16Sepasang mata beriris hitam milik Riadi menatap tajam pada pasangan yang duduk berdampingan di kursi seberang. Dia kesal karena Sitha ternyata telah menerima lamaran Emris. Selain itu, permintaannya untuk menginap di rumah perempuan tersebut pun ditolak, dengan alasan menjaga nama baik Sitha. Riadi mengeraskan rahang. Dia ingin memaki keduanya, tetapi ditahan karena akan didengar Inggrid dan Gyan yang berada di ruang tengah. Riadi menarik napas panjang dan mengembuskannya sekali waktu. Dia berpikir cepat menemukan kata untuk mengungkapkan kekesalannya. "Kenapa kamu memilih dia, Tha?" tanya Riadi tanpa memandangi saingannya dan hanya fokus pada perempuan berbibir tipis. "Karena aku merasa nyaman bersamanya," jawab Sitha. "Selain itu, dia menyayangiku dan anak-anak," lanjutnya. "Sayang, hah?" sindir Riadi. "Kenapa kamu nggak berpikir kalau dia hanya mencari pengasuh gratis buat anaknya?" cibirnya yang menyebabkan Emris menatapnya tajam. "Mohon maaf. Ucapanmu barusan sama sekali
17Puluhan pesan dan panggilan yang dilakukan Emris sama sekali tidak disahut Sitha. Hal itu menyebabkan pria berlesung pipi benar-benar gelisah dan tidak bisa tidur. Emris ingin sekali berangkat malam itu, tetapi kemudian dia tersadar bila mungkin saja Sitha telah tidur sejak awal malam. Lelaki berkulit kecokelatan menyabarkan diri dan memaksakan untuk tidur, meskipun tidak nyenyak. Akan tetapi, pagi itu akhirnya Emris jadi berangkat setelah Sitha meneleponnya sambil menangis. Pria berkaus putih lengan panjang, mengajak Imran, Adik Sitha karena Emris membutuhkan bantuan untuk menenangkan calon istrinya yang sempat histeris. Perjalanan hampir dua jam terasa sangat lama dan panjang bagi Emris. Padahal Imran sudah melajukan kendaraan dengan kecepatan tinggi. Kedua pria berbeda tampilan nyaris tidak mengobrol dan larut dalam pikiran masing-masing, hingga tiba di hotel tempat Sitha menginap. Perempuan berambut panjang membuka pintu kamarnya, kemudian menghambur memeluk Emris sambil me
18Suasana kamar yang tidak terlalu terang, menyambut kedatangan Emris malam itu. Dia mengerjap-ngerjapkan mata untuk membiasakan diri dengan kegelapan. Kemudian melangkah memasuki ruangan dan menutup serta mengunci pintu. Lelaki berkaus putih menghampiri tempat tidur bayi di dekat sofa. Sudut bibirnya terangkat mengukir senyuman saat menyaksikan Kayden sudah terlelap dalam posisi andalan, yakni kaki mengangkang dan kedua tangan terangkat. Emris merapikan kelambu, kemudian berbalik dan tertegun menyaksikan Sitha tengah duduk di tepi kasur. "Sorry, kebangun, ya?" tanya Emris sembari menyambangi istrinya. "Aku memang belum tidur. Tadi baru mau mejam," sahut perempuan bergaun tidur hijau muda. "Akang dari mana?" tanyanya sembari merapikan rambut yang berantakan. "Pas pulang tadi ke rumah, sepupuku ngajak ngobrol. Mau ditinggal nggak enak. Mereka besok mau pulang ke Garut." "Sekarang, mau dibuatin minum?" "Enggak usah." Emris memandangi Sitha sesaat, lalu bertutur, "Aku mau ke air b
