Kedua mata Arsen lurus menatapku. Kini, kami duduk di sebuah kursi di taman depan rumah besar orang tuanya, setelah lebih dulu melewati drama dar kedua orang tua itu. Ya, mama dan papa mertuaku tadinya tak mengijinkan Arsen mengajak aku berbicara.
"Katakan, kenapa ada perban di wajahmu?" Matanya turun melihat lama pada coats yang aku kenakan.
Bagaimana aku akan memulai penjelasan ini? Tak mampu kubayangkan seperti apa nantinya pemikiran Arsen tentangku. Tapi setelah kuputar kembali semua ucapan Arlan, aku menjadi sedih, tidak tega terus berbohong pada Arsen.
"Arsen, ini ... apa kau pernah berpikir Joseph mungkin bukan anakmu?" tanyaku tak banyak omong. Aku tidak tahu dari mana harus memulai dan kupikir itu adalah kalimat yang lebih tepat.
"Apa?" Dia terlihat bingung dan sedikit tersentak. "Nara, kau ... Apa yang tengah kau bicarakan, Sayang? Bagaimana bisa aku berpikir seperti itu?"
Tuhan ... semakin berat dan bersalahnya aku untuk menjelaska
Beberapa menit kami terdiam setelah aku menanyakan perihal test DNA. Arsen menatap dua bola mataku, dengan sorot yang sulit diartikan. Kemudian dia tersenyum samar sebelum kembali berbicara."Test DNA?" tanya Arsen. "Apa itu harus dilakukan?""Memangnya ... kau tidak ingin tahu kebenarannya?" Alih-alih menjawab, aku balik bertanya."Tidak. Joseph putraku dan selamanya akan seperti itu.""Kau tidak takut jika justru sebaliknya?"Arsen meraih pundakku dan mempermukan tatapan kami kembali. "Nara, jangan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak aku senangi. Sampai kapan pun Joseph adalah putraku dan tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang kuijinkan mengaku-ngaku sebagai ayah biologis
"Brengsek! Kau masih percaya diri menunjukkan wajahmu ke sini?!" Arsen menggeram melihat Ferdy dan langsung memasang kaki panjangnya berjalan. Dia berhenti tepat di depan Ferdy lalu menarik kerah baju lelaki tak tahu diri itu. "Beraninya kau membuat istriku terluk!" Bug! Sekali pukul saja, Ferdy sudah terhuyung ke belakang. Arsen tidak berhenti begitu saja, dia memukul lagi dan lagi lalu melepaskan cengkaramannya dari leher Ferdy. Aku yang melihatnya saja mengernyit seakan merasakan sakitkan tinju Arsen, apalagi dia? Persetan lah. Sesekali aku memang harus membiasakan diri membuang rasa tidak tega ini, biarkan Arsen menghajarnya agar Ferdy tidak selalu macam-macam. "
"Arsen, Arsen!"Kukejar Arsen masuk ke dalam kamar kami. Sungguh ... aku tidak mengerti kenapa dia membuat kesepakatan dengan orang-orang seperti Ferdy dan Nindy. Kupikir tadinya dia akan menolaknya mentah-mentah dan mendepak Ferdy sehingga lelaki itu tidak berani memerasnya."Kau tidak harus menuruti kata mereka, kan? Mereka itu orang yang licik, sekalinya kau menurutinya satu kali, mereka akan terus memanfaatkanmu. Kau pikir mereka akan pergi begitu saja? Tidak, Arsen, selama kita tidak memiliki bukti, Ferdy akan terus menekanmu," kataku, berharap Arsen menghentikan niatnya.Dia mendudukkan diri di atas ranjang dan mengembus napas kasar. Matanya terarah padaku, lalu perlahan dia membuka mulut itu untuk bicara."Aku juga tahu, Nara. Tapi percaya lah aku tidak akan membiarkan mereka melakukannya. Biarkan dia senang untuk sesaat. Percaya padaku, aku akan menyingkirkannya segera."Maksudnya bukan melakukan kekerasan lagi, bukan? Aku
"Halo, Nara, sepertinya kau sangat terkejut mendengar suaraku."Untuk beberapa detik kuakui terdiam mendengar suara Ferdy. Aku memikirkan banyak hal, takut jika mungkin sesuatu terjadi pada Arsen. Tapi, dengan berdiam lama aku tahu akan membuat Ferdy senang."Apa maumu, Ferdy? Kau pikir bisa memeras kami? Jangan bermimpi jika kau akan mendapat uang dari suamiku!" sahutku.Lihat, dia yang terdiam sekarang. Aku yakin dia marah dan aku justru senang membuat Ferdy kalah."Jangan banyak bicara, Nara. Akan kupastikan kau sendiri yang akan memohon agar aku menerima uangmu. Kau tak punya pilihan selain itu.""Brengsek kau, Ferdy!" umpatku tak sabar. "Di mana suamiku? Apa yang kau lakukan pada suamiku?!"Tawa besarnya pecah di ujung sana yang membuat jantungku berdegup tidak karuan. Aku sangat takut sekarang, ternyata aku tidak sekuat yang kupikirkan sebelumnya."Ferdy, jangan macam-macam. Kau tidak boleh berlaku curang dengan meny
“Te-test DNA?” Mulutku tergugup, kedua mata menatap Arsen dalam, dan bisa kurasakan debaran jantung ini ikut berpacu sangat cepat. Aku tak tahu akan menunjukkan ekspresi apa sekarang. Benar. Memang sejak awal aku ingin Arsen melakukan test DNA antara dia dan Joseph. Aku juga ingin tahu apakah benar putraku adalah benihnya atau lelaki bajingan yang baru saja hampir menjebakku. Tapi di dalam dada ini ada rasa cemas, yang membuatku seperti ingin kabur dari hadapan Arsen. Lihat lah senyum tipisnya itu. Senyum yang sejak tadi dia tunjukkan seakan membawa luka yang akan membuat kami saling menangis. Sunggu demi Tuhan, aku tidak siap mendengarnya, andai memang Ferdy lah ayah biologis dari bayi yang aku lahirkan. “Hum. Aku juga tidak tahu dari mana keberanian ini akhinya datang, Nara. Mungkin ... karena aku sangat tidak rela jika lelaki itu terus mencoba mengganggu hidup kita. Tak akan aku biarkan dia merebut kalian berdua dariku, hanya itu lah alasan a
Di kala terbangun dari tidur di pagi ini, aku menemukan wajah Arsen sedang terlelap di depanku. Dia tersenyum dan wajahnya secerah sinar mentari di pagi hari. Bibir tipis yang bertengger indah di atas dagunya seperti memiliki penarik yang membuat aku ingin terus memandanginya. Kujalankan tangan menuju wajahnya yang tampan lalu menyentuh bibir itu denga dua ujung jariku. Meski teksturnya agak sedikit kasar, tapi kurasa sangat nyaman menjamahnya. Aku terbuai sehingga ingin lebih lama lagi menyentuh bibir yang semalaman memanjakan sekujur tubuhku. Oh ... lihat lah bulu-bulu di sekitar tanganku menjadi meremang, membayangkan lagi percintaan panas kami tadi malam. Arsen benar-benar jago memainkan seluruh tubuhku dan berhasil membuat aku mendapatkan puncak berkali-kali. Dan satu yang selalu membuat aku bahagia setiap kali mengingat perpaduan cinta kami, Arsen selalu bisa membuatku berada di puncak tanpa menyakiti bagian-bagian diriku yang sensitif. Ya, selain sosis besarnya yang m
“Apa? Kau tidak berbohong kan, Sayang?” Arsen bertanya tak percaya saat kami menikmati makan malam di kafetaria rumah sakit. Aku baru saja menceritakan hari yang kulalui bersama putra kami, lengkap dengan kemajuan pesat yang ditunjukkan oleh Joseph. Bahkan kukatakan padanya bahwa aku lah yang satu harian ini mengganti popok Joseph jika mengompol. “Tidak, aku tidak berbohong. Putramu memang sudah bisa melakukannya, Sayang. Dia menyusu dariku,” sahutku bangga. Memangnya, apa lagi yang membuat seorang ibu bisa bangga, jika tidak menceritakan kepintaran anaknya? Semua kujelaskan pada Arsen membuat matanya ikut berbinar bahagia. “Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi? Kau langsung mengajak aku pergi makan tanpa memberitahu kepintaran bayi kita. Kau sudah pintar berlaku curang, ya,” katanya sembari memajukan bibir. Dia lucu, sangat lucu sampai ingin rasanya kumakan dia seperti permen di dalam mulut. “Habiskan makanmu segera, jika ingin bertemu denga
“Nara, temani mama berbelanja,” kata Mama Riana pagi tadi, ketika aku akan bersiap berangkat ke Rumah Sakit tempat putraku dirawat. Awalnya aku ingin menolak, mengingat aku sangat ingin terus memeluk Joseph seperti yang aku lakukan beberapa hari ini. Rasanya sangat menyenangkan melihat kemajuan yang putraku tunjukkan setiap harinya, tapi juga tidak tega menolak ajakan mama mertua yang sangat baik ini. Aku menghargai semua kebaikan Mama Riana, sebab itu aku berada di sini dengannya. Di sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar, dan aku dengan lima puluh persennya punn masih milik keluarga Sudrajat.Memasuki butik ini aku tertegun melihat semua pelayan toko menyambut kami sangat hormat. Tidak. Bukan ini pertama kalinya aku masuk ke butik mahal seperti ini. Sejak jadi istrinya Arsen Sudrajat, aku sering pergi berbelanja dengan Bi Ratna atau diriku sendiri. Tapi dengan salah satu keluarga Sudrajat, ini lah pertama kalinya setelah dulu dengan Arsen mengukur baju peng
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb