“Mama aku pulang.”Suara bocah laki-laki memasuki rumah, menghampiri tempat di mana Selena berada. Refleks, Dean dan Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika raut wajah Dean berubah kala melihat seorang bocah laki-laki kini tengah memeluk Selena dengan erat. Pikiran Dean menjadi blank seketika dan tak mampu berpikir. “Mama … sopir bilang Mama ada di rumah karena sakit. Apa sekarang Mama masih sakit?” Oliver memeluk begitu erat Selena. Pun Selena membalas pelukan Oliver dengan begitu erat. Sedangkan Dean masih mematung diam seribu bahasa menatap Selena berpelukan dengan seorang bocah laki-laki. “Mama baik-baik saja, Oliver. Tadi Mama memang kurang enak badan tapi sekarang Mama sudah membaik,” ucap Selena pelan menenangkan agar Oliver tak mencemaskannya. Oliver mengurai pelukannya. Lalu tatapan bocah laki-laki itu tak sengaja menatap sosok pria asing yang tak dikenali. Oliver sedikit memiringkan kepalanya. Mengerjap-ngerjap mata beberapa kali. “Mama ini siapa?
Samuel membaca dokumen kasus client-nya yang sekarang tengah dia tangani. Pria itu tampak fokus melihat kasus yang baru saja dia tangani yaitu adanya yang memakai merk dagang salah satu client-nya tanpa izin. Hal ini membuat Samuel tengah sibuk dengan kasus hak paten. Di mana dia pun harus menyiapkan bahan di persidangan nanti guna mengupas tuntas kasus ini. Saat Samuel tengah fokus pada berkas yang ada di tangannya; tiba-tiba sekelebat bayangan Selena muncul di benaknya. Samuel langsung menutup berkas itu seraya mengeluarkan umpatan kasar. “Shit!” Samuel menyambar botol wine di hadapannya, menuangkan ke gelas sloki kosong yang ada di hadapannya. Menegaknya kasar. Terlihat raut wajah Samuel begitu kesal. Sudah dua hari ini Samuel tidak mengunjungi kantor barunya yang menjadi project dari Nicholas Design Interior. Tentu alasannya karena Samuel berusaha menghapus bayang-bayang Selena di benaknya. Namun, kenyataannya semakin Samuel menghapus semakin pria itu mengingat-ingat wanita itu.
“Beberapa hari lalu aku baru saja mendapatkan laporan kalau bulan depan akan ada yang membeli gedung yang waktu itu kita jual untuk dibangun apartemen. Tolong segera urus dan lakukan penawaran yang terbaik pada customer. Meeting cukup sampai di sini. Meeting selanjutnya akan diambil alih oleh Jenia.” Selena menutup meeting itu. Lalu dia melangkah keluar ruang meeting. Tampak para karyawan menundukan kepala mereka kala Selena sudah mengakhiri meetinh tersebut. “Nona Selena, hari ini Anda ingin menjemput Tuan Muda Oliver di sekolahnya?” tanya Jenia memastikan pada Selena. Selena mengangguk. “Iya, hari ini aku ingin menjemput putraku. Aku ingin makan siang bersama dengannya di salah satu restoran Jepang kesukaannya. Tolong kau urus pekerjaan di kantor, ya. Kalau ada terjadi sesuatu segera hubungi aku.” “Baik, Nona,” jawab Jenia patuh. Selena tersenyum. Kemudian, dia melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir perusahaannya. Namun tiba-tiba langkah Selena terhenti kala melihat di lo
“Apa kau sudah tidak waras, Maxton?!” Suara Selena berseru dengan nada tinggi seraya menatap Samuel Maxton yang ada di hadapannya. Emosi Selena tak lagi bisa tertahan menghadapi sifat Samuel yang tak masuk akal sehatnya. Pria di hadapannya ini begitu berani menculiknya. Dan hal tergila yang dilakukan oleh Samuel adalah membawa dirinya sekarang ke sebuah hotel terdekat dari Restoran Jepang di mana tadi dirinya bersama dengan putranya tengah makan siang. “Kenapa kau masih dekat-dekat dengan Dean? Bukannya aku sudah bilang kalau dia pria yang tidak pantas untukmu, Selena?” Samuel berucap dengan nada tinggi dan tersirat penuh ketegasan di sana. Sepasang iris mata cokelatnya menatap dingin dan tajam Selena. Pria itu tak mengindahkan ucapan Selena yang mengatakan diriya tak waras. Tujuan Samuel membawa Selena karena dia tak suka Selena bersama dengan Dean. “Demi Tuhan, Maxton! Kau memang benar-benar gila! Kau menculikku hanya karena mengatakan Dean tidak pantas untukku? Apa urusannya d
“Paman … tadi Paman ke mana? Kenapa meninggalkanku lama sekali?” Suara Joice bertanya saat Samuel menggendongnya memasuki kamar. Selama di London memang Samuel sering meluangkan waktu untuk keponakannya. Karena memang selama ini Samuel jarang bertemu dengan keponakannya. Jika bertemu pasti biasanya hari libur sekolah. “Maaf, tadi Paman sedang menerima telepon penting dari rekan bisnis Paman.” Samuel mendudukan tubuh Joice di tepi ranjang. Terpaksa Samuel harus membohongi keponakannya. Tidak mungkin dia mengatakan yang sejujurnya. Joice mengangguk-anggukan kepalanya. “Oh, ya, Paman. Mendekatlah padaku. Aku ingin melihat mata Paman.” Samuel menuruti permintaan keponakannya. Pria itu mendekatkan wajahnya pada keponakannya itu. Pun Joice menatap lekat-lekat mata Samuel dengan tatapan polosnya. “Mata Paman mirip Oliver. Berwarna cokelat dan memiliki bulu mata panjang.” Alis Samuel terangkat, menatap Joice. “Bukankah orang yang memiliki mata warna cokelat itu banyak?” “Berbeda, Pama
“Tuan Samuel, apa setelah project pembangunan perusahaan selesai; Anda akan segera kembali ke New York, Tuan?” Suara Vian bertanya pada Samuel yang tengah memeriksa dokumen kasus yang belakangan ini Samuel tangani. Tampak raut wajah Samuel begitu serius memeriksa dokumen tersebut. “Aku belum tahu. Aku akan memutuskan jika pembangunan perusahaan kita sudah seratus persen selesai.” Samuel menutup berkas yang dia tadi baca lalu melanjutkan, “Setelah ini, kau memeriksa dokumen yang menyangkut pajak, dan segera berikan kasus itu pada pengacara sudah berpengalaman cukup lama di bidang ini.” Vian menganggukan kepalanya. “Baik, Tuan.” “Keluarlah. Selesaikan pekerjaamu yang lain,” ucap Samuel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Vian langsung menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Samuel. Kini Samuel menyandarkan punggungnya di kursi kerjanya seraya memejamkan mata lelah. Tak lama lagi project pembangunan perusahaannya yang ditangani oleh Nicholas Design Interior aka
Pesta yang diadakan oleh Rava Chayton memang tak begitu banyak tamu undangan. Hanya beberapa rekan bisnis terdekat dengan Rava Chayton saja. Namun, meski tidak banyak tetap saja Selena cukup lelah merespon para tamu undangan yang menyapa dirinya. Dan beberapa di antaranya mengajaknya berkenalan. Memang ada sebagian yang mengenal dirinya berasal dari Keluarga Geovan. Akan tetapi ada juga yang lupa. Pasalnya Selena sudah lama tak muncul. Pun Selena sudah lama tidak menggunakan nama ‘Geovan’ setiap orang yang mengajaknya berkenalan, Selena selalu menggunakan nama ‘Nicholas’ meski dirinya sudah berbicara dengan sang ayah tetapi Selena tetap merasa tidak pantas menyandang nama ‘Geovan’ di belakang namanya. “Nona Selena, Anda sangat cantik malam ini. Apa Anda hanya datang ke pesta ini hanya sendiri?” ujar seorang pria berperawakan tampan dan berusia matang menyapa Selena. “Terima kasih, Tuan. Dan, ya … saya sendiri di sini,” jawab Selena ramah. Kalau boleh jujur sudah tak lagi terhitung p
