05
Teriakan Inggrid dan Gyan mengiringi kedatangan Emris pagi itu. Mereka bergantian menyalami pria berperawakan sedang yang telah mencukur kumis dan janggutnya.
Seperti saat-saat sebelumnya, Emris tidak berani memasuki ruang tamu dan hanya duduk di kursi teras, sembari memandangi Inggrid yang sedang mendorong kereta bayi bolak-balik di depan rumah bersama Gyan.
Senyuman terukir di wajah Emris kala menyaksikan perempuan bertunik putih campur ungu muda yang keluar dengan membawa nampan.
Aroma kudapan kesukaan Ayah satu anak itu menyebabkan Emris ingin segera menyantapnya. Namun, dia harus sedikit bersabar karena makanan di meja masih mengepulkan uap panas.
Asmi hadir dan menyajikan dua cangkir kopi susu. Kemudian dia meletakkan nampan ke dekat pot bunga dan menyambangi kedua majikan kecil. Asmi mengambil alih kereta bayi dan mendorongnya dengan jarak yang lebih jauh.
Sitha menuangkan teci ke piring dan mengulurkannya pada Emris. "Kang," panggilnya pada pria yang tengah fokus menatap layar ponsel.
"Ehm?" Emris meletakkan ponsel ke meja dan mengambil benda yang diberikan perempuan berparas ayu. "Makasih," ujarnya sembari menatap Sitha yang tengah menuangkan makanan buat dirinya sendiri.
"Sama-sama. Yuk, dimakan."
Emris masih memandangi sang pemilik rumah. Sekian detik berlalu barulah dia tersadar dan mulai menyantap makanan. Dalam waktu singkat isi piring Emris sudah ludes. Dia menambah porsi tanpa sungkan dan baru berhenti setelah tiga kali mengisi ulang piringnya.
Kala Emris bersendawa seusai makan, Sitha spontan terkekeh. Pria yang mengenakan t-shirt cokelat muda, tersenyum malu akibat melakukan hal yang kurang sopan di depan orang lain.
"Nanti teci-nya dibawa ke rumah, Kang," ucap Sitha seusai tertawa.
"Ehm, buat di sini aja," tolak Emris.
"Ada di dalam yang buat anak-anak."
"Ehm, oke. Kalau kamu memaksa, akan kukabulkan."
Sitha mengulum senyum sembari meletakkan piring ke meja dan berganti mengangkat cangkirnya. Dia menyeruput kopi susu tanpa menyadari jika sedang diperhatikan pria di kursi sebelah kanan.
"Tha, siang nanti, ada acara?" Emris memberanikan diri untuk bertanya.
"Enggak ada. Kenapa?"
"Bisa nemenin aku?"
"Ke mana?"
"Resepsi nikahan anak kolega."
"Boleh. Resmi banget atau setengah resmi?"
"Resmi. Acaranya di hotel bintang lima di Dago."
Sitha manggut-manggut. "Kita berangkat jam berapa?"
"Jam 1 kujemput."
"Oke."
Emris hendak menyambung ucapan, tetapi kemudian ditangguhkan karena masih belum yakin akan diterima Sitha. Pria beralis tebal mengamati perempuan berkulit kuning langsat yang tengah merapikan ikatan rambutnya. Emris tertegun saat menyadari desiran aneh melintas dalam benaknya.
Pria berhidung cukup mancung mengalihkan pandangan ke depan. Dia menggeleng pelan untuk mengusir rasa yang melintas. Emris tahu bila dirinya harus benar-benar melepaskan Junita sebelum membuka hati untuk perempuan lain. Dia tidak mau bersikap seolah-olah memberikan harapan semu, karena nantinya akan menyakiti Sitha.
Asmi dan anak-anak kembali sambil mendorong kereta di mana sang bayi telah terlelap. Mereka berbincang santai dan Emris mendengarkan penuturan Inggrid tentang dunia sekolahnya dengan saksama.
Sitha memerhatikan sikap Emris yang tampak begitu sabar menghadapi celotehan putrinya. Sitha terkesiap ketika Gyan dengan polosnya meminta jalan-jalan pada Emris.
"Besok, kita berenang. Mau?" tanya Emris yang langsung disambut teriakan kedua bocah.
"Ehm, Kang. Kalau sibuk, nggak usah dituruti maunya anak-anak," ungkap Sitha.
"Besok aku nggak ada jadwal acara. Niatnya memang ingin jalan-jalan. Sekalian bawa anak-anak biar Kay terhibur. Dia kayaknya suka dengar kedua kakaknya cerita."
"Tapi jangan terlalu sering dituruti. Takutnya kids ngelunjak."
"Ini dalam rangka membujuk kalian agar mau bantu ngelihatin Kay. Dari Senin sampai Jumat aku ada acara di Bali. Sabtu baru pulang. Dan Kay mungkin nggak terlalu merindukanku kalau ada kalian yang ngelongok dia di rumah."
Sitha terdiam sesaat, kemudian mengangguk. "Boleh. InsyaAllah tiap sore kami ke rumah Ibu buat jenguk Kai."
"Dedek boleh dibawa ke sini, Om?" tanya Inggrid.
Emris memandangi gadis kecil yang mewarisi kulit cerah mamanya. "Kalau Teteh Asmi mau ngasuh, boleh aja."
"Mau, Om!" seru Asmi dengan antusias. "Udah lama nggak ngurus bayi. Jadi kangen," lanjutnya.
"Kamu buruan nikah, Mi. Biar bisa punya anak sendiri," timpal Sitha.
"Ibu duluan. Aku mau ngerawat anak Ibu aja." Asmi menatap pria berparas manis di kursi dekat pintu, lalu bertutur, "Kalau nikah sama Om, anaknya pasti cakep-cakep," selorohnya yang menyebabkan Sitha terkesiap, sementara Emris tersenyum lebar.
***
Suasana di gedung pertemuan sudah ramai saat Emris dan Sitha memasuki ruangan. Pria bersetelan jas biru, mengajak perempuan bergaun abu-abu dengan aksen kristal dan payet di bagian depan pakaiannya, untuk mendatangi rekan-rekannya sesama anggota PC.
Sudah 6 bulan terakhir Emris bergabung di perusahaan tersebut. Bersama 69 pengusaha muda lainnya, dia turut serta dalam menaikkan pamor PC.
Setiap anggota PC akan dimentori pengusaha senior yang tergabung dalam PG. Mereka bahu-membahu mengerjakan banyak proyek yang digagas para mentor.
Proyek-proyek tersebut tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Sebab beberapa anggota PG dan PC bermukim di mancanegara, hingga para pengusaha Indonesia bisa menyicipi bisnis di seluruh dunia.
Emris tergabung di tim 4 PC. Mentornya adalah pengusaha senior yang merupakan anggota regu 1 PG, yakni Heru Pranadipa Dewawarman.
Emris berbincang dengan teman-teman tim PC Bandung, sambil sekali-sekali melirik Sitha. Kendatipun tidak terlalu paham dengan isi percakapan orang-orang di sekitar, tetapi Sitha berusaha serius mendengarkan. Dia menyadari bila menjadi pusat perhatian khalayak. Bahkan beberapa perempuan terang-terangan mengamatinya penuh minat.
"Sitha, kerja di mana?" tanya seorang pria berkemeja batik merah yang bernama Zeinharis Abqari.
"Kantor arsitek, Mas," jawab Sitha.
"Kayaknya asyik," ungkap Hendri Danantya.
"Ya, aku suka kalau dapat proyek yang menantang banget," jelas Sitha.
"Lebih enak mana, Tha, antara ngerombak rumah, atau bangun dari nol?" tanya Kasyafani Suwardana.
"Sama aja, Mas. Bedanya, kalau ngerombak itu tantangannya lebih besar. Terutama karena harus mempertahankan struktur bangunan asalnya," ungkap Sitha.
"Kebenaran, nih. Aku ada rencana mau renovasi rumah. Bisa dibantu, Tha?" sela Aldi yang datang bersama istrinya, Fitri.
"Boleh, Mas. Kapan ada waktu? Bisa datang ke kantor saya," tutur Sitha.
"Besok aku mau berangkat sama Bapak-bapak ini. Berarti minggu depan," ungkap Aldi.
"Nungguin Bapak-bapak pulang, mah, pasti lama. Kita aja yang ngobrolin itu, Tha," celetuk Fitri. "Pulang kerja besok, aku ke rumahmu. Sekalian mau jenguk Kay," lanjutnya.
"Sip, ditunggu," sahut Sitha.
