01
Tangisan bayi mengejutkan seorang pria yang baru terlelap beberapa puluh menit silam. Lelaki bernama Emris Rafardhan membuka mata dan mengubah posisi badan ke kiri. Dia memaksakan diri bangkit untuk mengecek kondisi putranya, Kayden Rakhasandriya, yang baru beumur tiga minggu.Emris menyalakan lampu di meja samping tempat tidur. Dia spontan mengajak sang putra berbincang satu arah sambil mengecek bagian bawah.
"Anak Ayah pup, rupanya. Bentar, ya," ucap Emris sembari menarik laci meja kecil dan mengambil tisu basah serta popok baru.
Pria berkaus hitam membuka popok sekali pakai putranya yang masih merengek. Dengan hati-hati dia membersihkan area bawah dengan tisu basah. Emris mengambil tisu biasa dari meja untuk mengeringkan putranya, kemudian memakaikan popok baru sambil terus mengajak Kayden berbincang.
"Mau susu?" tanya Emris sembari mengangkat dan menggendong anaknya. "Ayah buatin dulu," lanjutnya sembari berdiri dan jalan ke meja rias di mana ada perlengkapan khusus bayi serta sebuah termos kecil.
Kendatipun belum terlalu luwes, tetapi Emris cukup cekatan membuatkan minuman kesukaan anaknya. Setelahnya Emris berpindah ke sofa tunggal di dekat jendela. Dia duduk sembari memegangi botol susu. Kayden menyedot dengan semangat dan berhasil menciptakan senyuman di wajah Emris.
Pria berambut tebal menyandarkan kepala ke belakang dan memejamkan mata. Ingatannya melayang pada masa-masa awal pernikahan dengan Junita. Mereka yang telah pacaran selama tiga tahun akhirnya bisa menikah dengan pesta yang cukup mewah.
Emris berjuang keras bekerja sebagai pengusaha properti, yang saat itu baru dirintisnya. Sementara Junita yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit swasta, rela melakukan banyak lembur agar saldo rekeningnya menggembung.
Pernikahan impian mereka gelar 3 tahun silam, tepat beberapa hari setelah ulang tahun Emris yang ketiga puluh tahun. Bahtera rumah tangga mereka arungi dengan penuh kegembiraan. Hingga tepat di hari jadi pernikahan yang kedua, Junita menginfokan bila dirinya tengah hamil.
Terbayang kembali masa-masa sulit di awal kehamilan. Junita akhirnya memutuskan berhenti bekerja karena tidak sanggup melakukan tugas-tugas dengan maksimal.
Hari demi hari dilalui keduanya dengan tenang. Namun, seiring bertambahnya usia kehamilan, Junita didiagnosa mengalami pre eklamsia, yaitu komplikasi kehamilan berpotensi berbahaya yang ditandai dengan tekanan darah tinggi.
Pre eklampsia biasanya dimulai setelah usia kehamilan dua puluh minggu pada wanita yang tekanan darahnya normal. Hal itu dapat berkembang menjadi eklampsia dan memiliki komplikasi yang fatal baik bagi ibu maupun bagi janinnya.
Kendatipun sudah ditangani secara maksimal, tetapi takdir berkata lain. Tiga hari seusai melahirkan Junita tidak sadarkan diri hingga akhirnya wafat. Emris begitu terpukul karena kehilangan pasangan hidup. Namun, orang-orang terdekat memintanya kuat demi Kayden.
Emris terlelap dalam posisi yang masih sama. Posisi badan yang hampir rebah menjadikan Kayden tertahan di pangkuan sang ayah. Puluhan menit berlalu, Emris terjaga karena hendak menuntaskan panggilan alam.
Dia berdiri dan berpindah ke tempat tidur. Setelah meletakkan sang putra dan menyelimutinya, pria berlesung pipi jalan gontai memasuki kamar mandi di ujung kiri ruangan.
*** Suara-suara kedua anak kecil yang tengah dimandikan pengasuh, menjadikan seorang perempuan berdaster hijau tersenyum. Meskipun itu cukup berisik, tetapi Yakashita Zaida menikmati suasana ricuh yang akan terjadi setiap pagi.Dia meneruskan kegiatan mengolah makanan untuk bekal anak-anaknya. Kemudian dengan gesit perempuan berambut panjang memasukkan makanan ke dua wadah khusus.
"Ayo, sarapan dulu. Udah jam enam lewat," tukas Shita, panggilan akrab dari Yakashita.
Kedua bocah berbeda gender menghampiri mamanya dan menempati kursi masing-masing. Pengasuh mereka yang bernama Asmi, turut duduk di sebelah kiri nyonyanya.
"Ma, besok Mira ulang tahun," ungkap seorang perempuan kecil berusia tujuh tahun yang bernama Inggrid Naysila, putri pertama Shita.
"Dirayain di sekolah?" tanya Shita sembari menuangkan mi goreng ke piring dan memberikannya pada putri kecilnya.
"Iya, aku mau ngasih kado."
"Kakak punya uang?"
"Ada, aku nabung dikit-dikit dari uang jajan."
Sitha tersenyum. "Nanti Mama tambahkan."
"Beneran?"
"Ya. Habis magrib nanti kita ke mal."
"Aku ikut," sela Gyan, putra kedua Shita yang berusia lima tahun.
"Boleh. Sekalian Mama mau belanja bulanan," cakap Shita. Dia menoleh ke kiri, kemudian berkata, "Mi, aku masaknya banyak. Nanti anterin ke rumah Ibu."
"Iya, Bu," sahut Asmi. Sudah menjadi tugasnya untuk mengantarkan makanan ke rumah orang tua Shita yang berada di blok belakang perumahan tersebut.
Belasan menit berlalu, Shita melambaikan tangan pada Inggrid dan Gyan yang dibonceng Asmi menggunakan motor matik kecil.
Setelah motor menjauh, Shita beranjak memasuki kamar utama yang berada di bagian belakang bangunan dua lantai. Dia mandi dan mengenakan pakaian kerja. Kemudian berias seadanya karena dia tidak suka dandanan yang tebal.
Kala dia keluar dari kamar, asisten rumah tangga sudah tiba dan tengah menyapu. Shita berpamitan pada perempuan berjilbab hitam yang bekerja padanya sejak beberapa bulan lalu, saat dia baru pindah ke rumah itu.
Shita memasuki mobil sedan hitam dan memanaskan mesinnya. Dia membuka pintu lebar-lebar agar uap pengap dari dalam berganti dengan udara segar.
Tidak berselang lama mobil sudah meluncur di jalan kompleks. Shita menambah kecepatan kendaraan ketika telah tiba di jalan raya. Dia ingin segera tiba di kantor untuk memulai pekerjaan yang menumpuk.
Sitha dan Hana, sahabat karibnya, membuat kantor arsitek dan desain interior sejak baru lulus kuliah delapan tahun silam. Selama kuliah mereka bekerja sampingan di kantor milik senior di kampus.
Dengan modal nekat, mereka membangun usaha pertama yang dibantu kucuran dana dari orang tua masing-masing. Meskipun bukan skala besar, tetapi kantor itu telah berkembang dan memiliki belasan karyawan.
"Tha aku ada kabar baru," tutur Hana, sesaat setelah Shita tiba di ruang kerjanya.
"Kabar apa?" tanya Shita sembari meletakkan tas ke meja dan duduk di kursi putar.
"Akang Emris, Kakak sepupuku yang dulu naksir kamu. Katanya mau pindah ke rumah ayahnya. Kalian jadi tetanggaan lagi."
"Ehm ... sama rumahku yang sekarang, jadi agak jauh."
"Cuma beda berapa blok ini. Masih satu kompleks."
"Kenapa dia pindah? Rumahnya di Antapani, kan, bagus."
"Dia nggak sanggup kerja sambil ngurus anak. Pengasuhnya nggak bisa nginap. Akang kerepotan. Kalau tinggal sama orang tua, ada yang bantu ngawasin. Dia bisa tenang kerja."
Sitha manggut-manggut. "Sulit memang jadi orang tua tunggal. Apalagi anaknya masih bayi gitu."
"Hu um. Kasihan aku lihatnya. Benar-benar terpukul kehilangan istri."
"Ya, aku paham maksudmu. Walaupun kasusnya berbeda, tapi aku dan Mas Riadi bercerai. Sedangkan dia, ditinggal wafat. Pasti lebih nyesek."
"Tha, aku boleh minta bantu?"
"Apaan?"
Hana memajukan badan hingga menempel ke meja. "Kalau ada waktu, mampirlah ke rumah Bibi. Beliau pasti senang kamu datang. Apalagi Akang."
"Jangan bilang kamu mau ngejodohin kami."
"Ya, nggak apa-apa, dong. Sama-sama sendiri ini, jadiin aja. Sekalian menuntaskan cinta lama yang belum kelar."
