“Apa? Kau tidak berbohong kan, Sayang?”
Arsen bertanya tak percaya saat kami menikmati makan malam di kafetaria rumah sakit. Aku baru saja menceritakan hari yang kulalui bersama putra kami, lengkap dengan kemajuan pesat yang ditunjukkan oleh Joseph. Bahkan kukatakan padanya bahwa aku lah yang satu harian ini mengganti popok Joseph jika mengompol.
“Tidak, aku tidak berbohong. Putramu memang sudah bisa melakukannya, Sayang. Dia menyusu dariku,” sahutku bangga.
Memangnya, apa lagi yang membuat seorang ibu bisa bangga, jika tidak menceritakan kepintaran anaknya? Semua kujelaskan pada Arsen membuat matanya ikut berbinar bahagia.
“Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi? Kau langsung mengajak aku pergi makan tanpa memberitahu kepintaran bayi kita. Kau sudah pintar berlaku curang, ya,” katanya sembari memajukan bibir. Dia lucu, sangat lucu sampai ingin rasanya kumakan dia seperti permen di dalam mulut.
“Habiskan makanmu segera, jika ingin bertemu denga
“Nara, temani mama berbelanja,” kata Mama Riana pagi tadi, ketika aku akan bersiap berangkat ke Rumah Sakit tempat putraku dirawat. Awalnya aku ingin menolak, mengingat aku sangat ingin terus memeluk Joseph seperti yang aku lakukan beberapa hari ini. Rasanya sangat menyenangkan melihat kemajuan yang putraku tunjukkan setiap harinya, tapi juga tidak tega menolak ajakan mama mertua yang sangat baik ini. Aku menghargai semua kebaikan Mama Riana, sebab itu aku berada di sini dengannya. Di sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar, dan aku dengan lima puluh persennya punn masih milik keluarga Sudrajat.Memasuki butik ini aku tertegun melihat semua pelayan toko menyambut kami sangat hormat. Tidak. Bukan ini pertama kalinya aku masuk ke butik mahal seperti ini. Sejak jadi istrinya Arsen Sudrajat, aku sering pergi berbelanja dengan Bi Ratna atau diriku sendiri. Tapi dengan salah satu keluarga Sudrajat, ini lah pertama kalinya setelah dulu dengan Arsen mengukur baju peng
Ya, aku paham apa yang ada di pikiran mama mertuaku. Beliau pasti sangat malu, bahkan mungkin sudah membayangkan kehancuran nama keluarganya jika sampai gosip ini tersebar di luaran sana. Sebagai keluarga terpandang yang tidak pernah terdengar cela, Mama Riana tentunya merasa sangat terhina dengan para pelayan yang berani menyebut aib keluarganya. Jika aku tidak pernah ada di keluarga ini, mungkin selamanya nama keluarga Sudrajat akan selalu wangi di telinga semua orang. Tuhan ... rasanya aku sampai bingung untuk mengatakan ini pada Mama Riana, membuat mulutku bahkan gemetar sebelum mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Nara, kau dengar perkataanku?” Tentu saja. Telingaku mendengar sangat jelas setiap kata yang beliau katakan. Hanya saja ... bibir ini terlalu berat untuk berucap. “Maaf, tolong maafkan aku,” ucapku akhirnya. Membuang napas kasar, Mama Riana tidak mengatakan apa pun lagi. Dia segera berdiri dan meraih tasnya dari atas meja.
Selama berjam-jam di ruang inkubator itu aku habiskan dengan termenung sembari menyusui putraku. Aku bahkan tidak mendengar ketika perawat menyapa satu sampai dua kali. Mereka sampai menepuk pundakku lebih dulu, untuk akhirnya aku tahu bahwa mereka tengah berbicara padaku. “Nyonya Nara, Dokter Arlan mencari Anda di luar,” ucap perawat itu dan menunjuk pintu di sisi kiri kami. Benar saja. Aku bisa melihat Arlan tengah mengintip dari kaca kecil di bagian atas pintu itu dan dia tengah menatapku. Kenapa dia mencariku di saat yang tidak tepat? Padahal kupikir hari ini ingin sendiri sampai Arsen datang menjemputku pulang. Tapi ... bukankah sangat tidak sopan jika aku tidak menemui Arlan? Apalagi di sini ada beberapa perawat, mereka bisa saja berpikir keluarga Sudrajat sangat tidak rukun. Belum lagi masalah dengan mamanya Ferdy juga akan dikait-kaitkan dengan semua ini. Lantas, mau tak mau aku harus beranjak dari sofa menyusui yang aku gunakan duduk. “Tolong
114Dua mertuaku menerima setiap tuduhan yang Arsen tumpahkan pada mereka, tanpa mengatakan apa pun. Mama dan Papa mertua sepertinya bersengaja membiarkan putra mereka puas mengeluarkan segala pembelaan itu. Aku semakin ragu, gugup, dan gemetar mencengkram gaunku di sisi kiri kanan.“Nara, dengarkan aku, oke?” Arsen menyentuh pundakku lembut sedang matanya lurus manatap manikku. “Kau tidak harus mendengarkan apa pun kata mama dan papa. Kau istriku, dan hanya aku yang perlu kau dengarkan. Pulang lah sekarang dan jangan membuat dirimu stress,” lanjutnya. Entah itu perintah atau permohonan aku tak bisa membedakannya. Yang aku dengar, nadanya lembut dan tegas di waktu yang bersamaan.Harus kah aku pulang seperti yang dikatakan oleh Arsen? Rasanya akan sangat tidak sopan andai aku mengiyakan perkataan Arsen, tapi juga takut untuk membantahnya. Sehingga hanya diam lah yang bisa aku lakukan
Aku dan Arsen saling menatap satu sama lain. Sangat banyak dugaan buruk yang datang ke pikiranku, tentang masalah apa lagi yang akan mengganggu ketenangan kami. Begitu juga dengan Mama Riana, yang langsung memberikan tatapan tajam pada suamiku, ketika beliau melepaskan ponsel dari tangannya. “Siapa Naomi?” Nada suara yang dingin itu sangat menusuk tulang sum-sumku, apalagi mendengar Mama Riana menyebutkan nama seorang perempuan. Ya, Naomi, dia pasti seorang perempuan. “Naomi?” Arsen menunjukkan wajah bingung ketika mengulangi nama itu. “Siapa dia? Aku tidak mengenalnya,” sambung Arsen, melihatku dan mama mertua bergantian. “Nara, naik lah ke atas. Mama akan berbicara dengan Arsen, dan aku berharap kau tidak menguping.” Apakah Mama Riana ingin menyembunyikan sesuatu dariku? Apa yang ingin mereka bicarakan sebenarnya? Dada ini bergemuruh di dalam sana, tidak terima ketika mertua sendiri tidak ingin aku mengetahui siapa perem
“Nara! Nara!” Sayup kudengar seseorang menyerukan namaku di kejauhan, memaksa mata ini bergerak pelan meski itu terlalu berat untuk kulakukan. Gelap. Segalanya terlihat hitam saat aku berhasil membuka mata dan memindai tempat di sekitar. “Nara, buka pintunya! Mama tau kau di dalam.” Dan suara itu kembali terdengar menyadarkan aku bahwa seseorang baru saja memaksa bangun dari tidurku yang panjang. Itu mama mertua. Beliau menggedor pintu kamar yang aku tempati, dan terus memaksa ingin dibukakan. Dengan malas kuangkat diri bangkit menjauhi kasur empuk tempat berbaring, lalu melangkah malas untuk membuka pintu kamar itu. Mama Riana segera masuk seperti orang yang sudah tidak sabaran. “Astaga, kenapa di sini gelap sekali?” katanya, melewatiku dan mencari skalar lampu di dinding tembok. Saat lampu itu dinyalakan, segera aku memicing untuk menjaga silau yang mengagetkan penglihatan. Dan lihat lah, Mama Riana kini menatapku dengan wajah iba da
117. “Nara.” Mama Riana menyebut namaku lemah. Matanya yang bulat sempurna masih terus menatap kedua inti manikku, seakan meminta tolong di sana. Dia terisak pelan, tak berani akan mengatakan apa lagi. “Mama Mertua, aku tahu kau sangat mencintaiku dan Joseph. Aku juga tahu betapa kau berhati lembut dan tidak tega. Tapi, aku tidak bisa menerima kecurangan yang dilakukan oleh Arsen, tolong maafkan aku,” ucapku, dan isakannya pun terdengar lebih keras lagi. Dua manik indah milik mertuaku semakin memerah oleh cairan bening yang sejak tadi dia tahan. Dia ingin menangis, aku tahu itu. Tapi tetap lah aku Nara, wanita yang tidak bisa menerima begitu saja kecurangan suaminya. Jika dulu aku dicap mandul saja tidak mampu menerima Nindy masuk ke rumah tanggaku dan Ferdy, apalagi sekarang? Aku sehat, aku memiliki putra yang meski terlahir prematur, dia sehat dan sebentar lagi akan bisa dibawa pulang ke rumah. Aku mampu melayani suamiku, tida
Kami masih beradu tatap beberapa detik sebelum kudengar kemarahan Mama Riana di depan sana. “Jadi ini pekerjaanmu di luar? Kau berpura mencari istrimu ke rumah, ingin menyelesaikan masalah ini katamu, tapi nyatanya di luaran kau masih bersama dengan selingkuhanmu?” Suara Mama Riana pelan namun cukup tegas. “Aku katakan padamu untuk segera mengakhiri perselingkuhan ini, tapi aku justru di sini dengannya? Arsen, apa kau pernah memikirkan Joseph di ruang inkubator itu?” Beliau memutar kepalanya menghadapku ke belakang, untuk menunjuk ruang inkubator yang sudah berjarak dekat dari tempatku. Lalu kemudian, Mama Riana ikut mematung menyadari aku masih berdiri di sini. Ya Tuhan ... entah bagaimana perasaan mertuaku ini sekarang. Beliau pasti sangat malu di depanku, marah pada putranya, dan ... aku tidka yakin apa yang dia rasakan pada perempuan muda yang masih diam menunduk di sebelah Arsen. Kemudian mama mertuaku memegangi keningnya, betapa dia sangat tertekan di eks
Setelah membersihkan diri lebih dulu, kududukkan diri di depan meja rias yang besar itu. Hari ini Arsen akan kembali dari luar kota, dan kupikir ingin menyambut suamiku dengan dandanan yang sedikit menarik. Dia pasti merindukanku, dan akan semakin senang dia melihatku nanti dengan riasan ini. Setelahnya, tak lupa kuganti pakaian dengan gaun yang baru kubeli siang tadi, memang sengaja aku membelinya demi menyambut Arsen kembali.Tepat setelah kupikir siap, pintu kamar diketuk dari luar sana. Hatiku melambung seketika itu juga, menduga suamiku akhirnya kembali. Dengan sedikit berjingkrak, kubuka handel pintu sembari menyambut suamiku dengan kedua tangan melintang.“Selamat datang suamiku ...!” seruku sangat girang.Tapi apa ini? Bukannya wajah Arsen, tapi Bi Ratna lah yang berdiri di depanku. Sedikit malu aku dengan tatapan lurusnya yang tertuju pada penampilanku.“Eh, Bi Ratna. Ada apa, Bi?” tanyaku menghilangkan rasa gugup.
Sudah tiga hari ini Arsen harus pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan yang diminta oleh papanya. Jujur, aku sudah sangat merindukan suami yang sangat manja dan bawel itu, sampai-sampai ketika menyusukan Joseph pun hanya wajahnya lah yang terbayang di mataku. Mungkinkah ini yang disebut dengan jatuh cinta sangat dalam? Seperti aku tidak bisa mengendalikan diriku dari rasa rindu yang menggetarkan jiwa.Ketika baru saja kuletakkan Joseph di atas boks tidurnya, ponselku sudah berbunyi di atas nakas. Beruntung suara nyaring itu tidak mengganggu tidur putraku. Hanya menepuk bokongnya beberapa kali, Joseph sudah kembali terlelap. Ah ... itu ulah Arsen. Ketika dia akan berangkat tempo hari, Arsen membuat nada ponselku sangat besar. Katanya agar aku tidak beralasan tidak mendengar suara ponsel ketika dia menghubungiku.Dan lihat siapa yang menelepon sekarang? Siapa lagi jika bukan dia. Lantas kugeser layar ponselku pada posisi menerima, dan wajahnya segera terlih
"Ini, makan lah yang banyak."Arsen meletakkan sangat banyak potongan daging dan sayuran di atas piringku.
“Sayang, aku tidak melihat gelas kopinya!”Arsen berseru dari dapur, menghentikanku yang baru saja akan membuka baju.“Itu ada di laci atas kepalamu, Sayang. Mendongak lah dan buka lacinya!” balasku tak kalah kencang.“Laci yang mana? Aku tidak melihatnya!”Ini tidak akan berhasil. Jika aku terus berteriak, Joseph akan terbangun dari tidurnya yang belum lima belas menit. Lantas kubenarkan lagi letak pakaianku sembari mendatanginya ke dapur.Dia memang selalu begitu. Apa pun tak pernah terlihat oleh matanya. Entah karena malas mencari atau memang dia tak bisa menemukan sebuah barang dengan benar, hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.“Di mana itu? Di mana gelas kopinya?”Kulihat Arsen tengah membuka-buka laci di atas kepalanya tapi tidak juga melihat gelas yang dia cari. Astaga ....Mengambil posisi berdiri di sebelahnya, kuraih salah satu gelas dari dalam laci dan menyera
Sejak pagi masih terbilang samar, semua orang sudah sibuk mempersiapkan diri untuk menjemput Joseph ke rumah sakit. Ini terlalu membahagiakan sampai kami tidak sabar menunggu hari sedikit lebih siang.Lihat lah Papa Sudrajat yang sangat bersemangat menuruni anak tangga. Beliau lah yang lebih sibuk sejak tadi dan beliau pula yang lebih lama berbenah, seakan cucunya sudah bisa menilai penampilan seseorang.Aku tersenyum melihat papa mertua yang biasanya tak pernah absen berangkat ke kantor itu, kini seperti seorang anak kecil yang tidak menunggu diajak jalan-jalan.“Kalian belum siap? Sudah pukul sebelas, kita harus berangkat sekarang.”“Siapa yang sangat lama turun dari kamarnya? Kurasa kami sudah menunggu tiga puluh menit di sini,” sahut Mama Riana menimpali perkataan suaminya.“Kenapa tidak memanggilku jika begitu? Aku pikir kalian belum siap.”Aku dan Arsen hanya tertawa mendengar perbincangan dua orang
Tak dapat kuhindarkan pacuan jantung yang memicu sangat cepat kala mendengar perkataan dari papa mertua. Telapak tangan segera berkeringat dan dudukku tak bisa tenang sekarang. Bayangan buruk segera menghampiri kepala ini, membuat dugaan-dugaan buruk di dalam sana. Apakah Joseph mengalami penurunan? Tak sabar aku ingin mendengar penjelasan dari Papa Sudrajat. Dengan sedikit memajukan tubuh, aku lantas bertanya pada beliau. “Jo-Joseph? Apa yang terjadi pada Joseph?” Arsen segera memeluk dan memberikan kata-kata penenang untukku. Tapi suaranya seakan menghilang oleh pikiran buruk yang sudah lebih dulu merasuki pikiran ini. Tak sabar kutunggu papa mertua melanjutkan perkataannya yang tertunda. “Papa Mertua, katakan ada apa dengan Joseph-ku?” “Sayang, tenangkan dirimu. Kau tidak boleh seperti ini,” peringat Arsen, meremas pundakku tempat tangannya bertengger. Kemudian dia berbicara pada papanya. “Biar aku antar Nara ke atas, nanti papa bisa berbic
“Nara ....” Dia memanggil namaku pelan. Tangannya semakin dekat ke wajah, sehingga bisa aku rasakan udara yang dibawanya. Berusaha untuk tidak terpengaruh, aku kembali mengingatkannya meski suaraku terdengar bergetar. “Aku adik iparmu, Arlan. Kau tidak boleh melakukannya,” kataku, tapi Arlan tidak mengindahkan kalimat itu. Punggung jarinya menyentuh permukaan kulitku sehingga kaki di bawah sana semakin gemetar. Tidak. Jika seseorang berpikir aku menikmati perlakuannya, jelas itu salah. Aku hanya ingin menunjukkan pada lelaki ini bahwa aku tidak setakut yang dia bayangkan. Aku tidak ingin Arlan merasa diriku melihat dirinya seperti monster yang menakutkan dan harus dijauhi. Aku tidak ingin dia merasa dirinya tidak diinginkan oleh kami. Maksudku ... keluarga. Ya, karena sekarang aku adalah menantu di keluarganya, jadi aku juga menempatkan diri sebagai keluarga baginya. Harus kulihat, sejauh apa dia sebenarnya ingin dimengerti. Beberapa detik dia s
Arsen tahu Arlan memiliki perasaan padaku, sebab itu dia tak pernah merasa rela membiarkan aku pergi untuk menemui saudaranya. Dia tentunya takut jika masalah ini akan merembet lebih jauh lagi, sehingga membuat kegaduhan ke depannya. Tapi setelah kuyakinkan Arsen bahwa aku pasti bisa menjaga diri, dia hanya mengangguk ketika melepaskan aku pergi menemui saudaranya.“Hati-hati, Sayang. Ingat, kau harus segera menghubungiku jika sesuatu terjadi. Dan berusaha lah membuat Arlan tidak marah,” pesannya. Dia mengecup puncak kepalaku berkali-kali dan mengatakan dia sangat mencintai diriku.Ah ... aku sendiri juga merasa gemetar ketika memasuki apartemen milik Arlan, membayangkan mungkin dia akan semakin marah melihat kedatanganku.Ketika kutekan bell di sebelah pintu, seseorang lantas membukanya dan mengatakan Arlan berpesan tidak ingin diganggu.“Tapi ini sangat penting, Bi. Tolong biarkan aku masuk,” ucapku pada asisten rumah yang sudah
“Aku akan gila dengan semua ini.” Mama Riana tertunduk lemas. Sedangkan aku hanya bisa diam mengusap pundak mama mertua yang pastinya sedang sangat tertekan. Beliau memegangi wajah di atas kedua telapak tangannya dengan mulut yang terus saja mengoceh tentang kelakuan dua putranya yang ... memang sangat keterlaluan. “Bagaimana jika Naomi benar melakukan aborsi? Aku akan membunuh Arsen yang dengan bodohnya menyarankan hal gila itu padanya!” Beliau mengangkat wajah dan menatapku. “Lihat lah, Nara, aku adalah ibu yang gagal mendidik putra-putranya, sampai kalian harus menderita karena itu. Aku sangat menyesal yang selalu menuruti keinginan dua anak itu,” ucapnya lagi. Setiap kata yang beliau ucapkan adalah penyesalan dan menyalahkan diri sendiri. Rasanya sangat tak adil, padahal bukan beliau yang bersalah. Semua ini adalah kesalahan Arlan dan juga Arsen yang sangat tidak tahu diri. “Jangan membeb