"Oh, rumah kalian deketan?" tanya Zein sambil memandangi Emris dan Sitha secara bergantian.
"Ya, beda blok aja. Sitha di blok depan. Rumahku di blok belakang," papar Emris.
"Berarti nanti kalau nikahan, tinggal ngesot aja," seloroh Hendri.
"Mas Emris penghematan. Nggak ada biaya transport," canda Zafran Behzad, direktur utama PC.
"Kalian, ini. Aku dan Sitha cuma temenan," keluh Emris. Dia tidak enak hati pada perempuan berparas cantik yang seketika raut wajahnya berubah sendu. "Abaikan, Tha. Mereka cuma bergurau," sambungnya seraya menatap perempuan yang balas memandanginya saksama.
"Diseriusin juga nggak apa-apa. Aku siap jadi tim sibuk," cetus Fitri yang menyebabkan Emris meringis.
"Aku, sih, yes. Kalau sama-sama cocok, langsung nikah aja. Jangan pacaran, dosa," ungkap Hendri.
"Aku setuju sama Hendri. Apalagi keluarga kalian juga udah kenal dari dulu. Penyesuaian akan lebih gampang," tambah Aldi yang menjadikan Emris dan Sitha sama-sama tertegun.
06Hari berganti hari. Putaran waktu beralih masa dengan cepat dan tanpa bisa dihalau oleh siapa pun. Seorang pria yang mengenakan t-shirt biru tua, turun dari mobil SUV hitam. Dia berpindah ke bagian belakang dan membuka pintu kendaraan untuk mengambil barang-barang bawaan, beserta ketiga rekannya. Setelah semua tas tersusun rapi di troli, keempatnya bersalaman dengan sopir mobil rental, kemudian mereka jalan menuju ruang tunggu untuk bergabung dengan rekan-rekan dari berbagai perusahaan. Puluhan menit berlalu, keempat lelaki berbeda tampilan sudah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Kota Bandung. Selain mereka, belasan pengawal PBK juga ikut dalam rombongan tersebut. Emris duduk di kursi dekat jendela, berderet dengan Hendri dan Zafran. Mereka berbincang mengenai berbagai hal hingga tibalah waktunya pesawat untuk lepas landas. Emris mengunyah dua permen mint sekaligus untuk mencegah telinganya berdengung akibat tekanan dalam kabin. Hal serupa juga dilakukan kedua
07Ucapan Emris beberapa hari lalu masih terngiang di telinga Sitha. Perempuan beralis tebal, belum menjawab permintaan pria tersebut dan meminta waktu untuk memikirkannya. Semenjak sore itu Sitha juga tidak lagi mengunjungi Kayden di rumah Emris. Sebab dia enggan bertemu dengan pria berparas manis, yang dulu sempat dekat dengannya semasa remaja. Sore itu, Sitha masih bertahan di kantornya untuk menyelesaikan pekerjaan. Sabtu nanti dia berencana untuk mengajak anak-anaknya berlibur bersama keluarganya ke Garut. Sebab itulah Sitha bertekad menuntaskan tugas-tugas agar tidak ada beban. Langit sudah gelap saat pekerjaannya selesai. Sitha mengangkat kedua tangan dan merentangkannya. Dia memutar badan ke kanan dan kiri hingga pinggangnya terasa lebih nyaman. Perempuan bersetelan blazer putih tulang mengemasi meja kerja, sebelum berdiri dan jalan menuju pintu. Sepasang mata beriris hitam milik Sitha membulat kala menyaksikan kedua rekannya masih berada di ruangan depan. "Kalian mau ng
08Sitha berhenti melangkah ketika menyaksikan mobil milik mantan suaminya masih terparkir di depan rumahnya. Perempuan berambut panjang mendengkus, kemudian membuka pintu pagar dan tidak lupa untuk menutupnya kembali. Setibanya di ruang tengah, Riadi telah tertidur di kasur lipat dengan televisi yang menonton dirinya. Sitha kesal karena pria itu nekat menginap padahal sudah diminta pergi. Dia berjongkok untuk membangunkan Riadi, tetapi dia terkejut saat menyadari lengan lelaki tersebut terasa panas. Sitha memindahkan tangan kanannya ke dahi Riadi, kemudian menggeleng pelan saat menyadari bila lelaki yang telah berganti pakaian dengan kaus hitam itu tengah demam. Meskipun Sitha masih marah, tetapi dia tidak tega untuk mengusir pria yang telah memberikannya dua orang anak. Sitha menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia memutuskan untuk membiarkan Riadi menginap malam itu karena kasihan. Sitha berdiri dan jalan menuju kamarnya untuk mengambil bantal dan selimut cadanga
