04
Pertemuannya dengan Sitha kemarin sore, ternyata membekas dalam hati Emris. Minggu pagi dia kembali mengajak putranya jalan-jalan dan mengarahkan kereta ke blok tempat Sitha tinggal.Seunit mobil MPV hitam yang terparkir di depan rumah perempuan tersebut, menyebabkan Emris bertanya-tanya dalam hati tentang siapa tamu itu.
Emris hendak berbelok kala seorang pria keluar dari pintu depan rumah dua lantai bercat krem. Mereka sempat saling menatap dan Emris merasa pernah melihat pria berkacamata yang mengenakan t-shirt hijau. Namun, dia tidak dapat mengingat nama orang yang tengah melenggang memasuki mobil.
"Om!" pekik Inggrid yang telah berada di teras. Dia lari mendatangi Emris dan langsung merunduk untuk menyapa bayi lucu berkaus oren.
"Ehm, Kak. Itu siapa?" tanya Emris sambil mengarahkan dagu ke kendaraan yang tengah memutar, sebelum kemudian menjauh.
"Papa."
"Oh, ya." Emris manggut-manggut. Akhirnya dia bisa mengingat laki-laki tadi. "Mamanya lagi apa?" tanyanya.
"Masak."
"Om boleh ke teras?"
"Ya, tapi aku mau gendong Dedek."
"Kakak duduk di kursi itu, nanti Om bantu ngangkat Dedek."
Kedua insan berbeda generasi melangkah bersama menuju teras. Inggrid berteriak memanggil Sitha yang datang dengan tergopoh-gopoh bersama Asmi. Perempuan berkaus biru muda spontan mengulaskan senyuman yang dibalas Emris dengan hal serupa.
"Kang, mau ngopi?" tanya Sitha.
"Aku udah ngopi tadi. Kalau boleh, aku minta teh aja," sahut Emris.
"Boleh, dong. Tapi secangkirnya lima belas ribu."
"Aku cuma bawa sepuluh ribu. Lima ribunya ngutang dulu."
"Dirut, kok, ngutang?"
"Penghematan, Tha. Harga susu Kayden mahal. Belum diapers."
Sitha menyunggingkan senyuman. Sifat humoris pria di hadapannya sejak dulu tidak berubah, dan itu yang pernah memikatnya di masa silam. "Bentar, kusiapin," ucapnya.
Kala Sitha menjauh, Gyan datang sambil membawa mobil pemadam kebakaran dalam bentuk mini. Dengan santainya lelaki kecil yang mengadopsi paras menawan sang mama, hendak mengajak Kayden bermain.
Emris tersenyum mendengarkan percakapan satu arah kedua bocah yang sibuk mendongeng buat bayi berpipi montok, yang memandangi Inggrid dan Gyan penuh minat. Emris terkejut ketika Inggrid menagih janji agar diperbolehkan menggendong Kayden.
"Mama, aku bisa gendong Dedek," ujar Inggrid yang sedang bersila di lantai sambil memangku bayi.
Sitha meletakkan nampan ke meja, kemudian mengambil selimut tebal dari kereta dan menghamparkannya ke lantai. "Dipegangin, Kak. Biar adiknya nggak gelindingan," tukasnya sembari duduk bersila di sebelah kiri putrinya.
Emris turun dan ikut duduk di lantai. Keempatnya berbincang santai sambil bercanda dengan Kayden yang tampak senang memiliki teman main. Belasan menit berlalu, sang bayi mulai gelisah dan akhirnya merengek.
"Mau nyusu, ya?" tanya Sitha saat Emris berdiri untuk mengambil botol susu yang sudah disiapkan tadi.
"Ya, kayaknya dia juga udah ngantuk," sahut Emris sembari mengangkat putranya.
"Di dalam aja, Kang. Ada kasur lipat di ruang tengah."
"Aku masuk, nggak apa-apa?"
"Ya."
Keempatnya berpindah ke area dalam rumah. Emris membaringkan putranya ke kasur, kemudian dia membiarkan Inggrid yang membantu memegangi botol susu, sesuai arahan sang mama.
Percakapan berlanjut dan Emris terkesan dengan cara Sitha memperlakukan putranya. Perempuan bermata cukup besar membelai rambut tebal Kayden dengan pelan. Sekali-sekali dia merunduk dan mencium dahi lelaki kecil yang akhirnya terlelap.
"Kang, kemaren malam aku bikin kue. Mau nyobain?" tanya Sitha dengan suara pelan.
"Yakin bisa dimakan?" ledek Emris yang menyebabkan Sitha mencebik.
"Aku udah jago masak dan bikin kue sekarang. Enggak kayak dulu lagi."
"Aku masih ingat, kamu pernah bikinin aku dadar gosong."
"Ya, ampun! Akang, nih, ngumbar aibku."
Emris terbahak, sementara Sitha tersenyum lebar. Perempuan yang menjepit rambutnya tinggi-tinggi, berdiri dan beranjak ke dapur. Dia membuka pintu lemari pendingin dan mengecek isinya, kemudian mengeluarkan wadah makanan dan membawanya ke ruang keluarga.
