Akad digelar di masjid pondok pesantren. Saat aku sampai, iring iringan anak anak santri menambah gemerubuk jantung yang sama cepatnya dengan tabuhan rebana yang dimainkan. Aku memaksakan diri tersenyum, meski sebenarnya sungguh luar biasa rasanya. Padahal yang akan aku nikahi adalah wanita yang biasa bermain dengan ku sejak kecil. Namun, rasanya … deg degan guys. Siap nggak siap, menikah harus terjadi hari ini.Aku disambut keluarga Abah Yai, Ustad Husni dan juga para pengajar pondok yang lain. Mereka tersenyum dan memelukku saat baru sampai di depan masjid. Aku membalasnya dengan senyuman termanis, lalu menengok pada gerombolan ibu ibu yang heboh memfotoku. Ada juga teman teman Emak di sawah yang sangat heboh bersalaman dengan Emak dan Bapak. Mungkin, menikahnya aku adalah prestasi yang benar benar luar biasa bagi Emak dan Bapak. Umur sudah kepala 3, jelas tak lagi muda untuk sebagian orang di desaku untuk menikah.Aku sedikit celingukan, tak melihat ada Syarifah di sana. Sudah beb
Bab 58Memang karena tak ada hajatan besar, selepas ijab Qobul selesai aku ajak Syarifah pulang ke rumah satu hari setelahnya. Selain karena di pesantren ini Syarifah juga selama ini tidur di asrama putri, aku pun tak nyaman untuk menikmati romansa pengantin di tempat keramaian. Bisa bisa saat sedang proses persilangan, diganggu suara anak anak yang gaduh berebut tempat tidur juga seperti saat malam pertama kemarin. Aku dan Syarifah tidur terpisah lantaran Syarifah yang menemani teman temannya yang lain di asrama putri. Juga menghormati tamu lain yang menginap.“Abang mau langsung pulang, Bang?” tanyaku pada Abang yang malam ini sudah berkemas, padahal baru sehari aku menikah dengan Syarifah.“Abang nggak bisa cuti lama lama, bisa kena omel atasan, Fir. Lagian, Abang udah beberapa hari di sini. Urusan kamu nikah dan syukuran Emak kan sudah selesai, lagian di sini masih ada Siti.”“Siti juga pulang, Bang,” ucap Mbak Siti tak mau kalah.“Pulang semua, sepi rumah Emak,” ucapku.“Kamu d
Setelah malamnnya Bang Topan pulang, paginya Mbak Siti juga pulang dengan suami dan anak anaknya. Saat ini, rumah sudah sepi karena semuanya sudah pergi. Tinggalah aku, Syarifah, Emak dan Bapak. Aroma masakan sudah tercium kala aku baru bangun tidur. Empat hari setelah jadi pengantin baru, kami masih sama sama tersegel lantaran sibuk wara wiri dengan segala hal. Badan yang capek dan suasana yang memang tak mendukung membuat kami menunda untuk kesenangan terlebih dahulu.Suara murottal dari masjid menandakan waktu adzan subuh sudah sejak tadi berkumandang, aku pun melihat jam sudah pukul 5 pagi. Pintu kamar terbuka pelan, lalu nampak Syarifah muncul dengan sarung dan juga koko di tangannya.“Semalam cari ini kan?” tanyanya.“Iya. Udah kering memangnya?” tanyaku. Aku memang sempat mencari sarung baru dan koko baru pemberian Abah. Niatnya mau aku jadikan pakaian solat, ternyata sudah dicuci Syarifah dan belum kering.“Udah.”“Kenapa nggak bangunin aku sholat subuh?” tanyaku. “Takut ng
Pagi ini aku bangun lebih awal. Tentunya karena setelah aksi liarku yang menyenangkan, aku pun harus bangun pagi dan memanaskan air untuk Syarifah mandi. Kasihan kalau dia bangun agak siangan, kepergok Emak atau Bapak yang mau subuhan. Berhubung di sini pakai tungku, aku pun membuat api terlebih dahulu. Tak susah melakukannya, aku sudah terbiasa sejak kecil. Sebenarnya ada gas, cuma kosong karena Emak jarang memakainya. “Le, lek opo?” tanya Emak.“Mak? Udah bangun? Suaranya kedengaran ya?”“Nggak, ini udah jam 4. Emak biasanya memang bangun jam segini. Kok kamu bikin api? Mau buat apa?”“Biasa, Mak. Penganten baru, takut masuk angin kalau pake air dingin, Mak.” Aku nyengir saja.“Oalah. Ya udah, sini! Biarkan Mak yang lanjutkan,” ucap Emak menyingkirkanku.“Nggak usah, Mak. Nanti Ifah malu kalau EMak liatin kita mandi. Mamak ke mushola atau di kamar sajalah. Ya?”“Kenapa malu? Mak juga sudah biasa mandi pagi. Nggak harus jadi pengantin baru untuk keramas pagi pagi juga.”“Tapi, Mak …
“Jaga diri di rumah, kalau nanti aku ngabarin nggak bisa, jangan maksain diri nyusul ya? Temani Emak dulu di rumah,” ucapku sebelum pergi meninggalkan Syarifah.“Kalau lama, aku minta nyusul lah. Enak aja di sana lirik lirik anaknya bos,” sungutnya.Aku tersenyum. “Nggak lama, paling lima menit keluar. Kan masih sehat,” kekehku.“Ck, apaan sih?” Syarifah tersipu. “Aku pergi dulu, chat aja kalau kangen.” Aku mengecup keningnya lagi, setelah dirasa memang perlu untuk membuat Syarifah yakin aku pergi untuk bekerja dan berusaha menafkahinya. “Ya, hati hati di jalan.”AKu pamitan pada Syarifah, Emak dan Bapak. Mereka semua tersenyum saat mengantarku pergi dan aku pun berusaha tersenyum, meski berat meninggalkan istri yang sedang lucu lucunya. Aku menuju ke kota, tapi mampir dulu ke Pesantren. Aku sudah janjian sama Hamzah, dia bilang mau nitip sesuatu sebelum aku pergi. Aku melihat Hamzah sedang duduk kursi halaman ndalem, rumah Abah Yai.“Cie, yang udah jadi mantu Yai. Gimana, Gus? Am
.“Eh, masih ingat kerja rupanya? Aku kira sibuk dengan istri,” ucap Nona Lisa begitu aku masuk ruangan.“Istri juga kan butuh makan, Non,” jawabku sambil duduk di kursi.“Siapa yang nyuruh kamu duduk? Berdiri di sana saja,” ucap Nona Lisa yang justru galaknya melebihi Bu Bos.“Hm, baiklah Non. Saya diminta buat ke ruangan ini sama Bu Bos. Katanya dipindahkan di meja Manager. ““Enak ya jadi kamu? Disayang Momy saya, dikasih kerjaan dengan jabatan tinggi pula.” Nona Lisa terlihat sangat menyebalkan sekali hari ini. Mana ada kerjaan enak. Semakin tinggi jabatan ya semakin berat tugas dan tanggung jawabnya.“Alhamdulillah, rezeki setelah menikah.”“Mau pamer?” “Astaga, ada masalah apa sih Non sama saya? Saya hanya diminta buat menghadap Nona loh, bukan ngajak kelonan syaraf,” ucapku.“Suka suka aku lah. Kerjaanmu sekarang banyak, nih! Kerjain semua, kamu sering keluar nanti buat pantau perkembangan cabang cabang di berbagai kota. Bisa jadi nggak pulang berhari hari, istri sudah tahu?”
