Tuan! Apa-apaan Anda? Mawar yang cemburu ingin menegur, apalagi tangan Abizar turun mengusap pipi Ashya dan menghapus sisa air mata wanita itu. Tangan besar Abizar kembali turun ke dagu keras Ashya, tak tahan Ashya meluapkan tangisnya lagi yang sempat dia tahan saat ada yang membukakan pintu. Tangisnya Ashya pecah begitu saja, sentuhan Abizar membuatnya semakin rapuh. Air mata Abizar ikut menetes, lalu membawa Ashya dalam pelukan. Langkah Mawar sudah terhuyung, Malik meliriknya dengan mata menyipit. Ingin menjelaskan kepada Mawar, tapi mungkin Mawar tidak mengerti bahasa Saudi dan Inggris?
Mawar ingin kabur, tapi kakinya beku.
“Tuan!” Wanita itu memekik, lalu menarik kemeja Abizar hingga ikut terdorong ke belakang, menjauh dari tubuh Ashya. Abizar mengusap pipinya yang basah, melirik heran Mawar yang menariknya menjauh.
“Apa-apaan Anda! Itu istri adik Anda sendiri! Anda tidak berhak menyentuhnya!” Pipi Mawar memerah dengan mata berkaca-kaca. Jelas saja, pasti
Kondisi hati Ashya sepertinya membaik. Pelukan, bisikan dan kecupan di keningnya dari Abizar ternyata berhasil menenangkannya.“Turid 'an tati maena—mau ikut bersama kami?” Abizar bertanya kepada Ashya.“’Ayn—kemana?”“'Ateam hadha alsabiu—memberi bocah ini makan,” Abizar menunjuk Mawar yang hanya bisa terbengong. Andai Mawar mengerti apa yang Abizar katakan, perempuan itu tentu saja akan berubah kesal dan malu. Hanya Ashya dan Malik yang mengerti apa yang Abizar katakan, Malik nyengir lebar dan Ashya hanya tersenyum tipis. Ikut memerhatikan Mawar yang menyipit ke arah Abizar, menuntut jawaban, apa yang sebenarnya lelaki itu katakan.Mereka berempat ke dapur. Mawar sudah tidak penasaran lagi dengan apa yang Abizar katakan, fokusnya sudah teralihkan oleh kemewahan dapur rumah Omar dan beraneka macam makanan yang ada di sana. Makanan khas Arab memenuhi meja, bekas makan m
Mawar tidak sadar ruang di sebelahnya sudah kosong. Seseorang mengetuk pintu kamar Ashya, Ashya yang turun dan keluar. Ternyata Akmal, mereka terjebak adu bicara sebentar. Yang diakhiri oleh erangan frustrasi Akmal dan Ashya yang berakhir menangis. Akmal yang tidak tega berusaha membujuk Ashya dan memeluknya. Ashya menghindar lalu mengunci pintu dari dalam. Kehebohan di depan antara sepasang suami-istri itu tidak Mawar sadari. Mawar asyik terlelap, perutnya yang kenyang membuat tidurnya semakin rileks. Sekalipun keesokan harinya Abizar tidak sarapan, Mawar tidak perlu kelaparan. Ashya mematung sebentar di ambang pintu, ditatapnya Mawar yang terlihat begitu nyenyak. Ashya mengambil kaca kecil yang ada di laci meja riasnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Ashya menghidupkan air keran hingga suara berisik itu meredam suara lain di dalam sana. Ashya menghancurkan kaca kecil yang dia bawa, menjadi serpihan kaca yang cukup tajam. Ashya menahan tangis, bibirnya bergetar. Dicekra
“Tuan … Tuan ….” Tangis Mawar terdengar seperti rintihan. Tangannya sudah tidak sanggup untuk menggedor-gedor pintu kamar Abizar yang terkatup rapat. Abizar yang terlelap di dalam sana sontak terbangun, ditajamkannya pendengaran, heran mendengar tangis Mawar yang dengan lambat memukul-mukul pelan pintu kamarnya. Abizar mengusap wajah lalu turun dari ranjang. Didekatinya pintu, Abizar mendekatkan telinganya ke sana. Mawar menangis seperti orang kesakitan, dengan cemas Abizar langsung membuka pintu. Mata Abizar melebar, mendapati wajah kacau Mawar. Gadis itu meluapkan tangisnya saat menghadap Abizar. Pipi dan mata Mawar panas dan merah, hidungnya berbunyi menarik ingus. “Tuan ….” Panggil Mawar, rasanya ingin memeluk Abizar tapi tidak berani. “Kamu kenapa, Mawar?” Abizar terdengar panik, tangannya nyaris menyentuh pipi merah Mawar. “Apa di rumah ini ada yang menjahatimu, hem?” Nada suara Abizar terdengar membujuk. Mawar menggelengkan kepala, “b-bukan ….” “Lalu
Mawar menunggu Abizar sampai gelap, karena tidak ada Abizar Mawar segan untuk bersantai atau makan sesuka hati di dapur keluarga Omar. Mawar lebih sering berkurung di dalam kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Abizar. Saat suara deru mobil memenuhi halaman rumah depan, Mawar menongolkan kepalanya melalui jendela. Wajahnya langsung berseri-seri, Omar dan beberapa saudara Abizar sudah pulang. Termasuk Akmal dan Malik. Tapi Mawar tidak menemukan wajah Abizar yang mengeluarkan diri dari mobil. Urung merasa kecewa, Mawar ingin mengeceknya sendiri. Mungkin wajah Abizar terhalangi oleh beberapa tubuh. Mawar keluar dari kamarnya, lalu mengendap-ngendap turun ke lantai satu. Mawar menengok ke halaman luar melalui salah satu jendela. Diceknya oleh Mawar setiap wajah yang lewat, benar-benar tak ada Abizar. Sepertinya Abizar masih di rumah sakit. Mawar hanya bisa menghela napas kecewa. Akmal masuk ke dalam rumah dan melewati Mawar begitu saja, lelaki itu sempat melirik Ma
Masih opini yang belum tersingkap hal lain, wajah Akmal sudah mengeras. Rasanya tidak percaya kalau pelakunya Mawar, begitu pula Malik. Sedangkan Mawar hanya kebingungan saat seluruh mata tertuju ke arahnya dengan tatapan meintimidasi. Wanita itu terlihat bingung. “Jangan menuduh tanpa bukti!” Akmal berteriak kepada pembantu wanita itu. “Maaf, Tuan ….” Kepala wanita tersebut menunduk. “Saya bukan menuduhnya, tapi saya hanya memberitahu apa yang saya lihat. Saya tidak tahu apa yang dia lakukan di sana.” Setelah itu sang pembantu diam, terus melirik Mawar dengan sorot merasa bersalah. Akmal diam sebentar. Sedangkan Malik menanyai Mawar dalam bahasa Inggris. “Tidak mungkin kamu mencuri perhiasan Ashya ‘kan?” Mawar langsung menggeleng, “ya nggaklah!” Diedarkannya pandangan ke sekitar, Mawar tidak terima seluruh mata menatapnya jijik. Malik percaya Mawar dan Akmal ‘pun yakin Mawar tidak mungkin sepi
Bak pakaian kotor Mawar sudah diletakkan di tengah ruangan. Iqbal sendiri yang menggeledahnya, wajahnya begitu serius sekalipun pakaian dalam Mawar juga berbaur di antara pakaian-pakaian kotor lain. Beberapa lembar pakaian Mawar awalnya tak ada yang mencurigakan di sana. Iqbal nyaris menyesal karena terlalu berlebihan, tapi di pakaian terakhir Mawar, yang Mawar pakai semalam saat tidur di kamar Ashya, di sakunya ada beberapa perhiasan Ashya yang tersisa. Tatapan tajam Iqbal mengarah ke Mawar yang menggeleng-geleng. Tidak, itu bukan salahnya … Mawar tidak tahu, kenapa bisa ada di tas dan saku pakaian yang dia pakai semalam. “Bukan aku yang mencurinya … bukan aku ….” Malu ditatap tajam oleh ratusan pasang mata, Mawar bersembunyi di balik punggung Malik. Malik berusaha menghadang setiap mata yang menghunus Mawar karena kasihan dengan wanita itu.&nbs
