Arlan tidak langsung menurunkanku meski dia sudah berdiri di depan sebuah sofa. Kedua tangannya masih erat memeluk tubuhku, seakan tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Mata kami beradu beberapa saat, dan dapat kulihat kedalaman mata berstatus dokter ini, dia seakan tenggelam melihatku. Apa yang terjadi dengannya? Dentuman jantungnya yang sangat keras itu juga seolah ingin meledakkan dadanya. Aku bisa merasakan irama tak beraturan yang memukul-mukul kecil bagian pipi. Ya, wajahku masih bersandar nyaman di sana.
Tunggu ... apa? Bersandar nyaman di dada Arlan? Kau pasti sudah gila, Nara! Logika di dalam diriku berjalan cepat, menyadari kedekatan ini sudah di luar batas. Aku ... tidak seharusnya aku berada dekat di dada Arlan yang notabe adalah saudara suamiku. Ya, meski mereka bersaudara angkat.
"Arlan, ke-kenapa kita ke sini?
Apa maksud lelaki ini? Kenapa Arlan membahas hal memalukan itu setelah aku dan Arsen memiliki ikatan? Apakah dia tengah menguji wanita seperti apa aku ini? Mungkinkah di mata Arlan aku memang perempuan penggila seks, seperti yang dulu pernah aku katakan padanya? Sungguh sangat memalukan mengingat lagi kalimat itu, aku menyesal dan berpikir andaikan saja tidak pernah mengatakannya. Tuhan ... bisa kah aku menarik ucapanku?"Nara, kau mendengarku?""Tidak!" sahutku tegas. "Aku tidak mendengarmu, Arlan, dan kuanggap kau tidak pernah membahas ini denganku. Tolong ... tolong juga kau lupakan kata yang tak seharusnya kuucapkan," lanjutku.Arlan mendengus bersamaan dengan gelak kecil yang keluar dari bibirnya. Lelaki tampan di hadapanku ini menggeleng dan kembali menatap wajahku.
Arlan masih berbicara di dalam telepon. Dia tidak mengatakan tentangku yang tadi mendapat serangan dari Ferdy, juga sama sekali tidak membahas apa pun yang sejak tadi dia katakan padaku."Ya, aku mengerti," katanya, sebelum menutup panggilan itu. Jujur, aku sedikit lega karena Arlan tidak melakukannya."Ada rapat yang tidak bisa dia tinggalkan, sebab itu Arsen menyuruhku memastikan kau ada di sini," katanya, melihat ke arahku.Arsen yang menyuruhnya mencariku? Ah ... tapi aku justru terjebak dengannya di sini."Terima kasih.""Maksudmu untuk pertolonganku, atau karena aku tidak jadi mengajaknya bersaing?" sahut Arlan cepat, dan tidak lupa tawa kecilnya mengiring dari belakang. "Aku tidak sejahat itu, Nara, maksudku belum. Bagaimana pun, kami adalah keluarga. Aku berutang banyak pada Arsen, dan bukan hanya karena itu, aku sangat menganggapnya saudara sungguhan bukan sekedar angkat. Mana mungkin aku melakukan hal jahat padanya?"Apa lagi
'Kau tidak boleh berpikir jauh sebelum melakukannya. Seperti katamu, kalau kau sendiri juga tak tahu anak itu milik siapa, sebaiknya jujur lah pada Arsen. Aku rasa Arsen juga akan menyadari resiko yang dia ambil sebelum menikahimu.'Kalimat yang Arlan ucapkan masih terus berputar di kepalaku, saat memasuki ruang inkubator di mana Joseph tidur dengan lelapnya. Para perawat yang biasanya ramah menyapa pun, sepertinya menjadi sedikit sungkan ketika melihat perban yang menutupi bagian dahi. Beruntung Arlan meminjamkan coats panjang miliknya, sehingga tangan dan kaki yang penuh dengan perban itu bisa sedikit tertutupi. Memastikan ASI untuk Joseph-ku masih cukup sampai besok, aku meninggalkan lagi ruangan itu setelah lebih dulu menyentuh wajah putraku dari dua lubang jendela di depan tabungnya. Entah lah ... rasanya tak ada semangat bahkan untuk membuka mulut. Membayangkan Joseph adalah benihnya Ferdy sangat tidak ikhlas hati ini.Bukan ... aku bukannya tidak mau memiliki Jo