“Ke mana Selena? Kenapa tadi aku lihat dia seperti marah? Kau apakan dia, Samuel?” Suara Rava bertanya seraya melangkah menghampiri Samuel yang tengah meminum champagne. Tampak tatapan Rava menatap lekat Samuel penuh selidik. Pasalnya tadi Rava melihat Selena meninggalkan Samuel dengan tatapan kesal. Sedangkan Samuel malah menatap Selena dengan senyuman misterius. Itu yang membuat Rava semakin curiga. Rava yakin pasti ada sesuatu sampai membuat Selena marah. “Aku tidak melakukan apa pun padanya. Hanya pembicaraan ringan saja,” jawab Samuel dengan santai seraya menyesap kembali champagne di tangannya. Rava menatap curiga Samuel. “Apa kau memiliki hubungan khusus pada Selena Geovan?” tanyanya penuh interogasi. Semakin ke sini Rava mencurigai Samuel memiliki hubungan khusus dengan Selena. Pasalnya Samuel selalu marah setiap kali dirinya mencoba mendekati Selena. Bukan hanya dirinya saja tapi juga pria lain. “No, aku tidak memiliki hubungan apa pun dengannya,” jawab Samuel datar denga
Paris, Perancis. Suara lenguhan memenuhi kamar hotel megah itu. Ranjang luas itu menjadi tempat di mana dua insan telah melakukan pergulatan panas. Erangan yang tak henti-henti begitu merdu di telinga keduanya. Lagi dan lagi tak pernah mereka bosan melakukan pergulatan panas di atas ranjang. Letupan gairah dan hasrat membara telah tergulung menjadi satu di sana meluapkan api candu yang tak pernah padam. Hingga ketika telah mencapai puncak, semburan lahar panas memasuki rahim sang wanita. Napas sang wanita terengah-engah. Tubuhnya terkulai lemah. Pagi hari mendapatkan serangan membuatnya tak memiliki energy untuk beranjak dari tempat tidur. Bulan madu singkat terisikan dengan indahnya percintaan dua insan itu. Tubuh mereka saling berdamba akan sentuhan satu sama lain. Tak ada satu malam pun yang terlewatkan untuk melakukan pergulatan panas. Mereka melebur menjadi satu, seolah tak bisa terpisahkan. “Rava, besok kita harus libur. Kau membuatku tidak bisa jalan. Kau ini bagaimana kena
“Wah, kalian sudah datang! Ayo masuk.” Stella—istri Sean menyambut kedatangan Selena, Samuel, Oliver, Brianna, Dean, dan juga Joice. Senyuman di wajah Stella begitu indah dan penuh kehangatan. “Maaf kami lama.” Selena memeluk Stella, bergantian dengan Brianna yang juga memeluk Selena. Pun Oliver dan Joice yang sudah turun dari gendongan ayah mereka, langsung memberikan pelukan pada Stella. Tentu Stella segera membalas pelukan Oliver dan Joice. “Tidak usah meminta maaf, Selena. Kalian datang tepat waktu,” jawab Stella lembut. Selena tersenyum samar. “Dad dan Mom ada di rumah, kan?” tanyanya. “Dad dan Mom lagi di jalan arah pulang. Dad dan Mom baru berbaikan. Jadi jangan heran kalau kau lihat Mom masih bersikap dingin pada Dad,” ujar Stella mengingatkan. “Ah, Mom masih cemburu pada wanita yang mendekati Dad?” tanya Selena menahan geli di senyumannya. Stella mendesah panjang. “Iya, padahal Dad tidak pernah merespon wanita itu. Ini semua ulah Dominic. Aku dengar Mom dibujuk Dad samp
