Home / Pernikahan / Jeratan Cinta Mantan / Bab 05 - Jadiin Aja

Share

Bab 05 - Jadiin Aja

05

Teriakan Inggrid dan Gyan mengiringi kedatangan Emris pagi itu. Mereka bergantian menyalami pria berperawakan sedang yang telah mencukur kumis dan janggutnya. 

Seperti saat-saat sebelumnya, Emris tidak berani memasuki ruang tamu dan hanya duduk di kursi teras, sembari memandangi Inggrid yang sedang mendorong kereta bayi bolak-balik di depan rumah bersama Gyan. 

Senyuman terukir di wajah Emris kala menyaksikan perempuan bertunik putih campur ungu muda yang keluar dengan membawa nampan. 

Aroma kudapan kesukaan Ayah satu anak itu menyebabkan Emris ingin segera menyantapnya. Namun, dia harus sedikit bersabar karena makanan di meja masih mengepulkan uap panas. 

Asmi hadir dan menyajikan dua cangkir kopi susu. Kemudian dia meletakkan nampan ke dekat pot bunga dan menyambangi kedua majikan kecil. Asmi mengambil alih kereta bayi dan mendorongnya dengan jarak yang lebih jauh.

Sitha menuangkan teci ke piring dan mengulurkannya pada Emris. "Kang," panggilnya pada pria yang tengah fokus menatap layar ponsel.  

"Ehm?" Emris meletakkan ponsel ke meja dan mengambil benda yang diberikan perempuan berparas ayu. "Makasih," ujarnya sembari menatap Sitha yang tengah menuangkan makanan buat dirinya sendiri. 

"Sama-sama. Yuk, dimakan." 

Emris masih memandangi sang pemilik rumah. Sekian detik berlalu barulah dia tersadar dan mulai menyantap makanan. Dalam waktu singkat isi piring Emris sudah ludes. Dia menambah porsi tanpa sungkan dan baru berhenti setelah tiga kali mengisi ulang piringnya. 

Kala Emris bersendawa seusai makan, Sitha spontan terkekeh. Pria yang mengenakan t-shirt cokelat muda, tersenyum malu akibat melakukan hal yang kurang sopan di depan orang lain. 

"Nanti teci-nya dibawa ke rumah, Kang," ucap Sitha seusai tertawa.

"Ehm, buat di sini aja," tolak Emris. 

"Ada di dalam yang buat anak-anak." 

"Ehm, oke. Kalau kamu memaksa, akan kukabulkan." 

Sitha mengulum senyum sembari meletakkan piring ke meja dan berganti mengangkat cangkirnya. Dia menyeruput kopi susu tanpa menyadari jika sedang diperhatikan pria di kursi sebelah kanan. 

"Tha, siang nanti, ada acara?" Emris memberanikan diri untuk bertanya.

"Enggak ada. Kenapa?" 

"Bisa nemenin aku?" 

"Ke mana?" 

"Resepsi nikahan anak kolega." 

"Boleh. Resmi banget atau setengah resmi?" 

"Resmi. Acaranya di hotel bintang lima di Dago." 

Sitha manggut-manggut. "Kita berangkat jam berapa?" 

"Jam 1 kujemput." 

"Oke." 

Emris hendak menyambung ucapan, tetapi kemudian ditangguhkan karena masih belum yakin akan diterima Sitha. Pria beralis tebal mengamati perempuan berkulit kuning langsat yang tengah merapikan ikatan rambutnya. Emris tertegun saat menyadari desiran aneh melintas dalam benaknya. 

Pria berhidung cukup mancung mengalihkan pandangan ke depan. Dia menggeleng pelan untuk mengusir rasa yang melintas. Emris tahu bila dirinya harus benar-benar melepaskan Junita sebelum membuka hati untuk perempuan lain. Dia tidak mau bersikap seolah-olah memberikan harapan semu, karena nantinya akan menyakiti Sitha.

Asmi dan anak-anak kembali sambil mendorong kereta di mana sang bayi telah terlelap. Mereka berbincang santai dan Emris mendengarkan penuturan Inggrid tentang dunia sekolahnya dengan saksama. 

Sitha memerhatikan sikap Emris yang tampak begitu sabar menghadapi celotehan putrinya. Sitha terkesiap ketika Gyan dengan polosnya meminta jalan-jalan pada Emris. 

"Besok, kita berenang. Mau?" tanya Emris yang langsung disambut teriakan kedua bocah. 

"Ehm, Kang. Kalau sibuk, nggak usah dituruti maunya anak-anak," ungkap Sitha.

"Besok aku nggak ada jadwal acara. Niatnya memang ingin jalan-jalan. Sekalian bawa anak-anak biar Kay terhibur. Dia kayaknya suka dengar kedua kakaknya cerita." 

"Tapi jangan terlalu sering dituruti. Takutnya kids ngelunjak." 

"Ini dalam rangka membujuk kalian agar mau bantu ngelihatin Kay. Dari Senin sampai Jumat aku ada acara di Bali. Sabtu baru pulang. Dan Kay mungkin nggak terlalu merindukanku kalau ada kalian yang ngelongok dia di rumah."