PLAK! Satu tamparan yang amat memekakkan telinga. Sebelah pipi Iqbal merah, lelaki itu diam. PLAK! Abizar menamparnya sekali lagi, membuat Iqbal menyeringai sinis.Abizar menggulung lengan kemejanya, “jika ingin memotong tangan Mawar, potong saja tanganku. Karena aku yang bertanggung jawab atasnya. Jika dia melakukan sesuatu, lemparkan semua hukumannya padaku! Akan kuterima.”“Tak ada hukum Islam, perbuatan pelayan ditanggung oleh majikan. Jika pelayanmu yang mencuri, tangannya yang harus dipotong, bukan kamu.” Dengan santai Iqbal mengatakannya.Abizar geram, diliriknya Mawar yang ditenangkan oleh Malik. Mawar takut saat Abizar sebelumnya menggulung kemeja lengannya sendiri. Saat Mawar menanyakan kepada Malik apa yang terjadi, Malik enggan mengartikannya.“Pelayan mana yang bilang tadi siang Mawar masuk kamar Ashya!?” Abizar berteriak.Awalnya sunyi, hingga seorang perempuan dipaksa berdiri oleh teman-temannya. &
“Rumah ini tidak aman untukmu, Mawar.” Tatapan Abizar sendu.“Dimanapun tidak aman untukku jika Tuan tidak ada.”“Jangan menggodaku,” Abizar mengambil kemoceng yang tergeletak di atas meja sebelah pinggangnya dan menimpuknya ke kepala Mawar.“Besok kita pulang ke Indonesia. Di sana lebih aman untukmu.”“Tuan ikut?”“Apa tadi kubilang, ‘kita’ ‘kan?”Senyum Mawar semringah, kepalanya mengangguk kuat.***“Tidurlah, Mawar. Besok kita akan kembali ke Indonesia.”Bibir Mawar membentuk segaris senyum saat kalimat Abizar sebelum lelaki itu menutup pintu kembali terngiang di telinganya.Malam ini, sekalipun Abizar menyuruhnya tidur Mawar tidak bisa tidur. Entah kenapa Mawar sangat bahagia malam ini, meskipun beberapa jam sebelumnya dia sempat ketakutan karena dituduh satu rumah mencuri. Mawar tidak bisa mem
“Ayahmu dimana, Tuan?” Alif bertanya.Abizar berdeham setelah mendorong jauh Alif dari calon istrinya. “Ada di dalam, tengah digebuki bocah manja yang lebih muda puluhan tahun darinya.”“Tidak Anda tolong?” Alif shock.“Sudah, kok.” Abizar membantahnya, lalu menyeringai. “Melalui doa.”Alif baru saja hendak masuk ke dalam, Abizar sudah menarik tengkuk kemejanya. “Sudahlah tidak usah ikut campur. Biarkan Omar mengatasinya sendiri.”“Sesekali Anda durhaka saya memaklumi, Tuan. Tapi kali ini Anda benar-benar durhaka!” Alif berusaha melepaskan diri dari tahanan Abizar. “Nona Mawar!” Alif menjerit iba ke Mawar, “saya mohon bujuk dulu calon suamimu ini! Kalau Tuan Besar kenapa-napa bagaimana?”“Sudah kubilang dia tidak akan kenapa-napa, tenang saja.” Abizar masih terlihat santai. Alif akhirnya mengalah. Abizar bukan tidak perduli, tapi Omar memang tidak mau diganggu. Nanti dia keluar sendiri.Lama menunggu, nyaris setengah jam, Abizar tidak bisa tidak khawatir. Lelaki itu bangkit tanpa kata
“Tuan Muda,” panggilan lemah dari luar tersebut membuat Samuel mengerang.“Ada apa?” Sahut Samuel sinis. Dilepaskannya jeratannya dari tubuh Mawar, Mawar menggeser tubuh menjauh mendekati lemari, wanita itu bersembunyi di sudut—melihatnya Samuel hanya menghela napas.Lelaki tua tersebut diam, seperti ragu untuk mengatakannya. Samuel tidak disuka diganggu tapi saat dia menahan amarah untuk menyahut malah tidak dibalas, lelaki itu bangkit dan menyenderkan tubuh ke kusen pintu setelah membukanya. “Ada apa?” Tanyanya tajam kepada satpam rumahnya.“Omar Hafshan … datang melayat.”Samuel menahan napas lalu terkekeh. Lucu sekali, sang pembunuh datang ke rumah korban untuk berduka. Samuel mengabaikan tatapan satpamnya yang heran—melihat Mawar bersembunyi ketakutan di sudut kamar dan penampilan Samuel yang hanya memakai celana pendek. Samuel mengambil kembali pakaiannya, memakainya satu-persatu. Terngiang nama Omar di kepalanya, lelaki itu terlihat begitu emosi.“Kulepaskan kamu, lain kali jan
