.Aku ke kantor tepat waktu. Aku berharap tak banyak kerjaan hari ini karena tubuhku belum begitu fit selepas flu semalam mendera. Aku memakai masker agar tak begitu dingin terkena angin AC yang bisa saja flu ku kembali terasa.“Tumben pake masker?” tanya Lili saat berpapasan denganku di lif.“Biar ganteng, Li. Masa nggak bisa bedain mana orang ganteng asli sama maskeran? Kayak Opa opa korea kan?” kekehku pada Lili.“Hahaha, iya sih. Sejak nikah, lo malah jadi ganteng dan auranya lebih enak dilihat. Jaga diri tuh, nanti anaknya Bu Bos naksir lagi,” ucap Lili.“Naksir mah lo juga boleh, bebas. Yang penting jangan war dan niat jadi pelakor. Gue mah setia, kagak bakalan geser. Paling otaknya dikit yang geser,” jawabku membuat Lili menggelengkan kepalanya dan tersenyum.DIpuji Lili, aku malah jadi melihat diriku sendiri di dinding lift yang berkilau dan menunjukan wajahku yang ganteng. Iseng tersenyum sendiri lalu sosok putih yang tadi menemaniku sarapan tiba tiba ada di sisiku dengan
“Lalu siapa yang tadi membawa Syarifah?” Emak pun ikut panik.“Emak dan Bapak di rumah saja, Fir akan pergi mencari Syarifah.”“Kemana, Le? Ini sudah mau maghrib.”“Fir akan minta bantuan Ustad Husni,” ucapku.Tak menunggu lama, aku pun kembali menaiki motor dan tujuanku sekarang adalah pesantren. Tak peduli angin yang berhembus senja ini dan sentuhan sentuhan yang memaksaku menengok. Aku yakin mereka adalah mahluk yang bersekutu menggangguku dalam perjalanan menuju ke pesantren. Langit yang sudah berubah menjadi gelap membuatku semakin memacu laju kendaraan. Aku tak ingin menunggu semakin lama, takutnya istriku tak bisa kembali.Pengalaman disesatkan di alam lain saat itu membuatku sangatlah takut. Godaan godaan di alam sana bisa saja membuat seseorang tergiur dan tak mau keluar dari alam itu. Padahal, apa yang didapatkan di sana tak akan senikmat di dunia.Aku sampai di pesantren Abah. Terlihat Abah dan Ustad Husni hendak keluar dari rumah Abah. Keduanya langsung menatapku serius.
Semua yang ada di depanku menjadi Syarifah. Aku jadi bingung di mana yanga asli.“Dek, kamu yang mana?” tanyaku.“Aku istrimu.”“Aku istrimu.”“Aku istrimu.”Semua mendekat dan malah mencoba untuk menjamah tubuhku. Aku mundur dan sosok hitam yang tadi mengaku sebagai ayah dari makhluk yang mengejarku pun ada di belakang dan menangkapku. Aku tak bisa berontak, tapi aku harus bisa melawannya.“Aku tak akan mengganggu kalian semua, aku janji. Aku hidup dengan damai di dunia, kenapa kalian usik? Keahlianku yang bisa melihat bangsa kalian, bukanlah inginku. Maafkan aku jika ada salah, tolong kembalikan kami,” ucapku mencoba menghiba. Tentu saja dengan memanjatkan doa tanpa henti aku mencoba menegosiasi. Pernikahan yang diaharapkan bangsa lelembut denganku, jangan sampai terjadi. Diantara semua wanita yang mengaku Syarifah itu, ada yang diam saja dengan tangan mengepal. Aku yakin itu istriku yang sedang tak bisa berbuat apa apa lantaran mulutnya jelas terkunci. Sama seperti aku yang saat i
“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi. Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, han
“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya
Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.“Misi, Bu. Bu,” panggilku.Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.“Bu … Bu.”Aku meng
Pagi ini aku bangun kesiangan. Bagaimana tidak, suara suara gaib terus saja berbisik. Ada yang bernada mengancam, ada juga yang mengejek dan menertawakan ku. Sudah aku coba menghilangkan atau bahkan menutup kelebihan yang sudah ada sejak lahir ini. Sayangnya, justru malah aku sakit dan yang ada keluargaku yang akhirnya di teror. Kuputuskan untuk membiasakan tidak terpikirkan, meski kadang wajah wajah seram mereka bikin aku tak bisa memejam mata dengan baik setiap malam.“Gak bareng Hamzah?” tanya Syarifah yang pagi ini sudah aku jemput di depan kosan.“Dia udah pergi, gue ketuk ketuk nggak di dalam. Ya udah, gue mending jemput lo. Daripada boncengin mis kunkun, mendingan boncengin gadis loakan kaleng kong Guan,” kekehku.“Asem!”Gegas dia naik ke atas jok motorku. Waktu yang menunjukan pukul setengah tujuh membuatku harus gegas sampai di kantor tempat bekerja. Aku dan Syarifah bekerja di perusahaan pengiriman barang. Berangkat jam setengah tujuh dan pulang jam setengah lima. Begitu
“Kalau mau mati, nggak usah ngajak ngajak napa! Setan emang lo!” sungut Syarifah.“Ya kan gue setia, apapun keadaannya lo selalu gue ajak.” Aku merenges saja. Syarifah nampak kesal, tapi rautnya mendadak bingung saat baru melihat area tempat kami turun.“Eh, rumahnya yang mana?” tanya Sarifah. Baru kusadari ternyata kita sudah sampai di depan rumah Munaroh. Sepertinya sampai sekarang Bang Ocit belum datang. Soalnya rumahnya masih sepi kayak kuburan.“Tuh,” tunjukku dengan dagu tanpa berani menunjuk dengan jari. Ada dua makhluk bermata besar yang mengawasi kedatangan kami. Jika sampai aku menunjukan jari, mereka akan menganggapnya ini ancaman dan mungkin akan membuat kami diburu sebelum mendekat ke rumah itu.Rumah berlantai dua itu terlihat sangat mencekam dari auranya. Meskipun terkesan mewah karena berlantai dua, bagiku rumah ini cenderung angker jika dilihat dari indra ke-6 ku. Ada pohon asem di depan rumah itu dan banyak pohon pohon rindang yang menutupi sisi gerbang rumah Munar