"Ap—apa?"Kara seketika tak dapat menyembunyikan raut wajah gugupnya. Belum selesai ia mengkhawatirkan Arka yang sedang bersama Avaline, kini Barra malah mengajaknya bertemu langsung dengan Jack.Sungguh, sepertinya Kara benar-benar sangat menyesali keputusannya untuk datang ke acara pesta ini. Bukannya menikmati momen, kini jantungnya malah terus berpacu cepat seperti tengah berada di dalam wahana ekstrim."Iya, kita ke sana. Sudah lama sekali aku tidak bertemu dengannya," jawab Barra seraya menatap sedikit heran ke arah wajah Kara yang tiba-tiba terlihat sedikit pucat.Satu jarinya bergerak menghapus satu bulir keringat yang ada di dahi sang kekasih. Entah apa yang tengah dirasakan oleh Kara saat ini, Barra tidak tahu. Akan tetapi belum sempat ia bertanya lebih jauh, tiba-tiba saja sudah ada seseorang yang menepuk bahunya dari belakang."Hey, Brother!"Jack menyapa lebih dulu dengan seutas senyumnya. Mata birunya nampak berbinar menatap sang sahabat kecil, hingga setelahnya ia langs
"Jadi, dia orangnya?"Barra bertanya sambil sesekali melirik ke arah Arka yang tengah sangat bersemangat memperhatikan cokelat fountain, kebetulan saat ini anak kecil itu tengah mengantre demi melumuri beberapa potong buah yang ada di tangannya."Maaf, Barra. Aku sama sekali tidak bermaksud menutupi hal ini padamu."Lagi-lagi rasa bersalah membuat bundanya Arka itu merasa tak percaya diri berada di hadapan Barra. Walau sedari tadi kekasihnya tersebut terlihat tenang dan diam saja, akan tetapi tetap ia merasakan sebuah hal yang cukup berbeda darinya.Cemburu?Ya, mungkin hal itu yang tengah dirasakan oleh Barra. Walau tak mengutarakannya langsung, tetapi tetap saja Kara bisa merasakannya. Sedari tadi pria itu memang hanya diam saja padanya, sambil terus memperhatikan Arka dari kejauhan.Tak ada basa-basi hangat, dan tak ada juga sentuhan-sentuhan romantis yang biasa diberikannya. Semua entah kenapa menghilang begitu saja dengan ce
"Arka!"Kara berteriak kencang dan langsung berlari panik ke arah sang anak yang tiba-tiba terlihat terjatuh dari kejauhan.Dengan napas yang tak karuan, ia segera membopong tubuh mungil tersebut ke tempat yang tak begitu ramai. Sampai akhirnya dirinya segera merebahkan anak lelakinya itu secara pelan, dan menatap wajah pucatnya.Oh, astaga. Sebenarnya apa yang telah terjadi? Bukankah sedari tadi Arka nampak sehat-sehat saja? Bahkan setelah mengantre cokelat fountain, anak lelakinya itu masih bisa bercengkrama dengan para pemusik yang tengah menghibur tamu-tamu Keluarga Piterson "Bunda! Arka enggak kuat! Sakit!" lirih anak kecil itu seraya meremas kuat perutnya.Tangis Arka pecah, tetapi tak bersuara. Wajah pucatnya semakin terlihat, seiiring dengan dinginnya genggam tangan mungil yang Kara rasakan.Sungguh, Kara benar-benar kalut. Ia bingung harus melakukan apa, sampai-sampai beberapa orang mulai berdatangan mengerubungi dirinya dan juga sang anak."Kara, Arka kenapa?"Suara itu sek
"Aku pasti tidak akan membuatnya menyesal, Jack! Dia bahagia bersamaku!"Deghh!Degup jantung Kara sampai berhenti mendengar suara yang tak asing itu. Dengan segera ia menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka, dan kembali menatap ke arah lagi untuk memastikan bahwa anaknya tersebut tak terbangun."Barra, lebih baik—""Ssttt! Aku belum selesai berbicara, Sayang. Aku harus memastikan sahabat kecilku ini, kalau kau akan tetap baik-baik saja bersamaku!" ucap Barra seraya mengecup dahi Kara sekilas.Diam-diam salah satu tangan Jack pun terkepal melihat pemandangan itu. Ia merasa cemburu sekaligus kesal, terlebih tatapan Barra padanya terlihat seolah sedang mengejek dirinya."Apa ada lagi hal yang kau khawatirkan, Jack? Silakan ucapakan saja sekarang, agar aku bisa mengklarifikasinya langsung!" lanjut Barra lagi dengan nada yang terkesan santai, tetapi cukup menyeramkan juga.Meski tersenyum, tetapi tetap saja tatapan amar
"Barra .... A–aku —""Kara, tolong jangan seperti ini!"Barra mengusap wajahnya cepat, seraya berkali-kali terlihat menunduk. Pria itu sungguh tidak tahu harus melakukan apa, agar wanita yang ada di hadapannya ini bisa berkata jujur padanya."Barra ...."Lagi-lagi ucapan Kara terputus, karena setelahnya pria yang telah dipanggilnya tersebut tiba-tiba saja telah menarik dirinya masuk ke dalam dekapan erat. Tak ada lagi cecaran tanya dari mulut Barra. Pria itu hanya diam memeluk dirinya, hingga ia langsung balas mendekapnya."Barra, are you okay?"Tidak menjawab, pria tersebut hanya menggeleng. Barra masih juga belum melepaskan pelukannya pada Kara, sehingga alhasil kini wanita tersebut merasa semakin bersalah karena telah menutupi pertemuannya dengan Avaline di salah satu pusat perbelanjaan beberapa waktu yang lalu.Sebenarnya Kara ingin jujur, tetapi ia tak tahu harus memulainya dari mana. Kara terlalu takut membuat hubungan Avaline dan Barra hancur, walau kenyataannya hubungan antar
"Apa? Bagaimana bisa? Bukankah semalam dia baik-baik saja?"Avaline nampak sangat terkejut, yang mana hal itu seketika cukup membuat Jack merasa bingung.Baik, sepertinya ibu kandung sahabat kecilnya tersebut sama sekali tidak tahu-menahu tentang kejadian semalam. Ya, untuk sementara Jack berkesimpulan seperti itu."Jack? Kenapa diam saja? Arka sakit apa? Kenapa dia bisa dilarikan ke rumah sakit? Apa dia memiliki sakit yang cukup serius?" Avaline kembali melimpahkan beberapa pertanyaan untuk Jack yang berhasil membuat rasa ingin tahunya membuncah.Sementara Clarissa, diam-diam wanita itu telah mengeluarkan keringat dingin. Ia tak menyangka akan terlibat dalam pembahasan masalah ini, sehingga sekarang dirinya sedang berusaha mati-matian untuk bersikap normal agar tak mengundang suatu kecurigaan apa pun dari Jack."Arka sakit karena keracunan salah satu makanan, Tante. Dokter bilang, sepertinya makanan itu dari salah satu makanan yang terakhir kali Arka makan semalam," tutur Jack dengan
"Bunda? Om Baik? Kenapa diam? Nanti Bunda sama Om Baik enggak seperti itu 'kan?"Arka kembali bertanya, seraya menatap dua orang dewasa yang tengah memeluknya. Di dalam dua netra kecokelatan itu, terlihat sedikit tatapan kecewa.Ya, Arka kecewa. Arka kecewa karena apa yang diharapkannya tak bisa langsung dipastikan oleh dua orang tersayangnya.Arka tentu tak mau mengalami kejadian seperti mimpi buruknya semalam, tetapi sayang jawaban yang didapatkannya saat ini malah seolah menjelaskan semuanya."Ya sudah, kalau begitu lebih baik Arka pergi aja! Arka enggak mau Bunda sama Om Baik pis—""Arka, Sayang. Tidak boleh berbicara seperti itu. Nanti Bunda Kara bisa sedih, Nak," cegah Barra lebih dulu sebelum melihat Kara semakin terdiam.Anak kecil itu sedikit memajukan bibirnya. Arka nampaknya belum begitu puas dengan tanggapan dua orang yang sangat disayanginya ini, akan tetapi sedetik kemudian dirinya menyadari tatapan sang bunda yang nampak sedikit berkaca-kaca ke arahnya."Maaf, Bunda. Ar
"Barra! Cukup! Mommy tidak seperti itu!"Suara hentakan keras, seketika membuat Kara melirik ke arah pintu. Entah kenapa ia merasa seperti mendengar suara Avaline. Namun sayang saat ini dirinya tak bisa memastikan keluar, karena sang anak yang baru saja tertidur di dalam dekapannya."Semoga tidak terjadi sesuatu di sana. Semoga Barra bisa mengendalikan emosinya, karena biar bagaimanapun Ibu Avaline adalah ibu kandungnya sendiri," gumam Kara seraya sesekali mengusap pundak Arka yang semakin tertidur pulas.Entah sejak kapan Avaline tahu keberadaan Barra di sini, Kara tak tahu. Namun satu hal yang jelas tengah dikhawatirkannya sekarang adalah tentang kemarahan wanita itu. Kara takut kalau Avaline nanti akan semakin meradang padanya, karena Barra lebih memilih bersamanya dengan Arka di tempat ini.Apalagi semalam Barra pergi begitu saja dari acara ulang tahun perusahaannya 'kan? Pasti Avaline akan sangat berang dengan hal tersebut, dan akan menuduhnya sebagai penyebab dari semua kekacaua