“Samuel!” Iris berseru memanggil nama Samuel dengan nada cukup keras. Wanita itu melangkahkan kakinya memasuki kamar Samuel. Sebelumnya dia sudah diberitahu pelayan kalau tunangannya itu ada di kamarnya. Saat Iris tiba di kamar Samuel, tatapan wanita itu teralih pada Samuel yang tengah duduk di sofa tengah merokok. Tampak tatapan Iris menatap sebal Samuel. Terlebih ingatan Iris mengingat apa yang dikatakan oleh Selena. “Samuel!” seru Iris kala Samuel mengabaikannya. Samuel mengalihkan pandangannya, menatap dingin Iris yang mendekat padanya. Sepasang manik mata cokelat Samuel menunjukan kejengahan melihat Iris datang. “Kembalilah ke New York, Iris. Nanti aku akan segera menyusulmu setelah pekerjaanku di sini selesai,” ucapnya dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Samuel sengaja meminta Iris kembali ke New York. Pasalnya dia lelah dengan sang tunangan yang selalu mengganggunya. Sedangkan pikirannya belakangan ini tengah kacau. “Kenapa kau membawa Selena ke apartemenmu? Kau menyu
Suara tepuk tangan riuh terdengar dari para orang tua siswa dan siswi kala sang kepala sekolah memberikan kata sambutan untuk acara yang diselanggarakan ini. Acara perayaan ulang tahun sekolah ini terletak di lantai paling atas sekolah tepat di ruang outdoor. Tujuan mengadakan acara ini di ruang outdoor guna membuat para siswa dan siswi saling dekat. Tak hanya membangun kedekatan para siswa tapi juga membangun kedekatan para orang tua siswa dan siswi. Rangkaian acaranya salah satunya meminta para orang tua siswa untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Sebagai contoh sumbangan untuk anak-anak di luar sana yang kurang mampu. Selama pengumpulan dana, banyak orang tua siswa yang menyumbang untuk anak-anak di luar sana yang kurang mampu. Tentu Selena pun turut berpartisipasi memberikan sumbangan. Bukan hanya Selena saja tapi Samuel juga turut memberikan sumbangan. Meski sepanjang acara Samuel terlihat seolah acuh dan tak peduli tetapi kenyataannya Samuel adalah penyumbang denga
Selena membasuh wajahnya dengan air bersih. Wanita itu kini mematut cermin. Menatap wajahnya yang tadi memucat sudah jauh lebih baik. Sesekali Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Selena berusaha menenangkan dirinya agar tak cemas pada apa pun. Karena Selena yakin rahasia yang dia mati-matian tutup rapat tak akan pernah terbongkar. Apa yang terjadi hari ini hanyalah kebetulan di mana Samuel berada di sana. Selena memejamkan mata sesaat. Hatinya lelah. Setiap kali Oliver membahas tentang ayah putranya itu maka Selena merasakan mendapatkan cambuk yang keras. Sungguh, Selena beraharap Oliver mengerti dan tak lagi membahas tentang ayah dari putranya itu. “Kau terlihat cemas. Apa yang kau cemaskan, Selena?” Suara bariton memasuki toilet di mana Selena berada. Refleks, Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu—dan seketika raut wajah Selena berubah kala melihat Samuel mendekat padanya. Sepasang iris mata biru Selena melebar. Cemas. Panik. Takut. Semuany
“Nona ini obat Anda.” Sang pelayan memberikan obat pada Selena bersama dengan air putih hangat. Pun Selena langsung meminum obat yang diberikan oleh sang pelayan. Rasa sakit di kepalanya begitu menyerang membuat Selena meminta sang pelayan membawakan obat sakit kepala. Beberapa hari ini memang Selena begitu pusing karena memikirkan banyak hal. Itu yang membuat kesehatannya menurun. “Terima kasih.” Selena berucap pada sang pelayan kala dirinya sudah meminum obat. “Sama-sama, Nona. Hari ini apa Anda ke kantor?” tanya sang pelayan dengan sopan. “Tidak. Aku akan beristirahat di rumah saja,” jawab Selena dengan senyuman hangat di wajahnya. “Oh, ya, tadi saat putraku berangkat sekolah kau sudah membawakan dia bekal makanan kan?” tanyanya memastikan pada sang pelayan. “Sudah, Nona. Makanan, buah-buahan termasuk susu sudah saya masukan ke tas Tuan Muda Oliver,” ujar sang pelayan. Selena mendesah lega. Meski di sekolah, putranya itu mendapatkan makanan tapi tetap saja Selena selalu memin
“Mama aku pulang.”Suara bocah laki-laki memasuki rumah, menghampiri tempat di mana Selena berada. Refleks, Dean dan Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika raut wajah Dean berubah kala melihat seorang bocah laki-laki kini tengah memeluk Selena dengan erat. Pikiran Dean menjadi blank seketika dan tak mampu berpikir. “Mama … sopir bilang Mama ada di rumah karena sakit. Apa sekarang Mama masih sakit?” Oliver memeluk begitu erat Selena. Pun Selena membalas pelukan Oliver dengan begitu erat. Sedangkan Dean masih mematung diam seribu bahasa menatap Selena berpelukan dengan seorang bocah laki-laki. “Mama baik-baik saja, Oliver. Tadi Mama memang kurang enak badan tapi sekarang Mama sudah membaik,” ucap Selena pelan menenangkan agar Oliver tak mencemaskannya. Oliver mengurai pelukannya. Lalu tatapan bocah laki-laki itu tak sengaja menatap sosok pria asing yang tak dikenali. Oliver sedikit memiringkan kepalanya. Mengerjap-ngerjap mata beberapa kali. “Mama ini siapa?
Samuel membaca dokumen kasus client-nya yang sekarang tengah dia tangani. Pria itu tampak fokus melihat kasus yang baru saja dia tangani yaitu adanya yang memakai merk dagang salah satu client-nya tanpa izin. Hal ini membuat Samuel tengah sibuk dengan kasus hak paten. Di mana dia pun harus menyiapkan bahan di persidangan nanti guna mengupas tuntas kasus ini. Saat Samuel tengah fokus pada berkas yang ada di tangannya; tiba-tiba sekelebat bayangan Selena muncul di benaknya. Samuel langsung menutup berkas itu seraya mengeluarkan umpatan kasar. “Shit!” Samuel menyambar botol wine di hadapannya, menuangkan ke gelas sloki kosong yang ada di hadapannya. Menegaknya kasar. Terlihat raut wajah Samuel begitu kesal. Sudah dua hari ini Samuel tidak mengunjungi kantor barunya yang menjadi project dari Nicholas Design Interior. Tentu alasannya karena Samuel berusaha menghapus bayang-bayang Selena di benaknya. Namun, kenyataannya semakin Samuel menghapus semakin pria itu mengingat-ingat wanita itu.
“Beberapa hari lalu aku baru saja mendapatkan laporan kalau bulan depan akan ada yang membeli gedung yang waktu itu kita jual untuk dibangun apartemen. Tolong segera urus dan lakukan penawaran yang terbaik pada customer. Meeting cukup sampai di sini. Meeting selanjutnya akan diambil alih oleh Jenia.” Selena menutup meeting itu. Lalu dia melangkah keluar ruang meeting. Tampak para karyawan menundukan kepala mereka kala Selena sudah mengakhiri meetinh tersebut. “Nona Selena, hari ini Anda ingin menjemput Tuan Muda Oliver di sekolahnya?” tanya Jenia memastikan pada Selena. Selena mengangguk. “Iya, hari ini aku ingin menjemput putraku. Aku ingin makan siang bersama dengannya di salah satu restoran Jepang kesukaannya. Tolong kau urus pekerjaan di kantor, ya. Kalau ada terjadi sesuatu segera hubungi aku.” “Baik, Nona,” jawab Jenia patuh. Selena tersenyum. Kemudian, dia melanjutkan langkahnya menuju halaman parkir perusahaannya. Namun tiba-tiba langkah Selena terhenti kala melihat di lo
“Apa kau sudah tidak waras, Maxton?!” Suara Selena berseru dengan nada tinggi seraya menatap Samuel Maxton yang ada di hadapannya. Emosi Selena tak lagi bisa tertahan menghadapi sifat Samuel yang tak masuk akal sehatnya. Pria di hadapannya ini begitu berani menculiknya. Dan hal tergila yang dilakukan oleh Samuel adalah membawa dirinya sekarang ke sebuah hotel terdekat dari Restoran Jepang di mana tadi dirinya bersama dengan putranya tengah makan siang. “Kenapa kau masih dekat-dekat dengan Dean? Bukannya aku sudah bilang kalau dia pria yang tidak pantas untukmu, Selena?” Samuel berucap dengan nada tinggi dan tersirat penuh ketegasan di sana. Sepasang iris mata cokelatnya menatap dingin dan tajam Selena. Pria itu tak mengindahkan ucapan Selena yang mengatakan diriya tak waras. Tujuan Samuel membawa Selena karena dia tak suka Selena bersama dengan Dean. “Demi Tuhan, Maxton! Kau memang benar-benar gila! Kau menculikku hanya karena mengatakan Dean tidak pantas untukku? Apa urusannya d
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu
Para pelayan tampak sibuk mondar mandir menyajikan makanan ringan serta minuman ke atas meja. Hari ini adalah hari yang telah ditentukan oleh Marsha. Hari di mana Selena akan memberitahukan jenis kelamin anak yang ada di kandungan putrinya itu. Dan sekarang hampir semua keluarga berkumpul atas permintaan Marsha. Tentu kalau Marsha sudah meminta berkumpul, tak ada satu pun yang bisa membantah. Lihat saja sekarang ruang keluarga megah sudah cukup penuh. Sean dan Stella beserta keempat anak mereka duduk di sisi kanan. Sedangkan Mateo dan Miracle beserta ketiga anak mereka duduk di sofa sebelah kiri. William duduk tepat di samping Marsha di sofa tengah. Yang mereka tunggu saat ini adalah Samuel dan Selena. Kalau untuk Dominic belum bisa dipastikan datang. Mengingat selama ini Dominic sangat sulit untuk diajak berkumpul. “Miracle, di mana Selena? Kenapa Selena belum datang juga?” tanya Marsha pada Miracle. “Masih di jalan, Mom. Tunggu sebentar. Pasti Kak Selena akan datang,” jawab Mirac
Paris, Perancis. Suara lenguhan memenuhi kamar hotel megah itu. Ranjang luas itu menjadi tempat di mana dua insan telah melakukan pergulatan panas. Erangan yang tak henti-henti begitu merdu di telinga keduanya. Lagi dan lagi tak pernah mereka bosan melakukan pergulatan panas di atas ranjang. Letupan gairah dan hasrat membara telah tergulung menjadi satu di sana meluapkan api candu yang tak pernah padam. Hingga ketika telah mencapai puncak, semburan lahar panas memasuki rahim sang wanita. Napas sang wanita terengah-engah. Tubuhnya terkulai lemah. Pagi hari mendapatkan serangan membuatnya tak memiliki energy untuk beranjak dari tempat tidur. Bulan madu singkat terisikan dengan indahnya percintaan dua insan itu. Tubuh mereka saling berdamba akan sentuhan satu sama lain. Tak ada satu malam pun yang terlewatkan untuk melakukan pergulatan panas. Mereka melebur menjadi satu, seolah tak bisa terpisahkan. “Rava, besok kita harus libur. Kau membuatku tidak bisa jalan. Kau ini bagaimana kena
“Wah, kalian sudah datang! Ayo masuk.” Stella—istri Sean menyambut kedatangan Selena, Samuel, Oliver, Brianna, Dean, dan juga Joice. Senyuman di wajah Stella begitu indah dan penuh kehangatan. “Maaf kami lama.” Selena memeluk Stella, bergantian dengan Brianna yang juga memeluk Selena. Pun Oliver dan Joice yang sudah turun dari gendongan ayah mereka, langsung memberikan pelukan pada Stella. Tentu Stella segera membalas pelukan Oliver dan Joice. “Tidak usah meminta maaf, Selena. Kalian datang tepat waktu,” jawab Stella lembut. Selena tersenyum samar. “Dad dan Mom ada di rumah, kan?” tanyanya. “Dad dan Mom lagi di jalan arah pulang. Dad dan Mom baru berbaikan. Jadi jangan heran kalau kau lihat Mom masih bersikap dingin pada Dad,” ujar Stella mengingatkan. “Ah, Mom masih cemburu pada wanita yang mendekati Dad?” tanya Selena menahan geli di senyumannya. Stella mendesah panjang. “Iya, padahal Dad tidak pernah merespon wanita itu. Ini semua ulah Dominic. Aku dengar Mom dibujuk Dad samp
Selena menatap deretan koleksi-koleksi dress indah miliknya, namun entah kenapa Selena merasa dress-dress yang ada di hadapannya sudah tak lagi indah jika dipakainya. Padahal tubuhnya pun belum terlalu gemuk tapi Selena merasa bandannya seperti badut. Sesaat, Selena manatap cermin, wajahnya telah dirias make-up tipis. Memakai lipstick pun Selena sangat malas. Hanya lip balm yang dia pakai demi menjaga kesehatan bibir. Kehamilan kedua ini lebih membuat Selena malas berias. Dulu pun ketika hamil Oliver, dirinya malas berias tapi kehamilan kedua jauh membuat Selena malas. “Sayang, apa kau sudah siap?” Samuel melangkah mendekat pada Selena yang berada di walk-in closet. Tampak kening Samuel mengerut kala melihat sang istri belum mengganti pakaian. Selena masih memakai gaun sederhana khusus yang biasa dipakai di rumah. “Sayang, aku bingung harus pakai baju apa.” Selena langsung membenamkan wajahnya di dada bidang Samuel. “Sepertinya dress-dress milikku sudah tidak cocok lagi dipakai a