06
Hari berganti hari. Putaran waktu beralih masa dengan cepat dan tanpa bisa dihalau oleh siapa pun. Seorang pria yang mengenakan t-shirt biru tua, turun dari mobil SUV hitam. Dia berpindah ke bagian belakang dan membuka pintu kendaraan untuk mengambil barang-barang bawaan, beserta ketiga rekannya.Setelah semua tas tersusun rapi di troli, keempatnya bersalaman dengan sopir mobil rental, kemudian mereka jalan menuju ruang tunggu untuk bergabung dengan rekan-rekan dari berbagai perusahaan.
Puluhan menit berlalu, keempat lelaki berbeda tampilan sudah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Kota Bandung. Selain mereka, belasan pengawal PBK juga ikut dalam rombongan tersebut.
Emris duduk di kursi dekat jendela, berderet dengan Hendri dan Zafran. Mereka berbincang mengenai berbagai hal hingga tibalah waktunya pesawat untuk lepas landas.
Emris mengunyah dua permen mint sekaligus untuk mencegah telinganya berdengung akibat tekanan dalam kabin. Hal serupa juga dilakukan kedua rekannya yang menjabat posisi yang sama di perusahaan berbeda.
Sementara itu di tempat lain, Sitha tengah jalan bersisian dengan pengasuh dan kedua anaknya, menuju kediaman orang tua Emris. Suara tangisan Kayden menyambut mereka dan Shita segera mengambil alih bayi montok dari gendongan neneknya.
Perempuan berbaju hijau mengayun Kayden sambil bernyanyi dengan suara pelan. Tangisan bayi berkaus oren dengan gambar ikan hiu di bagian depannya, perlahan menurun volumenya hingga benar-benar menghilang seiring dengan lelapnya Kayden.
"Hadeuh! Makin ke sini makin sering ngamuk," keluh Rahmi sembari duduk di sofa ruang tamu dan lengannya langsung dipijati Asmi.
"Kangen ayahnya mungkin, Bu," sahut Sitha.
"Iya. Untunglah hari ini Emris pulang. Ibu mau istirahat tidur semalam aja tanpa tangisan bayi."
Sitha mengangguk paham. Dia menyadari bila mengasuh bayi bukanlah hal yang mudah. Perlu ketenangan batin, karena akan banyak waktu istirahat dikorbankan demi kenyamanan sang bayi. Hal yang merepotkan bagi perempuan tua seperti Rahmi yang memang sudah sepantasnya beristirahat tenang.
"Saya bawa Kayden ke rumah, boleh? Biar Ibu bisa istirahat," tutur Shita.
"Merepotkan kamu nanti," balas Rahmi.
"Nggak. Saya juga lagi nyantai."
"Ehm, boleh. Tapi kalau kamu ingin istirahat, Kayden antarkan ke sini."
Shita tidak menyahut dan hanya mengangguk mengiakan ucapan Rahmi. Perempuan tua berjilbab biru berdiri dan jalan memasuki kamarnya. Tidak berselang lama Rahmi keluar dengan membawa tas belanja kecil yang berisikan pakaian ganti, diapers dan botol serta susu buat Kayden.
Asmi mengambil tas dari sang nenek, kemudian dia berpamitan, demikian pula dengan Sitha dan kedua anaknya. Keempatnya keluar dari rumah berukuran besar, karena merupakan penyatuan dari dua unit rumah bertipe sama.
Rahmi memandangi hingga kelompok kecil itu menghilang dari pandangan. Sudut bibirnya mengukir senyuman karena merasa senang dengan perlakuan Sitha, yang kentara sekali menyayangi Kayden.
Rahmi kembali berdoa dalam hati agar perempuan berusia 32 tahun tersebut bersedia menjadi istri Emris dan Ibu sambung buat cucunya.
*** Emris tiba di depan kediaman orang tuanya saat hari sudah malam. Dia turun dari taksi, kemudian mengeluarkan koper berukuran sedang dan dua tas berbeda warna. Dengan langkah lebar dia memasuki rumah, bertepatan dengan kehadiran sang ibu.Emris duduk di sofa ruang tamu dan membuka tas hitam untuk mengambil oleh-oleh buat keluarganya. Mereka berbincang sesaat sebelum Emris berdiri dan jalan menuju kamarnya.
Belasan menit berikutnya pria berkulit kecokelatan yang sudah mandi dan berganti pakaian, mengayunkan tungkai menuju rumah Sitha sambil membawa tas belanja kuning yang berisikan cinderamata khusus, buat perempuan yang telah membantu mengasuh putranya.
Kehadiran Emris disambut senyuman Sitha. Sementara Inggrid dan Gyan berseru sebelum menghambur untuk memeluk sang om. Hati Emris menghangat kala kedua bocah menyalaminya dengan takzim, kemudian menarik tangan Emris dan mengajaknya memasuki ruang tengah.