.Mendengar dia memanggil dengan nama lama, aku pun langsung menutup pintu. Aku harus memakai air yang diberikan Pak Ustad agar tak dibawa pergi mereka lagi. Hampir saja aku lupa. Perasaanku tak enak, menangkap sesuatu yang pasti akan buruk untukku jika sampai memberi kesempatan mahluk itu masuk. Jelas dia bukan Syarifah, mana mungkin dia menyusul dan memanggilku dengan nama itu.Panggilan di telepon sudah tersambung sejak tadi ternyata. Setelah aku pakai air penangkal dari Ustad Husni, tak ada ketukan yang aku dengar lain. Dingin dalam tubuh ini sudah menghangat karena aku memakai jaket Syarifah yang tergantung di sisi kamar. Jaket bulu yang pernah dia pakai saat kita semua berlibur bersama di Bogor saat itu.“Maaf, Peh. Gue baru pulang, tadi cari jaket karena kehujanan dan dingin,” ucapku sambil menggosok hidung yang masih gatal dan meler karena terkena hujan.“Ya Allah, kok bisa baru pulang, Mas?”Ea, panggilan sudah berganti ternyata jadi Mas. Aku pun tersenyum, meriang seperti l
.Aku ke kantor tepat waktu. Aku berharap tak banyak kerjaan hari ini karena tubuhku belum begitu fit selepas flu semalam mendera. Aku memakai masker agar tak begitu dingin terkena angin AC yang bisa saja flu ku kembali terasa.“Tumben pake masker?” tanya Lili saat berpapasan denganku di lif.“Biar ganteng, Li. Masa nggak bisa bedain mana orang ganteng asli sama maskeran? Kayak Opa opa korea kan?” kekehku pada Lili.“Hahaha, iya sih. Sejak nikah, lo malah jadi ganteng dan auranya lebih enak dilihat. Jaga diri tuh, nanti anaknya Bu Bos naksir lagi,” ucap Lili.“Naksir mah lo juga boleh, bebas. Yang penting jangan war dan niat jadi pelakor. Gue mah setia, kagak bakalan geser. Paling otaknya dikit yang geser,” jawabku membuat Lili menggelengkan kepalanya dan tersenyum.DIpuji Lili, aku malah jadi melihat diriku sendiri di dinding lift yang berkilau dan menunjukan wajahku yang ganteng. Iseng tersenyum sendiri lalu sosok putih yang tadi menemaniku sarapan tiba tiba ada di sisiku dengan
Beberapa hari di rumah ini aku pun mulai merasa normal. Tak ada suara suara aneh yang aku dengar kala malam. Mamak dan Bapak pun terlihat sudah mulai beraktivitas seperti biasa.Asma dan aku sudah siap berangkat kuliah. Kuliah jam 9 pagi, Mamak juga sudah selesai dengan aktivitasnya dengan bapak di luar yang katanya berjualan. Aku diberi uang saku, lalu dibawakan bekal seperti anak TK.“Besok bukan mamak lagi yang siapin bekal, tapi istrimu. Takutnya mamak pulangnya gak selalu pagi,” ucap Mamak membuatku merenges. Aku yang belum terbiasa bermanja untuk urusan seperti ini tak banyak memprotes. “Iya, Mak.”Aku pun ke sekolah menaiki motor yang baru dibeli Bapak seminggu yang lalu. motor lamaku ada di rumah lama dan tak boleh dibawa pulang. Alasanya, tak ada gunanya dibawa karena akan membonceng Asma dan bawa dagangan.Kami tiba di kampus jam setengah sembilan.Aku menyapa beberapa mahasiswa lain yang melintas, tentu yang cantik cantik. Asma sampai mencubitku dan aku merenges saja.“Kat
“Nggak apa apa. Mungkin wajah saya memang familiar,” ucap Kyai Hasanudin.“Mirip sama Ayahandanya Mak Nyai,” gumamku dan Pak Kyai Hasanudin hanya mengangguk dan tersenyum padaku. Sungguh, wajahnya sangat mirip. "Hus! Jangan sembarangan ngomong, Gil," bisik Emak dan aku hanya mengangguk saja. Tapi memang agak kenal. Serius sangat mirip Ayahanda.Kami berbincang banyak hal, termasuk kegiatan para santri di pondok pesantren ini. Bahkan, Pak Kyai menawarkan aku dan Asma untuk tinggal di sini tetapi aku menolak. Aku tak ingin jauh dari mamak. Tentu selain tak bebas ada di pesantren yang orangnya tak aku kenal, aku juga tak tahu apakah Pak Kyai ini manusia betulan atau jadi jadian. “Ya sudah kalau tak mau menginap. Tapi setiap hari bantu Yai urus asrama, bisa?” tanyanya.“Insyaallah, bisa,” ucap Asma langsung.Aku pun melirik padanya. Dia tak menatapku kembali dan fokus berbincang dengan salah satu Ustadzah yang terlihat masih muda. Tadi dikenalkan sebagai istri dari salah satu Ustad di p
..Akhirnya kami tiba di Bandung. Kota kembang yang katanya memiliki banyak warga gadis yang cantik cantik di sini. Aku pun dibawa Bapak dan Mamak ke sebuah hunian sederhana di dekat pondok pesantren. Bukan pondoknya, tapi kawasannya memang religius sekali.“Nanti diturunkan semua, Gil,” ucap Mamak saat mobil sudah turun.Kedatangan kami disambut seorang nenek paruh baya yang langsung menyapa Mamak. Mereka sepertinya sudah kenal lama dan aku pun langsung membuka bagasi untuk menurunkan koper.“Kamar sudah nini bersihkan,” ucap nenek itu. “Oh iya, kenalkan saya Sudarsih. Panggil saja nini Darsih. Nenek angkat Ibu kamu.”Entah sejak kapan mamak punya nenek. Dari garis wajah tak ada yang sama, hanya sama gendernya saja dan lainnya blas nggak ada yang sama.“Gilang,” ucapku memperkenalkan diri pada Nini Darsih yang langsung bergantian kenalan dengan Asma.“Geulis, Neng. Pantes dipilih jadi mantunya anak Nini,” ucap Nini.“Alhamdulillah, Nini sehat sekali nampaknya. Senang berkenalan denga
“Selamat ya, Gilang. Paman nitip Asma sama kamu. Kuliah yang bener di sana, kalau nggak mau repot jangan ada anak dulu. Kalian kan nikah untuk saling melindungi saja,” ucap Paman saat aku diminta membawa Asma ke Bandung.“Insya Allah, Paman,” jawabku singkat.“Nikah untuk ibadah tentunya, Zah. Masa buat melindungi saja. Ntar, kalau keduanya ngebet, berabe juga.” Bapak ikut menimpali.“Ya kan belum resmi, Fir. Mereka masih nikah siri, nggak ada kekuatan hukumnya. Gak apa apa tunda dulu, asal kalian berdua udah sah dan ke mana mana berdua nggak undang dosa. Apalagi jauh di sana.” paman Hamzah pun menjawabnya dengan serius.“Ya nggak bisa gitu, Ham. Anak gue laki sejati, mana bisa nahan lama lama. Udah, lo aman aja udah diam di sini kerja yang bener urus kebun, sawah dan peternakan. Awas aja kalau kerjanya di sini asal asalan,” omel mamak.“Peh, meski kita sahabatan juga kalau anak lo nggak becus jagain anak gue, gue murka lah. Pokoknya, Gilang harus jadi suami yang baik buat Asma. Jaga
Kode mahar? Apakah hadiah dari Mamak kemarin adalah mahar yang akan aku berikan pada Asma?Aku merogoh saku dan melihat kotak hadiah dari mamak. Warnanya bukan merah melainkan putih. Aku pun menunjukkannya pada Bapak dan Bapak mengangguk.“Coba dibuka,” ucap Paman Hamzah yang juga ada di sisiku.Aku membuka surat emas yang ada di tanganku, lalu melihat tulisan 5 gram emas yang ada di surat pembelian cincin itu. Tak banyak, tapi sepertinya ini mahar yang akan diberikan pada Asma.“Nanti bacakan saja nominalnya, biar langsung sah,” bisik Paman. Aku baru sadar, posisi paman dan Bapak ada di sebelahku dan cukup mengagetkan karena aku malah dipaksa nikah sama Asma pagi ini juga.“Gilang, meski umur kamu masih muda, tapi tubuh dan jiwa kamu yang seperti ayahmu ini, maka Yai menyarankan untuk kamu menikah saja. Pagi ini setelah kamu melakukan i’tikaf, Yai sarankan untuk menikah. Apa sekiranya kamu berkenan?” tanya Pak Yai pelan dan ramah sambil menepuk bahuku.“Tapi, Yai, Gilang belum ad