02Seorang pria berkaus biru tua memandangi beberapa pekerja yang tengah mengangkut perabotan. Setelah mereka berangkat dengan menggunakan dua mobil bak terbuka sarat barang, pria pemilik rumah berbalik dan mengitari bangunan yang menjadi saksi kisahnya bersama Junita selama tiga tahun pernikahan. Emris menelan ludah untuk mendorong sumbatan di lehernya. Pria berkulit kecokelatan mengedarkan pandangan ke sekeliling dan seolah-olah tengah melihat tayangan ulang ceritanya dan Junita saat baru menikah. Hampir semua ruangan menjadi saksi penyatuan cinta mereka. Layaknya pasangan pengantin baru, mereka melakukan itu hampir tiap malam dan berpindah-pindah tempat. Ingatan Emris bergeser pada saat Junita hamil. Dia seakan-akan bisa melihat perempuan berambut sepundak jalan sambil memegangi perutnya yang membuncit. Terbayang jelas dalam ingatan Emris kala dia ditelepon Junita yang melaporkan jika waktu persalinan telah tiba. Dia memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi untuk menjemput sang
03Malam beetabur bintang dan ditemani sang bulan yang bersinar dengan separuh kekuatan. Angin berembus lembut membelai dedaunan yang berada di halaman rumah dua lantai bercat krem. Suasana sekitar tampak sepi. Penghuni yang hanya berjumlah empat orang tengah berkumpul di ruang keluarga.Tatapan Sitha terarah pada televisi yang sedang menayangkan film kartun. Namun, pikirannya mengembara ke masa lampau di mana dirinya tergila-gila dengan seorang lelaki berparas manis. Rasa cinta yang mendalam menyebabkan Sitha menentang orang tua demi memenuhi permintaan Riadi untuk menikah. Padahal saat itu usia mereka masih terbilang muda. Sitha berusia 23 tahun dan Riadi berumur 26 tahun. Pria perlente yang berasal dari keluarga berada, sempat melambungkan impian Sitha untuk hidup bahagia bak putri dalam dongeng. Namun, keinginan itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Sebab, dari semenjak menikah, kedua orang tua Riadi turut mengatur rumah tangga pasangan muda tersebut. Pada awal-awal pernik
04Pertemuannya dengan Sitha kemarin sore, ternyata membekas dalam hati Emris. Minggu pagi dia kembali mengajak putranya jalan-jalan dan mengarahkan kereta ke blok tempat Sitha tinggal. Seunit mobil MPV hitam yang terparkir di depan rumah perempuan tersebut, menyebabkan Emris bertanya-tanya dalam hati tentang siapa tamu itu.Emris hendak berbelok kala seorang pria keluar dari pintu depan rumah dua lantai bercat krem. Mereka sempat saling menatap dan Emris merasa pernah melihat pria berkacamata yang mengenakan t-shirt hijau. Namun, dia tidak dapat mengingat nama orang yang tengah melenggang memasuki mobil. "Om!" pekik Inggrid yang telah berada di teras. Dia lari mendatangi Emris dan langsung merunduk untuk menyapa bayi lucu berkaus oren. "Ehm, Kak. Itu siapa?" tanya Emris sambil mengarahkan dagu ke kendaraan yang tengah memutar, sebelum kemudian menjauh."Papa." "Oh, ya." Emris manggut-manggut. Akhirnya dia bisa mengingat laki-laki tadi. "Mamanya lagi apa?" tanyanya. "Masak." "Om
05Teriakan Inggrid dan Gyan mengiringi kedatangan Emris pagi itu. Mereka bergantian menyalami pria berperawakan sedang yang telah mencukur kumis dan janggutnya. Seperti saat-saat sebelumnya, Emris tidak berani memasuki ruang tamu dan hanya duduk di kursi teras, sembari memandangi Inggrid yang sedang mendorong kereta bayi bolak-balik di depan rumah bersama Gyan. Senyuman terukir di wajah Emris kala menyaksikan perempuan bertunik putih campur ungu muda yang keluar dengan membawa nampan. Aroma kudapan kesukaan Ayah satu anak itu menyebabkan Emris ingin segera menyantapnya. Namun, dia harus sedikit bersabar karena makanan di meja masih mengepulkan uap panas. Asmi hadir dan menyajikan dua cangkir kopi susu. Kemudian dia meletakkan nampan ke dekat pot bunga dan menyambangi kedua majikan kecil. Asmi mengambil alih kereta bayi dan mendorongnya dengan jarak yang lebih jauh.Sitha menuangkan teci ke piring dan mengulurkannya pada Emris. "Kang," panggilnya pada pria yang tengah fokus menata
06Hari berganti hari. Putaran waktu beralih masa dengan cepat dan tanpa bisa dihalau oleh siapa pun. Seorang pria yang mengenakan t-shirt biru tua, turun dari mobil SUV hitam. Dia berpindah ke bagian belakang dan membuka pintu kendaraan untuk mengambil barang-barang bawaan, beserta ketiga rekannya. Setelah semua tas tersusun rapi di troli, keempatnya bersalaman dengan sopir mobil rental, kemudian mereka jalan menuju ruang tunggu untuk bergabung dengan rekan-rekan dari berbagai perusahaan. Puluhan menit berlalu, keempat lelaki berbeda tampilan sudah berada di pesawat yang akan mengantarkan mereka ke Kota Bandung. Selain mereka, belasan pengawal PBK juga ikut dalam rombongan tersebut. Emris duduk di kursi dekat jendela, berderet dengan Hendri dan Zafran. Mereka berbincang mengenai berbagai hal hingga tibalah waktunya pesawat untuk lepas landas. Emris mengunyah dua permen mint sekaligus untuk mencegah telinganya berdengung akibat tekanan dalam kabin. Hal serupa juga dilakukan kedua