19Pagi pertama bekerja setelah menikah, Emris tiba di kantor dengan wajah semringah. Pria berusia 33 tahun tersebut nyaris tidak berhenti mengulum senyum sembari menuntaskan pekerjaan. Pada saat rapat pun, Emris berulang kali tersenyum. Hal itu menyebabkan keempat manajer saling melirik, kemudian mereka sama-sama menunduk agar senyuman mereka tidak terlihat sang bos. Siang itu seusai salat Zuhur, Emris kembali ke ruang kerja dan membuka tas bekalnya. Dia mengeluarkan wadah makanan abu-abu dan meletakkannya di meja. Senyumannya merekah kala membuka tutupnya dan melihat dua lauk kesukaan telah disiapkan sang istri. Emris membaca doa terlebih dahulu, kemudian mengambil nasi dan lauk dengan sendok, sebelum menyuapkannya ke mulut. Kunyahan pelan dilakukannya sebelum menelan makanan. Emris memuji kelezatan masakan Sitha dan berencana untuk menyampaikan terima kasih dengan cara romantis. Belasan menit berlalu, lelaki berkemeja cokelat muda keluar menuju dapur mini yang berada di dekat
20 Kelompok kecil yang dipimpin Emris tiba di Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai saat waktu menunjukkan pukul 8 malam. Emris sengaja membeli tiket penerbangan sore dan tiba pada malam hari agar anak-anak tidak rewel dan bisa tidur selama perjalanan. Seorang sopir dari vila tempat mereka menginap telah menunggu di depan. Lelaki berkumis tipis bernama Wayan, sigap membantu menyusun berbagai koper dan tas ke bagasi mobil. Tidak lama berselang, mobil MPV hitam sudah melaju keluar dari area parkir bandara. Emris yang kembali segar karena sempat tidur di pesawat, menemani Wayan mengobrol agar tidak mengantuk. Tidak seperti perjalanan kerjanya beberapa kali mengunjungi Bali, kali itu Emris memesan vila tiga kamar tidur yang direkomendasikan rekannya yang menetap di Pulau Dewata. Karena waktu liburan hanya lima hari, Emris membicarakannya pada Wayan yang mengatur jadwal berkunjung ke tempat wisata. Perjalanan puluhan menit akhirnya usai. Inggrid dan Gyan berseru kegirangan, me
21Waktu terus bergulir. Minggu siang, Emris dan keluarga kecilnya sudah tiba di rumah. Meskipun lelah, tetapi lelaki berlesung pipi memaksakan diri mengantarkan oleh-oleh buat keluarganya dan keluarga mertuanya. Selanjutnya Emris kembali ke rumah untuk beristirahat. Langit siang perlahan meredup. Inggrid dan Gyan keluar sambil menuntun sepeda masing-masing. Mereka mendatangi teman-teman untuk membagikan oleh-oleh. Hal serupa juga dilakukan Asmi dan Nisa, sembari mendorong kereta bayi. Kayden yang sudah bisa tersenyum, menjadikan acara pembagian bingkisan berjalan lambat, karena para tetangga sibuk mencolek pipi ataupun berman sebentar dengan bayi montok berbaju oren. "Makin ke sini jadi mirip mamanya, ya?" tanya seorang perempuan berjilbab hitam. "Iya. Biasanya gitu, sih. Jadi mirip sama yang ngasuh," sahut perempuan kedua yang mengenakan baju putih. "Keluarga Ayah dan Mama juga bilang gitu. Terutama hidung dan dagunya, mirip Mama," terang Asmi. "Sing sehat, Kasep. Sayangi Mama
22Sitha terbangun dan spontan mengecek ponselnya untuk memastikan waktu. Dia mendengkus ketika melihat sudah pukul 1 dini hari, tetapi Emris belum juga pulang. Perempuan berkaus biru mencoba menelepon suaminya untuk kesekian kalinya. Namun, panggilannya tetap tidak tersambung pertanda ponsel pria tersebut sedang tidak aktif. Rasa gelisah yang dirasakan sejak tadi menyebabkan Sitha kesulitan tidur lagi. Perempuan bermata besar akhirnya bangkit dan memutuskan menunaikan salat Tahajud. Dia memasrahkan perlindungan Emris pada Tuhan, dan sangat berharap lelaki berlesung pipi bisa segera pulang. Akan tetapi, harapan ternyata hanya tinggal harapan. Hingga pagi menjelang Emris tidak kunjung hadir dan Sitha kian gelisah. Namun, meskipun begitu dia tetap berusaha tenang dalam menghadapi pertanyaan kedua anaknya tentang keberadaan sang ayah. Sitha terpaksa berbohong dan mengatakan bila Emris mendadak harus ke luar kota. Pagi itu, Sitha berangkat lebih awal karena hendak menemui Aldi. Dia me