09Permintaan yang hampir sama dari dua pria berbeda membuat Sitha bingung. Dia tidak menduga bila Riadi masih berharap bisa rujuk. Hal itu menyebabkannya dilema. Pada satu sisi, masih ada sebongkah kecil rasa sayang untuk mantan suaminya. Meskipun pria berparas manis itu telah menorehkan luka yang masih belum kering, tetapi Sitha tidak bisa menyangkal jika masih terbayang-bayang sosok lelaki yang telah memberikan dua orang anak untuknya. Akan tetapi, pada sisi lain sikap manis dan perhatian Emris juga berhasil menerobos pintu hati Sitha yang awalnya tertutup rapat. Kehadiran pria berlesung pipi dan Kayden, memberikan kontribusi bernama keceriaan untuk Shita serta kedua anaknya. Mengingat bayi tampan itu seketika menghangatkan hati perempuan bermata cukup besar. Sitha memejam sesaat untuk membayangkan Kayden, yang sudah tiga hari tidak dijenguknya karena sibuk bekerja. Sejumput rasa rindu dalam hati Sitha. Dia ingin bertemu Kayden dan mendekap bayi tersebut. Sudut bibir Sitha meng
10Tawa bercampur jeritan mengiringi acara jalan-jalan mengitari mini zoo di resor BPAGK di Lembang, Sabtu pagi menjelang siang. Kedua anak kecil begitu antusias melihat hewan-hewan berbagai jenis. Emris dan Sitha dengan sabar menjelaskan berbagai hal yang tercantum pada bagian informasi, yang didengarkan dengan serius oleh Inggrid serta Gyan. Sekali-sekali mereka berhenti untuk mengambil swa foto yang kebanyakan dipotret Asmi. Kayden yang berulang kali diangkat dari kereta bayi, merengek tidak mau dimasukkan kembali. Bayi berkaus biru bergambar dinosaurus akhirnya digendong Sitha, bergantian dengan sang pengasuh.Emris mengamati interaksi Sitha dan Kayden. Dia begitu senang melihat perempuan berambut panjang tampak begitu menyayangi putranya. Bahkan, Sitha tidak sungkan mengganti popok sekali pakai ketika Kayden buang hajat.Setelah letih berjalan-jalan, mereka akhirnya berhenti untuk duduk-duduk di taman luas dekat pepohonan teduh.. Mereka menikmati makanan yang dibeli saat perja
11"Ayah menyerahkan semua keputusan padamu, Sitha. Kamu sudah dewasa, pasti tahu mana lelaki yang tepat buatmu," ucap Ali, sesaat setelah putrinya menceritakan perihal lamaran Emris."Aku ... ehm, masih bingung, Yah," sahut Sitha. "Akang jujur kalau masih sayang almarhumah. Sedangkan aku masih agak takut buat nikah lagi. Apa kami bisa menjalani pernikahan dengan hati yang masih separuh kayak gitu?" tanyanya. Ali mengangguk paham. "Ayah mengerti. Sebagai perempuan kamu pasti ingin disayangi suami sepenuhnya. Tapi ingat juga, situasinya berbeda. Emris punya bayi yang sangat butuh kasih sayang Ibu yang tidak pernah dijumpainya. Dia melihatmu sangat sayang ke anaknya. Itu yang membuatnya berpikir bahwa kamu sosok paling tepat jadi Ibu sambung. Dan dari rasa itu, lambat laun dia bisa mencintaimu." "Tha, laki-laki dan perempuan cara berpikirnya berbeda. Laki-laki lebih praktis. Kamu sayang anaknya, itu sudah cukup membuatnya yakin, jika kamu akan menyayanginya juga." "Sedangkan perempua