Mereka menikmati hidangan sambil berbincang dengan suara pelan. Sitha menyelimuti Kayden dengan kain tipis yang diambilnya dari kamar.
Berulang kali perempuan berhidung bangir mengibas-ngibaskan tangan untuk menghalau nyamuk ataupun lalat. Tanpa menyadari jika dirinya sedang diperhatikan Emris.
***
Hari berganti. Inggrid dan Gyan berkali-kali menanyakan pada Sitha, kenapa Kayden tidak datang. Perempuan berkulit kuning langsat berusaha menerangkan dengan bahasa sesederhana mungkin agar kedua anaknya bisa mengerti. Namun, rengekan keduanya akhirnya meluluhkan hati dan Sitha terpaksa mengantarkan mereka ke kediaman keluarga Purwa sore itu.
Rahmi menyambut kedatangan ketiganya dengan penuh sukacita. Dia senang dengan kehadiran Sitha yang ternyata telah didekati putranya selama akhir pekan kemarin.
Rahmi mengantarkan Kayden pada Sitha yang spontan menggendong dan mengayun bayi bersetelan kaus merah, sambil mengoceh bersama kedua anaknya.
Perempuan paruh baya berjilbab hitam merasa terenyuh menyaksikan kedekatan Sitha, Inggrid dan Gyan pada Kayden. Rahmi berdoa setulus hati agar Sitha-lah yang menjadi menantunya sekaligus Ibu sambung buat Kayden.
Rahmi memvideokan peristiwa itu dan mengirimkannya pada Emris yang tengah bekerja. Sang direktur utama EDS Grup menimbang-nimbang dalam hati sebelum akhirnya mengemasi meja kerjanya dan bergegas pulang, meskipun pekerjaannya belum tuntas.
Tiga puluh menit kemudian Emris tiba di rumah dan langsung disambut teriakan kedua bocah yang lari ke teras. Senyuman Emris spontan tercipta dan lesung pipinya tercetak kian dalam.
Pria berkemeja cokelat muda keluar dari mobil dan menyalami Inggrid serta Gyan terlebih dahulu. Hatinya menghangat kala keduanya mencium punggung tangannya dengan takzim.
"Kamu nggak ngasih tahu mau ke sini. Kalau tahu, aku pasti pulang awal," tutur Emris sembari bersalaman dengan Sitha yang sedang duduk di kursi ruang tamu sambil memangku Kayden.
"Ngedadak ini, Kang. Anak-anak nanyain adiknya. Terus ngerengek minta anterin ke sini," terang Sitha.
"Aku tiga hari kemarin ke Surabaya, baru pulang tadi malam. Rencananya besok sore mau ngajak Kayden main ke rumahmu."
"Boleh. Nanti aku buatin makanan kesukaan Akang."
Emris menaikkan alis. "Masih ingat?" tanyanya.
"Hu um. Akang suka teci bumbu kacang sama mi leor."
Emris mengacungkan dua jempol seraya tersenyum. Demikian pula dengan Rahmi yang senang menyaksikan kedekatan putranya dengan Sitha.
Langit senja telah menggelap saat Sitha dan kedua anaknya berpamitan. Emris memandangi perempuan berambut panjang yang kian menjauh. Pria beralis tebal mengulum senyum, sebelum berbalik dan beradu pandang dengan ibunya.
"Coba pendekatan lebih akrab lagi, Ris," ujar Rahmi.
"Ehm, maksudnya gimana, Bu?" tanya Emris.
"Jangan pura-pura. Kamu lagi nyoba ngedeketin Sitha, kan?"
Emris menggaruk-garuk kepalanya seraya tersenyum miring. "Belum, Bu. Baru ... ehm ... sering ngobrol aja."
"Yang serius juga teu nanaon. Ibu dan Ayah nggak keberatan kalau kamu berjodoh dengannya. Sudah kenal puluhan tahun dan cukup tahu dengan kepribadiannya yang nggak banyak tingkah."
"Nantilah, Bu. Biar kami berteman lagi kayak dulu."
"Ya, tapi, jangan lama-lama menunda. Nanti dia dilamar orang, karena banyak ibu-ibu di sini yang mau menjadikannya menantu."
