“Rumah ini tidak aman untukmu, Mawar.” Tatapan Abizar sendu.
“Dimanapun tidak aman untukku jika Tuan tidak ada.”
“Jangan menggodaku,” Abizar mengambil kemoceng yang tergeletak di atas meja sebelah pinggangnya dan menimpuknya ke kepala Mawar.
“Besok kita pulang ke Indonesia. Di sana lebih aman untukmu.”
“Tuan ikut?”
“Apa tadi kubilang, ‘kita’ ‘kan?”
Senyum Mawar semringah, kepalanya mengangguk kuat.
***
“Tidurlah, Mawar. Besok kita akan kembali ke Indonesia.”
Bibir Mawar membentuk segaris senyum saat kalimat Abizar sebelum lelaki itu menutup pintu kembali terngiang di telinganya.
Malam ini, sekalipun Abizar menyuruhnya tidur Mawar tidak bisa tidur. Entah kenapa Mawar sangat bahagia malam ini, meskipun beberapa jam sebelumnya dia sempat ketakutan karena dituduh satu rumah mencuri. Mawar tidak bisa mem
Mawar yang awalnya hidup sejahtera karena makanan di dapur melimpah, harus sering menahan lapar. Mawar tidak berani melanggar sekalipun banyak makanan cadangan. Abizar itu mengerikan. Semenjak peraturan baru, Mawar selalu menanti Abizar pulang. Sering menangis kalau Abizar tidak makan-makan. Hidup Mawar mulai bergantungan dengan Abizar.Awalnya Abizar tidak perduli, kalau Abizar ingin makan, ya dia makan. Kalau dia tidak makan, ya tidak makan. Tanpa mengingat Mawar yang hanya makan makanan sisanya. Tapi setelah memergoki Mawar menangis karena Abizar tidak makan tiga hari hanya minum air putih, Abizar mulai merasa bersalah.Abizar pikir, jika dia tidak makan, Mawar akan makan diam-diam, tapi ternyata pembantunya lebih setia daripada dugaannya. Sejak itu, Abizar mulai memiliki alasan untuk makan. Karena ada Mawar yang selalu menunggu. Abizar sengaja memesan makanan kesukaan Mawar, makan sedikit lalu sisanya yang enak-enak diberikan untuk wanita itu.Abizar mulai s
Saat itu, dua tahun yang lalu, Mawar yang mulai ketakutan memilih kabur dari rumah Abizar malam itu juga. Untung cepat diketahui oleh Abizar. Abizar langsung mengejar Mawar dan menangkap tubuh wanita itu. Abizar tidak mau wanita ini meninggalkannya, Abizar tidak mau kehilangan wanita ini, sehingga itulah Abizar menahannya, membawanya kembali, sekalipun wanita itu memberontak dan menangis ketakutan. “Biarkan saya pergi, Tuan! Saya mohon … Tuan!” “Tidak boleh ….” Abizar menggelengkan kepalanya, matanya merah dan basah. Abizar sudah menangis sekalipun tidak separah Mawar yang menangis ketakutan. “Kamu tidak boleh pergi, kamu tidak boleh meninggalkanku, Mawar … tidak boleh. Kamu hanya boleh meninggalkan rumah ini jika kamu mati, sekarat atau akan menikah. Selain itu, kamu tidak boleh meninggalkanku, sampai kapanpun. Aku akan menghalangimu ….”Abizar membawa tubuh Mawar yang dia tang
“Kamu, tunggu dulu.”Panggilan Omar menahan langkah Mawar yang baru saja hendak menyusul Abizar di halaman depan. Di bawah matahari redup di pagi hari, Mawar menoleh dengan sopan. Wanita itu mendekati Omar dan membungkukkan badan termasuk pandangan. “Ada apa, Tuan?” Karena Omar memanggilnya menggunakan bahasa Indonesia, Mawar menjawab dengan bahasa yang sama.Omar diam beberapa saat lalu berdeham, “kutitip Abizar. Jaga dia baik-baik.”Mawar refleks mendongak, mata wanita itu melebar. Setelah senyumnya terbit akhirnya Mawar mengangguk. “Tentu saja, Tuan.”“Mawar!” Panggilan Abizar sontak membuat Mawar berbalik. “Cepat ke sini atau kutinggalkan kamu!” Dengan gesit Mawar berlari mendekati tuannya setelah melempar salam untuk Omar, yang menjawabnya lirih nyaris tidak kedengaran.Sebelum ke bandara, masih ada waktu satu jam untuk keduanya mampir ke rumah sakit. Menjenguk Ashya yang
“Kalau jendela pesawat ini bisa dibuka pasti seru, ya Tuan!” Mawar menepuk-nepuk kaca pesawat yang ukurannya tidak terlalu besar.“Hush, nanti kamu melayang! Tubuh kerempeng begini diterbangkan angin langsung jadi layang-layang!” Abizar tersenyum mengejek, mengabaikan delikan gemas Mawar yang sebal.Saat pesawat tersebut semakin melambung, memperlihatkan padatnya kota di bawahnya Mawar tidak bisa menahan senyum. Kelakuan Mawar tiapkali naik pesawat bersama Abizar selalu sama, riang seperti anak kecil. Padahal sudah puluhan bahkan ratusan kali Mawar terbang bersama kapal udara ini. Selama tiga tahun, jika liburan atau urusan bisnis ke luar negeri atau luar kota, Abizar sering mengajak Mawar ikut bersamanya. Sehingga itulah Abizar memaksa Mawar belajar bahasa Inggris, setidaknya tidak kesusahan saat Abizar membawanya ke luar negeri.“Kalau misalnya pesawat ini mendadak terjun bebas, apa nasib kita, ya Tuan?”“
