07
Ucapan Emris beberapa hari lalu masih terngiang di telinga Sitha. Perempuan beralis tebal, belum menjawab permintaan pria tersebut dan meminta waktu untuk memikirkannya.Semenjak sore itu Sitha juga tidak lagi mengunjungi Kayden di rumah Emris. Sebab dia enggan bertemu dengan pria berparas manis, yang dulu sempat dekat dengannya semasa remaja.
Sore itu, Sitha masih bertahan di kantornya untuk menyelesaikan pekerjaan. Sabtu nanti dia berencana untuk mengajak anak-anaknya berlibur bersama keluarganya ke Garut. Sebab itulah Sitha bertekad menuntaskan tugas-tugas agar tidak ada beban.
Langit sudah gelap saat pekerjaannya selesai. Sitha mengangkat kedua tangan dan merentangkannya. Dia memutar badan ke kanan dan kiri hingga pinggangnya terasa lebih nyaman.
Perempuan bersetelan blazer putih tulang mengemasi meja kerja, sebelum berdiri dan jalan menuju pintu. Sepasang mata beriris hitam milik Sitha membulat kala menyaksikan kedua rekannya masih berada di ruangan depan.
"Kalian mau nginap?" canda Sitha sembari menghampiri kedua pria berbeda tampilan.
"Bentar lagi aku pulang," jawab Firdan.
"Dan aku ngikut dia pulang," terang Danu.
"Oke, aku duluan, ya," ungkap Sitha.
"Hati-hati!" seru kedua pria sambil melambaikan tangan yang dibalas Sitha dengan hal serupa.
Sekian menit berlalu, perempuan berambut panjang sudah mengendarai mobil sedan hitamnya, sambil bernyanyi mengikuti lagu dari radio.
Melewati lapak pedagang langganan, Sitha berhenti dan memesan kudapan favorit tanpa turun dari mobil. Sambil menunggu pesanannya selesai, Sitha mengambil ponsel dan berselancar di dunia maya.
Ada seorang teman yang menandainya dalam sebuah postingan di I*******m. Sitha mengecek pesan itu dan seketika tertegun. Dia tidak membalas kiriman temannya yang merupakan karyawan di perusahaan yang sama dengan Riadi, karena merasa hal itu bukanlah urusannya.
Pesanannya diantarkan pedagang ke mobil. Setelah menyelesaikan pembayaran, Sitha menarik tuas rem dan beralih menekan pedal gas hingga mobil meluncur menembus keramaian lalu lintas.
Sebuah mobil MPV hitam yang terparkir di depan pagar rumahnya, membuat Sitha spontan mendengkus. Dia memarkirkan kendaraan di depan garasi sebelum mematikan mesin.
Sekian menit berikutnya perempuan berparas cantik sudah berada di kursi ruang tamu dan berhadapan dengan orang yang selama ini dihindarinya.
Sitha memandangi pria yang raut wajahnya kusut dan tampak tidak terawat. Hilang sudah kesan rapi dan perlente pria yang dulu membuatnya tergila-gila, hingga menentang orang tua. Riadi yang biasanya tampil rapi dan penuh percaya diri, telah berganti gelisah bak pinguin yang ditinggalkan pasangan.
"Aku nggak bisa ngizinin Mas menginap di sini," tutur Sitha seusai mendengarkan penjelasan pria berkemeja hijau lumut.
"Hanya semalam aja, Tha. Aku cuma pengen mencurahkan kerinduan pada anak-anak. Besok aku akan mencari kontrakan," bujuk Riadi.
"Rindu? Kupikir kata itu nggak pernah ada dalam kamus Mas," balas Sitha. "Apa rindu baru terasa setelah si jalang itu ninggalin Mas?" sambungnya dengan sinis.
"Jangan sebut-sebut dia dengan panggilan itu."
"Oh, masih mau dibela? Ya, udah. Pergi sana ke dia!"
"Bukan begitu, aku hanya ...."
"Silakan pergi!" tegas Sitha sambil berdiri. "Aku capek dan ingin istirahat. Nggak punya waktu ngeladenin orang egois yang cuma ingat anak-anak saat butuh!" geramnya.
Sitha berbalik dan jalan ke bagian dalam rumah sambil menggerutu. Dia kesal karena Riadi kembali bersikap egois, yakni datang saat ingin dan tidak memedulikan situasi.
Sitha lelah harus bertengkar terus setiap kali mereka bertemu. Dia sudah muak untuk terus-menerus memahami pria menyebalkan, yang sayangnya adalah Ayah dari kedua anaknya.
Riadi tafakur menatap lantai keramik yang bersih. Dia menyadari bila Sitha marah karena kesal dirinya tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Riadi berpikir hendak melakukan apa, sebelum berdiri dan jalan keluar tanpa berpamitan pada Asmi, Inggrid dan Gyan yang tengah berada di ruang tengah.
Baru saja Riadi hendak menyalakan mesin mobil, seorang pria berkaus putih melenggang memasuki halaman rumah Sitha. Riadi terus memerhatikan saat tamu tersebut mengucapkan salam, kemudian ketiga orang langsung keluar menyambutnya.
Alis Riadi bertaut. Dia penasaran dengan sosok pria yang pernah dilihatnya tempo hari datang dengan mendorong kereta bayi.
Riadi menunda niatnya untuk pergi dan turun dari mobil. Dia kembali ke rumah Sitha dan menyambangi pria yang sedang duduk di kursi teras bersama kedua anaknya.
Riadi menduduki kursi kosong di dekat pintu dan memandangi pria yang diakuinya manis. Mereka saling menatap sesaat, sebelum Riadi berdeham untuk memulai perbincangan.
"Sepertinya saya belum mengenal Anda," ungkap Riadi sembari memandangi pria berkulit kecokelatan di kursi seberang.
"Saya, Emris. Teman Sitha," jawab Emris dengan tenang. Dia sama sekali tidak merasa terindimidasi dengan tatapan penuh tanya pria bermata tajam.
"Saya ...."
"Riadi Danareja. Mantan suami Sitha."
Pria berkemeja hijau lumut menyatukan alisnya. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya.
"Beberapa kali. Dulu."
"Saya nggak ingat Anda sama sekali."
"Saya memang jarang menonjolkan diri dan lebih suka menjadi pengamat."
Riadi hendak bertanya kembali, tetapi kehadiran Sitha yang telah berganti pakaian membuatnya menelan ucapan yang hendak dilontarkan.
Riadi memandangi perempuan yang terlihat lebih menawan seiring kedewasaan. Dia tertegun kala Sitha memilih duduk di kursi dekat Emris, daripada di sebelahnya.
"Kay udah tidur?" tanya Sitha sembari menatap Emris dan mengabaikan Riadi.
"Justru aku ke sini karena dia rewel dari tadi. Aku nggak tahu harus gimana. Ibu sudah lupa cara ngurus bayi yang rewel," terang Emris. "Bisa ikut ke rumah? Karena nggak mungkin aku bawa dia ke sini. Bisa masuk angin," lanjutnya.
"Ehm, sebentar. Aku ambil jaket dulu," cakap Sitha.
"Ikut," rengek Gyan.
"Sudah malam. Besok aja lihat dedeknya," tolak Sitha.
Tidak berselang lama kedua orang berbeda gender melangkah menjauh. Riadi memandangi mereka sambil bertanya-tanya dalam hati, tentang hubungan Sitha yang terlihat akrab dengan Emris.
Tebersit rasa tidak suka pada pria berlesung pipi itu dan Riadi berpikir keras memikirkan kata-kata untuk mengkonfrontasi Sitha, saat pulang nanti.
Sementara itu, pasangan yang tengah menyusuri jalan kompleks, sama-sama diam dan larut dalam pikiran masing-masing. Mendekati kediaman orang tuanya, Emris menarik tangan kiri Sitha dan memeganginya kuat-kuat saat ditepis perempuan tersebut.
"Kamu belum menjawab permintaanku tempo hari," ungkap Emris.
"Aku butuh waktu untuk memikirkannya," sahut Sitha.
"Aku paham, tapi tolong jangan terlalu lama."
"Jangan menunggu, karena aku nggak bisa ngejanjiin kapan ngasih keputusan."
"Apa karena dia?"
"Siapa?"
"Mantan suamimu."
