"Selamat siang, Ibu Nara, saatnya untuk makan."
Arsen masuk ke ruang tempat aku dirawat, dengan sebuah nampang di tangannya. Dia berbicara seperti seorang perawat sungguhan, memamerkan senyumnya yang sangat tampan. Aku tak bisa mengabaikan gaya bicaranya itu yang lantas membuat aku tertawa kecil, lalu tangan segera memegangi perutku yang terasa perih. Biusnya sudah menghilang, jadi bekas luka operasi itu menjadi sakit setiap kali aku terbatuk atau tertawa. Bahkan berbicara pun, aku harus menahannya selalu pelan.
"Masa puasa Anda sudah selesai, jadi sekarang makan lah, Ibu Nara."
Arsen ... ini perih. Jangan menggoda aku seperti itu lagi," selaku, menunjukkan wajah cemberut.
"Apa? Saya tidak dengar apa yang Ibu Nara katakan. Bisa Anda u
Kupikir, mungkin ini kah balasan untuk semua kesabaranku selama ini? Aku menemukan sebuah keluarga yang menerima apa adanya juga lelaki baik yang sebelumnya tak pernah terlintas di pikiranku, kalau dia akan menjadi suamiku. Rasanya seperti semua beban hidup yang kutanggung selama ini ikut melebur, kala melihat Arsen tertidur pulas di sebelahku. Dia meletakkan kelapa di sisi ranjang sedang dirinya duduk di atas kursi. Setiap malam selama dua hari ini, dia selalu menjaga seperti itu.Kuraih tangan Arsen, menggenggamnya erta. "Terima kasih," bisikku, mencurahkan rasa nyaman di dalam dada.Dia menggerakkan kelopak mata dua kali, lalu bola indahnya pun terbuka dan tatapan kami lantas beradu. Sigap Arsen-ku bangun mengangkat kepala."Aku tidak ketiduran," katanya, mengusap wajah yang masih mengantuk."Iya, aku tau, kok. Kau memang tidak tidur.""Kau tak percaya padaku?" Ditelengkan kepala ke kiri. "Nara, aku tidak tidur.""Lantas kenapa kalau kau
Sepanjang lorong rumah sakit yang kami lewati, tak henti-henti hatiku bertanya apa sebenarnya yang terjadi. Bagaimana keadaan bayiku, apakah dia mungkin cacat, ataukah bayi itu terlihat mengerikan sampai Arsen meminta aku berjanji lebih dulu? Aku tak kuasa menahan pikiran buruk ini di dalam kepala, sebelum melihat boks beroda yang tengah didorong seorang perawat. Bayi mungil tertidur lelap di dalamnya, bisa kulihat dari boks kaca transparan itu. Kala itu pun aku baru menyadari bahwa kami sudah melewati ruangan bayi.Melewati ruangan bayi? Lantas, akan ke mana tujuan kami sebenarnya? Dadaku semakin bergemuruh oleh pertanyaan-pertanyaan itu, tanpa berani mengutarakannya pada Arsen.Di depan sebuah pintu yang bertuliskan 'Ruang Inkubator' akhirnya Arsen menghentikan langkah. Dia menekan bagian menutup cairan hand sanitizer, membalurkannya
Arsen menghentikan mobilnya di sebuah tempat yang sangat aneh, menurutku. Kuedarkan pandangan ke seluruh arah, yang hanya dibatasi peti kemas container di sisi kiri dan kanan kami. Alisku mengerut heran, tak mengerti kenapa Arsen membawa kami ke tempat ini. Dan saat aku meliriknya, dia hanya menaikkan bahu acuh."Arsen ... di mana kita? Apa yang kita lakukan di sini?" tanyaku.Bukankah dia katakan kami akan melihat Nara dan Jacky? Kenapa justru datang ke tempat ini? Sesuatu yang menakutkan memenuhi kepalaku seketika, membayangkan kejadian-kejadian di televisi yang pernah aku lihat.Ya, container bekas seperti ini sangat sering digunakan untuk mengangkut mayat yang dibekukan. Menrinding kudukku membayangkan Arsen mungkin membuat dua orang itu menjadi mayat beku."Kau ... kau tidak membunuh mereka, kan?" tanyaku lagi.Lantas Arsen terkekeh kecil mendengar pertanyaan itu."Apa salah jika aku membunuh mereka? Kedua iblis itu sudah melakuka
Jika aku membunuhnya, apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Arsen akan ketakutan memperistri aku? Apakah anakku nanti bisa menerima bahwa mamanya seorang pembunuh? Aku sangat marah sehingga kedua tangan kuremas di bawah sana, menutup mataku, menjaga agar kemarahan ini sedikit surut."Kau pengecut," sindir Nara kemudian, yang membuat aku tersadar dari semua pikiran. "Kau hanya seorang pengecut, Nara. Aku sudah menggoda suamimu tapi kau hanya bisa menampar aku? Padahal, aku pikir tadinya kau akan membunuhku sampai mengunci kami di sini.""Jujur saja aku memang sudah tak sabar ingin membunuhmu, perempuan gatal!" sahutku yakin."Tapi nyatanya kau tidak bisa. Hanya mulutmu lah yang lebar seakan kau bisa melakukannya.""Aku bisa m
"A-apa? mencari anaknya?" kataku, mengulangi perkataan Bi Ratna. Wanita paruh baya itu mengangguk mengiyakan perkataanku."Dia bilang begitu, Nyonya. Katanya Anda mengandung anaknya, dan dia berulang kali datang ke sini dan terus berkata ingin mengambil anaknya. Aku heran, memangnya anak yang mana?"Berulang kali, yang berarti orang itu datang bukan hanya satu kali. Kutatap lama wajah Bi Ratna, dan aku yakin dia tidak sedang bercanda. Seseorang memang datang ke sini mencari aku menyebutkan ingin menjemput anaknya. Dan pertanyaannya sekarang, siapa orang itu? Apakah mungkin ... Ferdy?Aku terperanjat saat nama lelaki itu melintas di kepalaku, yang membuat Bi Ratna menatap penasaran. Apa itu masuk akal? Jelas-jelas Ferdy tahu kami tidak memiliki anak, jadi sangat tidak mungki
Kulangkahkan kaki perlahan menuruni anak tangga menuju lantai satu. Aku gugup, ragu, dan juga sedikit khawatir membayangkan orang seperti apa yang tengah menungguku di bawah sana. Kata Bi Ratna orang itu sudah memaksa masuk sehingga kini kulihat seseorang tengah berdiri di bawah sana.Siapa dia sebenarnya? Aku belum bisa melihat wajahnya, sebab orang itu tengah berdiri di depan jendela dengan punggung menghadap padaku. Kulirik Bi Ratna yang berdiri di belakangku, wanita itu hanya menggeleng pertanda tak paham."Ehm!" Berdehem sejenak, sebelum aku menyapa seseorang yang belum juga melihat ke arahku. "Permisi, Anda mencari saya?"Satu, dua, tiga, kuhitung setiap detik mengikuti jarum jam yang terletak di sisi dinding sembari menunggu orang itu menjawab. Dan di hitungan ke sepuluh, dia memutar tumitnya sehingga wajah itu menghadapku. Tersenyum dia seperti tidak merasa bersalah."Halo, Nara, akhirnya kau kembali dari liburanmu, ya?" katanya.
Kalimatnya berputar di dalam kepalaku seperti kaset rusak yang selalu berulang-ulang. Tsk kupungkiri kalau aku menjadi sangat takut dengan ancaman itu yang sukses membuat hatiku kalut. Langsung terbayaang di depan mataku bagaimana Arsen akan sangat marah jika mendengar bayi Joseph adalah anaknya Ferdy."Jangan macam-macam, Ferdy!" sentakku. Aku yang tadinya hanya berdiri di anak tangga kini turun ke lantai satu dengan terburu. Bahkan aku tidak peduli ketika kaki tersandung dan hampir kehingan keseimbangan.Sekarang aku berdiri di depan Ferdy dengan mata yang menatapnya nanar."Kau tidak boleh mengatakan apa pun pada suamiku, Ferdy!" sentakku. Sejenak kutarik napas mencari kalimat yang tepat untuk membungkam lelaki ini, tapi bodohnya ... aku terlalu guguo sehingga berkata, "
"Sayang, ada apa?"Arsen mengejutkanku dari pikiran panjang, sehingga pundak ini sedikit terangkat ke atas. Kulihat dia di sebelahku, senyumnya mengembang dan kemudian mata itu kembali fokus menatap jalanan. Arsen mengemudi dan lagi dia berbicara di sana."Sejak tadi kulihat kau melamun. Nara, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Arsen, kali ini dia tidak melihatku.Ya, itu benar. Aku memang tengah memikirkan perkataan Ferdy tadi malam, membuat pikiranku tidak bisa terkendali. Kendati tadi malam aku bisa berpura tidur saat Arsen pulang ke rumah, tapi pagi ini seperti tertangkap basah aku dibuatnya tak bisa berkutik."Jika ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, katakan padaku, Nara. Aku tidak bisa membaca isi pikiranmu," uc
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. āJo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?ā Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. āPapa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?ā āSayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,ā peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. āBiar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
āNara ....ā Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. āAku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,ā kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
āAku akan gila dengan semua ini.ā Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. āBagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!ā Beliau mengangkat wajah dan menatapku. āLihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,ā ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. āJangan membeb