Suara tepuk tangan riuh terdengar dari para orang tua siswa dan siswi kala sang kepala sekolah memberikan kata sambutan untuk acara yang diselanggarakan ini. Acara perayaan ulang tahun sekolah ini terletak di lantai paling atas sekolah tepat di ruang outdoor. Tujuan mengadakan acara ini di ruang outdoor guna membuat para siswa dan siswi saling dekat. Tak hanya membangun kedekatan para siswa tapi juga membangun kedekatan para orang tua siswa dan siswi. Rangkaian acaranya salah satunya meminta para orang tua siswa untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Sebagai contoh sumbangan untuk anak-anak di luar sana yang kurang mampu. Selama pengumpulan dana, banyak orang tua siswa yang menyumbang untuk anak-anak di luar sana yang kurang mampu. Tentu Selena pun turut berpartisipasi memberikan sumbangan. Bukan hanya Selena saja tapi Samuel juga turut memberikan sumbangan. Meski sepanjang acara Samuel terlihat seolah acuh dan tak peduli tetapi kenyataannya Samuel adalah penyumbang denga
Selena membasuh wajahnya dengan air bersih. Wanita itu kini mematut cermin. Menatap wajahnya yang tadi memucat sudah jauh lebih baik. Sesekali Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Selena berusaha menenangkan dirinya agar tak cemas pada apa pun. Karena Selena yakin rahasia yang dia mati-matian tutup rapat tak akan pernah terbongkar. Apa yang terjadi hari ini hanyalah kebetulan di mana Samuel berada di sana. Selena memejamkan mata sesaat. Hatinya lelah. Setiap kali Oliver membahas tentang ayah putranya itu maka Selena merasakan mendapatkan cambuk yang keras. Sungguh, Selena beraharap Oliver mengerti dan tak lagi membahas tentang ayah dari putranya itu. “Kau terlihat cemas. Apa yang kau cemaskan, Selena?” Suara bariton memasuki toilet di mana Selena berada. Refleks, Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu—dan seketika raut wajah Selena berubah kala melihat Samuel mendekat padanya. Sepasang iris mata biru Selena melebar. Cemas. Panik. Takut. Semuany
“Nona ini obat Anda.” Sang pelayan memberikan obat pada Selena bersama dengan air putih hangat. Pun Selena langsung meminum obat yang diberikan oleh sang pelayan. Rasa sakit di kepalanya begitu menyerang membuat Selena meminta sang pelayan membawakan obat sakit kepala. Beberapa hari ini memang Selena begitu pusing karena memikirkan banyak hal. Itu yang membuat kesehatannya menurun. “Terima kasih.” Selena berucap pada sang pelayan kala dirinya sudah meminum obat. “Sama-sama, Nona. Hari ini apa Anda ke kantor?” tanya sang pelayan dengan sopan. “Tidak. Aku akan beristirahat di rumah saja,” jawab Selena dengan senyuman hangat di wajahnya. “Oh, ya, tadi saat putraku berangkat sekolah kau sudah membawakan dia bekal makanan kan?” tanyanya memastikan pada sang pelayan. “Sudah, Nona. Makanan, buah-buahan termasuk susu sudah saya masukan ke tas Tuan Muda Oliver,” ujar sang pelayan. Selena mendesah lega. Meski di sekolah, putranya itu mendapatkan makanan tapi tetap saja Selena selalu memin
“Mama aku pulang.”Suara bocah laki-laki memasuki rumah, menghampiri tempat di mana Selena berada. Refleks, Dean dan Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika raut wajah Dean berubah kala melihat seorang bocah laki-laki kini tengah memeluk Selena dengan erat. Pikiran Dean menjadi blank seketika dan tak mampu berpikir. “Mama … sopir bilang Mama ada di rumah karena sakit. Apa sekarang Mama masih sakit?” Oliver memeluk begitu erat Selena. Pun Selena membalas pelukan Oliver dengan begitu erat. Sedangkan Dean masih mematung diam seribu bahasa menatap Selena berpelukan dengan seorang bocah laki-laki. “Mama baik-baik saja, Oliver. Tadi Mama memang kurang enak badan tapi sekarang Mama sudah membaik,” ucap Selena pelan menenangkan agar Oliver tak mencemaskannya. Oliver mengurai pelukannya. Lalu tatapan bocah laki-laki itu tak sengaja menatap sosok pria asing yang tak dikenali. Oliver sedikit memiringkan kepalanya. Mengerjap-ngerjap mata beberapa kali. “Mama ini siapa?
Samuel membaca dokumen kasus client-nya yang sekarang tengah dia tangani. Pria itu tampak fokus melihat kasus yang baru saja dia tangani yaitu adanya yang memakai merk dagang salah satu client-nya tanpa izin. Hal ini membuat Samuel tengah sibuk dengan kasus hak paten. Di mana dia pun harus menyiapkan bahan di persidangan nanti guna mengupas tuntas kasus ini. Saat Samuel tengah fokus pada berkas yang ada di tangannya; tiba-tiba sekelebat bayangan Selena muncul di benaknya. Samuel langsung menutup berkas itu seraya mengeluarkan umpatan kasar. “Shit!” Samuel menyambar botol wine di hadapannya, menuangkan ke gelas sloki kosong yang ada di hadapannya. Menegaknya kasar. Terlihat raut wajah Samuel begitu kesal. Sudah dua hari ini Samuel tidak mengunjungi kantor barunya yang menjadi project dari Nicholas Design Interior. Tentu alasannya karena Samuel berusaha menghapus bayang-bayang Selena di benaknya. Namun, kenyataannya semakin Samuel menghapus semakin pria itu mengingat-ingat wanita itu.
“Beberapa hari lalu aku baru saja mendapatkan laporan kalau bulan depan akan ada yang membeli gedung yang waktu itu kita jual untuk dibangun apartemen. Tolong segera urus dan lakukan penawaran yang terbaik pada customer. Meeting cukup sampai di sini. Meeting selanjutnya akan diambil alih oleh Jenia.” Selena menutup meeting itu. Lalu dia melangkah keluar ruang meeting. Tampak para karyawan menundukan kepala mereka kala Selena sudah mengakhiri meetinh tersebut. “Nona Selena, hari ini Anda ingin menjemput Tuan Muda Oliver di sekolahnya?” tanya Jenia memastikan pada Selena. Selena mengangguk. “Iya, hari ini aku ingin menjemput putraku. Aku ingin makan siang bersama dengannya di salah satu restoran Jepang kesukaannya. Tolong kau urus pekerjaan di kantor, ya. Kalau ada terjadi sesuatu segera hubungi aku.” “Baik, Nona,” jawab Jenia patuh. Selena tersenyum. Kemudian, dia melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir perusahaannya. Namun tiba-tiba langkah Selena terhenti kala melihat di lo
“Apa kau sudah tidak waras, Maxton?!” Suara Selena berseru dengan nada tinggi seraya menatap Samuel Maxton yang ada di hadapannya. Emosi Selena tak lagi bisa tertahan menghadapi sifat Samuel yang tak masuk akal sehatnya. Pria di hadapannya ini begitu berani menculiknya. Dan hal tergila yang dilakukan oleh Samuel adalah membawa dirinya sekarang ke sebuah hotel terdekat dari Restoran Jepang di mana tadi dirinya bersama dengan putranya tengah makan siang. “Kenapa kau masih dekat-dekat dengan Dean? Bukannya aku sudah bilang kalau dia pria yang tidak pantas untukmu, Selena?” Samuel berucap dengan nada tinggi dan tersirat penuh ketegasan di sana. Sepasang iris mata cokelatnya menatap dingin dan tajam Selena. Pria itu tak mengindahkan ucapan Selena yang mengatakan diriya tak waras. Tujuan Samuel membawa Selena karena dia tak suka Selena bersama dengan Dean. “Demi Tuhan, Maxton! Kau memang benar-benar gila! Kau menculikku hanya karena mengatakan Dean tidak pantas untukku? Apa urusannya d
“Paman … tadi Paman ke mana? Kenapa meninggalkanku lama sekali?” Suara Joice bertanya saat Samuel menggendongnya memasuki kamar. Selama di London memang Samuel sering meluangkan waktu untuk keponakannya. Karena memang selama ini Samuel jarang bertemu dengan keponakannya. Jika bertemu pasti biasanya hari libur sekolah. “Maaf, tadi Paman sedang menerima telepon penting dari rekan bisnis Paman.” Samuel mendudukan tubuh Joice di tepi ranjang. Terpaksa Samuel harus membohongi keponakannya. Tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya. Joice mengangguk-anggukan kepalanya. “Oh, ya, Paman. Mendekatlah padaku. Aku ingin melihat mata Paman.” Samuel menuruti permintaan keponakannya. Pria itu mendekatkan wajahnya pada keponakannya itu. Pun Joice menatap lekat-lekat mata Samuel dengan tatapan polosnya. “Mata Paman mirip Oliver. Berwarna cokelat dan memiliki bulu mata panjang.” Alis Samuel terangkat, menatap Joice. “Bukankah orang yang memiliki mata warna cokelat itu banyak?” “Berbeda, Pama
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam
“Dean? Kau dari mana saja? Kenapa bertemu dokter lama sekali?” ujar Juliet bertanya seraya menatap Dean yang baru saja masuk ke dalam ruang rawatnya. Hampir satu jam Juliet menunggu Dean. Padahal sebelumnya, Dean hanya berpamitan padanya pergi keluar hanya sebentar saja. “Maaf, tadi aku sempat bertemu dengan temanku sebentar.” Dean duduk di tepi ranjang Juliet, menatap lekat Juliet. Dean memilih untuk beralasan bertemu dengan temannya di luar. Pasalnya, Dean tak mungkin menceritakan tentang Brianna pada Juliet. “Oh, begitu. Yasudah tidak apa-apa,” jawab Juliet yang mengerti. “Juliet, apa kau sudah makan?” “Belum, Dean. Aku belum makan. Aku menunggumu.”“Harusnya kau jangan menungguku, Juliet. Kau sedang sakit. Kalau kau terlambat makan, kapan kondisimu bisa cepat pulih?” “Maaf, Dean. Lain kali aku tidak akan terlambat makan.” “Yasudah, makanlah sekarang.” Dean mengalihkan pandangannya ke atas nakas, pria itu melihat ada makanan yang sudah tersedia di sana—lalu Dean mengambil ma