Sitha terdiam sesaat, kemudian mengangguk. "Boleh. InsyaAllah tiap sore kami ke rumah Ibu buat jenguk Kai." 

"Dedek boleh dibawa ke sini, Om?" tanya Inggrid. 

Emris memandangi gadis kecil yang mewarisi kulit cerah mamanya. "Kalau Teteh Asmi mau ngasuh, boleh aja." 

"Mau, Om!" seru Asmi dengan antusias. "Udah lama nggak ngurus bayi. Jadi kangen," lanjutnya. 

"Kamu buruan nikah, Mi. Biar bisa punya anak sendiri," timpal Sitha. 

"Ibu duluan. Aku mau ngerawat anak Ibu aja." Asmi menatap pria berparas manis di kursi dekat pintu, lalu bertutur, "Kalau nikah sama Om, anaknya pasti cakep-cakep," selorohnya yang menyebabkan Sitha terkesiap, sementara Emris tersenyum lebar.

***

Suasana di gedung pertemuan sudah ramai saat Emris dan Sitha memasuki ruangan. Pria bersetelan jas biru, mengajak perempuan bergaun abu-abu dengan aksen kristal dan payet di bagian depan pakaiannya, untuk mendatangi rekan-rekannya sesama anggota PC. 

Sudah 6 bulan terakhir Emris bergabung di perusahaan tersebut. Bersama 69 pengusaha muda lainnya, dia turut serta dalam menaikkan pamor PC. 

Setiap anggota PC akan dimentori pengusaha senior yang tergabung dalam PG. Mereka bahu-membahu mengerjakan banyak proyek yang digagas para mentor. 

Proyek-proyek tersebut tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Sebab beberapa anggota PG dan PC bermukim di mancanegara, hingga para pengusaha Indonesia bisa menyicipi bisnis di seluruh dunia. 

Emris tergabung di tim 4 PC. Mentornya adalah pengusaha senior yang merupakan anggota regu 1 PG, yakni Heru Pranadipa Dewawarman. 

Emris berbincang dengan teman-teman tim PC Bandung, sambil sekali-sekali melirik Sitha. Kendatipun tidak terlalu paham dengan isi percakapan orang-orang di sekitar, tetapi Sitha berusaha serius mendengarkan. Dia menyadari bila menjadi pusat perhatian khalayak. Bahkan beberapa perempuan terang-terangan mengamatinya penuh minat. 

"Sitha, kerja di mana?" tanya seorang pria berkemeja batik merah yang bernama Zeinharis Abqari. 

"Kantor arsitek, Mas," jawab Sitha. 

"Kayaknya asyik," ungkap Hendri Danantya. 

"Ya, aku suka kalau dapat proyek yang menantang banget," jelas Sitha. 

"Lebih enak mana, Tha, antara ngerombak rumah, atau bangun dari nol?" tanya Kasyafani Suwardana.

"Sama aja, Mas. Bedanya, kalau ngerombak itu tantangannya lebih besar. Terutama karena harus mempertahankan struktur bangunan asalnya," ungkap Sitha. 

"Kebenaran, nih. Aku ada rencana mau renovasi rumah. Bisa dibantu, Tha?" sela Aldi yang datang bersama istrinya, Fitri. 

"Boleh, Mas. Kapan ada waktu? Bisa datang ke kantor saya," tutur Sitha. 

"Besok aku mau berangkat sama Bapak-bapak ini. Berarti minggu depan," ungkap Aldi. 

"Nungguin Bapak-bapak pulang, mah, pasti lama. Kita aja yang ngobrolin itu, Tha," celetuk Fitri. "Pulang kerja besok, aku ke rumahmu. Sekalian mau jenguk Kay," lanjutnya. 

"Sip, ditunggu," sahut Sitha. 

"Oh, rumah kalian deketan?" tanya Zein sambil memandangi Emris dan Sitha secara bergantian.

"Ya, beda blok aja. Sitha di blok depan. Rumahku di blok belakang," papar Emris.

"Berarti nanti kalau nikahan, tinggal ngesot aja," seloroh Hendri.

"Mas Emris penghematan. Nggak ada biaya transport," canda Zafran Behzad, direktur utama PC. 

"Kalian, ini. Aku dan Sitha cuma temenan," keluh Emris. Dia tidak enak hati pada perempuan berparas cantik yang seketika raut wajahnya berubah sendu. "Abaikan, Tha. Mereka cuma bergurau," sambungnya seraya menatap perempuan yang balas memandanginya saksama. 

"Diseriusin juga nggak apa-apa. Aku siap jadi tim sibuk," cetus Fitri yang menyebabkan Emris meringis. 

"Aku, sih, yes. Kalau sama-sama cocok, langsung nikah aja. Jangan pacaran, dosa," ungkap Hendri. 

"Aku setuju sama Hendri. Apalagi keluarga kalian juga udah kenal dari dulu. Penyesuaian akan lebih gampang," tambah Aldi yang menjadikan Emris dan Sitha sama-sama tertegun. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status