Di ayat terakhir surat Yasin, Abizar langsung menutup buku mininya. Dilanjutkan dengan Tahlilan, Abizar berbisik ke lelaki tua yang duduk bersimpuh di sebelahnya. “Samuel James Pilli, anaknya Aland James Pilli dimana?”“Tuan Muda mengurung diri di dalam kamarnya. Dia cukup shock karena Tuan Besar bunuh diri.”Abizar manggut-manggut. “Bisakah kami masuk dan menemuinya?” Abizar tahu permintaan tersebut tidak mungkin dipenuhi, tapi Samuel adalah tujuan mereka datang kemari setelah Aland terkujur mati.“Maaf, tidak bisa.” Tentu saja penolakan yang akan mereka terima.“Atau sampaikan ….” Abizar cekatan, “sampaikan ke Samuel, Omar Hafshan yang ‘membunuh’ ibunya ada di rumah ini. Datang untuk melayat.” Pak tua tersebut terlihat shock, tatapannya menghunus ke arah Omar yang terlihat tidak perduli. Omar menatap buku mini di tangannya, bibirnya berbisik tanpa suara, bukan mendoakan Aland, doa itu dia kirim untuk Melati.“Permisi,” satpam tersebut bangkit lalu masuk ke ruangan dalam. Abizar meng
“Agar Anda mati dengan tenang seperti Aland, lakukanlah apa yang harus Anda lakukan. Saya bukan mengharapkan kematian Anda, Tuan Hafshan. Saya hanya tidak suka melihat Anda bertahan hidup, tapi Anda malah tersiksa karena Anda masih hidup.”Omar menyungging senyum, lelaki itu mengeluarkan diri dari mobil. Omar menunggu Abizar turun. Abizar melirik Mawar yang sudah mengangkat kepalanya, mereka saling pandang sejenak. “Aku turun, Mawar. Tunggu sebentar, ya. Aku akan segera kembali.” Abizar meringis melihat setitik air mata jatuh dari iris merah wanita itu. “Jangan menangis, oke?” Abizar berdecak, “siapa yang kamu tangisi? Omar? Jangan bilang, tidak bisa mendapatkan Omar yang terlalu bucin kepada Melati kamu malah menjadikanku pelarian.” Abizar menggerutu.Mawar tertawa mendengar gerutuan Abizar, diusapnya ujung iris mata.“Aku perlu ‘mengantar’ Tuan Omar Hafshan yang terhormat ke pangkuan Yang Maha Kuasa,” Abizar terkekeh. Firasatnya bilang begitu, kenangan tentang Melati selesai, Omar s
Seharusnya mereka tidak datang. Menjadi penyesalan saat mereka menginjakkan kaki ke mari. Penthouse mewah tersebut nampak berkabung, berkibarnya bendera kuning menjelaskan kematian seseorang tanpa kata dan seruan. Ruangan depan yang biasanya lengang ramai oleh penduduk kampung yang membacakan surat Yasin.Aland memang hanyalah seorang agnostic yang sebenarnya tidak percaya akan Tuhan, masuk Islam hanya untuk bisa menikahi Luna, seumur hidupnya tidak pernah salat sama sekali, Al-Qur’an hanya pernah dia sentuh sampulnya tanpa pernah membukanya apalagi membacanya—sekalipun Aland bisa berbahasa Arab karena ahli dalam berbagai bahasa. Meskipun begitu, Aland pernah mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan tidak pernah membatalkannya sampai saat ini. Dia masih umat Nabi Muhammad, hambanya Allah, sekalipun … hanya gelar.“Siapa mati?” Suara Abizar berat, jangan bilang Aland. Sekalipun itu kenyataannya, Abizar meringis tidak suka. Dendam memang masih terpupuk untuk lelaki itu namun terlalu cepat
“Jadi semua ini ada hubungannya dengan Aland James Pilli?”Omar terlihat marah, kedua seberang giginya saling menggesek saat terngiang nama tersebut dan membayangkan wajahnya.“Dia membeli jantung Melati untuk anaknya? Pertanyaannya kenapa harus Melati?” Abizar yang duduk menghadapnya memerhatikan wajah tersebut. Mata merah Omar mencerminkan kesedihan, air matanya yang mengalir mencerminkan penyesalan.“Ini juga salah Abi ‘kan?” Abizar menghela napas, ingin menyalahkan Aland tapi Aland juga kehilangan seorang istri, Samuel juga kehilangan seorang Ibu. Mereka setimpal, keduanya salah dan keduanya ‘berhak’.Omar menoleh sendu, teringat kelakuannya. Seharusnya dia tidak memberi harapan palsu kepada Aland, tapi saat itu Omar terdesak, mendadak adiknya juga membutuhkan pedonor jantung setelah kecelakaan karena menyusulnya ke Indonesia.“Aku tahu ini salahku, tapi kenapa harus Melati yang terlibat?” Omar terlihat tidak terima, air matanya kembali menetes. “Andai aku tahu Aland sampai segitu