23Sebuah mobil sedan melaju menuju jalan Soekarno-Hatta. Pengemudinya benar-benar tidak sabar untuk bisa segera tiba di kediamannya. Dalam benaknya penuh berbagai pertanyaan yang kian lama kian menggundahkan hati. Perempuan berambut panjang mengatur napas agar tidak emosi saat bertemu suaminya, yang belasan menit lalu menelepon dan mengatakan telah berada di rumah. Jalan raya yang padat menyebabkan laju mobil terhambat. Sitha menggerutu sambil berpikir hendak mencari jalur alternatif. Namun, hal itu tidak jadi dilaksanakan karena nantinya harus memutar dan tentu saja akan menambah panjang waktu perjalanan. Jantung Sitha berdegup kencang kala melihat mobil suaminya sudah terparkir di pekarangan. Suasana sekitar sangat sepi. Sitha mengecek pergelangan tangan dan baru menyadari bila anak-anaknya belum pulang sekolah. Dia memarkirkan mobil di belakang mobil MPV putih, kemudian turun dan tidak lupa menutup serta mengunci pintu kendaraan. Sitha mengayunkan tungkai dengan tergesa-gesa.
40Jalinan waktu terus bergulir. Minggu berganti menjadi bulan dengan kecepatan maksimal. Sabtu pagi, kediaman Emris yang sudah disatukan dengan rumah Sitha, dipenuhi banyak orang. Tenda putih campur hijau memenuhi pekarangan kedua bangunan yang menjadi luas, setelah tembok pembatasnya diruntuhkan. Sitha tidak jadi mengontrakkan rumahnya dan menuruti permintaan Emris untuk membongkar sekat antara 2 bangunan. Dengan begitu, ruang tamu dan ruang tengah menjadi lebih luas, dan mampu menampung puluhan orang dalam satu kesempatan. Persatuan istri anggota PC bergotong-royong menjadi panitia khusus bagian prasmanan. Sementara di area jalanan yang juga ditutupi tenda, hampir seratus pria duduk bersila untuk mendengarkan tausiah yang diberikan seorang Ustaz yang cukup terkenal di kota kembang. Emris dan Sitha duduk berdampingan di ruang tamu. Inggrid dan Gyan berada di ruang tengah bersama kedua Nenek dan Kakek. Sedangkan Kayden diungsikan ke lantai atas, karena sejak awal acara pengajian d
39Malam itu, Emris tiba di rumah dengan raut wajah tegang. Dia baru mendapat kabar dari Inggrid, jika Sitha tengah sakit. Pria berlesung pipi akhirnya mempercepat kepulangannya dari Yogyakarta yang harusnya 2 hari lagi, menjadi saat itu. Emris memasuki rumah sembari mengucapkan salam. Dia disambut pekikan Kayden yang langsung mengangkat tangan hendak minta digendong. Seusai menciumi pipi putranya, Emris menyalami Inggrid, Gyan dan kedua pengasuh Sang ayah menanyakan kondisi Sitha yang dijelaskan Asmi dengan separuh kebenaran. Asmi yang sudah mengetahui kondisi Sitha, sengaja merahasiakan hal itu, sesuai dengan permintaan bosnya. Demikian pula dengan Nisa. Dia juga tutup mulut dan hanya tersenyum-senyum ketika Emris meletakkan Kayden ke sofa, lalu bergegas menaiki tangga untuk menuju kamar tidur utama. "Ma," panggil Emris, sesaat setelah menutup pintu kamar. Sitha yang tengah duduk menyandar ke tumpukan bantal, sontak membulatkan mata menyaksikan suaminya telah tiba. "Loh, kok, A
38"Aku merinding," tutur Emris, sesaat setelah menonton video dari laptop milik Izra, yang menayangkan video kejadian kemarin malam di rumah Linda."Aku juga. Nyaris ngompol," keluh Riaz yang langsung diteriaki rekan-rekannya. "Bang, jadi ada berapa jin yang dipanggil?" tanya Fazwan. "Tiga. Ludwig, Haghen dan Rima," jelas Zein. "Mereka dari satu lokasi?" "Enggak. Dua tentara Belanda itu dari Sukabumi. Mess tempat aku kerja, dulu. Kalau Rima, dari Bandung sini. Tempat kos pertama, setelah aku mulai kerja." "Bentuk Rima, kayak gimana?" "Perempuan pakai gaun pengantin. Dia ditusuk laki-laki yang marah karena dia nikah sama tunangannya.""Maksudnya, Rima mendua?" Zein menggeleng. "Dia sudah tunangan sama Irwan selama setahun, lalu dia kenal Eric yang ternyata jadi suka sama dia. Rima sebetulnya sudah bilang ke Eric kalau dia mau nikah, tapi cowok itu ngotot mepet." "Pernikahan Rima sama Irwan akhirnya dimajukan dan dilakukan di tempat tersembunyi. Tapi, nggak tahu gimana caranya
37Suasana gelap menyambut kedatangan Linda di rumahnya. Perempuan bersweter biru memasuki bangunan dari pintu depan, lalu dia menyalakan lampu teras dan carport, sebelum jalan ke toilet. Perutnya masih terasa tidak nyaman, meskipun sudah diobati sang guru. Linda menuntaskan hajat, kemudian membuka pakaiannya dan mandi sebersih mungkin. Jerawat yang muncul di wajah dan leher sudah berkurang. Namun, nyerinya masih terasa, terutama di jerawat terbesar yang berada di bawah rahang kiri. Sekian menit berlalu, Linda telah berada di kamarnya. Tidak ada lampu lain yang dinyalakan, kecuali yang di depan dan di toilet. Linda menjalankan arahan gurunya, supaya perlindungan magis bisa dimaksimalkan.Malam kian larut. Linda tidur sambil mengenakan pakaian lengkap. Hal itu dilakukannya supaya bisa langsung melaksanakan aksi lanjutannya beberapa jam lagi. Suasana hening di sekitar kediaman Linda, nyaris tidak terganggu dengan kehadiran lima orang pria berpakaian serba hitam. Mereka memakai topi
36Izra tiba di kediaman Emris, saat matahari sudah hampir mencapai puncak kepala. Dia langsung ditanyai sang pemilik rumah dan keempat pengawal. "Rumah dukunnya sudah kufoto dan dikirim ke Bang Zein yang lagi di tempat guru," jelas Izra. "Semoga bisa segera dihancurkan semua teluh mereka. Pusing aku. Kerja juga jadi nggak tenang," cakap Emris. "Ya, Pak. Kami paham. Terutama, ngeri jika serangan itu kena ke anak-anak." "Ehm, Iz, aku penasaran. Apa reaksinya saat lihat teluh kirimannya dikembalikan ke mobil, ya?" "Ah, ya! Aku lupa ngambil kamera yang kuselipin di dekat pot bunga." Izra berdiri, kemudian dia mengalihkan pandangan ke Fazwan. "Antar aku ke sana pakai motor, Wan. Kalau pakai mobil, susah mutarnya. Jalan di sana kecil," bebernya. Tanpa menyahut, Fazwan langsung berdiri dan jalan keluar. Tidak berselang lama terdengar bunyi motor menjauh. Riaz mengambil ponselnya dari meja dan menghubungi Abang angkatnya untuk melaporkan situasi. Wirya memberikan instruksi lanjutan, y
35Waktu terus merambat naik. Beberapa menit sebelum hari berganti, seunit mobil melintas di jalan blok kediaman Emris. Pengemudi tidak menyalakan lampu dan hanya mengandalkan penerangan dari lampu jalan, serta cahaya dari teras ataupun carport setiap rumah. Mobil sedan itu tidak berhenti di depan rumah Emris. Pengemudinya berbelok ke kanan, lalu terus melajukan kendaraan ke blok D. Dia sedang mengintai situasi untuk memastikan informasi dari orang yang dibayarnya tadi sore. Tidak berselang lama mobil itu kembali melewati blok C. Beberapa meter sebelum rumah Emris, sopir menghentikan kendaraan dan mematikan mesin. Dia mengecek penampilan di cermin, kemudian dia keluar sambil membawa bungkus plastik hitam, dan jalan cepat menuju kediaman Emris. Tiba di sudut kiri pagar rumah, orang yang mengenakan tutup kepala itu melemparkan bungkusan ke halaman. Saat benda itu pecah, bau busuk seketika menguar. Orang itu berbalik dan lari hingga tiba di dekat mobil. Dia memasuki kendaraan dan men
