Sitha menjalankan aktivitas seperti biasa. Meskipun mereka masih was-was akan ada serangan lanjutan, tetapi keduanya tetap berusaha tenang. Jumat pagi, Emris berpamitan pada istrinya untuk berangkat ke Jakarta demi mengikuti rapat bersama anggota PC. Padahal sebetulnya itu cuma trik untuk memancing pelaku pengerusakan mobil Emris tempo hari. Pria berlesung pipi pergi ke kantor dan melalukan tugasnya sebagai direktur utama. Sekali-sekali Emris akan mengecek layar tabletnya yang terhubung dengan kamera tersembunyi di pohon jambu air, yang berada di rumah sebelah kiri. Dia mengamati depan rumah, ketika seunit motor berhenti dan penumpangnya turun. Emris menghela napas lega, saat sang tamu membuka helm dan ternyata itu adalah Bilal. Sitha yang sedang bermain dengan Kayden di ruang tengah, meminta Nisa mengecek ke depan. Sitha menggendong putranya untuk mengintip dari balik jendela, kemudian dia membuka pintu dan mengajak para tamu masuk. "S
33Emris memukul kemudi sambil mengumpat. Sudah hampir 30 menit dia dan kedua pengawal mengitari area cluster yang ditempati. Namun, mobil sedan itu seakan-akan lenyap ditelan bumi. Yusuf yang berada di samping sopir, masih memindai sekitar. Dia penasaran bagaimana caranya kendaraan sebesar itu menghilang dalam waktu singkat. Padahal Emris telah mengebut saat mengejar pengemudi sedan. Jauhari yang duduk di kursi tengah, sedang berbincang dengan seseorang yang ditebak Emris sebagai Wirya. Tidak berselang lama, Jauhari menerangkan arahan sang bos yang akhirnya diikuti Emris. Setibanya di rumah, Emris bingung ketika Yusuf memindahkan mobil operasional ke garasi rumahnya di sebelah kiri. Emris hendak bertanya, tetapi diurungkan karena 2 pengawal itu sedang berdiskusi. "Bapak, silakan istirahat," tukas Yusuf sembari mendatangi Emris. "Aku mau nunggu di sini. Mungkin aja orang itu datang lagi," tolak Emris. "Kayaknya nggak, Pak. Kupikir dia saat ini lagi deg-degan, karena tadi nyaris
32Pagi itu, Emris baru tiba di kantor, ketika sekretarisnya menerangkan jika ada tamu yang telah menunggu sejak tadi. Emris bergegas memasuki ruang kerjanya dan seketika terpaku melihat siapa yang telah datang. Sang direktur utama memaksakan senyuman. Emris menutup pintu, kemudian menyambangi tamunya yang tengah duduk di sofa panjang hitam. Dia menyalami pria berkumis tipis, sambil bertanya-tanya dalam hati penyebab lelaki itu berkunjung. "Apa kabar?" tanya Emris sembari duduk di kursi tunggal. "Cukup baik," balas Riadi. "Boleh saya tahu, kenapa Mas datang ke sini?" Riadi mengambil tas kerja dan mengeluarkan lembaran kertas. "Ini, penawaran dari komisaris perusahaan." "Penawaran?" "Ya, silakan dibaca. Semuanya tertera di sana." Emris mengalihkan pandangan pada kertas di tangannya. Pria berkemeja krem membaca semua kalimat panjang dengan teliti. Emris mengerutkan dahi, karena sepenggal kalimat di bagian tengah membuatnya terkejut. "Hmm, jadi ini semacam barter proyek, betul?