117.
“Nara.”
Mama Riana menyebut namaku lemah. Matanya yang bulat sempurna masih terus menatap kedua inti manikku, seakan meminta tolong di sana. Dia terisak pelan, tak berani akan mengatakan apa lagi.
“Mama Mertua, aku tahu kau sangat mencintaiku dan Joseph. Aku juga tahu betapa kau berhati lembut dan tidak tega. Tapi, aku tidak bisa menerima kecurangan yang dilakukan oleh Arsen, tolong maafkan aku,” ucapku, dan isakannya pun terdengar lebih keras lagi.
Dua manik indah milik mertuaku semakin memerah oleh cairan bening yang sejak tadi dia tahan. Dia ingin menangis, aku tahu itu. Tapi tetap lah aku Nara, wanita yang tidak bisa menerima begitu saja kecurangan suaminya.
Jika dulu aku dicap mandul saja tidak mampu menerima Nindy masuk ke rumah tanggaku dan Ferdy, apalagi sekarang? Aku sehat, aku memiliki putra yang meski terlahir prematur, dia sehat dan sebentar lagi akan bisa dibawa pulang ke rumah. Aku mampu melayani suamiku, tida
Kami masih beradu tatap beberapa detik sebelum kudengar kemarahan Mama Riana di depan sana. “Jadi ini pekerjaanmu di luar? Kau berpura mencari istrimu ke rumah, ingin menyelesaikan masalah ini katamu, tapi nyatanya di luaran kau masih bersama dengan selingkuhanmu?” Suara Mama Riana pelan namun cukup tegas. “Aku katakan padamu untuk segera mengakhiri perselingkuhan ini, tapi aku justru di sini dengannya? Arsen, apa kau pernah memikirkan Joseph di ruang inkubator itu?” Beliau memutar kepalanya menghadapku ke belakang, untuk menunjuk ruang inkubator yang sudah berjarak dekat dari tempatku. Lalu kemudian, Mama Riana ikut mematung menyadari aku masih berdiri di sini. Ya Tuhan ... entah bagaimana perasaan mertuaku ini sekarang. Beliau pasti sangat malu di depanku, marah pada putranya, dan ... aku tidka yakin apa yang dia rasakan pada perempuan muda yang masih diam menunduk di sebelah Arsen. Kemudian mama mertuaku memegangi keningnya, betapa dia sangat tertekan di eks
Aku dan mama mertu tercengang tentunya. Kecuali Arsen, dia tampaknya gugup di sini. Sementara Arlan menegang di wajahnya dengan gigi yang beradu di dalam sana, membuat garis rahangnya terlihat semakin jelas. Itu membuktikan bahwa lelaki berjas putih ini pasti lah dengan marah. Tapi kenapa Arsen justru malah gugup?“A-Arlan, kau ... kau mengenal gadis itu?” tanya Mama Riana. “Kau ... kalian menyembunyikan sesuatu dariku?” lanjut beliau, tampak rasa kecewa dan marah di wajahnya yang cantik, tapi dicoba untuk menyembunyikan ekspresi itu. Kemudian mama mertuaku mendekati Arlan dan gadis kecil itu, beliau tidak mengatakan apa pun tapi aku tahu sorot matanya sedang meminta penjelasan.Setelahnya, Arsen menarik tanganku untuk dia genggam. Kurasa ini sangat gugup sebab kami baru saja bertengkar hebat- tidak, maksudku ... aku lah yang baru saja mengamuk padanya. Seakan tahu bahwa aku sangat gugup, Arsen mengelus pundakku dan menggiring aku untuk berjalan
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera