Suara dering ponsel terdengar, membuat Samuel yang tengah berbicara dengan Rava; langsung mengalihkan pandangannya pada ponselnya yang tak henti berdering itu. Awalnya Samuel hendak menolak panggilan itu namun Samuel mengurungkan niatnya kala melihat di layar terpampang nomor Iris—tunangannya. Detik selanjutnya, Samuel menggeser tombol hijau untuk menerima panggilan tersebut. “Ada apa, Iris?” jawab Samuel datar kala panggilan terhubung. “Sayang, kau di mana?” ujar Iris dari seberang sana. “Aku sedang bersama Rava. Kenapa?” “Sayang, minggu ini aku belum bisa kembali ke London. Aku masih banyak pemotretan.”“Kau selesaikan saja pekerjaanmu.” “Kapan perusahaanmu yang sedang dibangun Nicholas Design Interior akan selesai? Kenapa lama sekali, Sayang? Aku tidak suka kau terlalu dekat dengan Selena. Aku cemburu, Samuel.” “CK! Singkirkan pikiran konyolmu itu, Iris.” “Tapi aku—” “Kau bisa menghubungiku lagi besok. Tidak sekarang. Aku ingin istirahat.” Samuel langsung menutup panggilan
“Proses pria sialan itu ke jalur hukum. Jebloskan dia ke penjara. Aku tidak mentoleransi sedikit pun. Aku juga tidak peduli meski dia pengusaha ternama sekalipun. Aku tidak akan membiarkan pria itu meminta maaf pada Selena. Maaf tidak akan mengubah keadaan. Selena pasti akan trauma karena kejadian kemarin.” Samuel berucap dengan dingin dan tegas pada Vian—asistennya yang ada di hadapannya. Pagi ini, Vian langsung datang menemui Samuel untuk membahas tentang kejadian tadi malam. Pria yang kemarin melecehkan Selena adalah Yagil Upton—salah satu pengusaha yang baru-baru ini memiliki popularitas tinggi. Wajar saja Yagil tak mengenali Selena karena tadi malam dia mabuk berat. Lepas dari itu beberapa tahun terakhir Selena pun sekarang jarang muncul di pertemuan bisnis. Itu kenapa banyak yang tak mengenali Selena. “Maaf, Tuan. Tapi pihak Yagil Upton berusaha ingin bertemu dengan Nona Selena. Beliau juga memaksa Tuan Rava agar bisa bertemu dengan Anda, Tuan,” jawab Vian melaporkan. “Aku ti
“Nona Selena?” Sang pelayan menyapa Selena yang baru saja keluar kamar. Kini tubuh Selena sudah terbalut oleh dress berwarna peach. Warna yang lembut itu sangat indah di tubuh Selena. Gaun itu memang bermodel simple tapi jika sudah dipakai Selena maka gaun itu tampak elegan dan anggun. “Di mana, Samuel?” tanya Selena seraya menatap sang pelayan yang berdiri di hadapannya. “Tuan Samuel berada di ruang kerjanya, Nona. Mari saya antar Anda ke ruang kerja beliau. Sebelumnya, Tuan Samuel berpesan ingin Anda menemuinya di ruang kerjanya,” jawab sang pelayan memberitahu. Selena terdiam beberapa saat. Sebenarnya Selena ingin langsung pulang ke rumah. Tapi bagaimana pun Samuel sudah menolongnya. Mau tak mau Selena paling tidak harus izin keluar apartemen pria itu. Dia tak bisa pergi begitu saja tanpa pamit. Detik selanjutnya, Selena menganggukan kepalanya merespon ucapan sang pelayan. Kini Selena melangkah mengikuti pelayan itu menuju ruang kerja Samuel. Tampak Selena sedikit mengendarkan
Keheningan membentang dari dalam mobil. Baik Samuel dan Selena tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka saling diam. Samuel fokus melajukan mobilnya, dan Selena memilih untuk menatap ke luar jendela. Siang itu cuaca begitu mendung. Langit cerah telah tertutup awan gelap. Dan itu yang membuat perhatian Selena teralih pada hamparan langit yang mendung. Hingga kemudian, mobil yang dilajukan oleh Samuel mulai memasuki halaman parkir gedung apartemen di mana penthouse milik Selena berada. Tampak Selena lega karena dirinya sudah tiba di rumah. Paling tidak Selena tak lagi berada di dekat Samuel. Namun, dikala Selena ingin meminta Samuel membukakan kunci mobil; tatapan Selena teralih pada Oliver yang duduk di lobby sambil memeluk lututnya. Sontak Selena terkejut melihat Oliver yang tampak menekuk wajahnya. “Samuel buka pintunya. Aku ingin menemui putraku,” seru Selena cepat. Samuel tak sengaja melihat ke arah lobby—menatap Oliver yang duduk di lobby sambil memeluk lutut. Refleks, Samuel
