.“Eh, masih ingat kerja rupanya? Aku kira sibuk dengan istri,” ucap Nona Lisa begitu aku masuk ruangan.“Istri juga kan butuh makan, Non,” jawabku sambil duduk di kursi.“Siapa yang nyuruh kamu duduk? Berdiri di sana saja,” ucap Nona Lisa yang justru galaknya melebihi Bu Bos.“Hm, baiklah Non. Saya diminta buat ke ruangan ini sama Bu Bos. Katanya dipindahkan di meja Manager. ““Enak ya jadi kamu? Disayang Momy saya, dikasih kerjaan dengan jabatan tinggi pula.” Nona Lisa terlihat sangat menyebalkan sekali hari ini. Mana ada kerjaan enak. Semakin tinggi jabatan ya semakin berat tugas dan tanggung jawabnya.“Alhamdulillah, rezeki setelah menikah.”“Mau pamer?” “Astaga, ada masalah apa sih Non sama saya? Saya hanya diminta buat menghadap Nona loh, bukan ngajak kelonan syaraf,” ucapku.“Suka suka aku lah. Kerjaanmu sekarang banyak, nih! Kerjain semua, kamu sering keluar nanti buat pantau perkembangan cabang cabang di berbagai kota. Bisa jadi nggak pulang berhari hari, istri sudah tahu?”
.Mendengar dia memanggil dengan nama lama, aku pun langsung menutup pintu. Aku harus memakai air yang diberikan Pak Ustad agar tak dibawa pergi mereka lagi. Hampir saja aku lupa. Perasaanku tak enak, menangkap sesuatu yang pasti akan buruk untukku jika sampai memberi kesempatan mahluk itu masuk. Jelas dia bukan Syarifah, mana mungkin dia menyusul dan memanggilku dengan nama itu.Panggilan di telepon sudah tersambung sejak tadi ternyata. Setelah aku pakai air penangkal dari Ustad Husni, tak ada ketukan yang aku dengar lain. Dingin dalam tubuh ini sudah menghangat karena aku memakai jaket Syarifah yang tergantung di sisi kamar. Jaket bulu yang pernah dia pakai saat kita semua berlibur bersama di Bogor saat itu.“Maaf, Peh. Gue baru pulang, tadi cari jaket karena kehujanan dan dingin,” ucapku sambil menggosok hidung yang masih gatal dan meler karena terkena hujan.“Ya Allah, kok bisa baru pulang, Mas?”Ea, panggilan sudah berganti ternyata jadi Mas. Aku pun tersenyum, meriang seperti l
.Aku ke kantor tepat waktu. Aku berharap tak banyak kerjaan hari ini karena tubuhku belum begitu fit selepas flu semalam mendera. Aku memakai masker agar tak begitu dingin terkena angin AC yang bisa saja flu ku kembali terasa.“Tumben pake masker?” tanya Lili saat berpapasan denganku di lif.“Biar ganteng, Li. Masa nggak bisa bedain mana orang ganteng asli sama maskeran? Kayak Opa opa korea kan?” kekehku pada Lili.“Hahaha, iya sih. Sejak nikah, lo malah jadi ganteng dan auranya lebih enak dilihat. Jaga diri tuh, nanti anaknya Bu Bos naksir lagi,” ucap Lili.“Naksir mah lo juga boleh, bebas. Yang penting jangan war dan niat jadi pelakor. Gue mah setia, kagak bakalan geser. Paling otaknya dikit yang geser,” jawabku membuat Lili menggelengkan kepalanya dan tersenyum.DIpuji Lili, aku malah jadi melihat diriku sendiri di dinding lift yang berkilau dan menunjukan wajahku yang ganteng. Iseng tersenyum sendiri lalu sosok putih yang tadi menemaniku sarapan tiba tiba ada di sisiku dengan
“Lalu siapa yang tadi membawa Syarifah?” Emak pun ikut panik.“Emak dan Bapak di rumah saja, Fir akan pergi mencari Syarifah.”“Kemana, Le? Ini sudah mau maghrib.”“Fir akan minta bantuan Ustad Husni,” ucapku.Tak menunggu lama, aku pun kembali menaiki motor dan tujuanku sekarang adalah pesantren. Tak peduli angin yang berhembus senja ini dan sentuhan sentuhan yang memaksaku menengok. Aku yakin mereka adalah mahluk yang bersekutu menggangguku dalam perjalanan menuju ke pesantren. Langit yang sudah berubah menjadi gelap membuatku semakin memacu laju kendaraan. Aku tak ingin menunggu semakin lama, takutnya istriku tak bisa kembali.Pengalaman disesatkan di alam lain saat itu membuatku sangatlah takut. Godaan godaan di alam sana bisa saja membuat seseorang tergiur dan tak mau keluar dari alam itu. Padahal, apa yang didapatkan di sana tak akan senikmat di dunia.Aku sampai di pesantren Abah. Terlihat Abah dan Ustad Husni hendak keluar dari rumah Abah. Keduanya langsung menatapku serius.
