"Hey, ini kenapa?"
Deghh!Degup jantung Kara seketika kembali berpacu cepat, ketika Barra menyadari sebuah tanda merah di pipinya.Ini yang dikhawatirkannya sedari tadi. Meski sudah berusaha semaksimal mungkin menutupi bekas tamparan di pipinya dengan beberapa helai rambut, Barra pasti akan menyadarinya juga."Kara? Kenapa diam saja? Jelaskan padaku, kenapa pipimu bisa merah seperti ini? Ini seperti—""Ini ... Ini hanya karena nyamuk, Barra," potong Kara cepat seraya langsung menyusul anak lelakinya yang sudah lebih dulu masuk mobil.Saat ini, Kara memang tak berani banyak berinteraksi dengan kekasihnya. Ia terlalu takut pria itu menyadari beberapa kejanggalan yang ada di tubuhnya, sehingga lebih memilih menghindar untuk sementara waktu.Selepas dari pertemuannya dengan Avaline, Kara memang lebih banyak diam. Di benaknya detik ini hanya terbayang dengan kata-kata ancaman wanita itu, yang mana Avaline mengancam dirinya a"Eh, siapa wanita itu? Kenapa dia bisa satu mobil dengan putra tunggal Keluarga Piterson? Apa dia kekasihnya?""Astaga, kekasihnya? Aku rasa tidak mungkin seorang Barra menjalin hubungan dengan wanita biasa seperti dia!""Iya! Lihat saja gerak-geriknya, sudah terlihat jelas tidak sebanding dengan kita bukan?"Beberapa ucapan tersebut mulai sayup-sayup terdengar di kedua telinga Kara. Meski sesekali kepalanya menunduk sambil menatap ujung dress cantik yang dikenakannya, akan tetapi gerak matanya tetap dapat menangkap berbagai tatapan aneh dari orang-orang yang ada di sekitar.Sungguh, nampaknya kehadirannya malam ini bersama Barra adalah sebuah kesalahan yang sangat fatal!Mulanya Kara memang sudah berusaha menolak sebisa mungkin ajakan Barra untuk pergi bersamanya ke acara ulang tahun perusahaan Doo Luxe Piterson ini, akan tetapi sayang pria itu terlalu sulit untuk ditolak kemauannya.Meski Kara sudah menjelaskan berbagai kekhawatirannya, tetapi tetap saja CEO muda tersebut berhasil m
"Ap—apa?"Kara seketika tak dapat menyembunyikan raut wajah gugupnya. Belum selesai ia mengkhawatirkan Arka yang sedang bersama Avaline, kini Barra malah mengajaknya bertemu langsung dengan Jack.Sungguh, sepertinya Kara benar-benar sangat menyesali keputusannya untuk datang ke acara pesta ini. Bukannya menikmati momen, kini jantungnya malah terus berpacu cepat seperti tengah berada di dalam wahana ekstrim."Iya, kita ke sana. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," jawab Barra seraya menatap sedikit heran ke arah wajah Kara yang tiba-tiba terlihat sedikit pucat.Satu jarinya bergerak menghapus satu bulir keringat yang ada di dahi sang kekasih. Entah apa yang tengah dirasakan oleh Kara saat ini, Barra tidak tahu. Akan tetapi belum sempat ia bertanya lebih jauh, tiba-tiba saja sudah ada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang."Hey, Brother!"Jack menyapa lebih dulu dengan seutas senyumnya. Mata birunya nampak berbinar menatap sang sahabat kecil, hingga setelahnya ia langs
"Jadi, dia orangnya?"Barra bertanya sambil sesekali melirik ke arah Arka yang tengah sangat bersemangat memperhatikan cokelat fountain, kebetulan saat ini anak kecil itu tengah mengantre demi melumuri beberapa potong buah yang ada di tangannya."Maaf, Barra. Aku sama sekali tidak bermaksud menutupi hal ini padamu."Lagi-lagi rasa bersalah membuat bundanya Arka itu merasa tak percaya diri berada di hadapan Barra. Walau sedari tadi kekasihnya tersebut terlihat tenang dan diam saja, akan tetapi tetap ia merasakan sebuah hal yang cukup berbeda darinya.Cemburu?Ya, mungkin hal itu yang tengah dirasakan oleh Barra. Walau tak mengutarakannya langsung, tetapi tetap saja Kara bisa merasakannya. Sedari tadi pria itu memang hanya diam saja padanya, sambil terus memperhatikan Arka dari kejauhan.Tak ada basa-basi hangat, dan tak ada juga sentuhan-sentuhan romantis yang biasa diberikannya. Semua entah kenapa menghilang begitu saja dengan ce
