Selena membasuh wajahnya dengan air bersih. Wanita itu kini mematut cermin. Menatap wajahnya yang tadi memucat sudah jauh lebih baik. Sesekali Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Selena berusaha menenangkan dirinya agar tak cemas pada apa pun. Karena Selena yakin rahasia yang dia mati-matian tutup rapat tak akan pernah terbongkar. Apa yang terjadi hari ini hanyalah kebetulan di mana Samuel berada di sana. Selena memejamkan mata sesaat. Hatinya lelah. Setiap kali Oliver membahas tentang ayah putranya itu maka Selena merasakan mendapatkan cambuk yang keras. Sungguh, Selena beraharap Oliver mengerti dan tak lagi membahas tentang ayah dari putranya itu. “Kau terlihat cemas. Apa yang kau cemaskan, Selena?” Suara bariton memasuki toilet di mana Selena berada. Refleks, Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu—dan seketika raut wajah Selena berubah kala melihat Samuel mendekat padanya. Sepasang iris mata biru Selena melebar. Cemas. Panik. Takut. Semuany
“Nona ini obat Anda.” Sang pelayan memberikan obat pada Selena bersama dengan air putih hangat. Pun Selena langsung meminum obat yang diberikan oleh sang pelayan. Rasa sakit di kepalanya begitu menyerang membuat Selena meminta sang pelayan membawakan obat sakit kepala. Beberapa hari ini memang Selena begitu pusing karena memikirkan banyak hal. Itu yang membuat kesehatannya menurun. “Terima kasih.” Selena berucap pada sang pelayan kala dirinya sudah meminum obat. “Sama-sama, Nona. Hari ini apa Anda ke kantor?” tanya sang pelayan dengan sopan. “Tidak. Aku akan beristirahat di rumah saja,” jawab Selena dengan senyuman hangat di wajahnya. “Oh, ya, tadi saat putraku berangkat sekolah kau sudah membawakan dia bekal makanan kan?” tanyanya memastikan pada sang pelayan. “Sudah, Nona. Makanan, buah-buahan termasuk susu sudah saya masukan ke tas Tuan Muda Oliver,” ujar sang pelayan. Selena mendesah lega. Meski di sekolah, putranya itu mendapatkan makanan tapi tetap saja Selena selalu memin
“Mama aku pulang.”Suara bocah laki-laki memasuki rumah, menghampiri tempat di mana Selena berada. Refleks, Dean dan Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika raut wajah Dean berubah kala melihat seorang bocah laki-laki kini tengah memeluk Selena dengan erat. Pikiran Dean menjadi blank seketika dan tak mampu berpikir. “Mama … sopir bilang Mama ada di rumah karena sakit. Apa sekarang Mama masih sakit?” Oliver memeluk begitu erat Selena. Pun Selena membalas pelukan Oliver dengan begitu erat. Sedangkan Dean masih mematung diam seribu bahasa menatap Selena berpelukan dengan seorang bocah laki-laki. “Mama baik-baik saja, Oliver. Tadi Mama memang kurang enak badan tapi sekarang Mama sudah membaik,” ucap Selena pelan menenangkan agar Oliver tak mencemaskannya. Oliver mengurai pelukannya. Lalu tatapan bocah laki-laki itu tak sengaja menatap sosok pria asing yang tak dikenali. Oliver sedikit memiringkan kepalanya. Mengerjap-ngerjap mata beberapa kali. “Mama ini siapa?
Samuel membaca dokumen kasus client-nya yang sekarang tengah dia tangani. Pria itu tampak fokus melihat kasus yang baru saja dia tangani yaitu adanya yang memakai merk dagang salah satu client-nya tanpa izin. Hal ini membuat Samuel tengah sibuk dengan kasus hak paten. Di mana dia pun harus menyiapkan bahan di persidangan nanti guna mengupas tuntas kasus ini. Saat Samuel tengah fokus pada berkas yang ada di tangannya; tiba-tiba sekelebat bayangan Selena muncul di benaknya. Samuel langsung menutup berkas itu seraya mengeluarkan umpatan kasar. “Shit!” Samuel menyambar botol wine di hadapannya, menuangkan ke gelas sloki kosong yang ada di hadapannya. Menegaknya kasar. Terlihat raut wajah Samuel begitu kesal. Sudah dua hari ini Samuel tidak mengunjungi kantor barunya yang menjadi project dari Nicholas Design Interior. Tentu alasannya karena Samuel berusaha menghapus bayang-bayang Selena di benaknya. Namun, kenyataannya semakin Samuel menghapus semakin pria itu mengingat-ingat wanita itu.
“Beberapa hari lalu aku baru saja mendapatkan laporan kalau bulan depan akan ada yang membeli gedung yang waktu itu kita jual untuk dibangun apartemen. Tolong segera urus dan lakukan penawaran yang terbaik pada customer. Meeting cukup sampai di sini. Meeting selanjutnya akan diambil alih oleh Jenia.” Selena menutup meeting itu. Lalu dia melangkah keluar ruang meeting. Tampak para karyawan menundukan kepala mereka kala Selena sudah mengakhiri meetinh tersebut. “Nona Selena, hari ini Anda ingin menjemput Tuan Muda Oliver di sekolahnya?” tanya Jenia memastikan pada Selena. Selena mengangguk. “Iya, hari ini aku ingin menjemput putraku. Aku ingin makan siang bersama dengannya di salah satu restoran Jepang kesukaannya. Tolong kau urus pekerjaan di kantor, ya. Kalau ada terjadi sesuatu segera hubungi aku.” “Baik, Nona,” jawab Jenia patuh. Selena tersenyum. Kemudian, dia melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir perusahaannya. Namun tiba-tiba langkah Selena terhenti kala melihat di lo
“Apa kau sudah tidak waras, Maxton?!” Suara Selena berseru dengan nada tinggi seraya menatap Samuel Maxton yang ada di hadapannya. Emosi Selena tak lagi bisa tertahan menghadapi sifat Samuel yang tak masuk akal sehatnya. Pria di hadapannya ini begitu berani menculiknya. Dan hal tergila yang dilakukan oleh Samuel adalah membawa dirinya sekarang ke sebuah hotel terdekat dari Restoran Jepang di mana tadi dirinya bersama dengan putranya tengah makan siang. “Kenapa kau masih dekat-dekat dengan Dean? Bukannya aku sudah bilang kalau dia pria yang tidak pantas untukmu, Selena?” Samuel berucap dengan nada tinggi dan tersirat penuh ketegasan di sana. Sepasang iris mata cokelatnya menatap dingin dan tajam Selena. Pria itu tak mengindahkan ucapan Selena yang mengatakan diriya tak waras. Tujuan Samuel membawa Selena karena dia tak suka Selena bersama dengan Dean. “Demi Tuhan, Maxton! Kau memang benar-benar gila! Kau menculikku hanya karena mengatakan Dean tidak pantas untukku? Apa urusannya d
“Paman … tadi Paman ke mana? Kenapa meninggalkanku lama sekali?” Suara Joice bertanya saat Samuel menggendongnya memasuki kamar. Selama di London memang Samuel sering meluangkan waktu untuk keponakannya. Karena memang selama ini Samuel jarang bertemu dengan keponakannya. Jika bertemu pasti biasanya hari libur sekolah. “Maaf, tadi Paman sedang menerima telepon penting dari rekan bisnis Paman.” Samuel mendudukan tubuh Joice di tepi ranjang. Terpaksa Samuel harus membohongi keponakannya. Tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya. Joice mengangguk-anggukan kepalanya. “Oh, ya, Paman. Mendekatlah padaku. Aku ingin melihat mata Paman.” Samuel menuruti permintaan keponakannya. Pria itu mendekatkan wajahnya pada keponakannya itu. Pun Joice menatap lekat-lekat mata Samuel dengan tatapan polosnya. “Mata Paman mirip Oliver. Berwarna cokelat dan memiliki bulu mata panjang.” Alis Samuel terangkat, menatap Joice. “Bukankah orang yang memiliki mata warna cokelat itu banyak?” “Berbeda, Pama
“Tuan Samuel, apa setelah project pembangunan perusahaan selesai; Anda akan segera kembali ke New York, Tuan?” Suara Vian bertanya pada Samuel yang tengah memeriksa dokumen kasus yang belakangan ini Samuel tangani. Tampak raut wajah Samuel begitu serius memeriksa dokumen tersebut. “Aku belum tahu. Aku akan memutuskan jika pembangunan perusahaan kita sudah seratus persen selesai.” Samuel menutup berkas yang dia tadi baca lalu melanjutkan, “Setelah ini, kau memeriksa dokumen yang menyangkut pajak, dan segera berikan kasus itu pada pengacara sudah berpengalaman cukup lama di bidang ini.” Vian menganggukan kepalanya. “Baik, Tuan.” “Keluarlah. Selesaikan pekerjaamu yang lain,” ucap Samuel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Vian langsung menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Samuel. Kini Samuel menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya seraya memejamkan mata lelah. Tak lama lagi project pembangunan perusahaannya yang ditangani oleh Nicholas Design Interior aka