"Sayang, ada apa?"
Arsen mengejutkanku dari pikiran panjang, sehingga pundak ini sedikit terangkat ke atas. Kulihat dia di sebelahku, senyumnya mengembang dan kemudian mata itu kembali fokus menatap jalanan. Arsen mengemudi dan lagi dia berbicara di sana.
"Sejak tadi kulihat kau melamun. Nara, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu?" tanya Arsen, kali ini dia tidak melihatku.
Ya, itu benar. Aku memang tengah memikirkan perkataan Ferdy tadi malam, membuat pikiranku tidak bisa terkendali. Kendati tadi malam aku bisa berpura tidur saat Arsen pulang ke rumah, tapi pagi ini seperti tertangkap basah aku dibuatnya tak bisa berkutik.
"Jika ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, katakan padaku, Nara. Aku tidak bisa membaca isi pikiranmu," uc
"Ah ... syukur lah," desahku lega, setelah menghabiskan hampir satu jam memerah ASI di dalam ruangan itu. Ini terbilang sulit, terkadang juga perih di bagian kulit yang ditempeli cup pompa. Tapi aku tidak pernah menyerah sebelum mendapatkan jumlah yang cukup untuk Joseph. Aku harus memiliki tabungan ASI perah yang cukup agar bayiku tidak kelaparan.Menyerahkannya pada perawat yang berjaga, aku tersenyum dan berbasa-basi. Kupikir aku akan menjadi akrab dengan mereka ke depannya, di mana kami akan semakin sering bertemu, aku tak tahu akan selama apa aku harus bolak balik ke sini menjenguk Joseph-ku."Terima kasih, aku harus keluar mencari makan siang," kataku. "Kalian sudah makan siang?"Mereka tersenyum sembari berkata, "Anda duluan saja. Kami harus memastikan bayi-bayi di sini me
Tidak ... bahkan jika itu bukan hanya sebuah ancaman, aku tidak akan pernah mendengarkannya. Aku tidak akan mau masuk ke dalam mobilnya meski Ferdy benar-benar meremas luka di perutku."Masuk, Nara! Jangan keras kepala!" sentak Nindy menirukan suaminya, dan sempat dia menoyor kepalaku dengan tangannya. "Buruan masuk! Nyusahin bangat sih jadi orang!""Lepaskan! Kalian akan berurusan dengan suamiku!" balasku, masih terus merontah dari cengkraman Ferdy."Udah, Mas, dorong aja dia. Mantan istri kamu emang nyusahi mulu dari dulu!" Nindy berkata cetus, dan Ferdy melakukan apa yang disuruh perempuan itu.Lihat? Laki-laki bodoh ini masih saja menuruti perkataan istrinya, padahal dia baru saja mengemis padaku. Dan mereka pikir aku akan p
Arlan tidak langsung menurunkanku meski dia sudah berdiri di depan sebuah sofa. Kedua tangannya masih erat memeluk tubuhku, seakan tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Mata kami beradu beberapa saat, dan dapat kulihat kedalaman mata berstatus dokter ini, dia seakan tenggelam melihatku. Apa yang terjadi dengannya? Dentuman jantungnya yang sangat keras itu juga seolah ingin meledakkan dadanya. Aku bisa merasakan irama tak beraturan yang memukul-mukul kecil bagian pipi. Ya, wajahku masih bersandar nyaman di sana.Tunggu ... apa? Bersandar nyaman di dada Arlan? Kau pasti sudah gila, Nara! Logika di dalam diriku berjalan cepat, menyadari kedekatan ini sudah di luar batas. Aku ... tidak seharusnya aku berada dekat di dada Arlan yang notabe adalah saudara suamiku. Ya, meski mereka bersaudara angkat."Arlan, ke-kenapa kita ke sini?
Apa maksud lelaki ini? Kenapa Arlan membahas hal memalukan itu setelah aku dan Arsen memiliki ikatan? Apakah dia tengah menguji wanita seperti apa aku ini? Mungkinkah di mata Arlan aku memang perempuan penggila seks, seperti yang dulu pernah aku katakan padanya? Sungguh sangat memalukan mengingat lagi kalimat itu, aku menyesal dan berpikir andaikan saja tidak pernah mengatakannya. Tuhan ... bisa kah aku menarik ucapanku?"Nara, kau mendengarku?""Tidak!" sahutku tegas. "Aku tidak mendengarmu, Arlan, dan kuanggap kau tidak pernah membahas ini denganku. Tolong ... tolong juga kau lupakan kata yang tak seharusnya kuucapkan," lanjutku.Arlan mendengus bersamaan dengan gelak kecil yang keluar dari bibirnya. Lelaki tampan di hadapanku ini menggeleng dan kembali menatap wajahku.
Arlan masih berbicara di dalam telepon. Dia tidak mengatakan tentangku yang tadi mendapat serangan dari Ferdy, juga sama sekali tidak membahas apa pun yang sejak tadi dia katakan padaku."Ya, aku mengerti," katanya, sebelum menutup panggilan itu. Jujur, aku sedikit lega karena Arlan tidak melakukannya."Ada rapat yang tidak bisa dia tinggalkan, sebab itu Arsen menyuruhku memastikan kau ada di sini," katanya, melihat ke arahku.Arsen yang menyuruhnya mencariku? Ah ... tapi aku justru terjebak dengannya di sini."Terima kasih.""Maksudmu untuk pertolonganku, atau karena aku tidak jadi mengajaknya bersaing?" sahut Arlan cepat, dan tidak lupa tawa kecilnya mengiring dari belakang. "Aku tidak sejahat itu, Nara, maksudku belum. Bagaimana pun, kami adalah keluarga. Aku berutang banyak pada Arsen, dan bukan hanya karena itu, aku sangat menganggapnya saudara sungguhan bukan sekedar angkat. Mana mungkin aku melakukan hal jahat padanya?"Apa lagi
'Kau tidak boleh berpikir jauh sebelum melakukannya. Seperti katamu, kalau kau sendiri juga tak tahu anak itu milik siapa, sebaiknya jujur lah pada Arsen. Aku rasa Arsen juga akan menyadari resiko yang dia ambil sebelum menikahimu.'Kalimat yang Arlan ucapkan masih terus berputar di kepalaku, saat memasuki ruang inkubator di mana Joseph tidur dengan lelapnya. Para perawat yang biasanya ramah menyapa pun, sepertinya menjadi sedikit sungkan ketika melihat perban yang menutupi bagian dahi. Beruntung Arlan meminjamkan coats panjang miliknya, sehingga tangan dan kaki yang penuh dengan perban itu bisa sedikit tertutupi. Memastikan ASI untuk Joseph-ku masih cukup sampai besok, aku meninggalkan lagi ruangan itu setelah lebih dulu menyentuh wajah putraku dari dua lubang jendela di depan tabungnya. Entah lah ... rasanya tak ada semangat bahkan untuk membuka mulut. Membayangkan Joseph adalah benihnya Ferdy sangat tidak ikhlas hati ini.Bukan ... aku bukannya tidak mau memiliki Jo
Kedua mata Arsen lurus menatapku. Kini, kami duduk di sebuah kursi di taman depan rumah besar orang tuanya, setelah lebih dulu melewati drama dar kedua orang tua itu. Ya, mama dan papa mertuaku tadinya tak mengijinkan Arsen mengajak aku berbicara."Katakan, kenapa ada perban di wajahmu?" Matanya turun melihat lama pada coats yang aku kenakan.Bagaimana aku akan memulai penjelasan ini? Tak mampu kubayangkan seperti apa nantinya pemikiran Arsen tentangku. Tapi setelah kuputar kembali semua ucapan Arlan, aku menjadi sedih, tidak tega terus berbohong pada Arsen."Arsen, ini ... apa kau pernah berpikir Joseph mungkin bukan anakmu?" tanyaku tak banyak omong. Aku tidak tahu dari mana harus memulai dan kupikir itu adalah kalimat yang lebih tepat."Apa?" Dia terlihat bingung dan sedikit tersentak. "Nara, kau ... Apa yang tengah kau bicarakan, Sayang? Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu?"Tuhan ... semakin berat dan bersalahnya aku untuk menjelaska
Beberapa menit kami terdiam setelah aku menanyakan perihal test DNA. Arsen menatap dua bola mataku, dengan sorot yang sulit diartikan. Kemudian dia tersenyum samar sebelum kembali berbicara."Test DNA?" tanya Arsen. "Apa itu harus dilakukan?""Memangnya ... kau tidak ingin tahu kebenarannya?" Alih-alih menjawab, aku balik bertanya."Tidak. Joseph putraku dan selamanya akan seperti itu.""Kau tidak takut jika justru sebaliknya?"Arsen meraih pundakku dan mempermukan tatapan kami kembali. "Nara, jangan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak aku senangi. Sampai kapan pun Joseph adalah putraku dan tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang kuijinkan mengaku-ngaku sebagai ayah biologis
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb