“Dean, terima kasih sudah mengantarku. Maaf merepotkanmu.” Selena berucap pada Dean kala mobil yang dilajukan oleh Dean mulai memasuki gedung apartemen di mana penthouse-nya berada. Ya, Selena memang tidak jadi meminta Dean mengantarnya ke kantornya. Setelah bertemu dengan Samuel dan Iris tadi membuat Selena memilih beristirahat di rumah. Saat ini yang Selena butuhkan adalah ketenangan diri. “Tidak usah berterima kasih, Selena. Ini memang tanggung jawabku mengantarkanmu pulang.” Dean menjawab dengan senyuman ramah di wajahnya. “Lain kali kau mau kan makan siang bersama denganku lagi?” Selena pun tersenyum. “Asalkan waktunya memang tepat, pasti aku mau, Dean. Yasudah, aku turun dulu, ya, Dean. Sampai jumpa.” “Sampai jumpa, Selena.” Dean membalas ucapan Selena. Pria itu menatap Selena yang sudah turun dari mobilnya. Tampak pancaran mata Dean menatap Selena penuh kekaguman. Dean tak berkedip sedikit pun. Hingga ketika Selena sudah memasuki lobby apartemen, Dean mulai melajukan mobiln
Selena menelan salivanya susah payah kala mendapatkan tatapan dingin dari sang ayah. Wanita itu masih menunduk dan tak berani melihat ayahnya. Kini Selena tengah duduk di ruang keluarga tepat di hadapan kedua orang tuanya. Selena masih diam dan tak tahu harus memulai percakapan apa dengan ayahnya. Jelas saja kecanggungan terjadi karena sudah lama Selena tidak berbicara dengan ayahnya. “Dad, bagaimana kabarmu?” Akhirnya Selena berusaha untuk memulai percakapan ringan. Pun Selena mulai memberanikan diri menatap sang ayah. “Aku rasa tanpa harus menjawab, kau sudah tahu bagaimana kabarku,” ucap William dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Selena terdiam sejenak. Dia sudah menduga ayahnya pasti akan menjawab seperti ini. Terlihat dari nada bicara ayahnya, masih sangat marah padanya. Meski telah lima tahun, tetapi kenyataannya amarah sang ayah tak kunjung menyurut. “Maafkan aku, Daddy. Aku sungguh minta maaf. Maaf karena telah membuatmu malu. Maaf karena tidak bisa menjadi anak yang
“Nona Selena, apa Anda sakit? Kalau memang Anda sedang kurang sehat, biar saya saja yang menggantikan pekerjaan Anda, Nona.” Suara Jenia—asisten Selena berujar mencemaskan keadaan Selena. Pasalnya sejak tadi pagi Selena seperti kurang sehat. Itu yang membuat Jenia menawarkan diri dan meminta bosnya untuk beristirahat. “Tidak … aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit lelah,” jawab Selena pelan. Pertemuan kemarin dengan kedua orang tuanya memang membuat Selena memikirkan banyak hal. Mungkin itu yang membuatnya menjadi kurang sehat. Hanya saja Selena tidak bisa bersantai-santai. Banyak pekerjaan menunggu dirinya. Jenia menganggukan kepalanya. “Nona Selena, saya ingin melaporkan tentang uang yang Anda minta untuk dikirimkan ke rekening Maxton & Maxton Company.” “Kau sudah mentransfer mereka kan?” tanya Selena memastikan. Beberapa hari lalu tepat kejadian di mana Samuel merobek cek tunai pemberiannya, Selena langsung meminta Jenia mentransfer uang sejumlah dua puluh ribu pound sterling k
Pelupuk mata Selena bergerak bersamaan dengan bulu mata lentiknya. Perlahan Selena mulai membuka mata. Dan tepat dikala Selena sudah membuka kedua matanya, dia mengerjap beberapa kali. Mata wanita itu menyipit kala merasa dirinya berada di sebuah kamar asing. Tapi … tunggu, tiba-tiba raut wajah Selena berubah kala aroma parfume maskulin tercium di indra penciumannya. Aroma yang tak asing. Sejenak, Selena berusaha mengingat-ingat kenapa dirinya berada di sini. Terakhir dirinya tengah bersama dengan Samuel berdebat dengan pria itu. Namun, Selena mengingat dengan jelas kala itu perdebatannya dengan Samuel tidaklah lama. Dirinya merasa lelah berdebat pria itu dan memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba mata Selena melebar mengingat dirinya sempat pusing hebat. Bahkan dia pun merasa tubuhnya tak bisa lagi berdiri.“Astaga, aku di mana ini?” guman Selena resah dan dilanda kepanikan hebat. “Kau sudah bangun?” Suara bariton melangkah memasuki kamar di mana Selena berada. Refleks, Selena mengali