Semua yang ada di depanku menjadi Syarifah. Aku jadi bingung di mana yanga asli.“Dek, kamu yang mana?” tanyaku.“Aku istrimu.”“Aku istrimu.”“Aku istrimu.”Semua mendekat dan malah mencoba untuk menjamah tubuhku. Aku mundur dan sosok hitam yang tadi mengaku sebagai ayah dari makhluk yang mengejarku pun ada di belakang dan menangkapku. Aku tak bisa berontak, tapi aku harus bisa melawannya.“Aku tak akan mengganggu kalian semua, aku janji. Aku hidup dengan damai di dunia, kenapa kalian usik? Keahlianku yang bisa melihat bangsa kalian, bukanlah inginku. Maafkan aku jika ada salah, tolong kembalikan kami,” ucapku mencoba menghiba. Tentu saja dengan memanjatkan doa tanpa henti aku mencoba menegosiasi. Pernikahan yang diaharapkan bangsa lelembut denganku, jangan sampai terjadi. Diantara semua wanita yang mengaku Syarifah itu, ada yang diam saja dengan tangan mengepal. Aku yakin itu istriku yang sedang tak bisa berbuat apa apa lantaran mulutnya jelas terkunci. Sama seperti aku yang saat i
“Ramen lagi?” tanyaku saat melihat bekal yang dibawa Hamzah–sahabat kerjaku.“Ini makanan kesukaan gue tahu. Lo bakalan suka kalau udah tahu rasanya,” ucapnya lagi. Aku hanya begidig membayangkannya. Aku pernah melihat Hamzah menunjukan bekalnya padaku. Begitu dibuka, aroma busuk bercampur belatung seakan membuatku langsung mual dan ingin memuntahkan isi sarapan pagiku yang sudah ada di dalam perutku. Sejak saat itu, aku menolak jika Hamzah menawariku bekal makanan yang dia bawakan. Dia bilang, itu bekal khusus yang diberikan Munaroh padanya.“Lo gak nyadar apa itu semua isinya belatung?” tanyaku saat melihat Hamzah sangat menikmati bekalnya itu.“Ini tuh telor bray, mulut lo emang ya?” Dia menendang kakiku, sudah biasa memang jika dinasehati begitu.“Telor matamu! Itu belatung, masa nggak liat?” gerutuku.Hamzah terlihat kesal dan dia berbalik memunggungiku. Menikmati bekal yang diberikan Munaroh padanya. Aku memilih beranjak, lalu duduk di meja kerja Sarifah–rekan kantor juga, han
“Randu! Cepat,” teriak Syarifah.Belum sempat aku melihat sosok yang berbisik itu, Syarifah sudah menarikku dengan kuat. Dia mengapit lenganku layaknya suami yang baru turun dari tangga pengantin.“Ekhm!” dehemku. "So sweetnya."“Dih!” Sarifah lalu mengibaskan tanganku, aku pun merangkulnya dengan santai dan bahagia.“Sering sering aja gini,” kekehku.“Maunya lo itu mah! Gue merasa nggak enak nih di parkiran sini, kayak ada yang ngikutin.”Aku melirik kanan dan kiri. Ada banyak sosok yang aku lihat memang, tapi hanya satu yang membuatku memicingkan mata. Sosok hitam kerdil yang sedang berada di atas jok motorku. Wajahnya seperti monyet, tapi giginya panjang dan sedang mencoba menjilati kendaraan ku.“Pergi lo!” ucapku mempercepat langkah dan menendang ban motorku. Sosok itu tertawa, lalu meloncat ke atas mobil yang juga terparkir di sana.“Apa sih? Belum juga berangkat, lo minta gue pergi,” gerutu Syarifah.“Bukan elo, tapi monyet kerdil itu.”"Mana?" tanya Syarifah."Nih, monyetnya
Aku akhirnya mendorong sekuat tenaga motorku yang mendadak mogok. Sosok putih melambai lambai itu membuatku merasa apes sore ini. Aku bukan tak mau melawan, tapi mahluk speeri itu diajak debat pun tak akan bisa kita menang apalagi bikin naik jabatan. Belum tahu sih kalau diajak kencan, apa bisa jadi cantik betulan.Tak mau diikuti sosok miskunkun yang centiknya kelewatan, aku terus membaca doa penolak gangguan bangsa lelembut. Sedikit dikit hafal lah, meski hanya bismilah dan hamdalah. Akhirnya aku tiba di sebuah warung pinggir jalan. Warungnya sepi, hanya ada suara radio yang berbunyi lagu jawa khas jaman keraton.“Misi, Bu. Bu,” panggilku.Tak ada tanda tanda manusia hidup ya? Padahal kosan aku ke kosan Sarifah ini nggak jauh loh. Lima menit juga sampai. Tapi kenapa …Aku menengok pada jalan yang aku lalui. Kabut tebal sekaan menutupi pohon pohon yang aku lalui tadi. Ini di mana? Perasaan tadi nggak di sini deh. Tunggu tunggu … ini bukan jalan menuju ke kosanku.“Bu … Bu.”Aku meng