Selena menatap deretan koleksi-koleksi dress indah miliknya, namun entah kenapa Selena merasa dress-dress yang ada di hadapannya sudah tak lagi indah jika dipakainya. Padahal tubuhnya pun belum terlalu gemuk tapi Selena merasa bandannya seperti badut. Sesaat, Selena manatap cermin, wajahnya telah dirias make-up tipis. Memakai lipstick pun Selena sangat malas. Hanya lip balm yang dia pakai demi menjaga kesehatan bibir. Kehamilan kedua ini lebih membuat Selena malas berias. Dulu pun ketika hamil Oliver, dirinya malas berias tapi kehamilan kedua jauh membuat Selena malas. “Sayang, apa kau sudah siap?” Samuel melangkah mendekat pada Selena yang berada di walk-in closet. Tampak kening Samuel mengerut kala melihat sang istri belum mengganti pakaian. Selena masih memakai gaun sederhana khusus yang biasa dipakai di rumah. “Sayang, aku bingung harus pakai baju apa.” Selena langsung membenamkan wajahnya di dada bidang Samuel. “Sepertinya dress-dress milikku sudah tidak cocok lagi dipakai a
Berita pernikahan Rava dan Juliet telah menyebar ke publik. Tak hanya berita pernikahan Rava dan Juliet saja tapi juga berita pernikahan Dean dan Brianna. Yang sempat menghebohkan publik adalah sebelumnya Juliet diberitakan akan menikah dengan Dean Osbert, tapi malah akhirnya Dean akan menikah dengan Brianna Maxton. Itu yang membuat banyak wartawan mengajukan pertanyaan. Namun, baik pihak Dean atau Rava mengatakan bahwa mereka telah menemukan pasangan yang terbaik masing-masing. Persiapan pernikahan Rava dan Juliet sudah lebih dulu rampung. Pasalnya memang pernikahan Rava dan Juliet lebih dulu dari pernikahan Dean dan Brianna. Tentu Rava tak bisa menunda-nunda pernikahannya dengan Juliet karena kondisi Juliet yang sudah hamil muda. Beberapa hari lalu, Neva Telisa—ibu Juliet sudah meminta maaf pada keluarga besar Maxton, karena telah mengamuk bahkan sampai melukai banyak penjaga di kediaman keluarga Maxton. Setelah Rava mendatangi langsung keluarga Juliet, menjelaskan apa yang sebena
Juliet menatap langit malam yang dihiasi bulan dan bintang. Wanita itu berdiri di taman dekat apartemennya. Cuaca malam itu begitu cerah. Langit malam pun terang tak mendung. Itu yang membuat Juliet ingin menikmati suasana malam. Sesekali Juliet menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Memejamkan mata kala embusan angin pun menerpa kulitnya. Keheningan menyelimuti tempat di mana Juliet berada. Tentu Juliet tak hanya sendiri. Di samping Juliet ada Rava yang sedari tadi setia menemaninya. Tak banyak percakapan yang berlangsung, Juliet masih diam seribu bahasa. Sejak di mana Rava datang ke keluarga Maxton, Juliet masih belum berkomentar apa pun. Ya, semua yang terjadi memang begitu mengejutkan. Lebih tepatnya Juliet tak menyangka akan berada di titik sekarang ini. Hubungan yang benar-benar sangatlah rumit. “Kau tidak mau bicara apa pun padaku, Juliet?” tanya Rava seraya menatap Juliet yang sedari tadi menatap langit luas. “Aku bingung, Rava,” ucap Juliet pelan. Rava meraih kedu
“Jangan salahkan Juliet. Aku yang bersalah. Anak yang di kandung Juliet adalah anakku.” Suara berat seorang pria memasuki ruangan di mana keluarga Maxton berkumpul bersama dengan Dean dan Juliet. Ya, suara berat itu sukses membuat semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Seketika semua orang di sana terkejut melihat sosok pria yang tak asing di mata mereka. Pria tampan berpakaian santai. Kaus hitam membalut tubuh kekarnya. Wajah yang nampak sebagai pria penggoda para wanita. Aura ketegasan namun terselimuti akan sifat yang santai dan tenang. Bibir semua orang di sana menganga lebar akibat keterkejutan. Hening. Ruang keluarga megah itu hening belum ada suara sedikit pun. Mereka semua masih diam membeku di tempat. Semua orang itu mengenal sosok pria yang datang, tapi tidak dengan Juliet. Hanya Juliet yang sama sekali tak mengenal wajah pria itu. Namun, suara pria itu nampak tak asing di telinga Juliet. “Rava? Kau—” Samuel nyaris kehilangan kat