“Samuel!” Iris berseru memanggil nama Samuel dengan nada cukup keras. Wanita itu melangkahkan kakinya memasuki kamar Samuel. Sebelumnya dia sudah diberitahu pelayan kalau tunangannya itu ada di kamarnya. Saat Iris tiba di kamar Samuel, tatapan wanita itu teralih pada Samuel yang tengah duduk di sofa tengah merokok. Tampak tatapan Iris menatap sebal Samuel. Terlebih ingatan Iris mengingat apa yang dikatakan oleh Selena. “Samuel!” seru Iris kala Samuel mengabaikannya. Samuel mengalihkan pandangannya, menatap dingin Iris yang mendekat padanya. Sepasang manik mata cokelat Samuel menunjukan kejengahan melihat Iris datang. “Kembalilah ke New York, Iris. Nanti aku akan segera menyusulmu setelah pekerjaanku di sini selesai,” ucapnya dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Samuel sengaja meminta Iris kembali ke New York. Pasalnya dia lelah dengan sang tunangan yang selalu mengganggunya. Sedangkan pikirannya belakangan ini tengah kacau. “Kenapa kau membawa Selena ke apartemenmu? Kau menyu
Suara tepuk tangan riuh terdengar dari para orang tua siswa dan siswi kala sang kepala sekolah memberikan kata sambutan untuk acara yang diselanggarakan ini. Acara perayaan ulang tahun sekolah ini terletak di lantai paling atas sekolah tepat di ruang outdoor. Tujuan mengadakan acara ini di ruang outdoor guna membuat para siswa dan siswi saling dekat. Tak hanya membangun kedekatan para siswa tapi juga membangun kedekatan para orang tua siswa dan siswi. Rangkaian acaranya salah satunya meminta para orang tua siswa untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Sebagai contoh sumbangan untuk anak-anak di luar sana yang kurang mampu. Selama pengumpulan dana, banyak orang tua siswa yang menyumbang untuk anak-anak di luar sana yang kurang mampu. Tentu Selena pun turut berpartisipasi memberikan sumbangan. Bukan hanya Selena saja tapi Samuel juga turut memberikan sumbangan. Meski sepanjang acara Samuel terlihat seolah acuh dan tak peduli tetapi kenyataannya Samuel adalah penyumbang denga
Selena membasuh wajahnya dengan air bersih. Wanita itu kini mematut cermin. Menatap wajahnya yang tadi memucat sudah jauh lebih baik. Sesekali Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Selena berusaha menenangkan dirinya agar tak cemas pada apa pun. Karena Selena yakin rahasia yang dia mati-matian tutup rapat tak akan pernah terbongkar. Apa yang terjadi hari ini hanyalah kebetulan di mana Samuel berada di sana. Selena memejamkan mata sesaat. Hatinya lelah. Setiap kali Oliver membahas tentang ayah putranya itu maka Selena merasakan mendapatkan cambuk yang keras. Sungguh, Selena beraharap Oliver mengerti dan tak lagi membahas tentang ayah dari putranya itu. “Kau terlihat cemas. Apa yang kau cemaskan, Selena?” Suara bariton memasuki toilet di mana Selena berada. Refleks, Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu—dan seketika raut wajah Selena berubah kala melihat Samuel mendekat padanya. Sepasang iris mata biru Selena melebar. Cemas. Panik. Takut. Semuany
“Nona ini obat Anda.” Sang pelayan memberikan obat pada Selena bersama dengan air putih hangat. Pun Selena langsung meminum obat yang diberikan oleh sang pelayan. Rasa sakit di kepalanya begitu menyerang membuat Selena meminta sang pelayan membawakan obat sakit kepala. Beberapa hari ini memang Selena begitu pusing karena memikirkan banyak hal. Itu yang membuat kesehatannya menurun. “Terima kasih.” Selena berucap pada sang pelayan kala dirinya sudah meminum obat. “Sama-sama, Nona. Hari ini apa Anda ke kantor?” tanya sang pelayan dengan sopan. “Tidak. Aku akan beristirahat di rumah saja,” jawab Selena dengan senyuman hangat di wajahnya. “Oh, ya, tadi saat putraku berangkat sekolah kau sudah membawakan dia bekal makanan kan?” tanyanya memastikan pada sang pelayan. “Sudah, Nona. Makanan, buah-buahan termasuk susu sudah saya masukan ke tas Tuan Muda Oliver,” ujar sang pelayan. Selena mendesah lega. Meski di sekolah, putranya itu mendapatkan makanan tapi tetap saja Selena selalu memin
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam
“Dean? Kau dari mana saja? Kenapa bertemu dokter lama sekali?” ujar Juliet bertanya seraya menatap Dean yang baru saja masuk ke dalam ruang rawatnya. Hampir satu jam Juliet menunggu Dean. Padahal sebelumnya, Dean hanya berpamitan padanya pergi keluar hanya sebentar saja. “Maaf, tadi aku sempat bertemu dengan temanku sebentar.” Dean duduk di tepi ranjang Juliet, menatap lekat Juliet. Dean memilih untuk beralasan bertemu dengan temannya di luar. Pasalnya, Dean tak mungkin menceritakan tentang Brianna pada Juliet. “Oh, begitu. Yasudah tidak apa-apa,” jawab Juliet yang mengerti. “Juliet, apa kau sudah makan?” “Belum, Dean. Aku belum makan. Aku menunggumu.”“Harusnya kau jangan menungguku, Juliet. Kau sedang sakit. Kalau kau terlambat makan, kapan kondisimu bisa cepat pulih?” “Maaf, Dean. Lain kali aku tidak akan terlambat makan.” “Yasudah, makanlah sekarang.” Dean mengalihkan pandangannya ke atas nakas, pria itu melihat ada makanan yang sudah tersedia di sana—lalu Dean mengambil ma