Selena menelan salivanya susah payah kala mendapatkan tatapan dingin dari sang ayah. Wanita itu masih menunduk dan tak berani melihat ayahnya. Kini Selena tengah duduk di ruang keluarga tepat di hadapan kedua orang tuanya. Selena masih diam dan tak tahu harus memulai percakapan apa dengan ayahnya. Jelas saja kecanggungan terjadi karena sudah lama Selena tidak berbicara dengan ayahnya. “Dad, bagaimana kabarmu?” Akhirnya Selena berusaha untuk memulai percakapan ringan. Pun Selena mulai memberanikan diri menatap sang ayah. “Aku rasa tanpa harus menjawab, kau sudah tahu bagaimana kabarku,” ucap William dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Selena terdiam sejenak. Dia sudah menduga ayahnya pasti akan menjawab seperti ini. Terlihat dari nada bicara ayahnya, masih sangat marah padanya. Meski telah lima tahun, tetapi kenyataannya amarah sang ayah tak kunjung menyurut. “Maafkan aku, Daddy. Aku sungguh minta maaf. Maaf karena telah membuatmu malu. Maaf karena tidak bisa menjadi anak yang
“Nona Selena, apa Anda sakit? Kalau memang Anda sedang kurang sehat, biar saya saja yang menggantikan pekerjaan Anda, Nona.” Suara Jenia—asisten Selena berujar mencemaskan keadaan Selena. Pasalnya sejak tadi pagi Selena seperti kurang sehat. Itu yang membuat Jenia menawarkan diri dan meminta bosnya untuk beristirahat. “Tidak … aku baik-baik saja. Aku hanya sedikit lelah,” jawab Selena pelan. Pertemuan kemarin dengan kedua orang tuanya memang membuat Selena memikirkan banyak hal. Mungkin itu yang membuatnya menjadi kurang sehat. Hanya saja Selena tidak bisa bersantai-santai. Banyak pekerjaan menunggu dirinya. Jenia menganggukan kepalanya. “Nona Selena, saya ingin melaporkan tentang uang yang Anda minta untuk dikirimkan ke rekening Maxton & Maxton Company.” “Kau sudah mentransfer mereka kan?” tanya Selena memastikan. Beberapa hari lalu tepat kejadian di mana Samuel merobek cek tunai pemberiannya, Selena langsung meminta Jenia mentransfer uang sejumlah dua puluh ribu pound sterling k
Pelupuk mata Selena bergerak bersamaan dengan bulu mata lentiknya. Perlahan Selena mulai membuka mata. Dan tepat dikala Selena sudah membuka kedua matanya, dia mengerjap beberapa kali. Mata wanita itu menyipit kala merasa dirinya berada di sebuah kamar asing. Tapi … tunggu, tiba-tiba raut wajah Selena berubah kala aroma parfume maskulin tercium di indra penciumannya. Aroma yang tak asing. Sejenak, Selena berusaha mengingat-ingat kenapa dirinya berada di sini. Terakhir dirinya tengah bersama dengan Samuel berdebat dengan pria itu. Namun, Selena mengingat dengan jelas kala itu perdebatannya dengan Samuel tidaklah lama. Dirinya merasa lelah berdebat pria itu dan memutuskan untuk pulang. Tiba-tiba mata Selena melebar mengingat dirinya sempat pusing hebat. Bahkan dia pun merasa tubuhnya tak bisa lagi berdiri.“Astaga, aku di mana ini?” guman Selena resah dan dilanda kepanikan hebat. “Kau sudah bangun?” Suara bariton melangkah memasuki kamar di mana Selena berada. Refleks, Selena mengali
“Samuel!” Iris berseru memanggil nama Samuel dengan nada cukup keras. Wanita itu melangkahkan kakinya memasuki kamar Samuel. Sebelumnya dia sudah diberitahu pelayan kalau tunangannya itu ada di kamarnya. Saat Iris tiba di kamar Samuel, tatapan wanita itu teralih pada Samuel yang tengah duduk di sofa tengah merokok. Tampak tatapan Iris menatap sebal Samuel. Terlebih ingatan Iris mengingat apa yang dikatakan oleh Selena. “Samuel!” seru Iris kala Samuel mengabaikannya. Samuel mengalihkan pandangannya, menatap dingin Iris yang mendekat padanya. Sepasang manik mata cokelat Samuel menunjukan kejengahan melihat Iris datang. “Kembalilah ke New York, Iris. Nanti aku akan segera menyusulmu setelah pekerjaanku di sini selesai,” ucapnya dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Samuel sengaja meminta Iris kembali ke New York. Pasalnya dia lelah dengan sang tunangan yang selalu mengganggunya. Sedangkan pikirannya belakangan ini tengah kacau. “Kenapa kau membawa Selena ke apartemenmu? Kau menyu
