“Nara, temani mama berbelanja,” kata Mama Riana pagi tadi, ketika aku akan bersiap berangkat ke Rumah Sakit tempat putraku dirawat. Awalnya aku ingin menolak, mengingat aku sangat ingin terus memeluk Joseph seperti yang aku lakukan beberapa hari ini. Rasanya sangat menyenangkan melihat kemajuan yang putraku tunjukkan setiap harinya, tapi juga tidak tega menolak ajakan mama mertua yang sangat baik ini. Aku menghargai semua kebaikan Mama Riana, sebab itu aku berada di sini dengannya. Di sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar, dan aku dengan lima puluh persennya punn masih milik keluarga Sudrajat.
Memasuki butik ini aku tertegun melihat semua pelayan toko menyambut kami sangat hormat. Tidak. Bukan ini pertama kalinya aku masuk ke butik mahal seperti ini. Sejak jadi istrinya Arsen Sudrajat, aku sering pergi berbelanja dengan Bi Ratna atau diriku sendiri. Tapi dengan salah satu keluarga Sudrajat, ini lah pertama kalinya setelah dulu dengan Arsen mengukur baju peng
Ya, aku paham apa yang ada di pikiran mama mertuaku. Beliau pasti sangat malu, bahkan mungkin sudah membayangkan kehancuran nama keluarganya jika sampai gosip ini tersebar di luaran sana. Sebagai keluarga terpandang yang tidak pernah terdengar cela, Mama Riana tentunya merasa sangat terhina dengan para pelayan yang berani menyebut aib keluarganya. Jika aku tidak pernah ada di keluarga ini, mungkin selamanya nama keluarga Sudrajat akan selalu wangi di telinga semua orang. Tuhan ... rasanya aku sampai bingung untuk mengatakan ini pada Mama Riana, membuat mulutku bahkan gemetar sebelum mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Nara, kau dengar perkataanku?” Tentu saja. Telingaku mendengar sangat jelas setiap kata yang beliau katakan. Hanya saja ... bibir ini terlalu berat untuk berucap. “Maaf, tolong maafkan aku,” ucapku akhirnya. Membuang napas kasar, Mama Riana tidak mengatakan apa pun lagi. Dia segera berdiri dan meraih tasnya dari atas meja.
Selama berjam-jam di ruang inkubator itu aku habiskan dengan termenung sembari menyusui putraku. Aku bahkan tidak mendengar ketika perawat menyapa satu sampai dua kali. Mereka sampai menepuk pundakku lebih dulu, untuk akhirnya aku tahu bahwa mereka tengah berbicara padaku. “Nyonya Nara, Dokter Arlan mencari Anda di luar,” ucap perawat itu dan menunjuk pintu di sisi kiri kami. Benar saja. Aku bisa melihat Arlan tengah mengintip dari kaca kecil di bagian atas pintu itu dan dia tengah menatapku. Kenapa dia mencariku di saat yang tidak tepat? Padahal kupikir hari ini ingin sendiri sampai Arsen datang menjemputku pulang. Tapi ... bukankah sangat tidak sopan jika aku tidak menemui Arlan? Apalagi di sini ada beberapa perawat, mereka bisa saja berpikir keluarga Sudrajat sangat tidak rukun. Belum lagi masalah dengan mamanya Ferdy juga akan dikait-kaitkan dengan semua ini. Lantas, mau tak mau aku harus beranjak dari sofa menyusui yang aku gunakan duduk. “Tolong
114Dua mertuaku menerima setiap tuduhan yang Arsen tumpahkan pada mereka, tanpa mengatakan apa pun. Mama dan Papa mertua sepertinya bersengaja membiarkan putra mereka puas mengeluarkan segala pembelaan itu. Aku semakin ragu, gugup, dan gemetar mencengkram gaunku di sisi kiri kanan.“Nara, dengarkan aku, oke?” Arsen menyentuh pundakku lembut sedang matanya lurus manatap manikku. “Kau tidak harus mendengarkan apa pun kata mama dan papa. Kau istriku, dan hanya aku yang perlu kau dengarkan. Pulang lah sekarang dan jangan membuat dirimu stress,” lanjutnya. Entah itu perintah atau permohonan aku tak bisa membedakannya. Yang aku dengar, nadanya lembut dan tegas di waktu yang bersamaan.Harus kah aku pulang seperti yang dikatakan oleh Arsen? Rasanya akan sangat tidak sopan andai aku mengiyakan perkataan Arsen, tapi juga takut untuk membantahnya. Sehingga hanya diam lah yang bisa aku lakukan
Aku dan Arsen saling menatap satu sama lain. Sangat banyak dugaan buruk yang datang ke pikiranku, tentang masalah apa lagi yang akan mengganggu ketenangan kami. Begitu juga dengan Mama Riana, yang langsung memberikan tatapan tajam pada suamiku, ketika beliau melepaskan ponsel dari tangannya. “Siapa Naomi?” Nada suara yang dingin itu sangat menusuk tulang sum-sumku, apalagi mendengar Mama Riana menyebutkan nama seorang perempuan. Ya, Naomi, dia pasti seorang perempuan. “Naomi?” Arsen menunjukkan wajah bingung ketika mengulangi nama itu. “Siapa dia? Aku tidak mengenalnya,” sambung Arsen, melihatku dan mama mertua bergantian. “Nara, naik lah ke atas. Mama akan berbicara dengan Arsen, dan aku berharap kau tidak menguping.” Apakah Mama Riana ingin menyembunyikan sesuatu dariku? Apa yang ingin mereka bicarakan sebenarnya? Dada ini bergemuruh di dalam sana, tidak terima ketika mertua sendiri tidak ingin aku mengetahui siapa perem
“Nara! Nara!” Sayup kudengar seseorang menyerukan namaku di kejauhan, memaksa mata ini bergerak pelan meski itu terlalu berat untuk kulakukan. Gelap. Segalanya terlihat hitam saat aku berhasil membuka mata dan memindai tempat di sekitar. “Nara, buka pintunya! Mama tau kau di dalam.” Dan suara itu kembali terdengar menyadarkan aku bahwa seseorang baru saja memaksa bangun dari tidurku yang panjang. Itu mama mertua. Beliau menggedor pintu kamar yang aku tempati, dan terus memaksa ingin dibukakan. Dengan malas kuangkat diri bangkit menjauhi kasur empuk tempat berbaring, lalu melangkah malas untuk membuka pintu kamar itu. Mama Riana segera masuk seperti orang yang sudah tidak sabaran. “Astaga, kenapa di sini gelap sekali?” katanya, melewatiku dan mencari skalar lampu di dinding tembok. Saat lampu itu dinyalakan, segera aku memicing untuk menjaga silau yang mengagetkan penglihatan. Dan lihat lah, Mama Riana kini menatapku dengan wajah iba da
117. “Nara.” Mama Riana menyebut namaku lemah. Matanya yang bulat sempurna masih terus menatap kedua inti manikku, seakan meminta tolong di sana. Dia terisak pelan, tak berani akan mengatakan apa lagi. “Mama Mertua, aku tahu kau sangat mencintaiku dan Joseph. Aku juga tahu betapa kau berhati lembut dan tidak tega. Tapi, aku tidak bisa menerima kecurangan yang dilakukan oleh Arsen, tolong maafkan aku,” ucapku, dan isakannya pun terdengar lebih keras lagi. Dua manik indah milik mertuaku semakin memerah oleh cairan bening yang sejak tadi dia tahan. Dia ingin menangis, aku tahu itu. Tapi tetap lah aku Nara, wanita yang tidak bisa menerima begitu saja kecurangan suaminya. Jika dulu aku dicap mandul saja tidak mampu menerima Nindy masuk ke rumah tanggaku dan Ferdy, apalagi sekarang? Aku sehat, aku memiliki putra yang meski terlahir prematur, dia sehat dan sebentar lagi akan bisa dibawa pulang ke rumah. Aku mampu melayani suamiku, tida
Kami masih beradu tatap beberapa detik sebelum kudengar kemarahan Mama Riana di depan sana. “Jadi ini pekerjaanmu di luar? Kau berpura mencari istrimu ke rumah, ingin menyelesaikan masalah ini katamu, tapi nyatanya di luaran kau masih bersama dengan selingkuhanmu?” Suara Mama Riana pelan namun cukup tegas. “Aku katakan padamu untuk segera mengakhiri perselingkuhan ini, tapi aku justru di sini dengannya? Arsen, apa kau pernah memikirkan Joseph di ruang inkubator itu?” Beliau memutar kepalanya menghadapku ke belakang, untuk menunjuk ruang inkubator yang sudah berjarak dekat dari tempatku. Lalu kemudian, Mama Riana ikut mematung menyadari aku masih berdiri di sini. Ya Tuhan ... entah bagaimana perasaan mertuaku ini sekarang. Beliau pasti sangat malu di depanku, marah pada putranya, dan ... aku tidka yakin apa yang dia rasakan pada perempuan muda yang masih diam menunduk di sebelah Arsen. Kemudian mama mertuaku memegangi keningnya, betapa dia sangat tertekan di eks
Aku dan mama mertu tercengang tentunya. Kecuali Arsen, dia tampaknya gugup di sini. Sementara Arlan menegang di wajahnya dengan gigi yang beradu di dalam sana, membuat garis rahangnya terlihat semakin jelas. Itu membuktikan bahwa lelaki berjas putih ini pasti lah dengan marah. Tapi kenapa Arsen justru malah gugup?“A-Arlan, kau ... kau mengenal gadis itu?” tanya Mama Riana. “Kau ... kalian menyembunyikan sesuatu dariku?” lanjut beliau, tampak rasa kecewa dan marah di wajahnya yang cantik, tapi dicoba untuk menyembunyikan ekspresi itu. Kemudian mama mertuaku mendekati Arlan dan gadis kecil itu, beliau tidak mengatakan apa pun tapi aku tahu sorot matanya sedang meminta penjelasan.Setelahnya, Arsen menarik tanganku untuk dia genggam. Kurasa ini sangat gugup sebab kami baru saja bertengkar hebat- tidak, maksudku ... aku lah yang baru saja mengamuk padanya. Seakan tahu bahwa aku sangat gugup, Arsen mengelus pundakku dan menggiring aku untuk berjalan