Kalimatnya berputar di dalam kepalaku seperti kaset rusak yang selalu berulang-ulang. Tsk kupungkiri kalau aku menjadi sangat takut dengan ancaman itu yang sukses membuat hatiku kalut. Langsung terbayaang di depan mataku bagaimana Arsen akan sangat marah jika mendengar bayi Joseph adalah anaknya Ferdy.
"Jangan macam-macam, Ferdy!" sentakku. Aku yang tadinya hanya berdiri di anak tangga kini turun ke lantai satu dengan terburu. Bahkan aku tidak peduli ketika kaki tersandung dan hampir kehingan keseimbangan.
Sekarang aku berdiri di depan Ferdy dengan mata yang menatapnya nanar.
"Kau tidak boleh mengatakan apa pun pada suamiku, Ferdy!" sentakku. Sejenak kutarik napas mencari kalimat yang tepat untuk membungkam lelaki ini, tapi bodohnya ... aku terlalu guguo sehingga berkata, "
"Sayang, ada apa?"Arsen mengejutkanku dari pikiran panjang, sehingga pundak ini sedikit terangkat ke atas. Kulihat dia di sebelahku, senyumnya mengembang dan kemudian mata itu kembali fokus menatap jalanan. Arsen mengemudi dan lagi dia berbicara di sana."Sejak tadi kulihat kau melamun. Nara, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Arsen, kali ini dia tidak melihatku.Ya, itu benar. Aku memang tengah memikirkan perkataan Ferdy tadi malam, membuat pikiranku tidak bisa terkendali. Kendati tadi malam aku bisa berpura tidur saat Arsen pulang ke rumah, tapi pagi ini seperti tertangkap basah aku dibuatnya tak bisa berkutik."Jika ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, katakan padaku, Nara. Aku tidak bisa membaca isi pikiranmu," uc
"Ah ... syukur lah," desahku lega, setelah menghabiskan hampir satu jam memerah ASI di dalam ruangan itu. Ini terbilang sulit, terkadang juga perih di bagian kulit yang ditempeli cup pompa. Tapi aku tidak pernah menyerah sebelum mendapatkan jumlah yang cukup untuk Joseph. Aku harus memiliki tabungan ASI perah yang cukup agar bayiku tidak kelaparan.Menyerahkannya pada perawat yang berjaga, aku tersenyum dan berbasa-basi. Kupikir aku akan menjadi akrab dengan mereka ke depannya, di mana kami akan semakin sering bertemu, aku tak tahu akan selama apa aku harus bolak balik ke sini menjenguk Joseph-ku."Terima kasih, aku harus keluar mencari makan siang," kataku. "Kalian sudah makan siang?"Mereka tersenyum sembari berkata, "Anda duluan saja. Kami harus memastikan bayi-bayi di sini me
Tidak ... bahkan jika itu bukan hanya sebuah ancaman, aku tidak akan pernah mendengarkannya. Aku tidak akan mau masuk ke dalam mobilnya meski Ferdy benar-benar meremas luka di perutku."Masuk, Nara! Jangan keras kepala!" sentak Nindy menirukan suaminya, dan sempat dia menoyor kepalaku dengan tangannya. "Buruan masuk! Nyusahin bangat sih jadi orang!""Lepaskan! Kalian akan berurusan dengan suamiku!" balasku, masih terus merontah dari cengkraman Ferdy."Udah, Mas, dorong aja dia. Mantan istri kamu emang nyusahi mulu dari dulu!" Nindy berkata cetus, dan Ferdy melakukan apa yang disuruh perempuan itu.Lihat? Laki-laki bodoh ini masih saja menuruti perkataan istrinya, padahal dia baru saja mengemis padaku. Dan mereka pikir aku akan p
Arlan tidak langsung menurunkanku meski dia sudah berdiri di depan sebuah sofa. Kedua tangannya masih erat memeluk tubuhku, seakan tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Mata kami beradu beberapa saat, dan dapat kulihat kedalaman mata berstatus dokter ini, dia seakan tenggelam melihatku. Apa yang terjadi dengannya? Dentuman jantungnya yang sangat keras itu juga seolah ingin meledakkan dadanya. Aku bisa merasakan irama tak beraturan yang memukul-mukul kecil bagian pipi. Ya, wajahku masih bersandar nyaman di sana.Tunggu ... apa? Bersandar nyaman di dada Arlan? Kau pasti sudah gila, Nara! Logika di dalam diriku berjalan cepat, menyadari kedekatan ini sudah di luar batas. Aku ... tidak seharusnya aku berada dekat di dada Arlan yang notabe adalah saudara suamiku. Ya, meski mereka bersaudara angkat."Arlan, ke-kenapa kita ke sini?
Apa maksud lelaki ini? Kenapa Arlan membahas hal memalukan itu setelah aku dan Arsen memiliki ikatan? Apakah dia tengah menguji wanita seperti apa aku ini? Mungkinkah di mata Arlan aku memang perempuan penggila seks, seperti yang dulu pernah aku katakan padanya? Sungguh sangat memalukan mengingat lagi kalimat itu, aku menyesal dan berpikir andaikan saja tidak pernah mengatakannya. Tuhan ... bisa kah aku menarik ucapanku?"Nara, kau mendengarku?""Tidak!" sahutku tegas. "Aku tidak mendengarmu, Arlan, dan kuanggap kau tidak pernah membahas ini denganku. Tolong ... tolong juga kau lupakan kata yang tak seharusnya kuucapkan," lanjutku.Arlan mendengus bersamaan dengan gelak kecil yang keluar dari bibirnya. Lelaki tampan di hadapanku ini menggeleng dan kembali menatap wajahku.
Arlan masih berbicara di dalam telepon. Dia tidak mengatakan tentangku yang tadi mendapat serangan dari Ferdy, juga sama sekali tidak membahas apa pun yang sejak tadi dia katakan padaku."Ya, aku mengerti," katanya, sebelum menutup panggilan itu. Jujur, aku sedikit lega karena Arlan tidak melakukannya."Ada rapat yang tidak bisa dia tinggalkan, sebab itu Arsen menyuruhku memastikan kau ada di sini," katanya, melihat ke arahku.Arsen yang menyuruhnya mencariku? Ah ... tapi aku justru terjebak dengannya di sini."Terima kasih.""Maksudmu untuk pertolonganku, atau karena aku tidak jadi mengajaknya bersaing?" sahut Arlan cepat, dan tidak lupa tawa kecilnya mengiring dari belakang. "Aku tidak sejahat itu, Nara, maksudku belum. Bagaimana pun, kami adalah keluarga. Aku berutang banyak pada Arsen, dan bukan hanya karena itu, aku sangat menganggapnya saudara sungguhan bukan sekedar angkat. Mana mungkin aku melakukan hal jahat padanya?"Apa lagi
'Kau tidak boleh berpikir jauh sebelum melakukannya. Seperti katamu, kalau kau sendiri juga tak tahu anak itu milik siapa, sebaiknya jujur lah pada Arsen. Aku rasa Arsen juga akan menyadari resiko yang dia ambil sebelum menikahimu.'Kalimat yang Arlan ucapkan masih terus berputar di kepalaku, saat memasuki ruang inkubator di mana Joseph tidur dengan lelapnya. Para perawat yang biasanya ramah menyapa pun, sepertinya menjadi sedikit sungkan ketika melihat perban yang menutupi bagian dahi. Beruntung Arlan meminjamkan coats panjang miliknya, sehingga tangan dan kaki yang penuh dengan perban itu bisa sedikit tertutupi. Memastikan ASI untuk Joseph-ku masih cukup sampai besok, aku meninggalkan lagi ruangan itu setelah lebih dulu menyentuh wajah putraku dari dua lubang jendela di depan tabungnya. Entah lah ... rasanya tak ada semangat bahkan untuk membuka mulut. Membayangkan Joseph adalah benihnya Ferdy sangat tidak ikhlas hati ini.Bukan ... aku bukannya tidak mau memiliki Jo
Kedua mata Arsen lurus menatapku. Kini, kami duduk di sebuah kursi di taman depan rumah besar orang tuanya, setelah lebih dulu melewati drama dar kedua orang tua itu. Ya, mama dan papa mertuaku tadinya tak mengijinkan Arsen mengajak aku berbicara."Katakan, kenapa ada perban di wajahmu?" Matanya turun melihat lama pada coats yang aku kenakan.Bagaimana aku akan memulai penjelasan ini? Tak mampu kubayangkan seperti apa nantinya pemikiran Arsen tentangku. Tapi setelah kuputar kembali semua ucapan Arlan, aku menjadi sedih, tidak tega terus berbohong pada Arsen."Arsen, ini ... apa kau pernah berpikir Joseph mungkin bukan anakmu?" tanyaku tak banyak omong. Aku tidak tahu dari mana harus memulai dan kupikir itu adalah kalimat yang lebih tepat."Apa?" Dia terlihat bingung dan sedikit tersentak. "Nara, kau ... Apa yang tengah kau bicarakan, Sayang? Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu?"Tuhan ... semakin berat dan bersalahnya aku untuk menjelaska