Suara tepuk tangan riuh terdengar dari para orang tua siswa dan siswi kala sang kepala sekolah memberikan kata sambutan untuk acara yang diselanggarakan ini. Acara perayaan ulang tahun sekolah ini terletak di lantai paling atas sekolah tepat di ruang outdoor. Tujuan mengadakan acara ini di ruang outdoor guna membuat para siswa dan siswi saling dekat. Tak hanya membangun kedekatan para siswa tapi juga membangun kedekatan para orang tua siswa dan siswi. Rangkaian acaranya salah satunya meminta para orang tua siswa untuk turut berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Sebagai contoh sumbangan untuk anak-anak di luar sana yang kurang mampu. Selama pengumpulan dana, banyak orang tua siswa yang menyumbang untuk anak-anak di luar sana yang kurang mampu. Tentu Selena pun turut berpartisipasi memberikan sumbangan. Bukan hanya Selena saja tapi Samuel juga turut memberikan sumbangan. Meski sepanjang acara Samuel terlihat seolah acuh dan tak peduli tetapi kenyataannya Samuel adalah penyumbang denga
Selena membasuh wajahnya dengan air bersih. Wanita itu kini mematut cermin. Menatap wajahnya yang tadi memucat sudah jauh lebih baik. Sesekali Selena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Selena berusaha menenangkan dirinya agar tak cemas pada apa pun. Karena Selena yakin rahasia yang dia mati-matian tutup rapat tak akan pernah terbongkar. Apa yang terjadi hari ini hanyalah kebetulan di mana Samuel berada di sana. Selena memejamkan mata sesaat. Hatinya lelah. Setiap kali Oliver membahas tentang ayah putranya itu maka Selena merasakan mendapatkan cambuk yang keras. Sungguh, Selena beraharap Oliver mengerti dan tak lagi membahas tentang ayah dari putranya itu. “Kau terlihat cemas. Apa yang kau cemaskan, Selena?” Suara bariton memasuki toilet di mana Selena berada. Refleks, Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu—dan seketika raut wajah Selena berubah kala melihat Samuel mendekat padanya. Sepasang iris mata biru Selena melebar. Cemas. Panik. Takut. Semuany
“Nona ini obat Anda.” Sang pelayan memberikan obat pada Selena bersama dengan air putih hangat. Pun Selena langsung meminum obat yang diberikan oleh sang pelayan. Rasa sakit di kepalanya begitu menyerang membuat Selena meminta sang pelayan membawakan obat sakit kepala. Beberapa hari ini memang Selena begitu pusing karena memikirkan banyak hal. Itu yang membuat kesehatannya menurun. “Terima kasih.” Selena berucap pada sang pelayan kala dirinya sudah meminum obat. “Sama-sama, Nona. Hari ini apa Anda ke kantor?” tanya sang pelayan dengan sopan. “Tidak. Aku akan beristirahat di rumah saja,” jawab Selena dengan senyuman hangat di wajahnya. “Oh, ya, tadi saat putraku berangkat sekolah kau sudah membawakan dia bekal makanan kan?” tanyanya memastikan pada sang pelayan. “Sudah, Nona. Makanan, buah-buahan termasuk susu sudah saya masukan ke tas Tuan Muda Oliver,” ujar sang pelayan. Selena mendesah lega. Meski di sekolah, putranya itu mendapatkan makanan tapi tetap saja Selena selalu memin
“Mama aku pulang.”Suara bocah laki-laki memasuki rumah, menghampiri tempat di mana Selena berada. Refleks, Dean dan Selena mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika raut wajah Dean berubah kala melihat seorang bocah laki-laki kini tengah memeluk Selena dengan erat. Pikiran Dean menjadi blank seketika dan tak mampu berpikir. “Mama … sopir bilang Mama ada di rumah karena sakit. Apa sekarang Mama masih sakit?” Oliver memeluk begitu erat Selena. Pun Selena membalas pelukan Oliver dengan begitu erat. Sedangkan Dean masih mematung diam seribu bahasa menatap Selena berpelukan dengan seorang bocah laki-laki. “Mama baik-baik saja, Oliver. Tadi Mama memang kurang enak badan tapi sekarang Mama sudah membaik,” ucap Selena pelan menenangkan agar Oliver tak mencemaskannya. Oliver mengurai pelukannya. Lalu tatapan bocah laki-laki itu tak sengaja menatap sosok pria asing yang tak dikenali. Oliver sedikit memiringkan kepalanya. Mengerjap-ngerjap mata beberapa kali. “Mama ini siapa?