“Tak ada yang ketinggalan Mawar?”Seharian di atas pesawat, lalu menetap sehari di kota Semarang, besoknya tepatnya hari ini sesuai rencana Mawar akan berangkat pulang kampung, diantar oleh Abizar.Pertanyaan Abizar terdengar berulang, Mawar mengecek kembali barang-barangnya. Kepalanya mengangguk, diacunginya jempol. “Semuanya sudah lengkap, Tuan.”“Oke, kalau begitu masuk ke mobil. Aku akan mengantarmu, butuh satu sampai dua jam kita bisa sampai ke kampung halamanmu ‘kan?” Abizar mengambil alih barang bawaan Mawar, diletakkannya ke kursi belakang, Mawar akan duduk di bangku sebelahnya.“Mawar, sebelum berangkat. Ambilkan dulu minuman dingin untukku di kulkas, sekalian untukmu juga. Hari ini terik, aku yang menyetir kepanasan.” Abizar pura-pura mengibasi wajah dan bahunya dengan telapak tangan, Mawar mengangguk. Melakukan apa yang Abizar suruh. Setelah memastikan Mawar masuk ke dalam rumah dan tidak ak
“Mawar, Mawar.”Abizar berusaha membangunkan gadis itu. Di bangkunya Mawar bergumam dan menggeliat, padahal mobil yang dikendarai Abizar sudah sampai di kampung halamannya. Hanya saja, Abizar butuh arahan Mawar karena meskipun tahu nama kampung halamannya Mawar Abizar tidak tahu letak rumah gadis itu.Mawar ternyata susah bangun, membuat Abizar berdesis. Tangan Abizar tarik-ulur ragu, ingin menepuk pipi Mawar atau mengguncang tubuhnya membangunkan wanita itu. Menggunakan suara saja, sepertinya tidak akan berefek. “Ayolah bangun Mawar, Mawar. Mawar!” Abizar menghela napas, tak ada respon dari Mawar yang tidur seperti mati.Napas panas Abizar meniup-niup pipi Mawar, berusaha membangunkannya. Beralih ke mata, tapi ternyata tak ada efek sama sekali. Abizar yang lama-kelamaan kesal—mereka sudah terlalu lama berhenti di tepi jalan tanpa tujuan jika Mawar tidak memberi arahan, Abizar menarik kunci mobil dari lubangnya lalu diayunkannya ke
“Kamu punya banyak adik, ya?” Abizar bertanya.Mawar menganggukkan kepala, “iya, Tuan. Aku anak pertama, adikku ada empat. Yang paling bungsu Satria, Wulan anak keempat. Arya kelas 3 SMA, jadi wajar jika dia sibuk di sekolah bentar lagi tamat. Kalau Dimas masih kelas sepuluh, dia yang paling rajin bantu Bapak cari uang, sedangkan karena Arya pintar dan nilainya yang paling bagus di sekolah dia lebih fokus belajar, agar bisa mengincar beasiswa dan kuliah.”Abizar manggut-manggut, dijatuhkannya pantat ke sebuah kursi rotan di ruang depan setelah mereka masuk ke dalam rumah.“Ingin kubuatkan apa, Tuan?” Mawar bertanya, bersiap beranjak ke dapur.“Apa saja yang dingin,” Abizar terlihat kepanasan. Matahari di luar benar-benar terik.Baru saja Mawar hendak ke dapur, Wulan sudah menghamburkan diri ke pelukan kakaknya. “Kak Mawar!” Gadis kelas 2 SMP itu jingkrak-jingkrak. Memerhatikan setiap gerak
“Owalah!” Wanita tua tersebut terperanjat saat melewati teras dan masuk ke dalam rumah. Sayur-sayuran yang dibelinya terjatuh ke lantai dan berantakan. Langkah kecilnya mendekat, lalu bertanya kepada orang yang asing di matanya. “Kamu siapa, toh? Turis nyasar?”Abizar mengerjap, lalu tersenyum geli. Mungkin ini ibunya Mawar, yang habis pulang dari pasar.Mawar dengan cepat beranjak ke ruang tengah, menggantikan Abizar untuk menjelaskan. “Dia majikanku dari Semarang, Mak.”“Mawar!” Wanita tua tersebut terkejut melihat putri sulungnya yang sudah ada di rumah. Mengabaikan ‘turis yang nyasar di rumahnya’ tersebut, perempuan itu langsung memeluk erat anaknya. Tangis haru terdengar di antara mereka.“Akhirnya kamu pulang, Nak. Kukira kota Semarang membuatmu lupa kampung.” Kecupan bertubi ibunya layangkan ke pipi dan kening Mawar. Mawar tidak bisa menahan tangis, sedikit tidak enak saat dili