Tamparan keras melayang di pipi Lucas. Diana tidak marah saat Lucas berkata masih mencintai mantan istrinya, tidak pula bertindak kasar saat Miranda datang ke rumah dan merebut suaminya. Tapi, kali ini Diana tidak bisa menahan diri dan bersabar lagi.
Sebagai ibu, hatinya hancur dan tak menerima jika orang lain menyakiti putrinya walau hanya seujung kuku. Dia sempat tenang saat tahu Luna pulang bersama Reno, setidaknya rencana Jessie untuk mencelakai Luna tidak berhasil. Namun, kini mendengar Luna terluka dan dibawa ke rumah sakit karena kekerasan yang dilakukan anak buah Lucas membuatnya lepas kendali. Ternyata Diana tidak bisa mempercayai siapapun lagi.
“Kau benar-benar keterlaluan, Lucas. Teganya kau melakukan ini padaku! Tidak puas kau menyakitiku, kenapa kau juga menyakiti putriku? Lucas, kau benar-benar jahat!&
Reno berdiri ketika pintu ruang Emergency terbuka, Luna yang terbaring di atas ranjang keluar bersama Diana dan dua orang perawat. Segera mendekat, perasaannya mencelos saat menatap tubuh lemah sang kekasih. Mata Luna terpejam, namun Reno bisa melihat gurat kelelahan di wajah cantiknya. Ah… hatinya tercubit karena lagi-lagi merasa sangat bersalah atas semua yang telah terjadi. “Kau belum pulang sejak tadi?” tanya Diana. Hatinya sedikit khawatir melihat penampilan Reno yang terlihat sangat berantakan. Wajah tampannya penuh lebam, bahkan dia belum mengganti pakaiannya yang berlumuran darah. Reno menggelengkan kepalanya pelan. Tersenyum lirih pada Diana, lalu kembali menatap wajah Luna yang masih terlihat sangat cantik di matanya. Rasanya sangat ingin ia rengkuh tubuh yang terkulai lemas itu, memeluk dan mendekap erat, menyalurkan segala perasaan cinta dan rasa bersalahnya pada Luna. Tapi, dia harus menahan semua itu untuk sementara waktu. “Bagaimana keadaan Luna, Bu?” tanya Reno
Tidak kembali ke rumah lama, Diana justru membawa Luna ke sebuah apartemen di luar kota. Apartemen yang dipilih Diana sebenarnya bukanlah apartemen mewah. Tapi, untuk tinggal berdua, ini cukup besar dengan barang-barang yang sudah tersedia. Luna yakin ibunya harus mengeluarkan uang cukup banyak untuk menyewa apartemen ini. Meskipun apartemen ini terlihat nyaman, hati Luna hampa. Sepanjang perjalanan dia terus menangis yang tak begitu dipedulikan oleh Diana. Sebaliknya, ibunya itu justru menyetir mobil dengan fokus dan menyetel musik selama mereka dalam perjalanan. “Bu, tolong kembalikan ponselku.”Diana tak menjawab, dia terus mengeluarkan barang-barang yang dia bawa dari koper dan memasukkan semua pakaian ke lemari. Mengabaikan Luna sepenuhnya. “Bu, aku mohon…” lirih Luna. “Buat apa, Luna? Kau tidak berharap bisa menghubungi Reno, kan? Ponsel lamamu telah Ibu buang. Kau sudah tidak bisa berhubungan lagi dengan Reno.” Luna menatap ibunya tak percaya. “Kenapa Ibu melakukan semua i
Luna termangu di depan layar televisi. Tubuhnya tiba-tiba bergetar dengan jantung berdebar cepat saat sebuah berita menayangkan pesta pernikahan mewah salah satu pengusaha muda. Lemas. Luna segera berpegangan pada ujung sofa. Tiga bulan, baru tiga bulan dia dan Reno berpisah, tapi hari ini dia melihat sebuah tayangan dimana Reno menyematkan cincin di jari manis Jessie. Ternyata mereka akhirnya bersama. Air mata jatuh tanpa bisa dicegah. Luna tak pernah menyangka Reno akan secepat ini melupakannya. Kemana cinta yang selama ini pria itu ucapkan padanya? Tidakkah Reno mencari keberadaannya? Tidakkah pria itu merindukannya? Mengapa secepat ini Reno mengganti posisinya? Berbagai pertanyaan terus berputar di kepala Luna. Pagi ini terasa seperti mimpi. Pria yang ia cintai telah menikahi wanita lain. “Ibu sudah melarangmu untuk menonton televisi, Luna.” Suara Diana terdengar setelah layar televisi tiba-tiba menghitam karena di matikan oleh ibunya itu. “Ibu tahu soal pernikahan mereka? K
Luna merasa nyawanya ikut melayang ketika dokter menyatakan waktu kematian ibunya. Diana telah tiada, ibunya meninggal. Secepat itu? “Ibuku meninggal, dia pergi, Ibuku pergi menyusul Ayah.” Luna terus bergumam. Tangannya mengepal, sekuat mungkin menahan tangis. Semua masih terasa seperti mimpi. Baru beberapa jam lalu dia berbicara dengan ibunya, memeluk, dan mencium keningnya. Ini semua tidak mungkin, kan? Luna tidak bisa berkata-kata ketika seorang perawat menutup seluruh tubuh ibunya dengan kain putih. Dan saat perawat lain menepuk bahunya dengan tatapan iba, segalanya menjadi terlihat nyata dan Luna hampir hilang keseimbangan, beruntung perawat itu membantunya untuk duduk di kursi. Luna menangis. Dia benar-benar sendiri sekarang. Apa yang ia lewatkan? Luna merasa sangat bersalah, hingga tidak tahu bahwa ibunya ternyata mengidap penyakit gagal ginjal kronis stadium akhir. Ya Tuhan… Ibunya sibuk berjuang untuknya dan dia terlalu sibuk memikirkan cara untuk melupakan Reno. “Bu…
“Luna…” Suara Flora membuat Luna tersadar. Flora dan Brian juga melihat kehadiran Reno dan Jessie tadi, tapi beruntung sepasang suami istri itu tidak melihat ke arah mereka karena posisinya berlawanan arah. “Kau tidak apa-apa?” Flora mengeratkan genggaman tangannya seolah memberi kekuatan disana. “Apa kau ingin kita pulang saja?” tanya Flora lagi. Bohong jika Luna berkata dia baik-baik saja setelah mengantar ibunya ke pengistirahatan terakhir dan melihat pria yang dia cintai bersama wanita lain. Namun, Luna berusaha keras untuk tidak kembali menangis. Sudah cukup dia bersedih hari ini. Sudah cukup air mata yang ia keluarkan untuk Reno. Dia tidak ingin menangis karena pria itu lagi. Luna akhirnya tersenyum tipis. “Aku lapar,” ucapnya bersamaan dengan makanan mereka yang telah tiba. Mereka pun memilih untuk tidak membahas soal Reno dan mulai menyantap makanan. Meski sesekali Flora dan Brian terus melirik ke arah Luna denga
Ketika Luna mengambil kotak kayu di dalam laci kamar dan melihat kalung pemberian Reno, hatinya kembali tercubit. Memori indah saat mereka makan malam romantis dan bercumbu mesra di Italy terlintas begitu saja. ‘Aku memberikan kalung ini untukmu sebagai pengikat cinta kita. Anggaplah liontin hati itu adalah hatiku. Kau adalah pemilik hatiku, Luna.’Air mata jatuh tanpa bisa dia cegah. Ah… mengapa kisah cintanya harus berakhir seperti ini? Mengapa kau mengkhianatiku, Reno? Tangan Luna bergetar, ia ragu untuk membawa kalung itu bersamanya atau dia biarkan saja disini? Toh dia akan melupakan Reno. Dia ingin move on, bukan? Namun, Luna tersentak saat perutnya merasakan sebuah tendangan kecil. Bibir Luna seketika tersenyum. Sebelah tangannya bergerak mengusap perut buncit kemudian mulai mengajak anaknya yang belum terlahir itu berbicara. “Apa kau ingin Mama menyimpannya? Baiklah… kalau begitu Mama akan menyimpan untukmu.”Luna menghela napas panjang. Dia mungkin tidak akan mengenakan
5 Tahun Kemudian. “Mama! Mama! Apa kita sudah sampai? Aku tidak sabar untuk bertemu dengannya.” Luna membungkuk, manatap putra semata wayangnya yang bernama Louis. Anak yang ia kandung sembilan bulan itu kini sudah tumbuh menjadi balita yang menggemaskan. Tangan Luna bergerak membenarkan letak jaket yang digunakan putranya. Rambut coklatnya yang tebal, mata yang tajam, hidung mancung, dan bibir tebal, begitu mirip dengan wajah Reno. Di tahun pertama setelah dia melahirkan, Luna selalu menangis ketika menatap wajah tampan Louis, karena anaknya mengingatkannya dengan Reno. “Tante Flora sudah menunggu di lobby, kau bisa berjalan lebih cepat?” ujar Luna sambil menggandeng tangan Louis. “Tentu, Mama!” Louis menjawab dengan semangat. Dia senang sang mama membawanya berlibur ke luar negeri. Luna menghela napas panjang. Suasana bandara pagi itu sangat ramai, berbeda jauh dengan suasana hati Luna yang sangat sepi. Tidak pernah sebelumnya Luna berpikir untuk kembali menginjak
Pagi itu seorang pria melangkah mengunjungi dua pusara yang berdampingan dengan membawa seikat bunga tulip putih. Berjongkok di samping salah satu pusara, tangannya meletakkan bunga di atas pusara itu kemudian mengusap nama yang tertulis disana. “Apa kabar, Bu? Maaf, aku baru sempat berkunjung lagi.”Ia ingat terakhir berkunjung adalah satu tahun yang lalu, tepat di tanggal yang sama. Tanggal wanita yang ia panggil Ibu itu dilahirkan. Pria itu menghela napas panjang. Setiap dia berada di sana, hatinya selalu merasa sesak. Rasa kehilangan yang tak berkesudahan. Rasa yang selalu menemani selama lima tahun ke belakang. “Aku sangat merindukannya, Bu. Apa dia juga merindukanku?” “Apa kalian sudah memaafkanku? Maafkan aku, hum?” Setiap tahun dia kesana hanya untuk meminta maaf. Tak lama kemudian pria itu segera berdiri. Membenahi setelan jasnya yang sedikit kusut, lalu beranjak pergi dari sana. Beberapa saat setelah pria itu pergi, sepasang ibu dan anak turun dari mobil. “Papa…” guma