Setelah diberikan izin keluar pesantren, tujuanku saat ini adalah pulang ke rumah. Bapak sudah menjemputku, tak jauh di sana Namira adik bungsuku yang langsung minta turun dari gendongan Bapak dan berlari ke arahku.“Abang…”“Hai, bocil Abang yang comel. Kangennya,” ucapku.“Namila juga, Abang lama benel pulangnya. Namila jadi lama dititip di lumah Kak Ilma.”“Gak apa apa, dia seneng direpotin ngasuh kamu.”“Makasih ya, Irma, Hamzah, sudah mau dititipi Gilang. Kami pulang dulu, semoga setelah ini semuanya baik baik saja.”“Iya, Fir. Santai saja, anakmu sudah jinak di sini,” jawab Paman Hamzah.Aku tersenyum mendengarnya. Jinak katanya, padahal kalau bareng sama Asma kami bertengkar dan selalu bikin gaduh.Kami pulang berboncengan dan Namira begitu senang dengan kepulanganku seperti nya. Dia tak henti bercerita banyak hal tentang apa yang sudah dia lewati selama aku di rumah sakit. Aku juga senang karena Bapak ternyata baik baik saja, seperti tak ada kejadian apapun sebelum ini.“Aban
Aku membuka mata perlahan, melihat kembali cahaya yang tadinya membawa kami menuju jalan pulang. Aku melihat lampu putih di atas kepalaku, lalu mengerjapkan mata karena terlalu silau setelah tadi merasakan gelap yang sangat menyeramkan.Suara suara orang yang sangat aku kenal akhirnya sangat jelas terdengar. Aku mulai jelas melihat ke wajah mereka, lalu melihat mamak dengan wajah sembabnya.“Anak Mamak sudah bangun, alhamdulillah ya Allah.”Aku mencoba mengingat kembali terakhir aku berada di mana, tempat yang aneh dan berbeda dengan saat aku kini ada di mana. Aku menengok dan ternyata ada Bapak di sisiku.“Pak.”Aku melihat Bapak terpejam juga. Banyak selang infus daripada aku yang hanya di bagian tangan saja. Tapi kepala dan kaki Sepertinya tidak terluka.“Mak, Bapak kenapa?” tanyaku.“Sedang istirahat, Nak. Kamu bikin mamak panik, ditambah bapak mu juga,” ucap Mamak yang langsung memelukku. Aku melihat Asma dan Paman Hamzah juga Ustad Kyai di ruangan ini. Ada alquran di tangan mer
“Asma?”Aku menyentuh pundaknya. Dia sejak tadi hanya menangis dan diam saja. Tapi lelehan air mata itu membuatku cukup khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi dengan Bapakku.“Gilang, Bapakmu mencarimu. Beliau bilang akan mengusahakan. Hanya saja … kemarin Ustad Yai bilang, Bapak kamu mau ke sebuah hutan di belakang desa kita tanpa ditemani. Jadi, Mamak kamu khawatir dan mungkin juga beliau juga sudah kembali. Kita berdoa saja. Soalnya hutan di kawasan desa kita itu terkenal angker, Bapak kamu kan pernah hilang di sana.”Aku mengingatnya. Bapak pernah beberapa kali hilang di tempat tempat angker. Pernah di hutan bambu, pernah di kawasan hutan dan pernah juga hilang saat sedang tidur. Semua diceritakan agar aku waspada dan tentu tak sembarangan masuk kawasan kawasan itu.“Semoga Bapak bisa kembali.”Aku pun menunggu sembari berdoa. Asma juga menemaniku dan menghubungi Paman Hamzah. Beliau datang sendirian dan aku pun penasaran kenapa Paman tak datang dengan mamak dan bapakku.
..“Kita akan pulang nanti.”Bapak memastikan pastinya aku baik baik saja. Hal yang perlu dibahas dan diingat bahwa semua ini tak mungkin akan mudah. Namun, aku juga tak ingin menyia nyiakan kesempatan ini untuk bersama Bapak mencari jalan pulang. Bapak pergi bersama dengan sang raja dan beberapa pengawal, lalu tak lama kemudian kembali padaku. “Kalian makanlah,” ajak raja yang seperti Bapak panggil tadi. Raja. Aku yang dibaringkan di kamar khusus, hanya kamar ini terbuka sehingga aku bisa melihat Bapak duduk di meja khusus ditemani Mak Nyai.“Kalau tak begini, kamu tak mau datang ke sini lagi.” Mak Nyai terlihat menangis.“Untuk apa? Jangan membuat masalah dengan keluarga kami, bahkan setelah ini aku ingin kita hanya berdampingan beda dunia. Tak juga mencampuri urusan di alam masing masing.”“Mana bisa begitu? Gilang adalah anakmu, di mana kamu pernah mengatakan akan bisa menjaganya demi aku. Lupa?”“Menjaganya bukan berarti memilikinya. Ini tidak akan pernah terjadi lagi, jadi ber