Selena menatap Samuel menggendong Oliver yang tertidur pulas. Tampak Oliver tidur begitu nyenyak dalam pelukan Samuel. Ya, aatu harian ini Samuel mengajak Oliver bermain. Mulai dari robot-robotan. Lalu bermain saling bersembunyi, dan menemukan. Tak pernah Selena sangka Samuel mau bermain bersama dengan Oliver. Bahkan Samuel mampu menidurkan Oliver dalam dekapannya. Sejenak, ada rasa khawatir dalam diri Selena. Jika bedekatan seperti ini; wajah Oliver dan Samuel sangat mirip. Hal yang membuat Selena khawatir kalau Samuel curiga. Pun Selena khawatir kalau keluarga besarnya tahu tentang ini. Buru-buru Selena menepis pikirannya. Samuel tak akan mungkin tahu. Begitu pun dengan keluarga besarnya juga tak akan pernah tahu tentang ayah dari Oliver. “Selena,” panggil Samuel pelan sambil menatap Selena yang berdiri tak jauh darinya. “Iya?” Selena segera melangkah menghampiri Samuel. “Di mana kamar Oliver? Dia sudah pulas. Aku ingin membaringkannya di ranjang supaya dia lebih nyaman,” ujar S
“Jangan berpikir karena kau sudah tidur denganku, kau pantas berada di sampingku. Kau sama saja seperti jalang yang pernah tidur denganku.”Suara berat terdengar begitu dingin, dan menusuk ke indra pendengaran seorang wanita yang masih berada di ranjang, dengan tubuh polosnya yang hanya terbalut oleh selimut tebal. Tampak wanita itu menatap nanar sosok pria yang bertubuh kokoh dan gagah di hadapannya yang telah terbalut oleh bathrobe. Sorot mata sayu, dan melemah begitu terlihat jelas di wajah cantiknya.“S-Samuel—“ Selena memanggil nama Samuel dengan nada yang lirih. Wanita itu melihat tubuhnya sendiri tampak begitu kacau.Dadanya mencelos begitu Samuel mengatakan hal sejahat itu.Samuel menaikan sebelah alisnya, menatap Selena yang memanggilnya. Aura wajah dingin, dan terselimuti keangkuhan begitu terlihat di wajah Samuel. Kini Samuel melangkahkan kakinya mendekat pada Selena. Sejenak, Samuel masih terdiam dengan tatapan yang tak lepas mengamati keadaan Selena. Rambut wanita itu ber
Satu bulan kemudian…Selena memuntahkan semua isi perutnya. Sudah tak lagi terhitung berapa kali wanita itu bolak-balik kamar mandi. Tampak wajah Selena terlihat pucat. Peluh membanjiri pelipisnya. Kepala Selena memberat. Beberapa kali tubuh Selena terhuyung nyaris jatuh. Namun, wanita itu segera menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi demi menjaga keseimbangan tubuhnya.Selena menatap nanar sebuah tespack dua garis. Sorot mata Selena terlihat melemah. Sudah lebih dari lima kali Selena melakukan test kehamilan, dan hasilnya tetap sama. Positif. Ada makhluk kecil di dalam rahimnya.Bulir air mata Selena mulai jatuh membasahi pipinya. Kejadian malam itu memang Samuel tak memakai pengaman. Akan tetapi Selena tidak pernah menyangka akan mengandung anak Samuel. Apa mungkin pria itu mau menerima anak ini? Atau malah Samuel memintanya menggugurkan kandungannya? Selena diambang kebingungan bercampur dengan kehancuran. Selena tak akan mungkin menggugurkan kandungan ini. Pun dia tak mun
*Sayang, Mama tidak bisa pulang sekarang. Tapi nanti Mama akan usahakan pulang secepatnya. Sekarang lebih baik kau bermain dulu, ya. Mama masih meeting.*Selena menutup panggilan telepon itu. Ya, Oliver Nicholas—putra kecilnya yang berusia empat tahun itu memang kerap meminta Selena pulang lebih awal. Akan tetapi, Selena tidak bisa menuruti keinginan putra kecilnya. Banyak pekerjaan yang Selena harus selesaikan. Seperti saat ini dirinya tengah meeting bersama dengan para karyawannya.“Maaf, terpotong. Kita lanjutkan meeting kita.” Selena berujar pada para karyawan yang ada di hadapannya.“Tidak apa-apa, Nona. Kami mengerti.” Salah satu manager yang ada di ruang meeting itu menjawab ucapan Selena dengan sopan.“Bulan depan kita memiliki project di mana salah satu client kita memercayakan gedung yang dibeli dari kita untuk dibangun dengan design yang bernuansa klasik. Aku ingin kalian mencarikan designer interior baru yang terbaik untuk bisa bekerja dengan kita. Pastikan designer interi