"Kay mana?" tanya pria berkaus putih, setelah mendudukkan diri di sofa panjang hitam.
"Tidur di kamarku," jawab Sitha sembari ikut duduk di ujung sofa. "Habis mandi tadinya mau dibawa jalan-jalan, tapi dia keburu tidur," jelasnya.
"Kata Ibu, tiap hari dia nangis terus dan baru anteng setelah kamu datang."
"Kay kangen Akang."
"Kamu, nggak kangen?"
Asmi dan kedua bocah yang mendengarkan percakapan itu, spontan terkekeh. Tawa mereka kian mengencang kala Sitha mencebik, sebelum akhirnya melempari Emris dengan bantal sofa.
"Akang, nih Ngeselin!" desis Sitha.
"Tapi ngangenin," balas Emris yang kian menambah emosi perempuan berhidung mancung di hadapannya.
"Jangan ngomong gitu di depan anak-anak."
"Mereka suka dengar aku ngegombalin kamu."
Bantal sofa kembali melayang dan Emris menangkap benda berbentuk kotak kecil itu seraya tersenyum lebar. Sitha melipat kedua tangan di depan dada, kemudian mengubah posisi badannya hingga lurus ke depan. Dia kesal karena Emris menggodanya di depan anak-anak yang masih cengengesan.
"Aku mau lihat Kayden. Kangen banget," cakap Emris.
Sitha tidak menjawab dan langsung bangkit. Gerakannya yang terlampau cepat menyebabkan Sitha hilang keseimbangan. Emris segera mengulurkan tangan dan memegangi lengan perempuan berambut panjang yang seketika terdiam.
Sitha mengamati Emris yang masih memeganginya. Keduanya saling menatap sesaat, sebelum Sitha menegakkan badan dan menjauh.
Emris melenggang menyusul langkah Sitha ke bagian belakang rumah. Dia berhenti di depan pintu yang tengah dibukakan sang pemilik rumah. Setelahnya mereka memasuki kamar bernuansa biru muda yang apik.
Sitha membiarkan pintu terbuka lebar dan dia duduk di bangku depan meja rias. Sedangkan Emris menghampiri putranya yang tidur di tengah-tengah kasur.
"Enggak ketemu enam hari, pipinya tambah chubby," tutur Emris sembari mengusap rambut lebat putranya, lalu dia merunduk dan mengecup dahi lelaki kecil berkaus merah yang beraroma minyak telon.
"Naik lagi berat badannya. Mungkin hampir sekilo," terang Sitha.
"Gimana cara nimbangnya? Kamu bawa ke bidan?"
"Enggak. Aku nimbang badan dulu, terus gendong dia. Kelihatan angkanya nambah berapa."
"Yakin itu berat Kayden? Bisa aja kamu yang tambah berat."
Sitha menyambar sisir dari meja rias dan spontan melempari pria berambut tebal yang tengah terkekeh. "Akang ngerjain aku terus!" geramnya. "Awas aja, lain kali aku nggak mau jagain Kay!" ancamnya.
Sitha berdiri dan hendak menjauh, tetapi Emris lebih cepat bergerak memegangi tangannya dan menahan perempuan bermata besar agar tidak bisa pergi.
"Jangan merajuk, Tha," bujuk Emris sembari mendekat dan memutar badan Sitha agar berhadapan dengannya. "Aku minta maaf," tuturnya sembari menatap perempuan tersebut saksama.
Sitha mendengkus pelan, kemudian menengadah dan memandangi pria berparas manis yang kian menawan seiring kedewasaannya. "Tolong jangan godain aku depan anak-anak. Malu, Kang," cetusnya.
"Iya, maaf. Aku terpancing nyandain kamu. Lupa kalau ada mereka di sana." Emris kian mendekat sambil memegangi lengan Sitha yang spontan terkesiap. "Makasih telah membantu merawat Kayden saat aku nggak ada," imbuhnya.
"Ehm, kembali kasih."
"Tha, ehm ... maukah kamu membantuku merawat Kayden seterusnya?"
"Maksudnya?"
"Menikah denganku dan jadi Mama buat Kay."