"Arka!"Kara berteriak kencang dan langsung berlari panik ke arah sang anak yang tiba-tiba terlihat terjatuh dari kejauhan.Dengan napas yang tak karuan, ia segera membopong tubuh mungil tersebut ke tempat yang tak begitu ramai. Sampai akhirnya dirinya segera merebahkan anak lelakinya itu secara pelan, dan menatap wajah pucatnya.Oh, astaga. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Bukankah sedari tadi Arka nampak sehat-sehat saja? Bahkan setelah mengantre cokelat fountain, anak lelakinya itu masih bisa bercengkrama dengan para pemusik yang tengah menghibur tamu-tamu Keluarga Piterson "Bunda! Arka enggak kuat! Sakit!" lirih anak kecil itu seraya meremas kuat perutnya.Tangis Arka pecah, tetapi tak bersuara. Wajah pucatnya semakin terlihat, seiiring dengan dinginnya genggam tangan mungil yang Kara rasakan.Sungguh, Kara benar-benar kalut. Ia bingung harus melakukan apa, sampai-sampai beberapa orang mulai berdatangan mengerubungi dirinya dan juga sang anak."Kara, Arka kenapa?"Suara itu sek
"Aku pasti tidak akan membuatnya menyesal, Jack! Dia bahagia bersamaku!"Deghh!Degup jantung Kara sampai berhenti mendengar suara yang tak asing itu. Dengan segera ia menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka, dan kembali menatap ke arah lagi untuk memastikan bahwa anaknya tersebut tak terbangun."Barra, lebih baik—""Ssttt! Aku belum selesai berbicara, Sayang. Aku harus memastikan sahabat kecilku ini, kalau kau akan tetap baik-baik saja bersamaku!" ucap Barra seraya mengecup dahi Kara sekilas.Diam-diam salah satu tangan Jack pun terkepal melihat pemandangan itu. Ia merasa cemburu sekaligus kesal, terlebih tatapan Barra padanya terlihat seolah sedang mengejek dirinya."Apa ada lagi hal yang kau khawatirkan, Jack? Silakan ucapakan saja sekarang, agar aku bisa mengklarifikasinya langsung!" lanjut Barra lagi dengan nada yang terkesan santai, tetapi cukup menyeramkan juga.Meski tersenyum, tetapi tetap saja tatapan amar
"Barra .... A–aku —""Kara, tolong jangan seperti ini!"Barra mengusap wajahnya cepat, seraya berkali-kali terlihat menunduk. Pria itu sungguh tidak tahu harus melakukan apa, agar wanita yang ada di hadapannya ini bisa berkata jujur padanya."Barra ...."Lagi-lagi ucapan Kara terputus, karena setelahnya pria yang telah dipanggilnya tersebut tiba-tiba saja telah menarik dirinya masuk ke dalam dekapan erat. Tak ada lagi cecaran tanya dari mulut Barra. Pria itu hanya diam memeluk dirinya, hingga ia langsung balas mendekapnya."Barra, are you okay?"Tidak menjawab, pria tersebut hanya menggeleng. Barra masih juga belum melepaskan pelukannya pada Kara, sehingga alhasil kini wanita tersebut merasa semakin bersalah karena telah menutupi pertemuannya dengan Avaline di salah satu pusat perbelanjaan beberapa waktu yang lalu.Sebenarnya Kara ingin jujur, tetapi ia tak tahu harus memulainya dari mana. Kara terlalu takut membuat hubungan Avaline dan Barra hancur, walau kenyataannya hubungan antar
"Apa? Bagaimana bisa? Bukankah semalam dia baik-baik saja?"Avaline nampak sangat terkejut, yang mana hal itu seketika cukup membuat Jack merasa bingung.Baik, sepertinya ibu kandung sahabat kecilnya tersebut sama sekali tidak tahu-menahu tentang kejadian semalam. Ya, untuk sementara Jack berkesimpulan seperti itu."Jack? Kenapa diam saja? Arka sakit apa? Kenapa dia bisa dilarikan ke rumah sakit? Apa dia memiliki sakit yang cukup serius?" Avaline kembali melimpahkan beberapa pertanyaan untuk Jack yang berhasil membuat rasa ingin tahunya membuncah.Sementara Clarissa, diam-diam wanita itu telah mengeluarkan keringat dingin. Ia tak menyangka akan terlibat dalam pembahasan masalah ini, sehingga sekarang dirinya sedang berusaha mati-matian untuk bersikap normal agar tak mengundang suatu kecurigaan apa pun dari Jack."Arka sakit karena keracunan salah satu makanan, Tante. Dokter bilang, sepertinya makanan itu dari salah satu makanan yang terakhir kali Arka makan semalam," tutur Jack dengan
"Bunda? Om Baik? Kenapa diam? Nanti Bunda sama Om Baik enggak seperti itu 'kan?"Arka kembali bertanya, seraya menatap dua orang dewasa yang tengah memeluknya. Di dalam dua netra kecokelatan itu, terlihat sedikit tatapan kecewa.Ya, Arka kecewa. Arka kecewa karena apa yang diharapkannya tak bisa langsung dipastikan oleh dua orang tersayangnya.Arka tentu tak mau mengalami kejadian seperti mimpi buruknya semalam, tetapi sayang jawaban yang didapatkannya saat ini malah seolah menjelaskan semuanya."Ya sudah, kalau begitu lebih baik Arka pergi aja! Arka enggak mau Bunda sama Om Baik pis—""Arka, Sayang. Tidak boleh berbicara seperti itu. Nanti Bunda Kara bisa sedih, Nak," cegah Barra lebih dulu sebelum melihat Kara semakin terdiam.Anak kecil itu sedikit memajukan bibirnya. Arka nampaknya belum begitu puas dengan tanggapan dua orang yang sangat disayanginya ini, akan tetapi sedetik kemudian dirinya menyadari tatapan sang bunda yang nampak sedikit berkaca-kaca ke arahnya."Maaf, Bunda. Ar
"Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Apa? Jadi stok darah di rumah sakit ini habis?"Tubuh Kara kian bergetar lemas, mendengar kenyataan yang lagi-lagi sangat menyiksa dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk tetap terlihat tegar. Namun sayang nyatanya tak bisa, apalagi kondisi anaknya saat ini semakin memburuk dengan membutuhkan donor darah yang sangat sulit untuk dicari."Maaf, Bu. Kami pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencari, tetapi memang benar-benar sedang habis. Apalagi darah yang dibutuhkan oleh anak ibu cukup langka. Kami di sini jarang menemuinya, sehingga mungkin ibu bisa menghubungi kebarat terdekat yang mempunyai golongan darah yang sama."Kara terdiam mendengar penuturan tersebut. Ia tentu tak mempunyai kerabat lain, terkecuali Barra yang memang sudah jelas memiliki darah yang sama dengan anaknya. Yang jadi pertanyaannya, apakah ia bisa meminta tolong pada pria tersebut? Bukankah pada hari ini pria itu akan menikah dengan Clarissa?"Bagaimana, Bu? Apakah ada?" Sang dokter kembali bertanya, hin
Degghh!Tubuh Kara seketika semakin lemas mendengarnya. Jadi, penderitaannya selama ini disebabkan dari orang terdekatnya sendiri? Bahkan dulu saja Kara tak berani mencurigai siapa pun dari salah satu teman-temannya, ia hanya menganggap malam itu dirinya sedang mengalami kesialan. Namun, siapa sangka jika pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya? Semuanya ternyata sudah direncanakan dengan rapi. Bahkan dirinya selama ini tidak pernah menyadari kejanggalan tersebut, karena saking terlarutnya dalam keterpurukan."Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa melakukan hal seburuk itu padaku, Jack!" ucap Kara akhirnya dengan berkali-kali mencoba menarik pasokan oksigen yang ada di sekitar.Jujur, napas wanita itu benar-benar sesak saat ini! Kara kembali tak kuasa dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, hingga dirinya kembali menatap sang anak yang sedang terbaring tak berdaya dengan beberapa bercak darah di tubuhnya."Aku tidak ingin melihat keberadaanmu di sini lagi, Jack! Mula
"Bagaimana? Apa semuanya sudah bersih?"Sayup-sayup suara itu terdengar, hingga membuat Kara berusaha membuka dua netranya yang sedari tadi tertutup rapat.Dengan pandangan yang masih buram, wanita tersebut mencoba menatap sekeliling mencari siapa yang telah berbicara. Namun sayang pada kenyataannya tak ada siapa pun di sekitarnya saat ini, hingga membuat dirinya menghela napas kemudian."Bagus! Kalau begitu nanti hubungi aku lagi!"Setelahnya, Kara tak mendengar suara apa-apa kembali. Sekelilingnya menjadi sunyi, hingga kini ia beralih menatap setiap dinding rumah sakit dan sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya."Apa tadi aku sudah pingsan?" Wanita itu bergumam pelan, sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya.Dengan kepala yang masih sangat pening, Kara mencoba mengingat lagi bagaimana cara dirinya bisa berada di rumah sakit. Ia benar-benar bingung karena tetiba terbangun di tempat ini. Hingga beberapa saat kemudian napasnya terasa sesak, seiring dengan munculnya beberapa k
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar
Ada dua berita yang Kara terima hari ini. Yang pertama adalah kabar baik, karena keinginannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini bisa terkabulkan. Sementara untuk yang keduanya, entah termasuk kabar baik atau buruk.Kabar baik atau buruk? Kenapa seperti itu?Ya, Kara sendiri pun sebenarnya tak tahu mengapa dirinya bisa berpikiran seperti itu. Namun yang jelas, ia sungguh tak menyangka dengan berita tersebut.Kalau dibilang senang, dirinya sebenarnya cukup senang karena ternyata Barra bisa menjalani komitmen yang serius dengan wanita lain. Namun jika dibilang tidak senang, Kara juga merasa seperti itu. Ia sangat kecewa, karena ternyata pria tersebut lebih memilih untuk mengurus pernikahannya terlebih dahulu dengan Clarissa, dibandingkan dengan mencari keberadaan anaknya yang masih menghilang.Ke mana janji pria itu yang katanya ingin segera mencari Arka sampai berhasil ditemukan? Kenapa pula janji tersebut dengan mudahnya menguap tanpa kabar,
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b