12Suara orang mengobrol terdengar hingga ke kamar utama di bagian belakang rumah. Sitha yang baru bangun tidur siang menjelang sore, bangkit dan duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawanya yang masih di awang-awang. Perempuan berdaster hijau motif bunga-bunga, menggapai meja samping tempat tidur untuk mengambil jepitan. Setelah rambutnya lebih rapi, Sitha menyempatkan diri bercermin untuk memastikan wajahnya tidak berminyak. Sekian menit berikutnya, Sitha sudah berada di kursi teras belakang bersama Riadi. Keheningan yang tercipta menyebabkan perempuan bermata besar bingung, dan akhirnya mengamati pria yang pernah dicintainya di masa lalu. Kumis tipis yang menghiasi bagian atas bibirnya menjadikan paras Riadi terlihat lebih dewasa. "Mas, ada apa datang ke sini?" tanya Sitha setelah lelah menunggu pria berkemeja putih pas badan berbicara terlebih dahulu. "Kamu pacaran dengan dia?" Alih-alih menjawab, Riadi justru balik bertanya. "Dia siapa?" "Duda itu." "Oh, Kang Emris." Sitha
13Seorang pria berkemeja putih membuka pintu kaca dan jalan ke luar. Dia berdiri di pinggir balkon sambil memegangi beton pembatas. Sudut bibirnya melengkungkan senyuman saat menyaksikan keindahan panorama alam Bali di sore hari. Angin pantai berembus kencang menerpa tubuh, dibiarkan lelaki berlesung pipi. Dia bertahan berdiri selama belasan menit sebelum akhirnya berpindah ke dalam. Seorang lelaki lainnya yang tengah membongkar koper, menoleh sesaat pada rekannya, sebelum melanjutkan aktivitas. Pria berkemeja putih berbaring telentang dan memejamkan mata. Rasa rindu pada sang putra menyebabkannya ingin menelepon. Namun, belum sempat dia melakukan niat, ponselnya berdering dan segera diangkatnya. "Al, Cipta ngajakin keluar habis magrib," tutur Emris setelah menutup sambungan telepon. "Ke mana?" tanya Aldi sembari berpindah dan berbaring di kasur kedua. "Muter-muter aja. Karena besok kita sudah full kerja, bakal susah jalan-jalan." "Oke, tapi kalau ke kelab, aku nggak mau." "K
40Jalinan waktu terus bergulir. Minggu berganti menjadi bulan dengan kecepatan maksimal. Sabtu pagi, kediaman Emris yang sudah disatukan dengan rumah Sitha, dipenuhi banyak orang. Tenda putih campur hijau memenuhi pekarangan kedua bangunan yang menjadi luas, setelah tembok pembatasnya diruntuhkan. Sitha tidak jadi mengontrakkan rumahnya dan menuruti permintaan Emris untuk membongkar sekat antara 2 bangunan. Dengan begitu, ruang tamu dan ruang tengah menjadi lebih luas, dan mampu menampung puluhan orang dalam satu kesempatan. Persatuan istri anggota PC bergotong-royong menjadi panitia khusus bagian prasmanan. Sementara di area jalanan yang juga ditutupi tenda, hampir seratus pria duduk bersila untuk mendengarkan tausiah yang diberikan seorang Ustaz yang cukup terkenal di kota kembang. Emris dan Sitha duduk berdampingan di ruang tamu. Inggrid dan Gyan berada di ruang tengah bersama kedua Nenek dan Kakek. Sedangkan Kayden diungsikan ke lantai atas, karena sejak awal acara pengajian d
39Malam itu, Emris tiba di rumah dengan raut wajah tegang. Dia baru mendapat kabar dari Inggrid, jika Sitha tengah sakit. Pria berlesung pipi akhirnya mempercepat kepulangannya dari Yogyakarta yang harusnya 2 hari lagi, menjadi saat itu. Emris memasuki rumah sembari mengucapkan salam. Dia disambut pekikan Kayden yang langsung mengangkat tangan hendak minta digendong. Seusai menciumi pipi putranya, Emris menyalami Inggrid, Gyan dan kedua pengasuh Sang ayah menanyakan kondisi Sitha yang dijelaskan Asmi dengan separuh kebenaran. Asmi yang sudah mengetahui kondisi Sitha, sengaja merahasiakan hal itu, sesuai dengan permintaan bosnya. Demikian pula dengan Nisa. Dia juga tutup mulut dan hanya tersenyum-senyum ketika Emris meletakkan Kayden ke sofa, lalu bergegas menaiki tangga untuk menuju kamar tidur utama. "Ma," panggil Emris, sesaat setelah menutup pintu kamar. Sitha yang tengah duduk menyandar ke tumpukan bantal, sontak membulatkan mata menyaksikan suaminya telah tiba. "Loh, kok, A
