Akibat kenekatan Abizar yang mengebut di jalanan yang memang sepi di tengah malam, mereka sampai di bangunan besar rumah Omar yang sempat mereka lewati sebelumnya dalam waktu 20 menit. Satpam yang masih berjaga di gerbang jam segini langsung membukakan gerbang saat mengenali Abizar yang menunggu di depan ambang gerbang itu dengan sabar.
Saat Abizar fokus mengendarai mobilnya masuk ke halaman rumah yang begitu luas. Mawar tidak bisa berhenti melongo. Besarnya rumah itu membuatnya malu dan takut. Malu karena Mawar orang miskin yang tersesat di sini dan takut karena tidak pernah memasuki rumah dan halaman seluas ini sebelumnya. Mawar mencekram serat kemeja Abizar, tubuhnya sedikit meringkuk dengan wajah menunduk. Entah kenapa, semakin malu saat mobil Abizar ikut menjadi sorotan setiap mata yang ada di halaman. Ternyata di jam segini masih ada beberapa pelayan dan saudara-saudara Abizar yang beraktivitas.
“Kamu kenapa?” Abizar bertanya bingung sambil membukakan
Abizar mengemasi barang-barangnya, Malik duduk di tepian ranjang. “Bagaimana di Indonesia, berapa tahun kamu hidup di sana apa menyenangkan?”Abizar melirik saat Malik bertanya. Abizar manggut-manggut, “cukup membosankan. Tapi bisa dikatakan menyenangkan jika pembantuku tidak libur.”Dahi Malik mengerut. “Jadi yang menyenangkan di tanah sana hanya pembantumu?”“Yap,” Abizar mengangguk. Abizar balik bertanya, “bagaimana Amerika? Tiga bulan kamu di sini setelah lima tahun di sana, kata Abi kelakuan kamu meresahkan.”Malik tertawa mendengarnya. “Di sana aku merasakan kebebasan. Tak ada yang mengekangku atau mengatur-ngaturku lagi. Benar-benar luar biasa, aku bisa menjadi diri sendiri tanpa harus dikendalikan siapapun lagi. Berbeda sekali dengan di sini. Si Omar terus mengatur-ngaturku. Aku seperti anak gadis yang dijaga ketat oleh ayahnya agar tidak diganggu pria manapun.”Mendeng
Tuan! Apa-apaan Anda? Mawar yang cemburu ingin menegur, apalagi tangan Abizar turun mengusap pipi Ashya dan menghapus sisa air mata wanita itu. Tangan besar Abizar kembali turun ke dagu keras Ashya, tak tahan Ashya meluapkan tangisnya lagi yang sempat dia tahan saat ada yang membukakan pintu. Tangisnya Ashya pecah begitu saja, sentuhan Abizar membuatnya semakin rapuh. Air mata Abizar ikut menetes, lalu membawa Ashya dalam pelukan. Langkah Mawar sudah terhuyung, Malik meliriknya dengan mata menyipit. Ingin menjelaskan kepada Mawar, tapi mungkin Mawar tidak mengerti bahasa Saudi dan Inggris? Mawar ingin kabur, tapi kakinya beku. “Tuan!” Wanita itu memekik, lalu menarik kemeja Abizar hingga ikut terdorong ke belakang, menjauh dari tubuh Ashya. Abizar mengusap pipinya yang basah, melirik heran Mawar yang menariknya menjauh. “Apa-apaan Anda! Itu istri adik Anda sendiri! Anda tidak berhak menyentuhnya!” Pipi Mawar memerah dengan mata berkaca-kaca. Jelas saja, pasti
Kondisi hati Ashya sepertinya membaik. Pelukan, bisikan dan kecupan di keningnya dari Abizar ternyata berhasil menenangkannya.“Turid 'an tati maena—mau ikut bersama kami?” Abizar bertanya kepada Ashya.“’Ayn—kemana?”“'Ateam hadha alsabiu—memberi bocah ini makan,” Abizar menunjuk Mawar yang hanya bisa terbengong. Andai Mawar mengerti apa yang Abizar katakan, perempuan itu tentu saja akan berubah kesal dan malu. Hanya Ashya dan Malik yang mengerti apa yang Abizar katakan, Malik nyengir lebar dan Ashya hanya tersenyum tipis. Ikut memerhatikan Mawar yang menyipit ke arah Abizar, menuntut jawaban, apa yang sebenarnya lelaki itu katakan.Mereka berempat ke dapur. Mawar sudah tidak penasaran lagi dengan apa yang Abizar katakan, fokusnya sudah teralihkan oleh kemewahan dapur rumah Omar dan beraneka macam makanan yang ada di sana. Makanan khas Arab memenuhi meja, bekas makan m
Mawar tidak sadar ruang di sebelahnya sudah kosong. Seseorang mengetuk pintu kamar Ashya, Ashya yang turun dan keluar. Ternyata Akmal, mereka terjebak adu bicara sebentar. Yang diakhiri oleh erangan frustrasi Akmal dan Ashya yang berakhir menangis. Akmal yang tidak tega berusaha membujuk Ashya dan memeluknya. Ashya menghindar lalu mengunci pintu dari dalam. Kehebohan di depan antara sepasang suami-istri itu tidak Mawar sadari. Mawar asyik terlelap, perutnya yang kenyang membuat tidurnya semakin rileks. Sekalipun keesokan harinya Abizar tidak sarapan, Mawar tidak perlu kelaparan. Ashya mematung sebentar di ambang pintu, ditatapnya Mawar yang terlihat begitu nyenyak. Ashya mengambil kaca kecil yang ada di laci meja riasnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Ashya menghidupkan air keran hingga suara berisik itu meredam suara lain di dalam sana. Ashya menghancurkan kaca kecil yang dia bawa, menjadi serpihan kaca yang cukup tajam. Ashya menahan tangis, bibirnya bergetar. Dicekra
