Hari pernikahan akan digelar. Suasana langit sangat mendung, tapi tak hujan. Hawa dingin sudah terasa sejak pagi, bahkan ingin rasanya aku tak mandi jika pantas. Sayangnya, Emak dan Mbakku mengomel karena di jam 7 pagi, aku masih mengenakan sarung dan bau iler katanya. Selepas subuh, aku memang tidur lagi karena malamnya tadi di rumah ini mengadakan syukuran dan mengundang banyak orang untuk ikut mendoakan acara ijab kabul besok. Selain itu, malam tadi aku juga tak bisa tidur. Entah kenapa. “Mau nikah jam 8, bisa bisanya kamu baru bangun, Fir Fir,” omel Mbak SIti.“Kan udah ada Mbak Siti dan yang lain, pengantin kan raja,” kekehku.“Raja mana yang mau pergi tapi nggak mandi? Ini kan juga kamu yang nikah, bisa bisanya belum apa apa,” omel Mbak Siti lagi. “Ini mau mandi, Mbak. Jangan marah marah terus, Mbak. Nanti malah tuaan Mbak daripada Emak,” ucapku membuat semua orang yang ada di rumah Emak tersenyum dan menggelengkan kepala melihatku yang sedang adu suara dengan Mbak Siti.Mb
Akad digelar di masjid pondok pesantren. Saat aku sampai, iring iringan anak anak santri menambah gemerubuk jantung yang sama cepatnya dengan tabuhan rebana yang dimainkan. Aku memaksakan diri tersenyum, meski sebenarnya sungguh luar biasa rasanya. Padahal yang akan aku nikahi adalah wanita yang biasa bermain dengan ku sejak kecil. Namun, rasanya … deg degan guys. Siap nggak siap, menikah harus terjadi hari ini.Aku disambut keluarga Abah Yai, Ustad Husni dan juga para pengajar pondok yang lain. Mereka tersenyum dan memelukku saat baru sampai di depan masjid. Aku membalasnya dengan senyuman termanis, lalu menengok pada gerombolan ibu ibu yang heboh memfotoku. Ada juga teman teman Emak di sawah yang sangat heboh bersalaman dengan Emak dan Bapak. Mungkin, menikahnya aku adalah prestasi yang benar benar luar biasa bagi Emak dan Bapak. Umur sudah kepala 3, jelas tak lagi muda untuk sebagian orang di desaku untuk menikah.Aku sedikit celingukan, tak melihat ada Syarifah di sana. Sudah beb
Bab 58Memang karena tak ada hajatan besar, selepas ijab Qobul selesai aku ajak Syarifah pulang ke rumah satu hari setelahnya. Selain karena di pesantren ini Syarifah juga selama ini tidur di asrama putri, aku pun tak nyaman untuk menikmati romansa pengantin di tempat keramaian. Bisa bisa saat sedang proses persilangan, diganggu suara anak anak yang gaduh berebut tempat tidur juga seperti saat malam pertama kemarin. Aku dan Syarifah tidur terpisah lantaran Syarifah yang menemani teman temannya yang lain di asrama putri. Juga menghormati tamu lain yang menginap.“Abang mau langsung pulang, Bang?” tanyaku pada Abang yang malam ini sudah berkemas, padahal baru sehari aku menikah dengan Syarifah.“Abang nggak bisa cuti lama lama, bisa kena omel atasan, Fir. Lagian, Abang udah beberapa hari di sini. Urusan kamu nikah dan syukuran Emak kan sudah selesai, lagian di sini masih ada Siti.”“Siti juga pulang, Bang,” ucap Mbak Siti tak mau kalah.“Pulang semua, sepi rumah Emak,” ucapku.“Kamu d
Setelah malamnnya Bang Topan pulang, paginya Mbak Siti juga pulang dengan suami dan anak anaknya. Saat ini, rumah sudah sepi karena semuanya sudah pergi. Tinggalah aku, Syarifah, Emak dan Bapak. Aroma masakan sudah tercium kala aku baru bangun tidur. Empat hari setelah jadi pengantin baru, kami masih sama sama tersegel lantaran sibuk wara wiri dengan segala hal. Badan yang capek dan suasana yang memang tak mendukung membuat kami menunda untuk kesenangan terlebih dahulu.Suara murottal dari masjid menandakan waktu adzan subuh sudah sejak tadi berkumandang, aku pun melihat jam sudah pukul 5 pagi. Pintu kamar terbuka pelan, lalu nampak Syarifah muncul dengan sarung dan juga koko di tangannya.“Semalam cari ini kan?” tanyanya.“Iya. Udah kering memangnya?” tanyaku. Aku memang sempat mencari sarung baru dan koko baru pemberian Abah. Niatnya mau aku jadikan pakaian solat, ternyata sudah dicuci Syarifah dan belum kering.“Udah.”“Kenapa nggak bangunin aku sholat subuh?” tanyaku. “Takut ng
Pagi ini aku bangun lebih awal. Tentunya karena setelah aksi liarku yang menyenangkan, aku pun harus bangun pagi dan memanaskan air untuk Syarifah mandi. Kasihan kalau dia bangun agak siangan, kepergok Emak atau Bapak yang mau subuhan. Berhubung di sini pakai tungku, aku pun membuat api terlebih dahulu. Tak susah melakukannya, aku sudah terbiasa sejak kecil. Sebenarnya ada gas, cuma kosong karena Emak jarang memakainya. “Le, lek opo?” tanya Emak.“Mak? Udah bangun? Suaranya kedengaran ya?”“Nggak, ini udah jam 4. Emak biasanya memang bangun jam segini. Kok kamu bikin api? Mau buat apa?”“Biasa, Mak. Penganten baru, takut masuk angin kalau pake air dingin, Mak.” Aku nyengir saja.“Oalah. Ya udah, sini! Biarkan Mak yang lanjutkan,” ucap Emak menyingkirkanku.“Nggak usah, Mak. Nanti Ifah malu kalau EMak liatin kita mandi. Mamak ke mushola atau di kamar sajalah. Ya?”“Kenapa malu? Mak juga sudah biasa mandi pagi. Nggak harus jadi pengantin baru untuk keramas pagi pagi juga.”“Tapi, Mak …
“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi. Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, han
“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya
Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.“Misi, Bu. Bu,” panggilku.Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.“Bu … Bu.”Aku meng