01 Tangisan bayi mengejutkan seorang pria yang baru terlelap beberapa puluh menit silam. Lelaki bernama Emris Rafardhan membuka mata dan mengubah posisi badan ke kiri. Dia memaksakan diri bangkit untuk mengecek kondisi putranya, Kayden Rakhasandriya, yang baru beumur tiga minggu. Emris menyalakan lampu di meja samping tempat tidur. Dia spontan mengajak sang putra berbincang satu arah sambil mengecek bagian bawah. "Anak Ayah pup, rupanya. Bentar, ya," ucap Emris sembari menarik laci meja kecil dan mengambil tisu basah serta popok baru. Pria berkaus hitam membuka popok sekali pakai putranya yang masih merengek. Dengan hati-hati dia membersihkan area bawah dengan tisu basah. Emris mengambil tisu biasa dari meja untuk mengeringkan putranya, kemudian memakaikan popok baru sambil terus mengajak Kayden berbincang. "Mau susu?" tanya Emris sembari mengangkat dan menggendong anaknya. "Ayah buatin dulu," lanjutnya sembari berdiri dan jalan ke meja rias di mana ada perlengkapan khusus bayi s
02Seorang pria berkaus biru tua memandangi beberapa pekerja yang tengah mengangkut perabotan. Setelah mereka berangkat dengan menggunakan dua mobil bak terbuka sarat barang, pria pemilik rumah berbalik dan mengitari bangunan yang menjadi saksi kisahnya bersama Junita selama tiga tahun pernikahan. Emris menelan ludah untuk mendorong sumbatan di lehernya. Pria berkulit kecokelatan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan seolah-olah tengah melihat tayangan ulang ceritanya dan Junita saat baru menikah. Hampir semua ruangan menjadi saksi penyatuan cinta mereka. Layaknya pasangan pengantin baru, mereka melakukan itu hampir tiap malam dan berpindah-pindah tempat. Ingatan Emris bergeser pada saat Junita hamil. Dia seakan-akan bisa melihat perempuan berambut sepundak jalan sambil memegangi perutnya yang membuncit. Terbayang jelas dalam ingatan Emris kala dia ditelepon Junita yang melaporkan jika waktu persalinan telah tiba. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi untuk menjemput sang
03Malam beetabur bintang dan ditemani sang bulan yang bersinar dengan separuh kekuatan. Angin berembus lembut membelai dedaunan yang berada di halaman rumah dua lantai bercat krem. Suasana sekitar tampak sepi. Penghuni yang hanya berjumlah empat orang tengah berkumpul di ruang keluarga.Tatapan Sitha terarah pada televisi yang sedang menayangkan film kartun. Namun, pikirannya mengembara ke masa lampau di mana dirinya tergila-gila dengan seorang lelaki berparas manis. Rasa cinta yang mendalam menyebabkan Sitha menentang orang tua demi memenuhi permintaan Riadi untuk menikah. Padahal saat itu usia mereka masih terbilang muda. Sitha berusia 23 tahun dan Riadi berumur 26 tahun. Pria perlente yang berasal dari keluarga berada, sempat melambungkan impian Sitha untuk hidup bahagia bak putri dalam dongeng. Namun, keinginan itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Sebab, dari semenjak menikah, kedua orang tua Riadi turut mengatur rumah tangga pasangan muda tersebut. Pada awal-awal pernik
04Pertemuannya dengan Sitha kemarin sore, ternyata membekas dalam hati Emris. Minggu pagi dia kembali mengajak putranya jalan-jalan dan mengarahkan kereta ke blok tempat Sitha tinggal. Seunit mobil MPV hitam yang terparkir di depan rumah perempuan tersebut, menyebabkan Emris bertanya-tanya dalam hati tentang siapa tamu itu.Emris hendak berbelok kala seorang pria keluar dari pintu depan rumah dua lantai bercat krem. Mereka sempat saling menatap dan Emris merasa pernah melihat pria berkacamata yang mengenakan t-shirt hijau. Namun, dia tidak dapat mengingat nama orang yang tengah melenggang memasuki mobil. "Om!" pekik Inggrid yang telah berada di teras. Dia lari mendatangi Emris dan langsung merunduk untuk menyapa bayi lucu berkaus oren. "Ehm, Kak. Itu siapa?" tanya Emris sambil mengarahkan dagu ke kendaraan yang tengah memutar, sebelum kemudian menjauh."Papa." "Oh, ya." Emris manggut-manggut. Akhirnya dia bisa mengingat laki-laki tadi. "Mamanya lagi apa?" tanyanya. "Masak." "Om
05Teriakan Inggrid dan Gyan mengiringi kedatangan Emris pagi itu. Mereka bergantian menyalami pria berperawakan sedang yang telah mencukur kumis dan janggutnya. Seperti saat-saat sebelumnya, Emris tidak berani memasuki ruang tamu dan hanya duduk di kursi teras, sembari memandangi Inggrid yang sedang mendorong kereta bayi bolak-balik di depan rumah bersama Gyan. Senyuman terukir di wajah Emris kala menyaksikan perempuan bertunik putih campur ungu muda yang keluar dengan membawa nampan. Aroma kudapan kesukaan Ayah satu anak itu menyebabkan Emris ingin segera menyantapnya. Namun, dia harus sedikit bersabar karena makanan di meja masih mengepulkan uap panas. Asmi hadir dan menyajikan dua cangkir kopi susu. Kemudian dia meletakkan nampan ke dekat pot bunga dan menyambangi kedua majikan kecil. Asmi mengambil alih kereta bayi dan mendorongnya dengan jarak yang lebih jauh.Sitha menuangkan teci ke piring dan mengulurkannya pada Emris. "Kang," panggilnya pada pria yang tengah fokus menata