Kedua mata Arsen lurus menatapku. Kini, kami duduk di sebuah kursi di taman depan rumah besar orang tuanya, setelah lebih dulu melewati drama dar kedua orang tua itu. Ya, mama dan papa mertuaku tadinya tak mengijinkan Arsen mengajak aku berbicara."Katakan, kenapa ada perban di wajahmu?" Matanya turun melihat lama pada coats yang aku kenakan.Bagaimana aku akan memulai penjelasan ini? Tak mampu kubayangkan seperti apa nantinya pemikiran Arsen tentangku. Tapi setelah kuputar kembali semua ucapan Arlan, aku menjadi sedih, tidak tega terus berbohong pada Arsen."Arsen, ini ... apa kau pernah berpikir Joseph mungkin bukan anakmu?" tanyaku tak banyak omong. Aku tidak tahu dari mana harus memulai dan kupikir itu adalah kalimat yang lebih tepat."Apa?" Dia terlihat bingung dan sedikit tersentak. "Nara, kau ... Apa yang tengah kau bicarakan, Sayang? Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu?"Tuhan ... semakin berat dan bersalahnya aku untuk menjelaska
Beberapa menit kami terdiam setelah aku menanyakan perihal test DNA. Arsen menatap dua bola mataku, dengan sorot yang sulit diartikan. Kemudian dia tersenyum samar sebelum kembali berbicara."Test DNA?" tanya Arsen. "Apa itu harus dilakukan?""Memangnya ... kau tidak ingin tahu kebenarannya?" Alih-alih menjawab, aku balik bertanya."Tidak. Joseph putraku dan selamanya akan seperti itu.""Kau tidak takut jika justru sebaliknya?"Arsen meraih pundakku dan mempermukan tatapan kami kembali. "Nara, jangan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak aku senangi. Sampai kapan pun Joseph adalah putraku dan tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang kuijinkan mengaku-ngaku sebagai ayah biologis
"Brengsek! Kau masih percaya diri menunjukkan wajahmu ke sini?!" Arsen menggeram melihat Ferdy dan langsung memasang kaki panjangnya berjalan. Dia berhenti tepat di depan Ferdy lalu menarik kerah baju lelaki tak tahu diri itu. "Beraninya kau membuat istriku terluk!" Bug! Sekali pukul saja, Ferdy sudah terhuyung ke belakang. Arsen tidak berhenti begitu saja, dia memukul lagi dan lagi lalu melepaskan cengkaramannya dari leher Ferdy. Aku yang melihatnya saja mengernyit seakan merasakan sakitkan tinju Arsen, apalagi dia? Persetan lah. Sesekali aku memang harus membiasakan diri membuang rasa tidak tega ini, biarkan Arsen menghajarnya agar Ferdy tidak selalu macam-macam. "
"Arsen, Arsen!"Kukejar Arsen masuk ke dalam kamar kami. Sungguh ... aku tidak mengerti kenapa dia membuat kesepakatan dengan orang-orang seperti Ferdy dan Nindy. Kupikir tadinya dia akan menolaknya mentah-mentah dan mendepak Ferdy sehingga lelaki itu tidak berani memerasnya."Kau tidak harus menuruti kata mereka, kan? Mereka itu orang yang licik, sekalinya kau menurutinya satu kali, mereka akan terus memanfaatkanmu. Kau pikir mereka akan pergi begitu saja? Tidak, Arsen, selama kita tidak memiliki bukti, Ferdy akan terus menekanmu," kataku, berharap Arsen menghentikan niatnya.Dia mendudukkan diri di atas ranjang dan mengembus napas kasar. Matanya terarah padaku, lalu perlahan dia membuka mulut itu untuk bicara."Aku juga tahu, Nara. Tapi percaya lah aku tidak akan membiarkan mereka melakukannya. Biarkan dia senang untuk sesaat. Percaya padaku, aku akan menyingkirkannya segera."Maksudnya bukan melakukan kekerasan lagi, bukan? Aku
"Halo, Nara, sepertinya kau sangat terkejut mendengar suaraku."Untuk beberapa detik kuakui terdiam mendengar suara Ferdy. Aku memikirkan banyak hal, takut jika mungkin sesuatu terjadi pada Arsen. Tapi, dengan berdiam lama aku tahu akan membuat Ferdy senang."Apa maumu, Ferdy? Kau pikir bisa memeras kami? Jangan bermimpi jika kau akan mendapat uang dari suamiku!" sahutku.Lihat, dia yang terdiam sekarang. Aku yakin dia marah dan aku justru senang membuat Ferdy kalah."Jangan banyak bicara, Nara. Akan kupastikan kau sendiri yang akan memohon agar aku menerima uangmu. Kau tak punya pilihan selain itu.""Brengsek kau, Ferdy!" umpatku tak sabar. "Di mana suamiku? Apa yang kau lakukan pada suamiku?!"Tawa besarnya pecah di ujung sana yang membuat jantungku berdegup tidak karuan. Aku sangat takut sekarang, ternyata aku tidak sekuat yang kupikirkan sebelumnya."Ferdy, jangan macam-macam. Kau tidak boleh berlaku curang dengan meny