Sitha menggeleng. "Bukan, tapi aku masih belum bisa menghilangkan trauma perceraian."
"Aku nggak akan bersikap kayak dia. Kamu tahu, kan, dari dulu aku setia. Hanya punya satu kekasih dalam satu waktu."
Sitha berhenti melangkah dan Emris spontan melakukan hal yang sama. "Hati manusia bisa berubah, Kang. Aku masih takut untuk membuka hati karena rasa sakit tempo hari masih terasa."
08Sitha berhenti melangkah ketika menyaksikan mobil milik mantan suaminya masih terparkir di depan rumahnya. Perempuan berambut panjang mendengkus, kemudian membuka pintu pagar dan tidak lupa untuk menutupnya kembali. Setibanya di ruang tengah, Riadi telah tertidur di kasur lipat dengan televisi yang menonton dirinya. Sitha kesal karena pria itu nekat menginap padahal sudah diminta pergi. Dia berjongkok untuk membangunkan Riadi, tetapi dia terkejut saat menyadari lengan lelaki tersebut terasa panas. Sitha memindahkan tangan kanannya ke dahi Riadi, kemudian menggeleng pelan saat menyadari bila lelaki yang telah berganti pakaian dengan kaus hitam itu tengah demam. Meskipun Sitha masih marah, tetapi dia tidak tega untuk mengusir pria yang telah memberikannya dua orang anak. Sitha menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia memutuskan untuk membiarkan Riadi menginap malam itu karena kasihan. Sitha berdiri dan jalan menuju kamarnya untuk mengambil bantal dan selimut cadanga
09Permintaan yang hampir sama dari dua pria berbeda membuat Sitha bingung. Dia tidak menduga bila Riadi masih berharap bisa rujuk. Hal itu menyebabkannya dilema. Pada satu sisi, masih ada sebongkah kecil rasa sayang untuk mantan suaminya. Meskipun pria berparas manis itu telah menorehkan luka yang masih belum kering, tetapi Sitha tidak bisa menyangkal jika masih terbayang-bayang sosok lelaki yang telah memberikan dua orang anak untuknya. Akan tetapi, pada sisi lain sikap manis dan perhatian Emris juga berhasil menerobos pintu hati Sitha yang awalnya tertutup rapat. Kehadiran pria berlesung pipi dan Kayden, memberikan kontribusi bernama keceriaan untuk Shita serta kedua anaknya. Mengingat bayi tampan itu seketika menghangatkan hati perempuan bermata cukup besar. Sitha memejam sesaat untuk membayangkan Kayden, yang sudah tiga hari tidak dijenguknya karena sibuk bekerja. Sejumput rasa rindu dalam hati Sitha. Dia ingin bertemu Kayden dan mendekap bayi tersebut. Sudut bibir Sitha meng
10Tawa bercampur jeritan mengiringi acara jalan-jalan mengitari mini zoo di resor BPAGK di Lembang, Sabtu pagi menjelang siang. Kedua anak kecil begitu antusias melihat hewan-hewan berbagai jenis. Emris dan Sitha dengan sabar menjelaskan berbagai hal yang tercantum pada bagian informasi, yang didengarkan dengan serius oleh Inggrid serta Gyan. Sekali-sekali mereka berhenti untuk mengambil swa foto yang kebanyakan dipotret Asmi. Kayden yang berulang kali diangkat dari kereta bayi, merengek tidak mau dimasukkan kembali. Bayi berkaus biru bergambar dinosaurus akhirnya digendong Sitha, bergantian dengan sang pengasuh.Emris mengamati interaksi Sitha dan Kayden. Dia begitu senang melihat perempuan berambut panjang tampak begitu menyayangi putranya. Bahkan, Sitha tidak sungkan mengganti popok sekali pakai ketika Kayden buang hajat.Setelah letih berjalan-jalan, mereka akhirnya berhenti untuk duduk-duduk di taman luas dekat pepohonan teduh.. Mereka menikmati makanan yang dibeli saat perja
11"Ayah menyerahkan semua keputusan padamu, Sitha. Kamu sudah dewasa, pasti tahu mana lelaki yang tepat buatmu," ucap Ali, sesaat setelah putrinya menceritakan perihal lamaran Emris."Aku ... ehm, masih bingung, Yah," sahut Sitha. "Akang jujur kalau masih sayang almarhumah. Sedangkan aku masih agak takut buat nikah lagi. Apa kami bisa menjalani pernikahan dengan hati yang masih separuh kayak gitu?" tanyanya. Ali mengangguk paham. "Ayah mengerti. Sebagai perempuan kamu pasti ingin disayangi suami sepenuhnya. Tapi ingat juga, situasinya berbeda. Emris punya bayi yang sangat butuh kasih sayang Ibu yang tidak pernah dijumpainya. Dia melihatmu sangat sayang ke anaknya. Itu yang membuatnya berpikir bahwa kamu sosok paling tepat jadi Ibu sambung. Dan dari rasa itu, lambat laun dia bisa mencintaimu." "Tha, laki-laki dan perempuan cara berpikirnya berbeda. Laki-laki lebih praktis. Kamu sayang anaknya, itu sudah cukup membuatnya yakin, jika kamu akan menyayanginya juga." "Sedangkan perempua
12Suara orang mengobrol terdengar hingga ke kamar utama di bagian belakang rumah. Sitha yang baru bangun tidur siang menjelang sore, bangkit dan duduk sebentar untuk mengumpulkan nyawanya yang masih di awang-awang. Perempuan berdaster hijau motif bunga-bunga, menggapai meja samping tempat tidur untuk mengambil jepitan. Setelah rambutnya lebih rapi, Sitha menyempatkan diri bercermin untuk memastikan wajahnya tidak berminyak. Sekian menit berikutnya, Sitha sudah berada di kursi teras belakang bersama Riadi. Keheningan yang tercipta menyebabkan perempuan bermata besar bingung, dan akhirnya mengamati pria yang pernah dicintainya di masa lalu. Kumis tipis yang menghiasi bagian atas bibirnya menjadikan paras Riadi terlihat lebih dewasa. "Mas, ada apa datang ke sini?" tanya Sitha setelah lelah menunggu pria berkemeja putih pas badan berbicara terlebih dahulu. "Kamu pacaran dengan dia?" Alih-alih menjawab, Riadi justru balik bertanya. "Dia siapa?" "Duda itu." "Oh, Kang Emris." Sitha
13Seorang pria berkemeja putih membuka pintu kaca dan jalan ke luar. Dia berdiri di pinggir balkon sambil memegangi beton pembatas. Sudut bibirnya melengkungkan senyuman saat menyaksikan keindahan panorama alam Bali di sore hari. Angin pantai berembus kencang menerpa tubuh, dibiarkan lelaki berlesung pipi. Dia bertahan berdiri selama belasan menit sebelum akhirnya berpindah ke dalam. Seorang lelaki lainnya yang tengah membongkar koper, menoleh sesaat pada rekannya, sebelum melanjutkan aktivitas. Pria berkemeja putih berbaring telentang dan memejamkan mata. Rasa rindu pada sang putra menyebabkannya ingin menelepon. Namun, belum sempat dia melakukan niat, ponselnya berdering dan segera diangkatnya. "Al, Cipta ngajakin keluar habis magrib," tutur Emris setelah menutup sambungan telepon. "Ke mana?" tanya Aldi sembari berpindah dan berbaring di kasur kedua. "Muter-muter aja. Karena besok kita sudah full kerja, bakal susah jalan-jalan." "Oke, tapi kalau ke kelab, aku nggak mau." "K
14Emris termangu sambil memandangi foto Kayden di layar ponselnya. Entah kenapa dia merasa seakan-akan ada sesuatu hal yang tengah terjadi di Bandung. Emris sudah menghubungi ayahnya, yang mengatakan tidak terjadi apa-apa. Namun, rasa tidak nyaman tetap menggelayuti hati lelaki berhidung mancung tersebut, sepanjang hari. Waktu terus bergulir, Emris tiba di kamarnya kala waktu sudah menunjukkan jam 9 malam. Dia teramat lelah dan ingin segera tidur, tetapi perut yang mulas memaksanya ke kamar mandi. Kala dia keluar belasan menit kemudian, Aldi tengah mengobrol dengan seseorang melalui sambungan telepon. Emris mengenakan kausnya dan hendak memakai celana pendek ketika Aldi memanggilnya. "Ris, barusan Fitri telepon. Dia dapat kabar dari temannya yang tinggal dekat rumahmu, kalau Kayden lagi dirawat di rumah sakit," papar Aldi yang menyebabkan Emris terhenyak. "Rumah sakit?" tanya Emris untuk memastikan pendengaran. "Ya." Emris terduduk di kursi dekat meja. "Ayah nyembunyiin ini d
15Sore itu Hana dan beberapa kerabat datang menjenguk Kayden. Mereka sudah mengenal Sitha, tetapi kehadiran perempuan bermata besar di ruangan tersebut menimbulkan tanda tanya. Emris dan Sitha sama-sama tutup mulut tentang hubungan mereka. Namun, semuanya terkuak ketika Rahmi dan Purwa datang untuk menggantikan mereka menjaga Kayden. "Akhirnya. Selamat, Sayang," ucap Hana sembari memeluk sahabatnya yang tampak malu-malu. Sementara kerabat yang lain sudah pulang."Jangan disebarkan dulu, Na. Nanti aku yang umumin ke orang kantor, sekalian ngundang mereka ke acara akad nikah," sahut Sitha sambil mengurai dekapan. "Sip. Bersamaku, rahasiamu aman." Hana menjentikkan jemarinya. "Jadi, kapan tanggal akadnya?" tanyanya. "Belum tahu," imbuh Sitha."Secepatnya, Tha. Kalau bisa, dua minggu lagi," sela Emris. "Enggak bisa, Kang. Walaupun cuma akad, aku juga pengen mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna," cakap Sitha."Kalau gitu, maksimal bulan depan," timpal Purwa yang sejak tadi
40Jalinan waktu terus bergulir. Minggu berganti menjadi bulan dengan kecepatan maksimal. Sabtu pagi, kediaman Emris yang sudah disatukan dengan rumah Sitha, dipenuhi banyak orang. Tenda putih campur hijau memenuhi pekarangan kedua bangunan yang menjadi luas, setelah tembok pembatasnya diruntuhkan. Sitha tidak jadi mengontrakkan rumahnya dan menuruti permintaan Emris untuk membongkar sekat antara 2 bangunan. Dengan begitu, ruang tamu dan ruang tengah menjadi lebih luas, dan mampu menampung puluhan orang dalam satu kesempatan. Persatuan istri anggota PC bergotong-royong menjadi panitia khusus bagian prasmanan. Sementara di area jalanan yang juga ditutupi tenda, hampir seratus pria duduk bersila untuk mendengarkan tausiah yang diberikan seorang Ustaz yang cukup terkenal di kota kembang. Emris dan Sitha duduk berdampingan di ruang tamu. Inggrid dan Gyan berada di ruang tengah bersama kedua Nenek dan Kakek. Sedangkan Kayden diungsikan ke lantai atas, karena sejak awal acara pengajian d
39Malam itu, Emris tiba di rumah dengan raut wajah tegang. Dia baru mendapat kabar dari Inggrid, jika Sitha tengah sakit. Pria berlesung pipi akhirnya mempercepat kepulangannya dari Yogyakarta yang harusnya 2 hari lagi, menjadi saat itu. Emris memasuki rumah sembari mengucapkan salam. Dia disambut pekikan Kayden yang langsung mengangkat tangan hendak minta digendong. Seusai menciumi pipi putranya, Emris menyalami Inggrid, Gyan dan kedua pengasuh Sang ayah menanyakan kondisi Sitha yang dijelaskan Asmi dengan separuh kebenaran. Asmi yang sudah mengetahui kondisi Sitha, sengaja merahasiakan hal itu, sesuai dengan permintaan bosnya. Demikian pula dengan Nisa. Dia juga tutup mulut dan hanya tersenyum-senyum ketika Emris meletakkan Kayden ke sofa, lalu bergegas menaiki tangga untuk menuju kamar tidur utama. "Ma," panggil Emris, sesaat setelah menutup pintu kamar. Sitha yang tengah duduk menyandar ke tumpukan bantal, sontak membulatkan mata menyaksikan suaminya telah tiba. "Loh, kok, A
38"Aku merinding," tutur Emris, sesaat setelah menonton video dari laptop milik Izra, yang menayangkan video kejadian kemarin malam di rumah Linda."Aku juga. Nyaris ngompol," keluh Riaz yang langsung diteriaki rekan-rekannya. "Bang, jadi ada berapa jin yang dipanggil?" tanya Fazwan. "Tiga. Ludwig, Haghen dan Rima," jelas Zein. "Mereka dari satu lokasi?" "Enggak. Dua tentara Belanda itu dari Sukabumi. Mess tempat aku kerja, dulu. Kalau Rima, dari Bandung sini. Tempat kos pertama, setelah aku mulai kerja." "Bentuk Rima, kayak gimana?" "Perempuan pakai gaun pengantin. Dia ditusuk laki-laki yang marah karena dia nikah sama tunangannya.""Maksudnya, Rima mendua?" Zein menggeleng. "Dia sudah tunangan sama Irwan selama setahun, lalu dia kenal Eric yang ternyata jadi suka sama dia. Rima sebetulnya sudah bilang ke Eric kalau dia mau nikah, tapi cowok itu ngotot mepet." "Pernikahan Rima sama Irwan akhirnya dimajukan dan dilakukan di tempat tersembunyi. Tapi, nggak tahu gimana caranya
37Suasana gelap menyambut kedatangan Linda di rumahnya. Perempuan bersweter biru memasuki bangunan dari pintu depan, lalu dia menyalakan lampu teras dan carport, sebelum jalan ke toilet. Perutnya masih terasa tidak nyaman, meskipun sudah diobati sang guru. Linda menuntaskan hajat, kemudian membuka pakaiannya dan mandi sebersih mungkin. Jerawat yang muncul di wajah dan leher sudah berkurang. Namun, nyerinya masih terasa, terutama di jerawat terbesar yang berada di bawah rahang kiri. Sekian menit berlalu, Linda telah berada di kamarnya. Tidak ada lampu lain yang dinyalakan, kecuali yang di depan dan di toilet. Linda menjalankan arahan gurunya, supaya perlindungan magis bisa dimaksimalkan.Malam kian larut. Linda tidur sambil mengenakan pakaian lengkap. Hal itu dilakukannya supaya bisa langsung melaksanakan aksi lanjutannya beberapa jam lagi. Suasana hening di sekitar kediaman Linda, nyaris tidak terganggu dengan kehadiran lima orang pria berpakaian serba hitam. Mereka memakai topi
36Izra tiba di kediaman Emris, saat matahari sudah hampir mencapai puncak kepala. Dia langsung ditanyai sang pemilik rumah dan keempat pengawal. "Rumah dukunnya sudah kufoto dan dikirim ke Bang Zein yang lagi di tempat guru," jelas Izra. "Semoga bisa segera dihancurkan semua teluh mereka. Pusing aku. Kerja juga jadi nggak tenang," cakap Emris. "Ya, Pak. Kami paham. Terutama, ngeri jika serangan itu kena ke anak-anak." "Ehm, Iz, aku penasaran. Apa reaksinya saat lihat teluh kirimannya dikembalikan ke mobil, ya?" "Ah, ya! Aku lupa ngambil kamera yang kuselipin di dekat pot bunga." Izra berdiri, kemudian dia mengalihkan pandangan ke Fazwan. "Antar aku ke sana pakai motor, Wan. Kalau pakai mobil, susah mutarnya. Jalan di sana kecil," bebernya. Tanpa menyahut, Fazwan langsung berdiri dan jalan keluar. Tidak berselang lama terdengar bunyi motor menjauh. Riaz mengambil ponselnya dari meja dan menghubungi Abang angkatnya untuk melaporkan situasi. Wirya memberikan instruksi lanjutan, y
35Waktu terus merambat naik. Beberapa menit sebelum hari berganti, seunit mobil melintas di jalan blok kediaman Emris. Pengemudi tidak menyalakan lampu dan hanya mengandalkan penerangan dari lampu jalan, serta cahaya dari teras ataupun carport setiap rumah. Mobil sedan itu tidak berhenti di depan rumah Emris. Pengemudinya berbelok ke kanan, lalu terus melajukan kendaraan ke blok D. Dia sedang mengintai situasi untuk memastikan informasi dari orang yang dibayarnya tadi sore. Tidak berselang lama mobil itu kembali melewati blok C. Beberapa meter sebelum rumah Emris, sopir menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. Dia mengecek penampilan di cermin, kemudian dia keluar sambil membawa bungkus plastik hitam, dan jalan cepat menuju kediaman Emris. Tiba di sudut kiri pagar rumah, orang yang mengenakan tutup kepala itu melemparkan bungkusan ke halaman. Saat benda itu pecah, bau busuk seketika menguar. Orang itu berbalik dan lari hingga tiba di dekat mobil. Dia memasuki kendaraan dan men
34Jalinan waktu terus bergulir. Emris dan Sitha menjalankan aktivitas seperti biasa. Meskipun mereka masih was-was akan ada serangan lanjutan, tetapi keduanya tetap berusaha tenang. Jumat pagi, Emris berpamitan pada istrinya untuk berangkat ke Jakarta demi mengikuti rapat bersama anggota PC. Padahal sebetulnya itu cuma trik untuk memancing pelaku pengerusakan mobil Emris tempo hari. Pria berlesung pipi pergi ke kantor dan melalukan tugasnya sebagai direktur utama. Sekali-sekali Emris akan mengecek layar tabletnya yang terhubung dengan kamera tersembunyi di pohon jambu air, yang berada di rumah sebelah kiri. Dia mengamati depan rumah, ketika seunit motor berhenti dan penumpangnya turun. Emris menghela napas lega, saat sang tamu membuka helm dan ternyata itu adalah Bilal. Sitha yang sedang bermain dengan Kayden di ruang tengah, meminta Nisa mengecek ke depan. Sitha menggendong putranya untuk mengintip dari balik jendela, kemudian dia membuka pintu dan mengajak para tamu masuk. "S
33Emris memukul kemudi sambil mengumpat. Sudah hampir 30 menit dia dan kedua pengawal mengitari area cluster yang ditempati. Namun, mobil sedan itu seakan-akan lenyap ditelan bumi. Yusuf yang berada di samping sopir, masih memindai sekitar. Dia penasaran bagaimana caranya kendaraan sebesar itu menghilang dalam waktu singkat. Padahal Emris telah mengebut saat mengejar pengemudi sedan. Jauhari yang duduk di kursi tengah, sedang berbincang dengan seseorang yang ditebak Emris sebagai Wirya. Tidak berselang lama, Jauhari menerangkan arahan sang bos yang akhirnya diikuti Emris. Setibanya di rumah, Emris bingung ketika Yusuf memindahkan mobil operasional ke garasi rumahnya di sebelah kiri. Emris hendak bertanya, tetapi diurungkan karena 2 pengawal itu sedang berdiskusi. "Bapak, silakan istirahat," tukas Yusuf sembari mendatangi Emris. "Aku mau nunggu di sini. Mungkin aja orang itu datang lagi," tolak Emris. "Kayaknya nggak, Pak. Kupikir dia saat ini lagi deg-degan, karena tadi nyaris
32Pagi itu, Emris baru tiba di kantor, ketika sekretarisnya menerangkan jika ada tamu yang telah menunggu sejak tadi. Emris bergegas memasuki ruang kerjanya dan seketika terpaku melihat siapa yang telah datang. Sang direktur utama memaksakan senyuman. Emris menutup pintu, kemudian menyambangi tamunya yang tengah duduk di sofa panjang hitam. Dia menyalami pria berkumis tipis, sambil bertanya-tanya dalam hati penyebab lelaki itu berkunjung. "Apa kabar?" tanya Emris sembari duduk di kursi tunggal. "Cukup baik," balas Riadi. "Boleh saya tahu, kenapa Mas datang ke sini?" Riadi mengambil tas kerja dan mengeluarkan lembaran kertas. "Ini, penawaran dari komisaris perusahaan." "Penawaran?" "Ya, silakan dibaca. Semuanya tertera di sana." Emris mengalihkan pandangan pada kertas di tangannya. Pria berkemeja krem membaca semua kalimat panjang dengan teliti. Emris mengerutkan dahi, karena sepenggal kalimat di bagian tengah membuatnya terkejut. "Hmm, jadi ini semacam barter proyek, betul?