05Teriakan Inggrid dan Gyan mengiringi kedatangan Emris pagi itu. Mereka bergantian menyalami pria berperawakan sedang yang telah mencukur kumis dan janggutnya. Seperti saat-saat sebelumnya, Emris tidak berani memasuki ruang tamu dan hanya duduk di kursi teras, sembari memandangi Inggrid yang sedang mendorong kereta bayi bolak-balik di depan rumah bersama Gyan. Senyuman terukir di wajah Emris kala menyaksikan perempuan bertunik putih campur ungu muda yang keluar dengan membawa nampan. Aroma kudapan kesukaan Ayah satu anak itu menyebabkan Emris ingin segera menyantapnya. Namun, dia harus sedikit bersabar karena makanan di meja masih mengepulkan uap panas. Asmi hadir dan menyajikan dua cangkir kopi susu. Kemudian dia meletakkan nampan ke dekat pot bunga dan menyambangi kedua majikan kecil. Asmi mengambil alih kereta bayi dan mendorongnya dengan jarak yang lebih jauh.Sitha menuangkan teci ke piring dan mengulurkannya pada Emris. "Kang," panggilnya pada pria yang tengah fokus menata
06Hari berganti hari. Putaran waktu beralih masa dengan cepat dan tanpa bisa dihalau oleh siapa pun. Seorang pria yang mengenakan t-shirt biru tua, turun dari mobil SUV hitam. Dia berpindah ke bagian belakang dan membuka pintu kendaraan untuk mengambil barang-barang bawaan, beserta ketiga rekannya. Setelah semua tas tersusun rapi di troli, keempatnya bersalaman dengan sopir mobil rental, kemudian mereka jalan menuju ruang tunggu untuk bergabung dengan rekan-rekan dari berbagai perusahaan. Puluhan menit berlalu, keempat lelaki berbeda tampilan sudah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Kota Bandung. Selain mereka, belasan pengawal PBK juga ikut dalam rombongan tersebut. Emris duduk di kursi dekat jendela, berderet dengan Hendri dan Zafran. Mereka berbincang mengenai berbagai hal hingga tibalah waktunya pesawat untuk lepas landas. Emris mengunyah dua permen mint sekaligus untuk mencegah telinganya berdengung akibat tekanan dalam kabin. Hal serupa juga dilakukan kedua
01 Tangisan bayi mengejutkan seorang pria yang baru terlelap beberapa puluh menit silam. Lelaki bernama Emris Rafardhan membuka mata dan mengubah posisi badan ke kiri. Dia memaksakan diri bangkit untuk mengecek kondisi putranya, Kayden Rakhasandriya, yang baru beumur tiga minggu. Emris menyalakan lampu di meja samping tempat tidur. Dia spontan mengajak sang putra berbincang satu arah sambil mengecek bagian bawah. "Anak Ayah pup, rupanya. Bentar, ya," ucap Emris sembari menarik laci meja kecil dan mengambil tisu basah serta popok baru. Pria berkaus hitam membuka popok sekali pakai putranya yang masih merengek. Dengan hati-hati dia membersihkan area bawah dengan tisu basah. Emris mengambil tisu biasa dari meja untuk mengeringkan putranya, kemudian memakaikan popok baru sambil terus mengajak Kayden berbincang. "Mau susu?" tanya Emris sembari mengangkat dan menggendong anaknya. "Ayah buatin dulu," lanjutnya sembari berdiri dan jalan ke meja rias di mana ada perlengkapan khusus bayi s
02Seorang pria berkaus biru tua memandangi beberapa pekerja yang tengah mengangkut perabotan. Setelah mereka berangkat dengan menggunakan dua mobil bak terbuka sarat barang, pria pemilik rumah berbalik dan mengitari bangunan yang menjadi saksi kisahnya bersama Junita selama tiga tahun pernikahan. Emris menelan ludah untuk mendorong sumbatan di lehernya. Pria berkulit kecokelatan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan seolah-olah tengah melihat tayangan ulang ceritanya dan Junita saat baru menikah. Hampir semua ruangan menjadi saksi penyatuan cinta mereka. Layaknya pasangan pengantin baru, mereka melakukan itu hampir tiap malam dan berpindah-pindah tempat. Ingatan Emris bergeser pada saat Junita hamil. Dia seakan-akan bisa melihat perempuan berambut sepundak jalan sambil memegangi perutnya yang membuncit. Terbayang jelas dalam ingatan Emris kala dia ditelepon Junita yang melaporkan jika waktu persalinan telah tiba. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi untuk menjemput sang
03Malam beetabur bintang dan ditemani sang bulan yang bersinar dengan separuh kekuatan. Angin berembus lembut membelai dedaunan yang berada di halaman rumah dua lantai bercat krem. Suasana sekitar tampak sepi. Penghuni yang hanya berjumlah empat orang tengah berkumpul di ruang keluarga.Tatapan Sitha terarah pada televisi yang sedang menayangkan film kartun. Namun, pikirannya mengembara ke masa lampau di mana dirinya tergila-gila dengan seorang lelaki berparas manis. Rasa cinta yang mendalam menyebabkan Sitha menentang orang tua demi memenuhi permintaan Riadi untuk menikah. Padahal saat itu usia mereka masih terbilang muda. Sitha berusia 23 tahun dan Riadi berumur 26 tahun. Pria perlente yang berasal dari keluarga berada, sempat melambungkan impian Sitha untuk hidup bahagia bak putri dalam dongeng. Namun, keinginan itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Sebab, dari semenjak menikah, kedua orang tua Riadi turut mengatur rumah tangga pasangan muda tersebut. Pada awal-awal pernik