Mata Omar membuka sempurna, akhirnya sinar matahari pagi membangunkannya. Napas Omar tersengal-sengal dengan mata merah dan pipi basah, diperhatikannya seisi ranjang. Berantakan-acak-acakan, bantal kepala melayang, seprai terlepas dan guling yang malang. Omar berusaha menurunkan diri dari ranjang, kakinya menjadi jelly, tubuhnya nyaris terhempas jatuh. Omar berusaha bangkit untuk mengambil air wudhu’—dia butuh salat, dia butuh dzikir, dia harus menyebut nama Tuhannya, agar luka ini sembuh, hati ini lapang dan kenangan itu bisa dikubur sedalam-dalam mungkin.Air wudhu’ membasuh wajah Omar, lelaki itu terlihat lega. Lalu dibentangkannya sajadah, waktunya menyembah Tuhan dan mengemis kekuatan darinya. Omar bukan ingin menghapus kenangan tentang Melati, Omar hanya ingin Tuhan memberikannya sudut pandang berbeda tentang apa yang terjadi belasan tahun yang lalu.Setelah wajahnya cukup semringah, Omar menurunkan diri menggunakan anak tangga menuju meja makan, ingin sarapan dan menagih janji
Masing-masing dada mereka bergemuruh hebat, Omar menatap wajah tersebut penuh cinta. Apalagi saat tangannya membelai kening dan pipinya, membenamkan bibirnya, merengkuhnya dalam pelukan, berguling bersama di atas ranjang, tawa terdengar hangat dan memanjakan. Semuanya bergulir di kepala Omar yang masih terlelap, sekalipun adzan Subuh sudah terlewat, Abizar menyerah membangunkannya. Omar tidur seperti mati. Saat kepalanya mengulang kenangan dengan wujud mimpi, wajah Omar bahagia. Senyum terukir di bibirnya, lelaki itu tertawa senang. Dengan mata berair haru.Guling di sebelahnya menjadi korban—dipeluk, diremuk, diciumi olehnya yang mengigau. Menjadikan daging guling tersebut sebagai dada Melati yang Omar senang sekali menempelkan telinga ke dadanya, untuk mendengarkan detak jantungnya.Tapi kebahagiaan itu surut, saat mimpi yang diremake dari masa lalu tersebut berganti. Wajah Omar berubah keras, kecewa dan tangisnya meledak. Padahal lelaki itu hanya mengigau.Omar mencintai wanita in
Jeritan seorang lelaki membuat rumah mewah tersebut gaduh. Beberapa pelayan langsung berlari tergopoh menuju kamar yang ditempati Tuan Besar, wajah mereka pucat saat mendapati Samuel terpuruk di lantai, sisa-sisa jeritannya terdengar menyedihkan, pipi merahnya dibasahi oleh air mata. Beberapa kepala mendongak ke arah plafon, semua kaki langsung selembut jelly, beberapa dari mereka berpegangan atau terjatuh, terpuruk dan ikut menjerit seperti Samuel. Aland mati gantung diri. Tetesan darah dari luka di lehernya membasahi kemeja putih yang dia kenakan. Matanya tertutup rapat, seakan mati dalam keadaan damai. Samuel menepuk-nepuk lantai, suaranya serak. “Papa … Papa ….” Jeritannya menyusul keras, “PAPA! PAPA!” Seperti memerintah jiwa sang Ayah untuk kembali ke jasadnya, tapi sekeras apapun Samuel menjerit dan memohon, semuanya sia-sia. Samuel terbatuk parau, dadanya sempit. Dengan sebelah tangan dicekramnya kuat. Salahsatu pelayan berusaha membawanya ke ranjang, penyakit Samuel kumat. S