38"Aku merinding," tutur Emris, sesaat setelah menonton video dari laptop milik Izra, yang menayangkan video kejadian kemarin malam di rumah Linda."Aku juga. Nyaris ngompol," keluh Riaz yang langsung diteriaki rekan-rekannya. "Bang, jadi ada berapa jin yang dipanggil?" tanya Fazwan. "Tiga. Ludwig, Haghen dan Rima," jelas Zein. "Mereka dari satu lokasi?" "Enggak. Dua tentara Belanda itu dari Sukabumi. Mess tempat aku kerja, dulu. Kalau Rima, dari Bandung sini. Tempat kos pertama, setelah aku mulai kerja." "Bentuk Rima, kayak gimana?" "Perempuan pakai gaun pengantin. Dia ditusuk laki-laki yang marah karena dia nikah sama tunangannya.""Maksudnya, Rima mendua?" Zein menggeleng. "Dia sudah tunangan sama Irwan selama setahun, lalu dia kenal Eric yang ternyata jadi suka sama dia. Rima sebetulnya sudah bilang ke Eric kalau dia mau nikah, tapi cowok itu ngotot mepet." "Pernikahan Rima sama Irwan akhirnya dimajukan dan dilakukan di tempat tersembunyi. Tapi, nggak tahu gimana caranya
37Suasana gelap menyambut kedatangan Linda di rumahnya. Perempuan bersweter biru memasuki bangunan dari pintu depan, lalu dia menyalakan lampu teras dan carport, sebelum jalan ke toilet. Perutnya masih terasa tidak nyaman, meskipun sudah diobati sang guru. Linda menuntaskan hajat, kemudian membuka pakaiannya dan mandi sebersih mungkin. Jerawat yang muncul di wajah dan leher sudah berkurang. Namun, nyerinya masih terasa, terutama di jerawat terbesar yang berada di bawah rahang kiri. Sekian menit berlalu, Linda telah berada di kamarnya. Tidak ada lampu lain yang dinyalakan, kecuali yang di depan dan di toilet. Linda menjalankan arahan gurunya, supaya perlindungan magis bisa dimaksimalkan.Malam kian larut. Linda tidur sambil mengenakan pakaian lengkap. Hal itu dilakukannya supaya bisa langsung melaksanakan aksi lanjutannya beberapa jam lagi. Suasana hening di sekitar kediaman Linda, nyaris tidak terganggu dengan kehadiran lima orang pria berpakaian serba hitam. Mereka memakai topi
36Izra tiba di kediaman Emris, saat matahari sudah hampir mencapai puncak kepala. Dia langsung ditanyai sang pemilik rumah dan keempat pengawal. "Rumah dukunnya sudah kufoto dan dikirim ke Bang Zein yang lagi di tempat guru," jelas Izra. "Semoga bisa segera dihancurkan semua teluh mereka. Pusing aku. Kerja juga jadi nggak tenang," cakap Emris. "Ya, Pak. Kami paham. Terutama, ngeri jika serangan itu kena ke anak-anak." "Ehm, Iz, aku penasaran. Apa reaksinya saat lihat teluh kirimannya dikembalikan ke mobil, ya?" "Ah, ya! Aku lupa ngambil kamera yang kuselipin di dekat pot bunga." Izra berdiri, kemudian dia mengalihkan pandangan ke Fazwan. "Antar aku ke sana pakai motor, Wan. Kalau pakai mobil, susah mutarnya. Jalan di sana kecil," bebernya. Tanpa menyahut, Fazwan langsung berdiri dan jalan keluar. Tidak berselang lama terdengar bunyi motor menjauh. Riaz mengambil ponselnya dari meja dan menghubungi Abang angkatnya untuk melaporkan situasi. Wirya memberikan instruksi lanjutan, y
35Waktu terus merambat naik. Beberapa menit sebelum hari berganti, seunit mobil melintas di jalan blok kediaman Emris. Pengemudi tidak menyalakan lampu dan hanya mengandalkan penerangan dari lampu jalan, serta cahaya dari teras ataupun carport setiap rumah. Mobil sedan itu tidak berhenti di depan rumah Emris. Pengemudinya berbelok ke kanan, lalu terus melajukan kendaraan ke blok D. Dia sedang mengintai situasi untuk memastikan informasi dari orang yang dibayarnya tadi sore. Tidak berselang lama mobil itu kembali melewati blok C. Beberapa meter sebelum rumah Emris, sopir menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. Dia mengecek penampilan di cermin, kemudian dia keluar sambil membawa bungkus plastik hitam, dan jalan cepat menuju kediaman Emris. Tiba di sudut kiri pagar rumah, orang yang mengenakan tutup kepala itu melemparkan bungkusan ke halaman. Saat benda itu pecah, bau busuk seketika menguar. Orang itu berbalik dan lari hingga tiba di dekat mobil. Dia memasuki kendaraan dan men
34Jalinan waktu terus bergulir. Emris dan Sitha menjalankan aktivitas seperti biasa. Meskipun mereka masih was-was akan ada serangan lanjutan, tetapi keduanya tetap berusaha tenang. Jumat pagi, Emris berpamitan pada istrinya untuk berangkat ke Jakarta demi mengikuti rapat bersama anggota PC. Padahal sebetulnya itu cuma trik untuk memancing pelaku pengerusakan mobil Emris tempo hari. Pria berlesung pipi pergi ke kantor dan melalukan tugasnya sebagai direktur utama. Sekali-sekali Emris akan mengecek layar tabletnya yang terhubung dengan kamera tersembunyi di pohon jambu air, yang berada di rumah sebelah kiri. Dia mengamati depan rumah, ketika seunit motor berhenti dan penumpangnya turun. Emris menghela napas lega, saat sang tamu membuka helm dan ternyata itu adalah Bilal. Sitha yang sedang bermain dengan Kayden di ruang tengah, meminta Nisa mengecek ke depan. Sitha menggendong putranya untuk mengintip dari balik jendela, kemudian dia membuka pintu dan mengajak para tamu masuk. "S
33Emris memukul kemudi sambil mengumpat. Sudah hampir 30 menit dia dan kedua pengawal mengitari area cluster yang ditempati. Namun, mobil sedan itu seakan-akan lenyap ditelan bumi. Yusuf yang berada di samping sopir, masih memindai sekitar. Dia penasaran bagaimana caranya kendaraan sebesar itu menghilang dalam waktu singkat. Padahal Emris telah mengebut saat mengejar pengemudi sedan. Jauhari yang duduk di kursi tengah, sedang berbincang dengan seseorang yang ditebak Emris sebagai Wirya. Tidak berselang lama, Jauhari menerangkan arahan sang bos yang akhirnya diikuti Emris. Setibanya di rumah, Emris bingung ketika Yusuf memindahkan mobil operasional ke garasi rumahnya di sebelah kiri. Emris hendak bertanya, tetapi diurungkan karena 2 pengawal itu sedang berdiskusi. "Bapak, silakan istirahat," tukas Yusuf sembari mendatangi Emris. "Aku mau nunggu di sini. Mungkin aja orang itu datang lagi," tolak Emris. "Kayaknya nggak, Pak. Kupikir dia saat ini lagi deg-degan, karena tadi nyaris
32Pagi itu, Emris baru tiba di kantor, ketika sekretarisnya menerangkan jika ada tamu yang telah menunggu sejak tadi. Emris bergegas memasuki ruang kerjanya dan seketika terpaku melihat siapa yang telah datang. Sang direktur utama memaksakan senyuman. Emris menutup pintu, kemudian menyambangi tamunya yang tengah duduk di sofa panjang hitam. Dia menyalami pria berkumis tipis, sambil bertanya-tanya dalam hati penyebab lelaki itu berkunjung. "Apa kabar?" tanya Emris sembari duduk di kursi tunggal. "Cukup baik," balas Riadi. "Boleh saya tahu, kenapa Mas datang ke sini?" Riadi mengambil tas kerja dan mengeluarkan lembaran kertas. "Ini, penawaran dari komisaris perusahaan." "Penawaran?" "Ya, silakan dibaca. Semuanya tertera di sana." Emris mengalihkan pandangan pada kertas di tangannya. Pria berkemeja krem membaca semua kalimat panjang dengan teliti. Emris mengerutkan dahi, karena sepenggal kalimat di bagian tengah membuatnya terkejut. "Hmm, jadi ini semacam barter proyek, betul?