Keesokan hari, Brianna dan Dean langsung bersiap-siap untuk meninggalkan apartemen. Setelah tadi malam mereka menghabiskan malam bersama, sekarang sudah waktunya mereka untuk menyelesaikan kembali masalah yang menghampiri mereka. Baik Dean ataupun Brianna memang tak ingin menunda-nunda. Terlebih masalah hadir sampai melibatkan pihak keluarga. “Brianna, aku akan mengantarmu pulang. Setelah mengantarmu, aku akan ke apartemen Juliet,” ucap Dean yang ingin mengantarkan Brianna pulang ke rumah. “Tidak usah, Dean. Aku pulang sendiri saja. Aku kan bawa mobil.” Brianna membelai rahang Dean lembut seraya memberikan kecupan di sana. “Aku mengantarmu saja. Aku tidak tenang kau pulang sendiri,” balas Dean yang tak suka jika Brianna pulang sendiri. Brianna menghela napas dalam. Wanita itu melingkarkan tangannya ke leher Dean, merapatkan tubuhnya ke tubuh pria itu. “Dean, kalau kau mengantarku pulang masalah akan semakin rumit. Kakakku akan mencercamu dengan banyaknya pertanyaan. Aku tidak mau
Malam semakin larut. Udara dingin menyelinap masuk ke dalam sela-sela jendela. Dua insan terbaring di ranjang dengan posisi saling berpelukan seakan tak ingin terlepas. Tampak Dean yang sudah lebih dulu bangun, tak lepas menatap Brianna yang terlelap dalam pelukannya. Wajah cantik Brianna seakan memanjakan mata Dean, hingga membuatnya tak bisa berpaling sedikit pun dari wanita itu. Tak bisa memungkiri, Brianna memiliki pesona yang istimewa. Sejak awal Dean melihat Brianna, hatinya meraskan sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya. Tak pernah Dean kira bahwa Brianna adalah pemilik kalung yang selama ini dia cari. Dunia benar-benar sempit. Andai Dean tahu lebih awal, maka Dean tak akan pernah membiarkan Brianna menikahi seorang pria berengsek. Dean membelai pipi Brianna. Lantas, pria itu menarik dagu Brianna, mencium dan melumat lembut bibir Brianna. Manis, sangat manis. Bibir Brianna layaknya nikotin yang membuat Dean kecanduan. Dean seakan tak bisa berhenti mencium Brianna. Segala
“Shit!” Dean mengumpat kasar kala melihat truck menghadang mobilnya, hingga membuatnya tak bisa mencari sela. Sialnya, mobil Brianna sudah melaju lebih dulu dari truck yang menghadang Dean, dan membuat Dean kehilangan jejak keberadaan Selena. Andai saja tak ada truck yang menghalangi sudah pasti Dean bisa mengejar mobil Brianna. Dean menekan klakson mobilnya agar truck di depan memberikan jalan. Dan ketika truck di depannya memberikan sedikit sela, Dean menginjak pedal gas kuat-kuat—melajukan kecepatan penuh menyalip mobil-mobil yang menghalanginya. Dean tak peduli melanggar aturan lalu lintas sekalipun. Yang Dean pikirkan saat ini hanyalah Brianna. Dean tak mau menunda-nunda. Dia harus menjelaskan sekarang pada Brianna agar Brianna tidak salah paham. Dean mengendarkan pandangannya ke sekitar, mobil Brianna benar-benar sudah tidak ada. Tanpa menunggu lama, Dean langsung mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi nomor Brianna. Namun, sayangnya nomor ponsel Brianna tidaklah aktif.