“Tuan … Tuan ….” Tangis Mawar terdengar seperti rintihan. Tangannya sudah tidak sanggup untuk menggedor-gedor pintu kamar Abizar yang terkatup rapat. Abizar yang terlelap di dalam sana sontak terbangun, ditajamkannya pendengaran, heran mendengar tangis Mawar yang dengan lambat memukul-mukul pelan pintu kamarnya. Abizar mengusap wajah lalu turun dari ranjang. Didekatinya pintu, Abizar mendekatkan telinganya ke sana. Mawar menangis seperti orang kesakitan, dengan cemas Abizar langsung membuka pintu. Mata Abizar melebar, mendapati wajah kacau Mawar. Gadis itu meluapkan tangisnya saat menghadap Abizar. Pipi dan mata Mawar panas dan merah, hidungnya berbunyi menarik ingus. “Tuan ….” Panggil Mawar, rasanya ingin memeluk Abizar tapi tidak berani. “Kamu kenapa, Mawar?” Abizar terdengar panik, tangannya nyaris menyentuh pipi merah Mawar. “Apa di rumah ini ada yang menjahatimu, hem?” Nada suara Abizar terdengar membujuk. Mawar menggelengkan kepala, “b-bukan ….” “Lalu
Mawar menunggu Abizar sampai gelap, karena tidak ada Abizar Mawar segan untuk bersantai atau makan sesuka hati di dapur keluarga Omar. Mawar lebih sering berkurung di dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Abizar. Saat suara deru mobil memenuhi halaman rumah depan, Mawar menongolkan kepalanya melalui jendela. Wajahnya langsung berseri-seri, Omar dan beberapa saudara Abizar sudah pulang. Termasuk Akmal dan Malik. Tapi Mawar tidak menemukan wajah Abizar yang mengeluarkan diri dari mobil. Urung merasa kecewa, Mawar ingin mengeceknya sendiri. Mungkin wajah Abizar terhalangi oleh beberapa tubuh. Mawar keluar dari kamarnya, lalu mengendap-ngendap turun ke lantai satu. Mawar menengok ke halaman luar melalui salah satu jendela. Diceknya oleh Mawar setiap wajah yang lewat, benar-benar tak ada Abizar. Sepertinya Abizar masih di rumah sakit. Mawar hanya bisa menghela napas kecewa. Akmal masuk ke dalam rumah dan melewati Mawar begitu saja, lelaki itu sempat melirik Ma
Masih opini yang belum tersingkap hal lain, wajah Akmal sudah mengeras. Rasanya tidak percaya kalau pelakunya Mawar, begitu pula Malik. Sedangkan Mawar hanya kebingungan saat seluruh mata tertuju ke arahnya dengan tatapan meintimidasi. Wanita itu terlihat bingung. “Jangan menuduh tanpa bukti!” Akmal berteriak kepada pembantu wanita itu. “Maaf, Tuan ….” Kepala wanita tersebut menunduk. “Saya bukan menuduhnya, tapi saya hanya memberitahu apa yang saya lihat. Saya tidak tahu apa yang dia lakukan di sana.” Setelah itu sang pembantu diam, terus melirik Mawar dengan sorot merasa bersalah. Akmal diam sebentar. Sedangkan Malik menanyai Mawar dalam bahasa Inggris. “Tidak mungkin kamu mencuri perhiasan Ashya ‘kan?” Mawar langsung menggeleng, “ya nggaklah!” Diedarkannya pandangan ke sekitar, Mawar tidak terima seluruh mata menatapnya jijik. Malik percaya Mawar dan Akmal ‘pun yakin Mawar tidak mungkin sepi
Bak pakaian kotor Mawar sudah diletakkan di tengah ruangan. Iqbal sendiri yang menggeledahnya, wajahnya begitu serius sekalipun pakaian dalam Mawar juga berbaur di antara pakaian-pakaian kotor lain. Beberapa lembar pakaian Mawar awalnya tak ada yang mencurigakan di sana. Iqbal nyaris menyesal karena terlalu berlebihan, tapi di pakaian terakhir Mawar, yang Mawar pakai semalam saat tidur di kamar Ashya, di sakunya ada beberapa perhiasan Ashya yang tersisa. Tatapan tajam Iqbal mengarah ke Mawar yang menggeleng-geleng. Tidak, itu bukan salahnya … Mawar tidak tahu, kenapa bisa ada di tas dan saku pakaian yang dia pakai semalam. “Bukan aku yang mencurinya … bukan aku ….” Malu ditatap tajam oleh ratusan pasang mata, Mawar bersembunyi di balik punggung Malik. Malik berusaha menghadang setiap mata yang menghunus Mawar karena kasihan dengan wanita itu.&nbs