Keheningan membentang dari dalam mobil. Baik Samuel dan Selena tak mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka saling diam. Samuel fokus melajukan mobilnya, dan Selena memilih untuk menatap ke luar jendela. Siang itu cuaca begitu mendung. Langit cerah telah tertutup awan gelap. Dan itu yang membuat perhatian Selena teralih pada hamparan langit yang mendung. Hingga kemudian, mobil yang dilajukan oleh Samuel mulai memasuki halaman parkir gedung apartemen di mana penthouse milik Selena berada. Tampak Selena lega karena dirinya sudah tiba di rumah. Paling tidak Selena tak lagi berada di dekat Samuel. Namun, dikala Selena ingin meminta Samuel membukakan kunci mobil; tatapan Selena teralih pada Oliver yang duduk di lobby sambil memeluk lututnya. Sontak Selena terkejut melihat Oliver yang tampak menekuk wajahnya. “Samuel buka pintunya. Aku ingin menemui putraku,” seru Selena cepat. Samuel tak sengaja melihat ke arah lobby—menatap Oliver yang duduk di lobby sambil memeluk lutut. Refleks, Samuel
Selena menatap Samuel menggendong Oliver yang tertidur pulas. Tampak Oliver tidur begitu nyenyak dalam pelukan Samuel. Ya, aatu harian ini Samuel mengajak Oliver bermain. Mulai dari robot-robotan. Lalu bermain saling bersembunyi, dan menemukan. Tak pernah Selena sangka Samuel mau bermain bersama dengan Oliver. Bahkan Samuel mampu menidurkan Oliver dalam dekapannya. Sejenak, ada rasa khawatir dalam diri Selena. Jika bedekatan seperti ini; wajah Oliver dan Samuel sangat mirip. Hal yang membuat Selena khawatir kalau Samuel curiga. Pun Selena khawatir kalau keluarga besarnya tahu tentang ini. Buru-buru Selena menepis pikirannya. Samuel tak akan mungkin tahu. Begitu pun dengan keluarga besarnya juga tak akan pernah tahu tentang ayah dari Oliver. “Selena,” panggil Samuel pelan sambil menatap Selena yang berdiri tak jauh darinya. “Iya?” Selena segera melangkah menghampiri Samuel. “Di mana kamar Oliver? Dia sudah pulas. Aku ingin membaringkannya di ranjang supaya dia lebih nyaman,” ujar S
“Mama … hari ini kita ke mana?” Suara Oliver bertanya seraya melangkah menghampiri Selena yang tengah berias di kamar. Tampak Oliver sudah tampan dengan celana pendek berwarna cokelat tua dan kaus berwarna hijau dengan logo ‘G’ di mana salah satu brand ternama di dunia.“Mama ingin mengajak Oliver jalan-jalan St. James’s Park sambil makan gelato. Habis dari sana, Mama akan mengajak Oliver ke restoran Indonesia yang waktu itu kita datangi bersama dengan Grandaa Marsha. Oliver mau kan?”Selena menatap hangat dan lembut putranya. Lantas wanita itu menundukan tubuhnya, memberikan kecupan di pipi bulat Oliver. “Aku mau, Ma. Aku ingin jalan-jalan bersama Mama,” seru Oliver riang. Senyuman di wajah Selena terlukis begitu indah. “Let’s go kita pergi sekarang.” “Let’s go, Mama,” pekik Oliver seraya menggenggam tangan Selena. Kini Selena melangkah keluar kamar bersama dengan Oliver. Terlihat wajah Oliver sangat senang. Hari ini Selena memang khusus meluangkan waktunya berdua dengan Oliver
“Yagil Upton sudah ditahan. Media juga tidak memberitakan tentang kasus yang menyangkut Selena ini. Tapi kau harus cepat menengani. Karena kalau kau lambat maka besar kemungkinan Keluara Geovan tahu tentang ini.” Rava berucap seraya menyesap wine di tangannya. Kini Rava berada di ruang kerja Samuel. Pria itu mendatangi Samuel membahas tentang Yagi Upton. Kasus ini memang sengaja Samuel minta agar media tak memberitakan pada publik. Selain tak ingin melibatkan keluarga Geovan, Samuel juga tidak ingin Selena merasa malu dan meninggalkan trauma. Itu alasan kenapa Samuel memilih para media tak mengetahui apa pun tentang hal yang menimpa Selena tempo hari. Semua Samuel lakukan demi menjaga privasi Selena. “Aku akan mengurusnya,” jawab Samuel dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Rava mengangguk singkat. “Anyway, kapan kau kembali ke New York? Aku dengar perusahaanmu yang dibangun Nicholas Design Interior hampir rampung. Artinya kau akan kembali ke New York kan?” tanyanya. “Aku belum
“Mama … Bibi galak itu kenapa memukul Mama? Kenapa dia jahat, Ma?” Suara Oliver berucap dengan nada pelan kala Selena membersihkan luka di lutut Oliver. Bibir Oliver tertekuk begitu sedih. Mata dan hidung Oliver memerah karena habis menangis. Beruntung saat Selena membersikan luka di lutut Oliver tak membuat bocah laki-laki itu menangis. “Tidak boleh memanggil Bibi itu dengan sebutan Bibi galak, Sayang. Namanya Iris. Panggil dia Bibi Iris, Nak.” Selena memasukan obat-obatan yang tadi dia gunakan untuk membersihkan luka putranya ke tempat semula. Meski Selena membenci sifat Iris sekalipun tapi Selena tidak ingin mengajarkan Oliver memanggil Iris dengan sebutan ‘Bibi Galak’ Oliver menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mau memaggilnya Bibi Iris. Dia Bibi galak dan Bibi jahat. Dia seperti nenek sihir, Ma.” Senyuman di wajah Selena terlukis mendengar Oliver menyebut Iris dengan sebutan nenek sihir. Sungguh, tak pernah Selena sangka Oliver akan mengatakan hal itu. Benak Selena seketika i
“Tuan Sean Geovan datang ingin bertemu dengan Anda, Tuan.” Samuel terdiam beberapa saat mendengar ucapan Vian. Tampak pria itu mengembuskan napas panjang. Berita penyerangan Iris pada Selena memang sudah tersebar luas. Hanya dalam hitungan detik berita itu pasti sudah naik dan menjadi trending topic. Popularitas Iris sebagai artis dan model ternama belakangan ini memang sedang naik daun. Ditambah Selena adalah bagian dari Keluarga Geovan yang membuat media akan semakin menaikan berita ini. Dan, ya, ini yang membuat kepala Samuel nyaris pecah. Samuel harus berhadapan dengan masalah baru. Sejenak, Samuel memejamkan mata singkat. Meredakan emosi yang terbendung dalam dirinya. Kasus-kasus yang baru-baru ini masuk ke perusahaannya saja belum semuanya dia periksa. Sekarang harus tambah kasus baru penyerangan Iris pada Selena. Masalah ini akan semakin rumit karena Iris adalah tunanganya. Namanya akan terlibat. Media akan memberitakan hal-hal negative.Kemungkinan masalah ini pun akan rumit
“Apa kau sudah mengobati lukamu?” Samuel menatap lekat dan tersirat mencemaskan luka di wajah Selena. Wajah putih mulus tanpa noda yang biasa dia lihat ini penuh dengan luka lebam. Darah mengering di sudut bibir Selena membuat Samuel tampak kesal. Dalam hati Samuel mengumpati Iris yang menyerang Selena. Terlihat jelas kalau Iris memukul Selena dengan keras. “Pulanglah. Jangan menggangguku, Samuel. Aku tidak butuh kepedulianmu.” Selena segera menepis tangan Samuel yang menyentuh pipinya. Wanita itu menghindar dan menjauh dari Samuel. Namun gerak Selena harus terhenti kala Samuel malah menarik tangannya. Pria itu malah dengan sengaja membawa Selena masuk ke dalam rumah seolah tak peduli dengan penolakan Selena. “Samuel! Lepaskan tanganku! Kenapa kau masuk ke rumahku tanpa permisi?” seru Selena kala Samuel menarik-narik tangannya. Dan sayangnya, sekuat apa pun Selena berontak; Samuel tetap menarik tangan wanita itu hingga membuatnya tak bisa bergerak sedikit pun. Saat tiba di ruang
Selena tersenyum hangat melihat Oliver tertidur begitu pulas. Wajah polos Oliver membuat Selena begitu tersenyum tulus dan menatap putranya itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Sekitar sepuluh menit lalu, Samuel baru saja pulang. Dan selama Samuel berada di sini, pria itu mengajak Oliver bermain. Mulai dari bermain robot-robotan. Mobil-mobilan. Ya, Samuel menghabiskan harinya bermain dengan Oliver sampai Oliver tertidur pulas. Sedangkan Selena tak bisa menolak kehadiran Samuel. Terlihat Oliver sangat menyukai keberadaan Samuel. Itu kenapa Selena akhirnya memilih mengalah. Selena membiarkan Samuel bermain dengan Oliver. Bahkan beberapa kali Oliver tertawa lepas kala bermain dengan Samuel. Lagi. Setiap kali melihat Samuel akrab dengan Oliver membuat Selena merasa bersalah. Tapi tidak. Kebencian dalam hati Selena jauh lebih besar dari rasa bersalah. Samuel memang tak pantas untuk tahu tentang Oliver. Jika Selena merasa hatinya melemah, wanita itu selalu mengingat perjuangan dirinya su
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam