Beberapa menit kami terdiam setelah aku menanyakan perihal test DNA. Arsen menatap dua bola mataku, dengan sorot yang sulit diartikan. Kemudian dia tersenyum samar sebelum kembali berbicara.
"Test DNA?" tanya Arsen. "Apa itu harus dilakukan?"
"Memangnya ... kau tidak ingin tahu kebenarannya?" Alih-alih menjawab, aku balik bertanya.
"Tidak. Joseph putraku dan selamanya akan seperti itu."
"Kau tidak takut jika justru sebaliknya?"
Arsen meraih pundakku dan mempermukan tatapan kami kembali. "Nara, jangan memaksa aku melakukan sesuatu yang tidak aku senangi. Sampai kapan pun Joseph adalah putraku dan tidak ada satu manusia pun di bumi ini yang kuijinkan mengaku-ngaku sebagai ayah biologis
"Brengsek! Kau masih percaya diri menunjukkan wajahmu ke sini?!" Arsen menggeram melihat Ferdy dan langsung memasang kaki panjangnya berjalan. Dia berhenti tepat di depan Ferdy lalu menarik kerah baju lelaki tak tahu diri itu. "Beraninya kau membuat istriku terluk!" Bug! Sekali pukul saja, Ferdy sudah terhuyung ke belakang. Arsen tidak berhenti begitu saja, dia memukul lagi dan lagi lalu melepaskan cengkaramannya dari leher Ferdy. Aku yang melihatnya saja mengernyit seakan merasakan sakitkan tinju Arsen, apalagi dia? Persetan lah. Sesekali aku memang harus membiasakan diri membuang rasa tidak tega ini, biarkan Arsen menghajarnya agar Ferdy tidak selalu macam-macam. "
"Arsen, Arsen!"Kukejar Arsen masuk ke dalam kamar kami. Sungguh ... aku tidak mengerti kenapa dia membuat kesepakatan dengan orang-orang seperti Ferdy dan Nindy. Kupikir tadinya dia akan menolaknya mentah-mentah dan mendepak Ferdy sehingga lelaki itu tidak berani memerasnya."Kau tidak harus menuruti kata mereka, kan? Mereka itu orang yang licik, sekalinya kau menurutinya satu kali, mereka akan terus memanfaatkanmu. Kau pikir mereka akan pergi begitu saja? Tidak, Arsen, selama kita tidak memiliki bukti, Ferdy akan terus menekanmu," kataku, berharap Arsen menghentikan niatnya.Dia mendudukkan diri di atas ranjang dan mengembus napas kasar. Matanya terarah padaku, lalu perlahan dia membuka mulut itu untuk bicara."Aku juga tahu, Nara. Tapi percaya lah aku tidak akan membiarkan mereka melakukannya. Biarkan dia senang untuk sesaat. Percaya padaku, aku akan menyingkirkannya segera."Maksudnya bukan melakukan kekerasan lagi, bukan? Aku
"Halo, Nara, sepertinya kau sangat terkejut mendengar suaraku."Untuk beberapa detik kuakui terdiam mendengar suara Ferdy. Aku memikirkan banyak hal, takut jika mungkin sesuatu terjadi pada Arsen. Tapi, dengan berdiam lama aku tahu akan membuat Ferdy senang."Apa maumu, Ferdy? Kau pikir bisa memeras kami? Jangan bermimpi jika kau akan mendapat uang dari suamiku!" sahutku.Lihat, dia yang terdiam sekarang. Aku yakin dia marah dan aku justru senang membuat Ferdy kalah."Jangan banyak bicara, Nara. Akan kupastikan kau sendiri yang akan memohon agar aku menerima uangmu. Kau tak punya pilihan selain itu.""Brengsek kau, Ferdy!" umpatku tak sabar. "Di mana suamiku? Apa yang kau lakukan pada suamiku?!"Tawa besarnya pecah di ujung sana yang membuat jantungku berdegup tidak karuan. Aku sangat takut sekarang, ternyata aku tidak sekuat yang kupikirkan sebelumnya."Ferdy, jangan macam-macam. Kau tidak boleh berlaku curang dengan meny
“Te-test DNA?” Mulutku tergugup, kedua mata menatap Arsen dalam, dan bisa kurasakan debaran jantung ini ikut berpacu sangat cepat. Aku tak tahu akan menunjukkan ekspresi apa sekarang. Benar. Memang sejak awal aku ingin Arsen melakukan test DNA antara dia dan Joseph. Aku juga ingin tahu apakah benar putraku adalah benihnya atau lelaki bajingan yang baru saja hampir menjebakku. Tapi di dalam dada ini ada rasa cemas, yang membuatku seperti ingin kabur dari hadapan Arsen. Lihat lah senyum tipisnya itu. Senyum yang sejak tadi dia tunjukkan seakan membawa luka yang akan membuat kami saling menangis. Sunggu demi Tuhan, aku tidak siap mendengarnya, andai memang Ferdy lah ayah biologis dari bayi yang aku lahirkan. “Hum. Aku juga tidak tahu dari mana keberanian ini akhinya datang, Nara. Mungkin ... karena aku sangat tidak rela jika lelaki itu terus mencoba mengganggu hidup kita. Tak akan aku biarkan dia merebut kalian berdua dariku, hanya itu lah alasan a
Di kala terbangun dari tidur di pagi ini, aku menemukan wajah Arsen sedang terlelap di depanku. Dia tersenyum dan wajahnya secerah sinar mentari di pagi hari. Bibir tipis yang bertengger indah di atas dagunya seperti memiliki penarik yang membuat aku ingin terus memandanginya. Kujalankan tangan menuju wajahnya yang tampan lalu menyentuh bibir itu denga dua ujung jariku. Meski teksturnya agak sedikit kasar, tapi kurasa sangat nyaman menjamahnya. Aku terbuai sehingga ingin lebih lama lagi menyentuh bibir yang semalaman memanjakan sekujur tubuhku. Oh ... lihat lah bulu-bulu di sekitar tanganku menjadi meremang, membayangkan lagi percintaan panas kami tadi malam. Arsen benar-benar jago memainkan seluruh tubuhku dan berhasil membuat aku mendapatkan puncak berkali-kali. Dan satu yang selalu membuat aku bahagia setiap kali mengingat perpaduan cinta kami, Arsen selalu bisa membuatku berada di puncak tanpa menyakiti bagian-bagian diriku yang sensitif. Ya, selain sosis besarnya yang m
“Apa? Kau tidak berbohong kan, Sayang?” Arsen bertanya tak percaya saat kami menikmati makan malam di kafetaria rumah sakit. Aku baru saja menceritakan hari yang kulalui bersama putra kami, lengkap dengan kemajuan pesat yang ditunjukkan oleh Joseph. Bahkan kukatakan padanya bahwa aku lah yang satu harian ini mengganti popok Joseph jika mengompol. “Tidak, aku tidak berbohong. Putramu memang sudah bisa melakukannya, Sayang. Dia menyusu dariku,” sahutku bangga. Memangnya, apa lagi yang membuat seorang ibu bisa bangga, jika tidak menceritakan kepintaran anaknya? Semua kujelaskan pada Arsen membuat matanya ikut berbinar bahagia. “Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi? Kau langsung mengajak aku pergi makan tanpa memberitahu kepintaran bayi kita. Kau sudah pintar berlaku curang, ya,” katanya sembari memajukan bibir. Dia lucu, sangat lucu sampai ingin rasanya kumakan dia seperti permen di dalam mulut. “Habiskan makanmu segera, jika ingin bertemu denga
“Nara, temani mama berbelanja,” kata Mama Riana pagi tadi, ketika aku akan bersiap berangkat ke Rumah Sakit tempat putraku dirawat. Awalnya aku ingin menolak, mengingat aku sangat ingin terus memeluk Joseph seperti yang aku lakukan beberapa hari ini. Rasanya sangat menyenangkan melihat kemajuan yang putraku tunjukkan setiap harinya, tapi juga tidak tega menolak ajakan mama mertua yang sangat baik ini. Aku menghargai semua kebaikan Mama Riana, sebab itu aku berada di sini dengannya. Di sebuah pusat perbelanjaan yang sangat besar, dan aku dengan lima puluh persennya punn masih milik keluarga Sudrajat.Memasuki butik ini aku tertegun melihat semua pelayan toko menyambut kami sangat hormat. Tidak. Bukan ini pertama kalinya aku masuk ke butik mahal seperti ini. Sejak jadi istrinya Arsen Sudrajat, aku sering pergi berbelanja dengan Bi Ratna atau diriku sendiri. Tapi dengan salah satu keluarga Sudrajat, ini lah pertama kalinya setelah dulu dengan Arsen mengukur baju peng
Ya, aku paham apa yang ada di pikiran mama mertuaku. Beliau pasti sangat malu, bahkan mungkin sudah membayangkan kehancuran nama keluarganya jika sampai gosip ini tersebar di luaran sana. Sebagai keluarga terpandang yang tidak pernah terdengar cela, Mama Riana tentunya merasa sangat terhina dengan para pelayan yang berani menyebut aib keluarganya. Jika aku tidak pernah ada di keluarga ini, mungkin selamanya nama keluarga Sudrajat akan selalu wangi di telinga semua orang. Tuhan ... rasanya aku sampai bingung untuk mengatakan ini pada Mama Riana, membuat mulutku bahkan gemetar sebelum mampu mengeluarkan sepatah kata pun. “Nara, kau dengar perkataanku?” Tentu saja. Telingaku mendengar sangat jelas setiap kata yang beliau katakan. Hanya saja ... bibir ini terlalu berat untuk berucap. “Maaf, tolong maafkan aku,” ucapku akhirnya. Membuang napas kasar, Mama Riana tidak mengatakan apa pun lagi. Dia segera berdiri dan meraih tasnya dari atas meja.