“Te-test DNA?”
Mulutku tergugup, kedua mata menatap Arsen dalam, dan bisa kurasakan debaran jantung ini ikut berpacu sangat cepat. Aku tak tahu akan menunjukkan ekspresi apa sekarang.
Benar. Memang sejak awal aku ingin Arsen melakukan test DNA antara dia dan Joseph. Aku juga ingin tahu apakah benar putraku adalah benihnya atau lelaki bajingan yang baru saja hampir menjebakku. Tapi di dalam dada ini ada rasa cemas, yang membuatku seperti ingin kabur dari hadapan Arsen.
Lihat lah senyum tipisnya itu. Senyum yang sejak tadi dia tunjukkan seakan membawa luka yang akan membuat kami saling menangis. Sunggu demi Tuhan, aku tidak siap mendengarnya, andai memang Ferdy lah ayah biologis dari bayi yang aku lahirkan.
“Hum. Aku juga tidak tahu dari mana keberanian ini akhinya datang, Nara. Mungkin ... karena aku sangat tidak rela jika lelaki itu terus mencoba mengganggu hidup kita. Tak akan aku biarkan dia merebut kalian berdua dariku, hanya itu lah alasan a
Di kala terbangun dari tidur di pagi ini, aku menemukan wajah Arsen sedang terlelap di depanku. Dia tersenyum dan wajahnya secerah sinar mentari di pagi hari. Bibir tipis yang bertengger indah di atas dagunya seperti memiliki penarik yang membuat aku ingin terus memandanginya. Kujalankan tangan menuju wajahnya yang tampan lalu menyentuh bibir itu denga dua ujung jariku. Meski teksturnya agak sedikit kasar, tapi kurasa sangat nyaman menjamahnya. Aku terbuai sehingga ingin lebih lama lagi menyentuh bibir yang semalaman memanjakan sekujur tubuhku. Oh ... lihat lah bulu-bulu di sekitar tanganku menjadi meremang, membayangkan lagi percintaan panas kami tadi malam. Arsen benar-benar jago memainkan seluruh tubuhku dan berhasil membuat aku mendapatkan puncak berkali-kali. Dan satu yang selalu membuat aku bahagia setiap kali mengingat perpaduan cinta kami, Arsen selalu bisa membuatku berada di puncak tanpa menyakiti bagian-bagian diriku yang sensitif. Ya, selain sosis besarnya yang m
“Apa? Kau tidak berbohong kan, Sayang?” Arsen bertanya tak percaya saat kami menikmati makan malam di kafetaria rumah sakit. Aku baru saja menceritakan hari yang kulalui bersama putra kami, lengkap dengan kemajuan pesat yang ditunjukkan oleh Joseph. Bahkan kukatakan padanya bahwa aku lah yang satu harian ini mengganti popok Joseph jika mengompol. “Tidak, aku tidak berbohong. Putramu memang sudah bisa melakukannya, Sayang. Dia menyusu dariku,” sahutku bangga. Memangnya, apa lagi yang membuat seorang ibu bisa bangga, jika tidak menceritakan kepintaran anaknya? Semua kujelaskan pada Arsen membuat matanya ikut berbinar bahagia. “Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi? Kau langsung mengajak aku pergi makan tanpa memberitahu kepintaran bayi kita. Kau sudah pintar berlaku curang, ya,” katanya sembari memajukan bibir. Dia lucu, sangat lucu sampai ingin rasanya kumakan dia seperti permen di dalam mulut. “Habiskan makanmu segera, jika ingin bertemu denga
“Nara, temani mama berbelanja,” kata Mama Riana pagi tadi, ketika aku akan bersiap berangkat ke Rumah Sakit tempat putraku dirawat. Awalnya aku ingin menolak, mengingat aku sangat ingin terus memeluk Joseph seperti yang aku lakukan beberapa hari ini. Rasanya sangat menyenangkan melihat kemajuan yang putraku tunjukkan setiap harinya, tapi juga tidak tega menolak ajakan mama mertua yang sangat baik ini. Aku menghargai semua kebaikan Mama Riana, sebab itu aku berada di sini dengannya. Di sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar, dan aku dengan lima puluh persennya punn masih milik keluarga Sudrajat.Memasuki butik ini aku tertegun melihat semua pelayan toko menyambut kami sangat hormat. Tidak. Bukan ini pertama kalinya aku masuk ke butik mahal seperti ini. Sejak jadi istrinya Arsen Sudrajat, aku sering pergi berbelanja dengan Bi Ratna atau diriku sendiri. Tapi dengan salah satu keluarga Sudrajat, ini lah pertama kalinya setelah dulu dengan Arsen mengukur baju peng
Ya, aku paham apa yang ada di pikiran mama mertuaku. Beliau pasti sangat malu, bahkan mungkin sudah membayangkan kehancuran nama keluarganya jika sampai gosip ini tersebar di luaran sana. Sebagai keluarga terpandang yang tidak pernah terdengar cela, Mama Riana tentunya merasa sangat terhina dengan para pelayan yang berani menyebut aib keluarganya. Jika aku tidak pernah ada di keluarga ini, mungkin selamanya nama keluarga Sudrajat akan selalu wangi di telinga semua orang. Tuhan ... rasanya aku sampai bingung untuk mengatakan ini pada Mama Riana, membuat mulutku bahkan gemetar sebelum mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Nara, kau dengar perkataanku?” Tentu saja. Telingaku mendengar sangat jelas setiap kata yang beliau katakan. Hanya saja ... bibir ini terlalu berat untuk berucap. “Maaf, tolong maafkan aku,” ucapku akhirnya. Membuang napas kasar, Mama Riana tidak mengatakan apa pun lagi. Dia segera berdiri dan meraih tasnya dari atas meja.
Selama berjam-jam di ruang inkubator itu aku habiskan dengan termenung sembari menyusui putraku. Aku bahkan tidak mendengar ketika perawat menyapa satu sampai dua kali. Mereka sampai menepuk pundakku lebih dulu, untuk akhirnya aku tahu bahwa mereka tengah berbicara padaku. “Nyonya Nara, Dokter Arlan mencari Anda di luar,” ucap perawat itu dan menunjuk pintu di sisi kiri kami. Benar saja. Aku bisa melihat Arlan tengah mengintip dari kaca kecil di bagian atas pintu itu dan dia tengah menatapku. Kenapa dia mencariku di saat yang tidak tepat? Padahal kupikir hari ini ingin sendiri sampai Arsen datang menjemputku pulang. Tapi ... bukankah sangat tidak sopan jika aku tidak menemui Arlan? Apalagi di sini ada beberapa perawat, mereka bisa saja berpikir keluarga Sudrajat sangat tidak rukun. Belum lagi masalah dengan mamanya Ferdy juga akan dikait-kaitkan dengan semua ini. Lantas, mau tak mau aku harus beranjak dari sofa menyusui yang aku gunakan duduk. “Tolong
114Dua mertuaku menerima setiap tuduhan yang Arsen tumpahkan pada mereka, tanpa mengatakan apa pun. Mama dan Papa mertua sepertinya bersengaja membiarkan putra mereka puas mengeluarkan segala pembelaan itu. Aku semakin ragu, gugup, dan gemetar mencengkram gaunku di sisi kiri kanan.“Nara, dengarkan aku, oke?” Arsen menyentuh pundakku lembut sedang matanya lurus manatap manikku. “Kau tidak harus mendengarkan apa pun kata mama dan papa. Kau istriku, dan hanya aku yang perlu kau dengarkan. Pulang lah sekarang dan jangan membuat dirimu stress,” lanjutnya. Entah itu perintah atau permohonan aku tak bisa membedakannya. Yang aku dengar, nadanya lembut dan tegas di waktu yang bersamaan.Harus kah aku pulang seperti yang dikatakan oleh Arsen? Rasanya akan sangat tidak sopan andai aku mengiyakan perkataan Arsen, tapi juga takut untuk membantahnya. Sehingga hanya diam lah yang bisa aku lakukan
Aku dan Arsen saling menatap satu sama lain. Sangat banyak dugaan buruk yang datang ke pikiranku, tentang masalah apa lagi yang akan mengganggu ketenangan kami. Begitu juga dengan Mama Riana, yang langsung memberikan tatapan tajam pada suamiku, ketika beliau melepaskan ponsel dari tangannya. “Siapa Naomi?” Nada suara yang dingin itu sangat menusuk tulang sum-sumku, apalagi mendengar Mama Riana menyebutkan nama seorang perempuan. Ya, Naomi, dia pasti seorang perempuan. “Naomi?” Arsen menunjukkan wajah bingung ketika mengulangi nama itu. “Siapa dia? Aku tidak mengenalnya,” sambung Arsen, melihatku dan mama mertua bergantian. “Nara, naik lah ke atas. Mama akan berbicara dengan Arsen, dan aku berharap kau tidak menguping.” Apakah Mama Riana ingin menyembunyikan sesuatu dariku? Apa yang ingin mereka bicarakan sebenarnya? Dada ini bergemuruh di dalam sana, tidak terima ketika mertua sendiri tidak ingin aku mengetahui siapa perem
“Nara! Nara!” Sayup kudengar seseorang menyerukan namaku di kejauhan, memaksa mata ini bergerak pelan meski itu terlalu berat untuk kulakukan. Gelap. Segalanya terlihat hitam saat aku berhasil membuka mata dan memindai tempat di sekitar. “Nara, buka pintunya! Mama tau kau di dalam.” Dan suara itu kembali terdengar menyadarkan aku bahwa seseorang baru saja memaksa bangun dari tidurku yang panjang. Itu mama mertua. Beliau menggedor pintu kamar yang aku tempati, dan terus memaksa ingin dibukakan. Dengan malas kuangkat diri bangkit menjauhi kasur empuk tempat berbaring, lalu melangkah malas untuk membuka pintu kamar itu. Mama Riana segera masuk seperti orang yang sudah tidak sabaran. “Astaga, kenapa di sini gelap sekali?” katanya, melewatiku dan mencari skalar lampu di dinding tembok. Saat lampu itu dinyalakan, segera aku memicing untuk menjaga silau yang mengagetkan penglihatan. Dan lihat lah, Mama Riana kini menatapku dengan wajah iba da