34Jalinan waktu terus bergulir. Emris dan Sitha menjalankan aktivitas seperti biasa. Meskipun mereka masih was-was akan ada serangan lanjutan, tetapi keduanya tetap berusaha tenang. Jumat pagi, Emris berpamitan pada istrinya untuk berangkat ke Jakarta demi mengikuti rapat bersama anggota PC. Padahal sebetulnya itu cuma trik untuk memancing pelaku pengerusakan mobil Emris tempo hari. Pria berlesung pipi pergi ke kantor dan melalukan tugasnya sebagai direktur utama. Sekali-sekali Emris akan mengecek layar tabletnya yang terhubung dengan kamera tersembunyi di pohon jambu air, yang berada di rumah sebelah kiri. Dia mengamati depan rumah, ketika seunit motor berhenti dan penumpangnya turun. Emris menghela napas lega, saat sang tamu membuka helm dan ternyata itu adalah Bilal. Sitha yang sedang bermain dengan Kayden di ruang tengah, meminta Nisa mengecek ke depan. Sitha menggendong putranya untuk mengintip dari balik jendela, kemudian dia membuka pintu dan mengajak para tamu masuk. "S
33Emris memukul kemudi sambil mengumpat. Sudah hampir 30 menit dia dan kedua pengawal mengitari area cluster yang ditempati. Namun, mobil sedan itu seakan-akan lenyap ditelan bumi. Yusuf yang berada di samping sopir, masih memindai sekitar. Dia penasaran bagaimana caranya kendaraan sebesar itu menghilang dalam waktu singkat. Padahal Emris telah mengebut saat mengejar pengemudi sedan. Jauhari yang duduk di kursi tengah, sedang berbincang dengan seseorang yang ditebak Emris sebagai Wirya. Tidak berselang lama, Jauhari menerangkan arahan sang bos yang akhirnya diikuti Emris. Setibanya di rumah, Emris bingung ketika Yusuf memindahkan mobil operasional ke garasi rumahnya di sebelah kiri. Emris hendak bertanya, tetapi diurungkan karena 2 pengawal itu sedang berdiskusi. "Bapak, silakan istirahat," tukas Yusuf sembari mendatangi Emris. "Aku mau nunggu di sini. Mungkin aja orang itu datang lagi," tolak Emris. "Kayaknya nggak, Pak. Kupikir dia saat ini lagi deg-degan, karena tadi nyaris
32Pagi itu, Emris baru tiba di kantor, ketika sekretarisnya menerangkan jika ada tamu yang telah menunggu sejak tadi. Emris bergegas memasuki ruang kerjanya dan seketika terpaku melihat siapa yang telah datang. Sang direktur utama memaksakan senyuman. Emris menutup pintu, kemudian menyambangi tamunya yang tengah duduk di sofa panjang hitam. Dia menyalami pria berkumis tipis, sambil bertanya-tanya dalam hati penyebab lelaki itu berkunjung. "Apa kabar?" tanya Emris sembari duduk di kursi tunggal. "Cukup baik," balas Riadi. "Boleh saya tahu, kenapa Mas datang ke sini?" Riadi mengambil tas kerja dan mengeluarkan lembaran kertas. "Ini, penawaran dari komisaris perusahaan." "Penawaran?" "Ya, silakan dibaca. Semuanya tertera di sana." Emris mengalihkan pandangan pada kertas di tangannya. Pria berkemeja krem membaca semua kalimat panjang dengan teliti. Emris mengerutkan dahi, karena sepenggal kalimat di bagian tengah membuatnya terkejut. "Hmm, jadi ini semacam barter proyek, betul?